Yuhuu~ arigatou minna ^^ makasih karna sudah mau berkunjung ke fic gaje hasil kolaborasi kami *nunduk-nunduk*

karna kami masih newbie, jadi dimohon kerja samanya, maaf atas segala kejaean atau keanehan yang akan muncul sejauh readers membaca nanti, dan tentu aja, saran, tanggapan, maupun kritiknya kami nantikan yaa, oke, langsung aja~

DON'T LIKE DON'T READ

Title : Rain

Bleach Fanfiction

Disclamer : Tite kubo

Warnings : Gaje, OOC, Typo, dll

Story : Bii Akari&Rufina Yumi ^^


NORMAL POV

"Ah, sudah mau hujan," pinta seorang pria berambut mencolok dengan pelan sebab memang hanya tertuju pada dirinya sendiri, sambil mempercepat langkah kakinya menuju sebuah pintu megah dengan gagang yang terlihat kokoh yang kini hanya berjarak beberapa langkah saja didepannya.

Napasnya memburu, namun dia tak berniat memperlambat laju larinya. Ada hasrat yang begitu besar yang terpendam dalam dirinya, membuatnya ingin menggapai gagang pintu itu secepat mungkin, gagang pintu yang tak pernah berubah sedikitpun sejak beberapa tahun yang lalu.

Terlebih lagi, hujan mulai mengeroyoknya, setetes demi setetes, semakin deras, memaksanya untuk berlari lebih cepat lagi, agar pakaian yang membalut tubuhnya tidak basah, terutama rambut jeruknya.

TOK TOK

"Ah, tuan muda," wanita yang berdiri di depan pintu itu menunduk, memberikan salam kepada sesosok lelaki acuh tak acuh yang berdiri santai sambil melepaskan beberapa tetes air yang melengket ditubuh atletisnya.

"Huh, bagaimana keadaan panti?" lelaki cuek itu bertanya kepada wanita tadi sambil melihat ke sekeliling, seperti dugaannya, keadaan disana sepi, mungkin penghuni panti ini sedang berkeliaran di luar sana.

"Keadaannya baik tuan, apa tuan ingin coklat hangat?" tawar wanita itu dengan sangat sopan, walaupun kelihatannya lelaki berambut jeruk dihadapannya tidak pantas diperlakukan semanis itu olehnya.

"Hn," gumam lelaki tak di untung itu, sekarang dia hanya berdiri di depan sebuah jendela, menerawang jauh ketempat lain, tanpa tahu sedikitpun tentang apa yang dikatakan wanita tadi sebenarnya.

"Kalau begitu, tunggu sebentar, tuan muda," ucap wanita tadi, masih dengan sopan santun dan senyum ramahnya, padahal si tuan muda sama sekali tak melirik sedikitpun kearahnya sejak tadi.

"Ichigo?"

Pria bertubuh tegap itu menoleh, dan dengan cepat melemparkan senyum andalannya pada wanita dihadapannya, "Hn, aku datang."

Wanita yang tampak lebih tua dibanding wanita sebelumnya itu juga tersenyum, sepasang bola matanya yang mulai rabun termakan usia memaksanya untuk menyipitkan lagi kelopak matanya, memandang Ichigo dengan wajah yang benar-benar serius, "Kau tidak berubah, Ichigo."

Dan obrolan pun dimulai, antara Ichigo dan wanita tua itu, suasana dingin ditemani secangkir coklat panas yang baru saja disuguhkan padanya membuat Ichigo segera hanyut dalam buaian kata yang terucap dari bibir wanita itu, mengenai dirinya, dan secuil kisah-kisah tentang masa kecilnya dulu, yang masih terekam baik didalam sel-sel otak wanita dihadapannya itu.

Dalam hati, Ichigo merasa tidak tenang, ada seberkas perasaan takut yang menyelimutinya ketika dirinya sudah menginjakkan kakinya di tempat ini. Sedikit takut, ragu, dan sedih, perasaan tidak enak yang membungkus hati Ichigo saat ini, apa lagi jika mengingat tentang kejadian itu, kejadian yang merenggut nyawa wanita yang dia sayangi.

Ibunda Ichigo, meninggal sembulan tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan mobil, Ichigo tak sanggup jika memori itu kembali terlintas dikepalanya, terasa benar-benar penuh, kepala jeruknya seakan bisa meledak kapan saja.

Dan jika saja bukan karena pesan ibunya yang selalu memintanya untuk memperhatikan panti yang telah lama dirintisnya itu, Ichigo tak akan ada disini, dan perasaan tidak enak itu juga tak akan mengusiknya saat ini.

Setahun yang lalu, tepat ditanggal sama, selama sembilan kali berturut-turut, Ichigo berkunjung ke tempat ini, entah itu untuk mengenang ibunya ataupun untuk sekedar menepati janjinya itu, Ichigo pun tak tahu. Ichigo merasa takut mengenang setiap sudut bangunan yang telah berdiri kokoh itu, rasanya baru kemarin dia datang, baru kemarin dia merasakan sensasi aneh itu, sensasi yang tidak bisa ia lupakan sampai sekarang.

Hati keras sang pangeran orange pun melebur, seiring dengan berkurangnya intensitas hujan diluar sana, ia terbang menuju masa lalu, masa lalu ketika dia masilah seorang bocah cengeng, dan selalu berfirasat aneh, tidurnya tak pernah nyenyak, karena ada satu hal yang selalu mengusiknya, dia bertanya-tanya dalam hati, sesuatu yang sedari dulu ingin dia ketahui kebenarannya.

Ichigo memaki dirinya sendiri dalam hati, benci, dia benar-benar benci pada dirinya sendiri, mengapa dia ditakdirkan menjadi begitu lemah? Begitu cengeng saat dulu? Mengapa dia tidak bisa tenang dan ikhlas menerima kepergian ibundanya? Mengapa?

"Dan kau tahu Ichigo, bagiku kau masihlah seorang bocah kecil yang manis," ungkap wanita tua itu, menyudahi cerita panjangnya yang isinya hampir selalu sama disetiap tahunnya, setidaknya begitulah pikir Ichigo.

"Itu berarti aku tidak berubah, kan?"

Sejenak, wanita itu terkejut oleh ucapan Ichigo tadi, namun dalam waktu singkat senyum tipis tercetak diwajahnya yang dipenuhi keriput-keriput halus, seolah memberikan tanggapan positif atas pertanyaan subjektif yang dilayangkan Ichigo.

Ichigo lega atas senyum hangat yang dilemparkan kepadanya, setidaknya hatinya sedikit lebih ringan dibanding sebelumnya. Ichigo cukup bahagia, bagaimana tidak, diantara puluhan orang yang mengenalnya, akhirnya ada juga orang yang mengatakan bahwa dia tidak berubah, meski sebenarnya, Ichigo pun tahu bahwa dirinya memang tidak sama seperti lagi sebelumnya, sebelum kejadian itu terjadi.


FLASHBACK

"Ichigo!" teriak seorang wanita bertubuh ramping, begitu menyadari bahwa putra kesayangannya ternyata sedang bermain dipojok taman itu.

Dipandanginya lagi tubuh sang bocah, yang masih terlihat betah bersembunyi disamping patung wanita yang melambangkan keberuntungan itu, setidaknya itulah yang dipikirkan oleh nyonya Kurosaki, ibunda Ichigo.

"Ichigo! Ayo kesini!" teriaknya lagi, saat menyadari bahwa panggilan pertamanya tadi sama sekali tidak digubris oleh sang bocah, jemari lentiknya bergerak kesana-kemari seakan mengisyaratkan pada bocah diujung sana agar segera melesat kearahnya.

Tak lama setelah itu, sang ibu pun bernapas lega, perhatiannya kini semakin memusat pada bocah kecil yang tengah berlari riang kearahnya, sambil memamerkan senyum lebarnya yang terkesan polos. Tepat ketika sampai didepan sang bunda, Ichigo mendekap tubuh ibunya dengan kedua tangannya, seerat yang dia bisa, masih dengan senyum polos andalannya.

Wanita itu pun tersenyum lembut, membalas pelukan anaknya, lalu membungkuk sedikit, berusaha mensejajarkan dirinya dengan Ichigo. Ditatapnya mata jernih itu lekat-lekat, seolah tak mengizinkan Ichigo untuk berpaling sejenak saja darinya.

"Apa yang kau lakukan disana? Ibu sudah memanggilmu sejak tadi," tatapan kekhawatiran itu membuat Ichigo mematung seketika, meski tak dipungkiri bahwa dirinya merasa senang karena dikhawatirkan oleh ibundanya itu.

Ada perasaan menggelitik disekitar perut Ichigo, membuatnya ingin mengeluarkan tawa cempreng andalannya, namun segera saja dia urungkan niat konyolnya itu, begitu menyadari bahwa kedua iris indah dihadapannya mulai berkaca-kaca, mempersiapkan cairan bening yang terasa begitu asin dilidah Ichigo, dia sudah pernah membuktikannya.

"Ibu?" tanya Ichigo dengan polos, keningnya mengerucut kecil, bingung dengan tingkah ibunya yang terkesan aneh.

"Jangan membuat ibu khawatir lagi, Ichigo," didekapnya dengan erat seluruh tubuh Ichigo, benar-benar erat hingga Ichigo merasa napasnya mulai tercekat.

Dan anehnya, bocah mungil itu tak ingin melepaskan pelukan ibunya, sesesak apapun napasnya, dia tidak ingin. Ada rasa nyaman yang menyelimutinya, terutama hati kecilnya, meski otaknya terus meronta-ronta untuk melepaskan pelukan hangat itu, hati kecilnya terus menolak mentah-mentah permintaan itu, sungguh hal yang aneh.

Cukup lama mereka saling berpelukan, dan kedua ibu dan anak itu tampak sangat menikmatinya, hingga sang ibu pun tersadar, dan dengan perlahan melepaskan tubuh anak laki-lakinya itu.

"Ah, maaf Ichigo," ucap wanita itu dengan gugup, tersadar bahwa dirinya telah menyiksa anak kadungnya sendiri hingga terbatuk-batuk menahan napas.

Senyum malaikatnya kembali mengembang, membuat Ichigo tak tega merengek dan melunturkan senyum yang sangat menentramkan hatinya itu.

"Ibu, aku tidak ingin pulang," pinta Ichigo dengan polos dan spontan, tanpa direncanakan oleh otak kecilnya sama sekali, sepatah kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya, tanpa alasan apapun.

Sang ibunda terdiam, masih sambil menatap kedua iris dihadapannya dalam-dalam, ada perasaan sedih yang melingkupinya begitu anak semata wayangnya itu meminta untuk tidak pulang, rasanya begitu ganjil, aneh, dan membingungkan. Ditatapnya lagi mata sang bocah, dan sorotan mata penuh kasih sayang tadi berubah menjadi tatapan iba, ia benar-benar tidak tahu apa yang merasukinya hingga menjadi melankolis begini.

Mereka berdua termangu, bingung dengan perasaan aneh yang menggerogoti bagian dalam tubuh mereka, dan perlahan, senyum lembut kembali terpancar dari wajah cantik wanita berumur 31 tahun itu.

"Ichigo," ucapnya lembut, sambil menepuk pelan puncak kepala Ichigo, "Tak ada yang perlu ditakutkan sayang," mendengar tuturan ibundanya, cengiran khas bocah itu tak bisa tertahankan lagi, "Ayo pulang, Ichigo."

"Hn," anggukan kecil itu membuat rambut oranye milik si bocah bergoyang-goyang sedikit, lalu dengan semangat, Ichigo menggandeng tangan ibunya, menggenggamnya dengan erat dan mulai berjalan bersama, meninggalkan taman belakang itu dengan langkah riang.

Tak lama setelah itu, kesadaran anak perempuan yang sejak tadi bersembunyi dibalik patung sang dewi pembawa keberuntungan pun kembali pulih, detakan jantungnya yang semula abnormal kembali melambat seperti biasanya, digenggamnya syal ungu yang mendekam disekeliling lehernya erat-erat, seakan syal itu akan tertiup dibawa angin jika saja dia tak bisa menjaganya dengan baik. Kepala mungilnya tiba-tiba terangkat, terlihat jelas bekas-bekas air mata yang menghiasi wajah lugunya, sepasang manik violet miliknya meneliti sekitar dengan cekatan, mencari sosok anak yang bernama Ichigo tadi. Sepintas dia melihat sesuatu diujung sana, sayang sekali, matanya masih kabur akibat tangisannya tadi, dan setelah merasa cukup dengan kegiatan gosok-gosok matanya, ia kembali menatap ujung koridor itu, dan hanya ada satu warna yang bisa ditangkap retinanya disudut dinding, jingga.

"Ichigo," gumamnya pelan, bahkan dirinya sendiri pun tak dapat mendengar suaranya degan jelas, perlahan, senyum tipis pun menghiasi wajah ovalnya, senyum pertamanya sejak kepergian kakaknya.

Sepanjang jalan, Ichigo terus berceloteh riang kepada ibunya, mulutnya bergoyang-goyang tanpa henti, dia sendiri sebenarnya tidak terlalu mengerti tentang apa yang dia ceritakan pada ibundanya itu, padahal sang ibu selalu merespon segala ucapan Ichigo dengan baik, masih dengan senyum lembutnya yang menghangatkan.

Tapi tiba-tiba, mobil yang dikendarai oleh sang sopir bergerak-gerak tidak karuan, roda-rodanya berputar tak tentu arah, akibat tertusuk benda tajam ditengah jalan tadi, kedua penumpang dikursi belakang itu mendadak saling berpandangan, si bocah memancarkan ekspresi ketakutan sementara sang ibu menunjukkan raut wajah kekhawatirannya, ia takut terjadi sesuatu pada anak kesayangannya itu.

Didekapnya dengan erat tubuh mungil Ichigo, kedua tangannya membungkus bagian belakang kepala sang bocah, menutupi rambut oranye-nya rapat-rapat.

Tangis Ichigo meledak-ledak, seiring dengan semakin liarnya laju mobil mereka, sementara sang ibu, ia terus-terusan bedoa dalam hati demi keselamatan Ichigo, dia rela nyawanya dijadikan tumbal selama Ichigo masih bisa hidup, ia sungguh rela.

"I-ibu!" isak Ichigo, dipandanginya tubuh kaku yang terbaring dibawahnya itu, tubuh yang sesaat tadi menjadi tameng dari segala macam bahaya yang tadi nyaris merenggut nyawa Ichigo, digoncang-goncangkannya tubuh tak berdaya itu, masih sambil menangis tersedu-sedu.

Darah segar bercucuran dari sekujur tubuh wanita itu, nyaris tak menyisakan satu celah pun. Telapak tangannya sudah mendingin, meski hatinya menghangat dan lega anak yang sejak tadi didekapnya tak terluka sedikitpun, "I-chi-go-o-"

"Ibu!" teriak sang bocah, air matanya mengalir begitu deras, dengan tangan yang bergetar hebat, direngkuhnya wajah sang ibu, yang bermandikan cairan merah yang kental.

Pipi yang mulus itu kini sudah tak sehangat dulu lagi, goresan luka ada dimana-mana, membuat jemari mungil Ichigo mau tak mau harus berisinggungan dengan noda merah itu.

Dengan susah payah, wanita itu kembali membuka matanya, sekujur tubuhnya sudah terasa nyeri dan mati rasa, terserah, ia sudah tak peduli lagi dengan nasibnya, yang terpenting saat ini adalah nyawa bocah itu, "Ja-ngan-n-me-nan-ngis,"

Seketika, Ichigo berhenti merengek, ditahannya air mata itu agar tidak meluncur dengan bebas lagi seperti sebelumnya, namun sungguh, sekuat apapun dia menahannya, air mata itu tetap mengalir juga, "Ka-u-sa-ng-a-at-be-r-ha-rg-a-a-" dengan napas yang terpenggal-penggal, dan berkali-kali muntah darah, sang nyonya Kurosaki pun menutup mata, setelah menyunggingkan senyum terakhirnya untuk orang yang paling dikasihinya itu, Ichigo kecil memandang sendu wajah ibunya yang mulai kehilangan kesadarannya, bukan, mungkin saja ibunya sudah kehilangan nyawanya.

Dalam hitungan detik, tangisnya kembali pecah, Ichigo sudah tak perduli lagi dengan larangan ibunya sebelumnya, dia sudah tak ambil pusing. Rasa sakit didadanya menerjangnya untuk berbuat sedemikian nekatnya, mengguncang-guncang tubuh yang tergeletak tak berdaya itu, dipinggir jalan yang dipenuhi ilalang liar.

FLASHBACK END


"Apa kau memikirkan kejadian itu lagi?" tanya wanita tua yang sedari tadi sibuk mengamati Ichigo dalam diam, tak berniat mengintrupsi khayalan pria yang sudah dia anggap sebagai anak kandungnya sendiri itu, tapi begitu melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan Ichigo, ia tidak punya pilihan lain lagi.

Ichigo terkesigap, dipandanginya sepasang mata sayu itu dengan bingung tanpa berniat menjawab tuduhan wanita tua tadi, "Ichigo, kau sudah berumur 22 tahun, kau bukan anak kecil lagi," sambung wanita tadi, nada suaranya terdengar bijak dan lembut.

Ichigo masih tak merespon, entah apa yang membuat pria itu enggan menanggapi omongan dari wanita yang jauh lebih tua darinya itu, "Berhenti memikirkan masa lalu, masa depanmu nanti bisa cemburu."

Tanpa sadar, sudur-sudur bibir Ichigo tertarik keatas dengan sendirinya, wanita dihadapannya sungguh berhasil membuatnya luluh, "Aku, terlalu takut masa laluku akan menghantuiku jika aku berhenti memikirkannya."

Sejenak, tak ada respon yang berarti dari tatapan wanita tua itu, tak ada yang dapat Ichigo baca dari raut wajahnya, "Tidak memikirkan bukan berarti kau benar-benar melupakannya."

Mulut Ichigo masih terkunci rapat, kali ini tak ada sanggahan yang bisa dilontarkannya, ia sadar bahwa perkataan wanita tua itu benar, "Kau tidak salah, Ichigo, keadaanlah yang sedang tak berpihak padamu," ujar wanita tua itu, disertai dengan senyum simpul yang membingkai wajahnya. "Awalnya aku pikir, perlahan kau akan sadar Ichigo, tapi ternyata aku salah," wanita itu terhenti sejenak, kali ini senyum lebarlah yang kembali menghiasi wajahnya, "Kau harus mencari seorang gadis, Ichigo."

'Seorang gadis?' pikir Ichigo, kerutan khas dikeningnya kembali tampak, dan perlahan, pikirannya mulai menjelajah, terbang menuju gadis cantik bermarga Kuchiki itu.


FLASHBACK

Musim Hujan. Apa yang spesial dengan itu? Jika kau bertanya pada gadis berambut gelap diujung sana, kau akan menyesal karena telah bertanya hal se-simple itu padanya, karena dia dengan senang hati akan menjelaskan padamu definisi hujan dan segala hal menyenangkan yang terkait dengan hujan kesayangannya itu.

Sepanjang jalan, para pejalan kaki telah mempersiapkan penghalang hujan bergagang besi itu di tasnya, untuk berjaga-jaga jika hujan tiba-tiba menyerbu mereka dengan ganas.

Seolah membenarkan ramalan cuaca tadi pagi, hujan mulai berjatuhan, berdenting pelan diatas genting-genting kokoh dipuncak bangunan-bangunan tinggi itu, perlahan, nada gemericik hujan itu semakin cepat, keras, seolah telah memasuki reff-nya yang sebenarnya.

Dengan cekatan, beberapa orang disekitar sana sudah mengeluarkan payung mereka, mencegah hujan membasahi pakaian mereka seluruhnya, lalu kembali melangkahkan kaki, ketempat yang semula mereka tuju.

Namun, wanita dengan iris violet diujung jalan itu tidak mempersiapkan benda semacam itu, bahkan niat untuk memiliki benda setengah lingkaran itu pun tak dia miliki, dia menyukai hujan, amat menyukainya. Dia rela berbasah-basah ria di bawah naungan langit pekat yang sedang membagi karunianya di atas bumi ini, walaupun resikonya harus dia tanggung sendiri.

Dia tetap berjalan santai, tanpa memperdulikan beberapa pasang mata yang mengamatinya dengan heran, bagaimana mungkin ada seorang gadis manis yang melangkah riang dibawah hujan, tanpa takut make up atau dress santai yang dikenakannya basah?

Meskipun sadar bahwa dia telah melakukan hal yang cukup mencolok, gadis itu tetap berjalan santai menuju halte bus, sambil menundukkan kepalanya. Jangan salah, dia menundukkan kepalanya bukan karena sadih, tapi karena dia suka melihat alas sepatunya yang menapaki genangan air yang dia lalui, salah satu dari kebiasaan anehnya yang lain.

Sebenarnya, dia gadis yang tak banyak bicara, bahkan tak jarang juga dia mengacuhkan sekitarnya, dia hidup di dunianya sendiri. Dia pun tak perduli kalau teman sekampusnya mengatai dirinya gila atau semacamnya. Hidupnya adalah miliknya.

BRUK

"Ah, gomen, gomen, aku tidak sengaja," wanita beriris ungu itu hanya berbalik dan tersenyum, menanggapi permintaan maaf yang menyerbunya, sebab itu hanya hal yang biasa saja menurutnya.

Tanpa dia sadari wanita cantik berambut jingga itu memperhatikannya, dia simpati dan penasaran pada sosok mungil yang tanpa sengaja sempat ditubruknya tadi.

'Apakah dia adalah anak pindahan itu?' batinnya berenggut.

"Inoue, terima kasih atas tumpangan payungnya," ujar sesosok gadis berambut pendek sambil langsung naik ke bus yang berhenti tepat dihadapannya, membuyarkan lamunan gadis bernama Inoue tadi.

"Hn, sama-sama," jawab Inoue halus, sambil tersenyum manis kepada teman kuliahnya itu, dan dengan sekali hentak, ditutupnya payung merah yang sempat berjasa melindunginya tadi, lalu ikut naik kedalam bus bersama dengan penumpang lainnya.

Ternyata, mereka menaiki bus yang sama, sepanjang perjalan yang di temani dengan rintikan hujan itu, Inoue tak henti-hentinya memperhatikan sosok yang berdiri tak jauh darinya itu dengan lekat-lekat, ia terpaksa harus berdiri karena keadaannya yang basah kuyup bisa mengganggu penumpang yang akan naik jika ia membasahi salah satu kursi di bus tersebut.

Batin Inoue terus berenggut penuh tanya, 'Apakah benar... Ah tidak mungkin...'

Dia tidak tahu apa yang membuatnya bertanya-tanya tentang gadis itu, dia hanya ingin mengenalnya lebih dekat, tanpa alasan yang pasti.

Akhirnya, bus berwarna kuning itu pun berhenti, merasa telah sampai ditempat tujuan, Inoue bangkit dari duduknya, setelah berpamitan dengan sopan pada temannya tadi.

Sepintas, Inoue menyaksikan sendiri, gadis berambut gelap tadi juga ikut turun bersama dengan rombongannya, itu berarti dugaan Inoue tidak salah. Sebuah senyum tipis pun mulai menghiasi wajah riang Inoue.

Hujan masih menemani perjalanan mereka ke rumah, Inoue mencoba mengejar langkah kaki gadis mungil yang ia ketahui bermarga Kuchiki itu, yang juga merupakan anak baru di sekolahnya, "Mm, hai~" Inoue mulai menyapa dengan senyuman khasnya yang mengembang, menunjukkan dia adalah seorang yang suka bersahabat.

Dengan senang hati Inoue meletakkan benda berbentuk setengah lingkaran itu di atas kepala si Kuchiki yang telah basah kuyup.

"Mm, aku tidak suka dengan benda itu," Kuchiki mencoba menjelaskan kepada sesosok gadis cantik yang tiba-tiba muncul dihadapannya tersebut dengan nada pelan, berharap tak menimbulkan ketersinggungan apapun.

"Eh? Tapi inikan hujan? Sudah seharusnya kau memakai payung, bukan?" sanggah Inoue, dengan ekspresi terheran-heran akibat mendengar penolakan atas niat baiknya tadi, gadis itu sempat terentak sesaat.

Tak sabar menunggu tanggapan dari sang lawan bicara, Inoue melanjutkan kalimatnya, "Kau tidak usah malu padaku, kita kan searah dan sekolah kita sama," jelasnya kemudian dengan senyumannya yang semakin mengembang.

"Tidak usah, terima kasih, kau boleh berjalan bersamaku tapi tolong jangan berbagi benda itu padaku," ujar si Kuchiki, masih dengan nada lembutnya, sambil melangkah ke samping sedikit, demi membuktikan ketegasan kata-katanya tadi.

Inoue bingung, tapi dia tetap memilih berjalan dengan sang Kuchiki sambil memakai payung walau sebenarnya dia tak tega melihat teman yang baru dia kenalnya itu basah kuyup. Tak lama, mereka pun berpisah disebuah perempatan di kota Karakura itu, mereka berpisah layaknya seorang sahabat lama, dan berjalan pulang ke rumah masing-masing.

Tanpa disangka-sangka, pertemuan yang singkat dan sangat biasa itu membuat takdir mereka terhubung. Semakin hari mereka semakin dekat, saling berbagi, dan mengetahui sisi satu sama lain. Inoue mulai mengerti sikap dan kebiasaan aneh yang sering Kuchiki itu kerjakan. Begitupun dengan si Kuchiki, dia sungguh mengerti kebiasaan Inoue.

Dan sekarang Inoue sudah sadar, bahwa Kuchiki ternyata tak sesuram kala pertama kali ia melihatnya.


BRUSSS

Sebuah mobil berlalu dengan kecepatan tinggi didepan gadis mungil bernama Rukia Kuchiki, membuat efek cipratan air kotor disekitar roknya dan tanpa sengaja menampakkan sosok yang tak asing baginya, yang berada di dalam mobil mewah itu.

"Astaga Kuchiki!" teriak Inoue histeris, sambi berlari dari arah belakang, awalnya dia ingin memberikan kejutan kecil pada sahabat barunya itu begitu mendapati sosoknya berjalan sendirian kerumah, namun karena melihat kejadian mengejutkan tadi, spontan dia menghampiri Rukia dengan cemas.

"Siapa yang melakukan ini padamu, Kuchiki?" lanjutnya dengan nada tak kalah hebohnya, sambil memandangi rok bawah Rukia yang separuhnya sudah berubah warna.

"Inoue, sudah berapa kali ku bilang," Rukia berkacak pinggang, memandang Inoue tajam seolah gadis itu telah mencuri permen kesukaannya, "Jangan berlebihan, dan jangan panggil aku Kuchiki! Panggil aku Rukia, Inoue, paham?" Rukia menyelesaikan kata-katanya dan kembali sibuk bergelut dengan bajunya, sedikit tepukan disana-sini dan semuanya beres, meski tak terlihat bersih lagi. Tapi baginya, ini hal yang sudah biasa.

Tak mendapat respon dari Inoue, terpaksa Rukia pun kembali membuka mulut, "Seorang pengendara tidak bertanggung jawab yang melakukan ini, sudahlah," jelasnya singkat, sebenarnya Rukia takut membuat Inoue mengira dia memarahinya, sebab Inoue adalah sosok yang sangat sensitif sehingga terkadang dia terlalu berlebihan, berbeda dengan Rukia yang telah terbiasa dengan segala hal.

"Sudahlah, aku tak apa, ayo kita pulang, Inoue!" gadis mungil itu menarik tangan Inoue, yang masih terlihat sibuk memikirkan nasib baju Rukia.


KRIIIIIIIIIIIIIIIIIINGG

Alarm yang telah bertugas sejak beberapa menit yang lalu itu masih tak dihiraukan oleh pemiliknya, meski begitu sang alarm tetap berdering penuh khidmat dengan sabar, berusaha untuk membangunkan gadis mungil yang masih tertidur dengan pulas itu, di tengah-tengah tumpukan tugasnya yang dengan setia menunggu untuk diselesaikan.

Si pemilik alarm itu masih tidak bergeming, apalagi tersadar dari tidur nyenyaknya, ponsel yang berdering disamping ranjangnya bagaikan malaikat yang baru saja diturunkan Tuhan dengan tugas penting, membantu si alarm untuk membangunkan sang gadis.

Setengah jam telah berlalu, baik alarm maupun ponsel si empunya sepertinya telah lelah untuk membangunkan gadis mungil itu yang masih setia memeluk bantal guling kesayangannya. Perlahan, tirai pun terbuka, dan suara bariton seorang pria yang menjadi kakak angkat sang gadis mulai terdengar, "Rukia, kau terlambat," kalimat lembut namun terkesan tegas yang baru saja di ucapkan sang kakak ternyata membangunkan Rukia dari tidurnya.

Gadis mungil itu bangun dengan perlahan, megucek matanya sejenak, dan segera tersadar bahwa dia ada ujian pagi ini. Karena terlalu panik, Rukia jadi bingung ingin berbuat apa, wajahnya pucat, kepanikan di otaknya telah membuatnya tak dapat beranjak dari ranjang queen size-nya.

"Segeralah mandi, atur kamarmu, dan berangkat," perintah sang kakak, yang diketahui bernama Byakuya Kuchiki, suara berat yang khas itu kembali bergema di kepala Rukia dan mendadak membuat otaknya kembali bekerja, sesaat kemudian, si pemilik suara itupun pergi berlalu dari kamar Rukia.

"Aku pergi!" dengan roti yang diselipkan disela bibirnya, Rukia pamit pergi meninggalkan rumah yang mewah itu disusul dengan langkah tegas kakaknya yang juga tengah berlalu meninggalkan rumah, sesaat setelah kepergian Rukia.


BRUUUUUSS

Cepratan air lagi.

Rukia menoleh spontan kearah mobil yang tengah melesat dengan kencang itu, tidak salah lagi, orang yang sama dan tidak asing. Membuat Rukia ingin mencari tahu, siapa orang itu sebenarnya.

Tapi dia tidak bisa memikirkan hal itu sekarang, ada hal yang lebih penting lagi yang menantinya. Dia pun menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Lalu kembali berlari mengejar bus langganannya yang dia perkirakan akan tiba di halte sekitar 5 menit lagi, waktu yang cukup lama untuk bisa mengejar, kelakar batin Rukia.

Masih sambil berlari, tanpa sengaja Rukia menangkap bayangan mobil yang tadi sempat membuatnya kesal, mobil itu kini memperlambat laju jalannya, dan seperti disengaja oleh sang pengemudi, mobil itu hendak melewati Rukia yang telah mendahuluinya sesaat yang lalu, ingin mengulang kejadian yang tidak enak tadi.

Terlambat, Rukia sudah tahu niat busuk itu, dan dengan cekatan, gadis mungil itu melompat masuk kedalam bus yang pintunya baru saja terbuka tadi, dia sungguh merasa bangga dengan aksi heroic-nya yang berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dari pengemudi yang menggila.


TING TONG TING TONG

"Huh, akhirnya selesai juga, hari terakhir ujian memang paling melegakan," ujar Rukia kepada sahabat berambut jingganya yang ikut mengangguk setuju.

"Ah, Kuchi, err, maksudku Rukia, maaf aku tidak bisa pulang bersamamu hari ini, aku ada urusan sedikit diluar," jelas Inoue dengan cepat, memburu waktu untuk urusan kecil yang menantinya.

"Oh, tak apa, Inoue. Aku bisa pulang sendiri kok," jawab Rukia, sambil menyunggingkan senyum kecil andalannya yang mampu membuat gadis disampingnya itu tersenyum senang.

"Baiklah, Rukia aku pergi duluya~" pamit gadis itu dengan riang, lalu dengan segera dia berlari kecil meninggalkan Rukia yang masih sibuk membereskan barang-barangnya yang tadi sengaja dia hamburkan diatas meja.

Setelah usai dengan beres-beresnya, Rukia pun melangkah keluar ruangan, nyaris saja tubuhnya berbenturan dengan Inoue yang tiba-tiba kembali lagi ke kelas itu, "Rukia, diluar hujan, kau yakin tidak ingin meminjam payungku?"

Rukia tak bergeming, namun sorotan matanya yang semakin menajam seolah telah menjawab pertanyaan gadis dihadapannya, "A-ah, baiklah, kalau begitu sampai jumpa, Rukia~" pamit Inoue lagi, dan seperti sebelumnya, gadis itu kembali berlari-lari kecil hingga menghilang dari pandangan Rukia.

Rukia menggeleng-geleng pelan, bingung dengan aksi sahabatnya yang rela berlarian kembali hanya untuk menawarkan sesuatu yang sudah pasti ditolak mentah-mentah olehnya, Inoue memang benar-benar gadis yang polos.

Rukia terus berjalan santai, beban yang beberapa hari ini mengusiknya sekarang telah menghilang total, setidaknya dia bisa bernapas lega untuk beberapa saat, karena semester ketiganya akan segera berakhir.

Dan seperti kata Inoue, diluar memang sedang hujan.

Rukia menengadahkan kepalanya, melihat betapa kelamnya langit hari ini, lalu bibir mungilnya pun menyinggungkan sebuah senyum, tulus dan penuh penghayatan, entah apa yang membuat gadis itu begitu menyukai saat-saat seperti ini.

Dan tanpa ragu sedikitpun, Rukia menerobos tirai hujan itu seorang diri, meski ada beberapa orang yang menatapnya tak percaya, tapi bagi Rukia, bermain-main hujan seperti ini sudah menjadi kebiasaannya.

Setelah jauh meninggalkan universitas tempatnya belajar, Rukia melangkah riang dipinggir trotoar jalan, semakin lama, genangan air disekitar kakinya semakin banyak, membuat hati kecil Rukia bersorak kegirangan.

Kedua telapak kakinya asyik bermain dengan genangan air itu, awalnya dia berjalan pelan, masih sambil mengamati genangan air yang dilewatinya, dan lama kelamaan langkahnya semakin cepat, bahkan terkadang dia melompat riang, membuat genangan air itu memberontak keras atas aksi kekanakannya, namun Rukia tak juga bosan, dia tetap melanjutkan kegiatan yang sangat disukainya itu.

BRUUUUSSSS

Rukia memandang pasrah rok selutut yang dikenakannya, lalu dengan malas, Rukia mengamati sang pelaku yang dengan tega-teganya melukai harga dirinya didepan umum itu.

Seperti dugaannya, mobil itu lagi. Tanpa memikirkannya lebih jauh lagi, Rukia kembali menunduk, memandang sepasang flat shoes-nya dan berjalan riang seperti biasa, toh bajunya juga sudah basah sejak tadi, sedikit noda tidak akan memperburuk penampilannya dibanding sebelumnya.

Semakin lama, langkah Rukia semakin cepat, dia benar-benar menikmati bermain dengan genangan air itu, napasnya ikut menderu-deru seiring dengan dengkuran guntur yang sejak tadi bergemuruh. Tanpa sadar, Rukia kini tengah berlari, dia bukan lagi berjalan cepat seperti tadi, tapi sudah berlari, berlari secepat yang ia bisa, kesenangannya terhadap hujan itu kini sudah semakin menjadi-jadi.

Namun anehnya, mobil yang tadi meninggalkan noda di pakaiannya itu terlihat menepikan dirinya di pinggir jalan, mungkin dia ingin meminta maaf, tapi Rukia tidak ingin berharap lebih jauh. Dia terus saja berlari, dan di ujung jalan sana terlihatlah seorang pria berambut jeruk yang tengah berjalan keluar dari mobil sedannya yang mewah itu, dia kemudian melangkah mendekati Rukia yang masih berlari ke arahnya. Rukia yang sejak tadi melihat gerak-gerik pria yang terlihat familiar itu mulai merasa was-was, langkah kakinya perlahan-lahan mulai terhenti.

Setelah sampai, Rukia menatap sosok yang ada di hadapannya itu dengan pandangan kosong, terperangah dengan apa yang dia lihat.

'Diakah?' bisik hati kecil Rukia yang tiba-tiba serasa tertekan oleh kecemasan, kekhawatiran, dan keingintahuan yang sangat besar. Dan dia sadar, itu sangat mengganggunya.

Rukia masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat, benarkah itu adalah sosok yang pernah mengisi beberapa menit kekosongan hatinya? Benarkah sosok yang selama ini dicarinya itu sedang berdiri di hadapannya sekarang? Tapi anehnya, dia merasakan sesuatu yang berbeda.

Masih dengan posisi saling berhadap-hadapan. Pria berambut jeruk itu menyerahkan sebuah payung berwarna violet. Tapi mengapa? Apa karena Rukia tidak mempunyai payung? Apa orang ini kasihan padanya?

Segenggam kehangatan menjalar ke seluruh tubuh sang Kuchiki, kehangatan yang sama seperti yang 9 tahun lalu dirasakannya. Sejenak, Rukia sempat hanyut dalam lamunannya, terbuai dalam ilusi didalam dirinya, yang begitu tampak nyata.

'Bolehkah aku berharap lebih dari ini, Tuhan?' batin Rukia.

Dipandanginya lagi sosok pria yang begitu ingin ditemuinya itu dengan lekat-lekat, mencari segala kesamaan yang ada dengan bocah yang sembilan tahun lalu menghiburnya, "Orang ini mengenalku?" desisnya pelan, sungguh pelan hingga sepasang telinga milik pria dihadapannya tak dapat menangkap apapun.

Rasa penasaran yang membuncah membuat Rukia memberanikan diri untuk memecah keheningan itu, "Ichigo?" tanyanya ragu, dengan nada pelan yang menyimpan seribu tanda tanya besar.

"Ikut aku," bukan sebuah pengakuan maupun penyangkalan, hanya sebuah kalimat perintah yang terkesan memaksa, membuat Rukia harus mau ditarik masuk kedalam mobil hitam itu.

Tubuh Rukia serasa membeku, seperti layaknya suhu udara yang mengganas disekitarnya, penghangat dimobil pun tak cukup untuk membuat tubuh Rukia dapat melakukan sesuatu, semakin lama kakinya juga terasa semakin lemas, ia bahkan tak dapat mengeluarkan sepatah kata apapun dari mulutnya, setelah beberapa menit berada di atas mobil sang pangeran berkepala jeruk itu.

"Pakai ini," ucap pria berambut jingga itu, sambil melemparkan sebuah jaket kulit yang sebelumnya sempat dia kenakan.

Tanpa pikir panjang, Rukia langsung saja mengenakannya, bagaimana pun efek dari permainan hujan Rukia tadi sudah mulai tampak, seharusnya dia sekarang sudah duduk manis didalam kamarnya, dengan pemanas yang dinyalakan dan secangkir coklat panas, obat yang selalu ampuh mencegah Rukia mendapat demam.

Bibir Rukia sekarang sudah terasa kaku hanya untuk mengucapkan sepatah kata 'terimakasih' jadi ucapan itu ditunda untuk sementara waktu dulu.

Rintik hujan mulai menetes di balik kaca jendela mobil yang membawa mereka sejak tadi, itu membuktikan bahwa hujan yang menggila tadi telah mulai reda, dan otomatis mulai mengurangi angin dingin yang sejak tadi menguar bebas diudara.

Sedangkan sang Kuchiki hanya terpaku, dia mencoba mengeluarkan sepatah kata pada pria yang tengah duduk di sampingnya itu sekarang. Sayangnya, pria itu hanya fokus pada jalanan dihadapannya saja yang seolah memberi petunjuk kemana mereka akan pergi saat ini. Karena sungkan, Rukia pun tetap bungkam, memendam pertanyaan yang sejak tadi menghantuinya untuk beberapa saat lagi.

Sebenarnya, si rambut orange itu tidak tahan lagi menahan rasa penasaran yang muncul pada dirinya, sejak dia melihat gadis aneh di sampingnya berjalan di bawah hujan beberapa bulan yang lalu.

Entah mengapa, dia merasa, mengenalnya?

Mobil pun terhenti, tepat disamping restoran yang cukup ramai, cukup penuh oleh kebisingan pengunjung. Tempat makan yang di dekorasi sedemikian rupa sehingga pengunjung tertarik dan betah selama berjam-jam di dalamnya. Arsitektur yang sederhana, vintage konsep yang membalut bangunan yang berada di pojok jalan itu membuat suasana begitu nyaman, bagaikan berada di ruang tengah rumah sendiri, hangat.

"Ayo turun," ucap si pria asing itu dengan dingin, Rukia menuruti perkataan sang pria berambut orange, warna yang sangat tidak asing bagi Rukia.

Mereka mengambil tempat tepat di pojok dekat jendela, si pria memesan makanan dengan acuh, seolah ini adalah tempat miliknya sendiri, sedangkan si gadis masih terus berfikir keras atas kebenaran yang dia cari, dia berfikir, siapa lagi yang akan mempunyai rambut seperti pria di hadapannya sekarang? Ini pertama kalinya dia bertemu dengan pria yang punya warna rambut jingga seperti itu, membuatnya semakin yakin bahwa dia memanglah pria yang sejak dulu dicarinya.

"Kau siapa?" pertanyaan yang keluar dari mulut pria itu bagaikan tamparan keras di wajah Rukia.

"Jadi, sejak tadi kau membawaku kemari, kau bahkan tidak mengetahui siapa aku?" pekik Rukia, mencoba menahan gejolak amarah yang membuat lehernya serasa tercekat.

Mana mungkin orang di hadapannya melupakan kejadian yang tak bisa lenyap dari pikiran Rukia? Atau mungkin pria di hadapannya ini hanya bercanda? Ataukah kejadian itu memang bukan apa-apa baginya? Tidak berharga?

"Apa itu penting untukku?"

Dada Rukia semakin sesak, susah payah dia menenangkan dirinya yang sejak tadi ingin memberontak, memaki-maki pria kejam dihadapannya yang telah memberinya harapan palsu selama bertahun-tahun.

Mendapat tatapan tajam dari Rukia membuat pria itu kembali buka mulut, "Aku hanya ingin tahu kau ini siapa? Mengapa sejak pertama kali aku melihatmu saat sedang berjalan di bawah rintikan hujan tanpa payung, kau selalu mengusik pikiranku?" tanyanya tegas, dengan nada yang terkesan kesal, sambil menatap keluar jendela dan menikmati pemandangan jalanan yang mulai tertimpa cahaya mentari itu, setelah rintik hujan menggenangi beberapa sudut dijalanan.

Rukia serasa ingin berteriak kencang, gadis itu benar-benar sesak dengan perlakuan pria dihadapannya, rasanya dia benar-benar ingin mencekik pria itu saat ini juga, dan membalas segala perasaan tidak enak yang sejak tadi ditimbulkan oleh perkataan sang pria.

Tapi tidak, Rukia harus tenang jika ingin menyelesaikan ini dengan baik-baik, dia tidak boleh termakan emosi sesaat, ditariknya napasnya dalam-dalam, mencoba mencuri oksigen sebanyak mungkin untuk persediaan selanjutnya, "Tunggu, namamu Ichigo?" tanya Rukia dengan nada selembut mungkin, menahan debaran jantungnya yang melonjak menunggu jawaban.

"Hn. Ichigo Kurosaki."

DEG

Tingkah sombong itu, wajah cuek itu, senyum mengejek itu, sungguh bukan itu yang diharapkan Rukia kecil saat bermimpi bertemu kembali dengan Ichigo. Rukia ingin pelukan hangatnya, senyum polosnya, dan kata-kata manisnya, bukan sosok angkuh dihadapannya.

Tapi oke, kalau Ichigo memang seperti itu, seharusnya Rukia tidak punya hak apapun untuk protes, toh dia bukan siapa-siapanya Ichigo. Akhirnya, gadis itu pun tersenyum manis, seolah tak kecewa pada apa yang didapatinya untuk penantian panjangnya selama ini, "Namaku Rukia Kuchiki, kau ingat?"

Sejenak, pria itu tertegun, mungkin karena senyum Rukia yang baru pertama kali ini dilihatnya, atau mungkin juga karena nama Rukia yang terdengar asing ditelinganya, "Tidak."

Sepatah kata yang didengar Rukia membuat sepasang iris violetnya redup, dia benar-benar kecewa, merasa bodoh karena mengira bahwa orang di hadapannya itu akan mengenalnya setelah sekian tahun berlalu. Meski dia tidak menyangka bahwa kejadian saat itu hanya sesuatu yang tak berarti bagi pria bermarga Kurosaki itu.

Tunggu, ini bukan salah Ichigo, dia memang tidak tahu nama Rukia saat itu, bukan? Oke, belum saatnya untuk kecewa, Rukia.

Setelah pelayan yang membawa pesanan tadi sukses mengintrupsi percakapan singkat mereka berlalu pergi, Rukia mencoba menjelaskan pada Ichigo, berharap setitik celah cahaya bisa muncul di kepala lelaki berambut nyentrik itu.

"Begini, Ichigo Kurosaki," ujar Rukia, dia menarik napas panjang-panjang untuk mempersiapkan kalimat selanjutnya, yang pasti akan sangat panjang.

"Kita pernah bertemu, 9 tahun yang lalu. Kau tidak ingat?" tanya Rukia lagi, awalnya dia ingin langsung saja menceritakan kisah pertemuan singkatnya itu pada Ichigo, tapi hatinya terus menolak, merasa bahwa kejadian yang begitu berharga baginya itu tidak mungkin terlupakan oleh pria itu begitu saja.

Tak ada tanggapan, Ichigo masih setia dengan wajah sangarnya yang tak bersahabat, menyiratkan respon negatif atas pertanyaan Rukia tadi.

Menyerah dengan tingkah Ichigo, akhirnya Rukia pun kembali menarik napas panjang, "Ketika itu aku sedang bersembunyi di balik patung dewi fortuna, aku berada disitu sepanjang hari hanya untuk berdoa, mungkin saja jika aku berdoa disekitarnya, Tuhan akan mengembalikan kakakku, satu-satunya orang ku kenal di dunia ini. Aku terus memohon sepanjang hari disana, meski aku tahu, tak akan ada yang bisa berubah, tapi setidaknya aku ingin melakukannya, demi kepuasanku sendiri. Dan memang, aku tidak ingin masuk ke bangunan tua yang ku benci itu, aku merasa tidak nyaman disana. Oke, kuakui, saat itu aku memang belum bisa menerima semuanya dan memulai hidup baru dengan tinggal bersama sekumpulan anak-anak yang bernasib sama denganku, yang akhirnya juga berakhir ditempat itu. Menjijikkan, itu yang ku rasa saat itu. Tapi tiba-tiba, kau menemukanku berjongkok dipojok taman, dan karena kelakuan konyolmu, aku tanpa sadar memelukmu, dan entah apa yang membuat pelukanku semakin erat, bagaikan aku sudah kenal denganmu begitu lama. Dan semuanya terasa ringan, saat kau juga membalas pelukanku. Aku merasa hanya ini yang aku butuhkan, hanya sebuah pelukan saja. Namun tiba-tiba, ibumu memanggilmu. Dan satu-satunya kalimat yang dapat ku dengar saat itu hanyalah, jangan menangis lagi. Entah kau mengingatnya atau tidak, tapi aku ha-"

"Cukup!" sepatah kata yang keluar dari mulut Ichigo membuat Rukia terhentak kaget, dan ekspresi marah yang terlukis jelas diwajah Ichigo semakin menambah genangan air dimata Rukia, yang semakin tak terbendung lagi.

"Kenapa? Kau marah? Kau tidak suka? Kau lupa? Ayo katakan!" teriak Rukia, dia sudah benar-benar kehilangan kesabarannya, menghadapi orang paling egois didunia seperti Ichigo cukup menyulut amarah yang sejak tadi ditekannya.

"Kau! Siapa yang kau ceritakan tadi? Aku? Huh, mana mungkin aku melakukan hal seperti itu, sungguh bodoh, kau pikir aku akan percaya?"

Rukia tertegun, matanya terlihat berkaca-kaca, dalam sekali kedipan saja, cairan bening itu bisa segera mengalir keluar, "Kau pikir siapa lagi, hah? Apa ada pria didunia ini yang punya warna rambut se-mencolok itu dengan nama Ichigo?!" bentak Rukia, sambil bangkit dari duduknya, kesabarannya kini benar-benar diuji.

"Cih," Ichigo membuang muka, masih sambil duduk dan melipat tangannya didepan dada, membuat Rukia semakin membenci sosok arrogant itu.

"Dasar, rambut jeruk bodoh! Kau terlalu bodoh untuk bisa mengingat hal seperti itu!"

Teriakan Rukia membuat kepala Ichigo kembali berputar arah, menatap kedalam iris gelap itu untuk yang ke-sekian kalinya, meski tanpa suara apapun, Rukia tahu betul tatapan macam apa itu, dia sungguh benci dengan sosok asing dihadapannya, sekarang Rukia berharap bahwa Ichigo dihadapannya hanya ilusi semata.

Tanpa sadar, Rukia berkedip, membuat bendungan air matanya roboh, dan sekarang cairan bening itu mengalir melewati pipinya yang putih. Rukia menangis, terlihat bodoh mungkin, tapi Rukia sudah benar-benar mencapai batasnya, dan dia sama sekali tidak menyesal telah memuntahkan air matanya, Rukia telah melakukan hal yang sangat dibenci Ichigo.

"Aku tidak mungkin pernah melakukan hal konyol seperti itu. Kau salah orang!" gertak Ichigo dengan kasar, kepada gadis yang hanya bisa menatapnya dengan penuh dendam itu, sambil terus membiarkan air matanya mengalir bebas.

"Salah orang? Bilang saja kalau kau tidak ingin mengakuinya! Apa kau menganggap aku serendah itu? Atau kau hanya kasihan padaku saat itu?" nada bicara Rukia semakin meninggi, dan kekecewaannya terdengar jelas, membuat pengunjung disana hanya berbisik-bisik kecil dan menatap mereka dengan tatapan yang aneh.

"Tentu saja, aku tidak mungkin membalas pelukan gadis sepertimu! Kau terlalu menjijikkan untukku!" Ichigo juga mulai termakan emosi, kalimat itu keluar begitu saja, tanpa sempat singgah di kepalanya terlebih dahulu, membuat Rukia semakin membara, kalimat Ichigo tadi benar-benar merendahkan Rukia.

"Huh, aku juga tidak pernah berharap dia adalah orang angkuh sepertimu!" teriak Rukia, wajahnya merah padam menahan amarah, merasa bahwa harga dirinya akan semakin terinjak-injak, gadis yang kini menjadi pusat perhatian seisi restoran itu pun beranjak pergi, keluar dan berlari sejauh yang dia bisa.

Rukia benar-benar tak menyangka akan diperlakukan sehina itu oleh orang yang sempat membangkitkan semangatnya agar tetap melanjutkan hidupnya lagi, orang yang dulu bisa menghentikan air matanya, kini justru membuat air mata itu kembali menampakkan diri. Kenyataan Ini, terlalu menyakitkan baginya.

Rukia terus berlari, napasnya sudah terpenggal-penggal namun dia tak juga berniat untuk berhenti, rasa sesak didadanya memaksanya untuk terus berlari, menjauh sejauh mungkin dari pria berambut jingga bernama Ichigo tadi.

Rukia bahkan tak memperdulikan suara berisik yang sedari tadi mengaung-ngaung dari dalam tasnya.

"Rukia! Tunggu, Rukia!" samar-samar, Rukia mendengar teriakan seorang dari belakang, namun tetap saja tak ingin dipedulikannya, mungkin itu hanya khayalannya saja, mana mungkin Inoue ada disini sekarang.

"Rukia! Hei, ini aku Inoue, tunggu dulu! Berhenti berlari, Rukia!"

Kali ini Rukia tersadar, dia tidak mungkin mendengar ilusi yang sama sebanyak dua kali, mungkin saja jika dia berhenti dan berbalik, dia akan menemukan sosok sahabatnya itu.

"Ruki- ah hah hah," ucap Inoue dengan susah payah, gadis itu berhenti sesaat untuk mengendalikan napasnya, tepat dibelakang Rukia yang masih berdiri dengan posisi memunggunginya.

"Ruki-" belum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuh Inoue telah didekap oleh Rukia, meski terkejut tapi Inoue bisa paham pada kelakuan Rukia, gadis itu tahu bahwa Rukia tidak sedang baik-baik saja sekarang.

Mereka berdua pun hanyut kedalam pikiran mereka masing-masing, Rukia yang berusaha menenangkan perasaannya sendiri karena kejadian tak terduga tadi, sementara Inoue berusaha menahan gejolak kekhawatirannya yang membuncah begitu merasa tubuh Rukia dingin dan bergetar, sejak memeluknya tadi.

Setelah cukup lama bungkam, perasaan Rukia pun membaik, dan akhirnya Rukia buka suara, gadis itu menceritakan segala yang terjadi padanya tadi, antara dia dan si Ichigo. Inoue berusaha menjadi pendengar yang baik, sekali-kali Rukia marah-marah tidak jelas karena merasa sangat kesal dengan Ichigo, dan saat Rukia sudah tenang, Inoue pun mulai memulai terapi kecilnya, untuk menghilangkan rasa kesal Rukia.


Yeeeey Chapter 1 FINISH! Makasih sudah bertahan sejauh ini ^^

Dan ohiya, maaf ceritanya membingungkan dan gantung banget akhirnya, tunggu aja kelanjutannya di Chapter dua, ini cuma two-shot kok nggak lebih, jadi kami pastikan chapter depan ending.

Dan satu lagi, maaf karena chapter ini kepanjangan, kami juga bingung kenapa bisa jadi panjang gini, hohoho #gaje

Oke lupakan, Riview sangat kami dambakan, biarkan kami mengenal orang-orang yang telah berbaik hati membaca fic kami, meski hanya sebatas kenal nama saja, jadi di Riview yaa~ Arigatou~