Summary: Gakupo, cendikiawan muda yang tidak mendukung kekerasan. Kaito, pemburu yang membunuh demi kebaikan. Dua pemuda, salah satunya bermimpi seakan hidup berlangsung selamanya sementara salah satunya hidup seakan dia sedang bermimpi. Sementara itu, dunia terus berputar dalam rengkuhan waktu.
Warn: Gakukai, so you know the risk lah. Alternate universe, pure fantasy. Don't like? Don't read!
[papilio]
.
Butterfly Dream
.
.
"Hidup ini hanyalah mimpi, ketika kita mati, kita terbangun dan menghadapi realitas yang sesungguhnya."
Gakupo mengulurkan tangannya, menggapai ke luar jendela Perpustakaan Kota yang bingkainya dililit sulur-sulur hijau tanaman merambat. Telunjuknya terangkat, menyentuh sayap berwarna hitam dengan garis biru terang dan totol putih di pinggirannya, milik seekor kupu-kupu, mahluk hologram yang terbang ceria. Papilio troilus ilioneus, mereka seharusnya sudah punah ratusan tahun yang lalu di dataran Amerika Utara ini. Kupu-kupu hologram itu kemudian hinggap dengan ringan di telunjuk dan pemuda itu tersenyum kecil melihatnya.
"Filosofis sekali, Profesor Gakupo. Dan coba jelaskan bagaimana kita tahu?"
Pemuda di belakangnya bernama Kaito, surai birunya pendek, tidak seperti surai milik Gakupo yang sepanjang punggung. Pakaian berburu berwarna hitam membungkus tubuhnya dari bawah hingga atas. Dengan tangan kiri mengokang senapan, dia mengacak-acak koleksi buku di rak yang dia jadikan tempat bersandar. Buku-buku lakon dan puisi, bukan minatnya, jelas. Kaito lebih tertarik pada bagaimana menembak lebih jauh dengan tingkat destruksi yang lebih besar, tetapi dengan senapan yang lebih kecil.
Kaito memutuskan untuk menyudahi aktivitasnya merecoki buku-buku Gakupo dan beralih menjadi merecoki si pemilik buku. Diletakkan senjatanya, kemudian didekatinya pemuda bersurai merah bungur. Setengah meter di belakang, kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan, mensejajarkan kepalanya dengan kepala Gakupo.
Dia bertanya, "Katakan, bagaimana mungkin kita bermimpi begitu lama dan tidak menyadarinya?"
Gakupo masih terlalu fokus pada pergerakan kaki-kaki beruas milik kupu-kupu hologram. Tanpa menoleh dan berbalik, menjawab, "Karena, Tuan Kaito, Pemburu yang Terhormat, ketika kita bermimpi, kita tidak mungkin menyadari kita tengah bermimpi."
"Jadi, kau mau bilang jika misalnya saja kita sekarang sedang bermimpi...," suara Kaito mengambang di udara, tergantung begitu saja.
"Ya?"
Kaito menggeleng, kemudian memulaskan senyuman polos di wajahnya. "Heh, mana mungkin aku bermimpi sekarang. Ini terlalu nyata untuk jadi mimpi. Dan mimpi biasanya tidak masuk akal."
"Di dunia mimpi berlaku logika mimpi dan berlaku waktu mimpi," ujar Gakupo kemudian. "Mungkin saja kau selama ini telah tertidur sementara hidup di sini."
"Tidak mungkin. Kalau iya, aku pasti bermimpi lamaaaaa sekali. Aku ingat bagaimana masa kecilku di sini," kata Kaito. "Aku ingat Meiko dan aku sering memetiki buah anggur yang masih asam. Aku ingat waktu Kiyoteru memasukkan belalang ke dalam bajuku ketika kelas lima. Aku ingat ciuman pertamaku dengan Miku, rasanya manis seperti buah plum dan—"
"Baiklah. Aku mengerti," potong Gakupo sebelum ocehan lawan bicaranya semakin melebar ke arah yang tak seharusnya.
Kaito kembali terkekeh.
Gakupo menoleh ke arah Kaito dan mengangkat alisnya, "Dan dilarang membawa senjata ke perpustakaan, terutama kantorku."
"Ya, ampun, Gachan! Aku 'kan tidak hobi menembaki orang."
"Yang benar saja."
Kaito terkikih mendengar nada tidak percaya yang dikeluarkan Gakupo. Tentu saja, semua tahu apa pekerjaannya dan untunglah dia melewati jalan khusus sehingga tidak perlu menghadapi manusia. Kemudian hening, Gakupo sibuk memperhatikan kupu-kupu yang berjalan perlahan di jemarinya yang masih telurur di luar jendela. Kaito mengamati, mendengus, mencibir.
"Kau lebih suka mengamati benda palsu itu daripada berbicara dengan sahabatmu?"
"Mereka tidak palsu, Kaito."
"Palsu. P-A-L-S-U."
"Hormatilah teknologi, mereka membuat yang tidak ada menjadi ada."
"Tapi palsu."
Gakupo tergelak, "Apapun katamu, Kaito."
"Coba bawa dia ke hadapanku, Gachan," pinta Kaito dengan suara paling manis yang dia bisa.
"... pintar sekali. Aku tidak akan melakukannya."
Kaito tertawa kecil, kemudian menarik tangan Gakupo yang terulur ke luar jendela dengan tangan kanannya lembut. Dengan tegas dan pasti, dibimbingnya tangan yang biasa menyentuh lembar buku itu masuk ke dalam ruangan. Dan, dalam keindahan yang mengerikan, kupu-kupu di jemari Gakupo hancur menjadi kotak-kotak pixel berbagai warna seperti menabrak dinding tak terlihat dalam kecepatan tinggi.
"Kau membunuhnya."
"Yang benar saja, Gachan!"
Kaito tertawa, benar-benar tertawa, tetapi hanya selama beberapa detik sebelum kemudian menghilang. Direngkuhnya tubuh Gakupo dari belakang dan dijejalkan kepalanya pada punggung bidang kawannya tersebut. Dapat dia endus aroma yang selalu dibawa Gachan—antara buku-buku tua dan bau anggur—dihirupnya dalam-dalam aroma itu. Kaito memiliki penyimpanan sendiri di otaknya, Direktori Gakupo, dimana dia bisa menyimpan segalanya mengenai pemuda itu, apa, apa saja. Bau Gakupo selalu menenangkan untuknya yang akrab dengan anyir dan rasa besi.
"..."
"Apa? Kaito, aku tidak bisa mendengarmu jika begini," pinta Gakupo, sembari berusaha melepaskan lengan Kaito dari tubuhnya, tetapi pemuda berambut biru itu menolak. Gumaman kesal cukup menghentikan usaha Gakupo untuk melepaskan lengan yang merengkuh tubuhnya. Pemuda itu mengangkat alis ketika mendengar kalimat selanjutnya.
.
.
"... aku lelah sekali, Gachan."
.
.
Kaito adalah seorang pemburu terhebat yang Gakupo kenal, hanya bisa disaingi oleh kawan sejak kecil dan seperjuangannya, Meiko. Pemuda itu terlihat tidak memiliki batas akan stamina yang dia miliki. Seakan bisa memburu selama dua puluh empat jam tanpa henti, bahkan tiga puluh enam jam terus menerus jika memang diperlukan. Bisa tidur hanya delapan jam tiap empat hari dan masih terlihat begitu segar dan bersemangat, selalu begitu. Pengakuan pemuda itu padanya agaknya mengagetkan bagi Gakupo.
"O, ya? Mengapa?"
"Tentang perburuan ini."
Nada lelah yang tak disembunyikan Kaito agaknya membuat Gakupo mencelos, pemuda itu tahu bahwa kawannya menyatakan yang sebenarnya. Seorang pemburu yang lelah kepada perburuan—dia kira minat pemuda itu hanya menghancurkan dan menghancurkan saja. Takkan lelah dan takkan berhenti hingga—entahlah, akhir zaman? Dia tidak bisa memikirkan hal yang lebih cocok dengan Kaito selain perburuan, sebenarnya.
"Then stop."
"Can't."
.
.
Dulunya Ilinois, Amerika Utara. Langit biru yang dibuat dengan teknologi melingkupi wilayah itu, dengan burung-burung, capung-capung, dan kupu-kupu hologram yang berwarna-warni beterbangan bebas di udara. Udara pernah terlalu berbahaya untuk dihirup paru-paru manusia, membunuh hewan-hewan yang tak sempat bermigrasi lebih ke utara. Kemudian muncul para ilmuwan yang bekerja sama dan membangun sebuah alat dan langit kembali menjadi biru dan udara bisa kembali dihirup. Kemudian muncul mereka yang mengotori udara kembali. Kemudian muncul perburuan mengenai orang-orang itu.
Karena, mencemari udara sama saja dengan membunuh semua orang di dunia. Mereka harus dibunuh sebelum membunuh, itu adalah peraturan yang dicanangkan pemerintah. Membuat beberapa golongan orang sibuk sejak sepuluh tahun terakhir. Perburuan Manusia.
Aktivis hak asasi mengecam, tetapi lebih banyak yang setuju bahwa ini diperlukan. Dunia telah menjadi sempurna dan tidak ada yang diizinkan untuk merusak kesempurnaan itu. Manusia tak akan pernah sempurna, tetapi mereka boleh berusaha untuk terus menjadi sempurna, walau kesempurnaan sesungguhnya adalah fana.
.
.
Hujan kembali turun di musim panas.
.
.
[pro:logo]—end.
Vocaloid © Yamaha Corporation
Butterfly Dream © EF/beth
.
.
AN: Hai, Fanfiction net. Setelah sekian lama, saya kembali membawakan sebuah fanfiksi, dan sudah begitu banyak yang berubah. Saya merasa tua #apasih. Omong-omong, hari di-publish-nya fanfiksi ini adalah Minggu, 24 Maret 2013. Ada yang tahu hari apa? Jengjengjeng, ultah Asakuro Yuuki! Jadi, chapter ini kudedikasikan buatmu, chayang :3 Kritik dan saran sangat ditunggu dan—
—sampai jumpa di chapter berikutnya!
.
.
Yours trully,
EF/beth
