When The Time Has Come

Sequel of Tell Me Your Wish

.

The charas belong to Jun Mochizuki-sensei. But the story is completely mine

.

Warning: AU, OOC, death chara. Read the first story, Tell Me Your Wish, first! Or you won't understand this story!

Enjoy!


Chapter 1: Simple to Complicated

Tidak ada yang bisa mengalahkan kedekatan sepasang anak kembar

Tapi, bila mereka bertengkar, rasanya perang terhebat di dunia tidak akan bisa mengalahkan mereka

"Ayolah, Alyss! Sekali ini saja! Bantu aku!"

"Sudah kukatakan tidak bisa! Kau harus berusaha sendiri, Alice!"

"Ayolah, Alyss! Kau kan helper-ku, jadi kau harus membantuku!"

"Karena aku adalah helper-mu, bukan berarti aku harus mengabulkan semua permintaanmu! Helper hanya diizinkan untuk membantu wisher-nya dalam hal-hal baik, bukan hal-hal buruk seperti itu!"

"Ayolah, Alyss! Waktunya sudah kepepet, nih!"

"Sekali tidak, tetap tidak! Salah sendiri kau malah asyik berkencan ria dengan Oz, bukannya mengerjakan tugas! Kau harus menerima konsekuensinya!"

Sebuah vas kaca melayang ke arah Alyss, lengkap dengan bunga-bunga mawar merah yang berada di dalamnya. Alyss tak bergerak sedikit pun dari tempat dia berdiri sambil bersedekap. Vas itu hanya melewati tubuhnya, seakan-akan dia tidak berada di situ. Vas itu malah menabrak dinding yang berada di belakang Alyss dan pecah berantakan.

"Bohong, bilang saja kau tidak mau membantuku!" teriak Alice kesal. Dia kembali melemparkan barang lain ke arah Alyss, kali ini yang menjadi korbannya adalah sebuah kamus tebal. Sama halnya dengan vas tadi, kamus itu hanya menembus tubuh Alyss. Ini tidak mengherankan, karena Alyss adalah seorang helper, yang hanya bisa dilihat, didengar, dan disentuh oleh wisher-nya.

"Lemparkan saja apa yang kau mau. Kau tahu sendiri kan, kalau itu sama sekali tidak akan menyakitiku?" tantang Alyss. Sepasang iris violetnya menatap kembaran sekaligus wisher-nya, yang balas menatapnya dengan sengit.

"Lagian, kau kan sudah tahu kalau tugas itu dikumpulkan besok. Kenapa kau malah pergi kencan dengan Oz? Padahal tugas itu kan sudah diberikan sejak minggu lalu!" tambah Alyss.

"Kenapa kau tidak mengingatkanku, hah?" balas Alice dengan sengit.

"Mengawasimu saja aku sudah kesulitan! Kau kan tukang cari masalah!"

"Apa kau bilang, hah?"

"Kau itu tukang cari masalah, tukang bikin onar, tukang.." sebelum Alyss sempat melanjutkan perkatannya, Alice sudah keburu menyerangnya.

Hukum yang berlaku pada vas dan kamus tadi tidak berlaku bagi Alice. Sebagai wisher Alyss, Alice bisa menyentuh Alyss. Begitu pula sebaliknya. Dalam waktu singkat, mereka berdua sudah bergumul di lantai kamar Alice.

Mereka terus bergumul sembil mencakar, menendang, dan menonjok satu sama lain sembari meneriakkan kata-kata kasar. Untung saja pada saat itu tidak ada orang lain di rumah Alice, sehingga tidak ada yang mendengarkan pertengkaran mereka berdua.

Setelah sekian lama bergumul, mereka akhirnya bangkit berdiri. Baju mereka berdua robek di beberapa tempat, selain itu kulit mereka yang putih bersih sekarang dihiasi dengan beberapa bercak kebiruan dan garis-garis merah.

Mereka berdua menatap satu sama lain dengan geram. Rasanya mereka seperti sedang menatap bayangan mereka sendiri. Penampilan mereka berdua begitu mirip, satu-satunya perbedaan diantara mereka hanyalah warna rambut dan pakaian yang mereka kenakan.

Ya, mereka berdua adalah sepasang anak kembar. Alyss meninggal beberapa saat ketika dia lahir. Jiwa seseorang yang meninggal ketika dia lahir akan menjadi seorang helper, peri yang bertugas untuk membantu seorang manusia. Sejak enam bulan lalu, Alyss menjadi helper milik Alice, kembarannya sendiri.

Selama ini, hubungan mereka berdua berjalan dengan baik. Setiap hari Alyss datang ke dunia Alice untuk menengok kembarannya itu.

Kadang-kadang, dia muncul di sekolah untuk mengawasi Alice sekaligus mengobrol dengan helper-helper lain yang bertugas menjaga anak-anak lain. Tidak semua orang mendapatkan helper.Hanya sekitar 25% manusia di dunia yang memiliki helper.

"Aku benci kau, Alyss! Kau pengecut! Kau tidak mau menolong kembaranmu sendiri!" teriak Alice marah.

"Aku juga benci kau! Kau egois, tidak mau berusaha sendiri! Hanya bisa merepotkan orang lain!" Alyss balas berteriak. Sosoknya mulai memudar, "Aku tidak mau melihat wajahmu lagi!" serunya sebelum dia menghilang sepenuhnya.

"Kau pengecut, Alyss! Jangan pergi! Hadapi aku seperti wanita!" Alice kembali melemparkan barang ke tempat Alyss tadi berada, tapi Alyss sudah pergi terlebih dulu.

"Pengecut!" Alice kembali berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian dia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Dia melampiaskan kekesalannya dengan cara memukul-muku bantal miliknya sekuat tenaga. Perasaanya menjadi lebih baik.

Setelah sekitar lima menit memukul-mukul bantal tak bersalah itu, Alice mulai merasa tenang. Rasa bersalah mulai menyerangnya. Setetes air mata mulai menuruni pipinya.

Seharusnya dia tidak membentak Alyss seperti itu. Alyss memang tidak bisa membantunya dalam hal itu. Dulu sekali, Alyss pernah memberikan Alice buku tentang helper dan wisher. Hal yang Alice minta untuk dikerjakan oleh Alyss tidak diperbolehkan disana. Seharusnya dia ingat.

Kalau saja dia ingat. Kalau saja dia mengerjakannya tadi, bukannya kelayapan dengan Oz hingga pulang kemalaman, tentu saja pertengkaran konyol ini tidak akan terjadi. Alyss tidak akan marah dengannya.

"Maafkan aku, Alyss.."


Alyss's POV

"Alice no baka! Seharusnya dia ingat aku tidak bisa menuruti keinginannya! Seharusnya dia ingat! Kalau dia ingat, aku gak bakal marah dengannya! Baka! Dasar meat lover!"

Aku berteriak-teriak sendiri di dalam kamarku untuk melampiaskan kekesalanku. Aku melemparkan bantalku ke dinding kamarku yang berada di suatu apartemen di dunia helper. Aku kembali berteriak-teriak.

Lima menit sudah berlalu dan aku masih meluapkan emosiku ketika seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tidak menjawabnya dan malah berteriak-teriak lebih keras.

"Alyss? Kau baik-baik saja?" tanya orang yang tadi mengetuk pintu. Karena aku tidak menjawab, dia akhirnya membuka pintu kamarku yang lupa kukunci. Sharon melongokkan kepalanya ke dalam kamarku. Dia memandangiku dengan khawatir.

"Alyss? Ada apa denganmu?" tanya Sharon dengan nada khawatir.

"Aku tidak apa-apa!" jawabku ketus. Aku ingin sendiri saat ini, tanpa gangguan orang lain. "Tinggalkan aku sendiri, ya?"

"Kau yakin ingin sendiri?" tanya Sharon untuk memastikan. Aku mengangguk dengan kaku.

"Sayang sekali, padahal kau kedatangan tamu istimewa, lho!" goda Sharon. Aku yang masih bad mood hanya menjawab, "Siapa?"

Sharon mengedipkan matanya dengan nakal, "Lihat saja sendiri!" kemudian dia membuka pintu kamarku lebih lebar.

"Yuuuhuuu! Halo, Alyss!" seseorang tiba-tiba memasuki kamarku. Mendengar suaranya, segala ke-bad mood-anku hilang seketika.

"Jack!" seruku dengan nada terkejut bercampur gembira.

"Ya iya lah, siapa lagi?" balas pemuda berambut pirang panjang dikepang itu. Waktu pertama kali bertemu dengannya, aku menyangka dia perempuan! Serius!

"Yah, mungkin orang gila yang nyasar masuk kamar orang." jawabku santai. Jack pura-pura cemberut, aku tertawa melihatnya. Sharon, yang melihat keasyikan kami berdua, menggumamkan kata permisi dengan pelan dan menutup pintu kamarku, meninggalkanku berdua dengan Jack.

Setelah Sharon meninggalkan kami, Jack langsung menanyaiku, "Alyss, kau punya masalah? Tadi pas aku datang aku dengar kamu teriak-teriak gak jelas gitu." tanya Jack to the point.

What? Jack mendengar teriakan-teriakanku tadi? Wajahku langsung memerah ketika aku menyadarinya. Lebih parah lagi, beberapa kata yang tadi kuteriakkan itu sebenarnya tidak pantas untuk diucapkan helper seumuranku.

Ketika aku tak kunjung menjawab, Jack kembali bertanya, "Biar kutebak, kau punya masalah dengan wisher-mu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan seraya memeluk bantal yang tadi kulempar.

"Biar kutebak lagi, Alice melanggar pasal xx ayat x pada buku panduan helper dan wisher? Berarti dia dihukum tidak boleh bertemu denganmu selama dua hari?" aku kembali mengangguk. Jack menepuk-nepuk kepalaku.

"Ah, itu mah biasa. Aku sama Vincent juga sering kayak gitu." katanya berusaha menghiburku. Omong-omong, Vincent itu wisher-nya Jack.

"Jack kan sudah biasa, aku kan baru pertama kali!" kataku sambil menggembungkan kedua pipiku, merajuk. Jack tertawa melihat tingkah lakuku.

"Namanya juga pemula, nanti kamu juga terbiasa. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti kalau masa hukumannya sudah habis, Alice pasti akan minta maaf denganmu." Kata Jack sambil mengacak-acak rambutku. "Kalau dia tidak mau minta maaf, kamu aja yang minta maaf duluan. Kalian kan kembar, pasti saling mengerti."

Aku merenungi kata-kata Jack, kemudian aku mengangguk, "Oke, Jack! Aku akan menuruti saranmu!"


Alice's POV

"Nak, ayo bangun! Sudah siang, lho! Nanti kamu terlambat sekolah." ibuku, Lacie Baskerville, mengetuk pintu kamarku.

Aku membuka kedua mataku dengan malas-malasan. Aku tidak langsung bangkit, melainkan menggeliat dulu selama beberapa saat.

Ibuku kembali mengetuk pintu dengan lebih keras, "Alice Baskerville! Cepat keluar! Sekarang sudah jam 06:45!"

"Iya, bu! Sebentar lagi!" aku mulai bangkit dan berusaha mengumpulkan nyawaku yang tercecer. Aku masih duduk di pinggir tempat tidurku dan menguap ketika aku menyadari kata-kata ibuku.

"Aappppaa?" aku langsung panik. Bel masuk sekolah berbunyi pada jam 07:00, dan untuk berjalan kaki ke sekolah membutuhkan waktu 10 menit!

Aku segera menghambur keluar dari kamarku menuju kamar mandi. Baru kali ini aku merasakan susahnya hidup tanpa helper. Biasanya Alyss yang membangunkanku pagi-pagi sehingga aku tidak pernah terlambat sekolah.

Setelah mandi bebek dan memakai seragam, aku segera pergi ke kamar dan mengambil tasku. Aku segera berlar secepat kilat ke bawah dan menyambar roti dari meja makan. Dengan roti setengah tergigit diantara gigiku, aku segera berlari menuju teras dan memakai sepatuku. Untung saja sepatuku bukan sepatu bertali, jadi tinggal asal masuk aja.

"Bu, aku berangkat dulu!" aku melambai asal ke arah ibuku yang sedang menyiram tanaman di halaman. Tanpa menunggu balasan dari ibuku, aku segera berlari marathon ke sekolah.

"Tuhan, jangan biarkan aku tiba terlambat di sekolah! Guru pelajaran pertama adalah Bu Cheryl yang galaknya minta ampun! Jangan biarkan aku terlambat, jangan sampai aku terlambat!" mulutku berkomat-kamit selagi aku berlari. Aku melirik ke pergelangan tanganku untuk melihat berapa menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Dan sialnya, aku lupa memakai jam tanganku saking terburu-burunya!

Mungkin hari ini memang hari sialku.


"Alice? Kenapa suntuk gitu sih?" tanya Echo yang ternyata memperhatikanku yang marah-marah gak jelas sejak pagi tadi. Zwei mengangguk mengiyakan.

"Gak papa kok, Cho." kataku murung. Aku meletakkan kepalaku di atas mejaku.

"Gitu kok dibilang gak papa?" celutuk Zwei. Aku malas menjawab pertanyaan Zwei, jadi aku hanya diam saja.

Tiba-tiba aku merasakan seseorang menepuk pundakku. Aku mengangkat kepalaku sedikit untuk melihat siapa dia. Dan aku langsung dikagetkan oleh Oz yang wajahnya berada beberapa senti di depan wajahku.

"Baaaa!" teriaknya mengagetkanku.

Dengan refleks, aku meninju wajah yang membuatku kaget itu. Pemuda berambut blonde itu terlempar ke belakang kelas. Jangan remehkan aku, ya! Gini-gini aku ikut eskul taekwondo dan sekarang sudah sabuk coklat!

"Ouch, Alice! Sakit tahu!" pekik Oz kesakitan sembari mengelus pipinya yang memerah.

"Salah sendiri, siapa suruh ngagetin, hah?" balasku. Sementara itu Echo dan Zwei menyingkir, mungkin agar tidak menjadi obat nyamuk.

"Habis Alice murung terus sih, makanya kukagetkan." aku hanya ber-oh ria untuk menanggapi jawabannya. Aku kembali memandangnya dengan pandangan kosong.

"Alice, mau ke kantin?" tanya Oz. "Aku traktir, deh." bujuknya ketika aku tak kunjung memberikan respon.

Aku menggeleng, aku sedang tidak nafsu makan. Tentu saja ini membuat Oz semakin heran, karena biasanya aku selalu semangat kalau ditraktir.

"Alice kenapa, sih?" tanyanya sambil menempati tempat duduk di depanku yang kosong. Oiya, di kelas hanya tinggal ada kami berdua. Yang lain sudah pergi keluar. Ada yang ke kantin, ada yang pergi ke lapangan buat nongkrong, yang lagi ngeceng juga banyak.

Aku menggeleng dan bergumam "Tidak apa-apa, kok." dengan lirih. Aku masih merasa bersalah karena kejadian tadi malam, dan itu membuatku murung.

Oz menatapku dengan serius, sepertinya dia sedang mencari-cari apa yang salah denganku. Kami pun melewatkan waktu selama lima ment dalam keheningan. Akhirnya, Oz memecahkan keheningan itu.

"Alice?" panggilnya. Aku mengangkat wajahku, memperhatikannya dengan setengah hati.

"Kau punya masalah dengan helper-mu, ya?" tanyanya to the point.

Tanpa aku sadar, aku mengangguk. Kemudian aku menyadari sesuatu yang mebuatku tersentak kaget.

Dulu sekali, Alyss pernah memintaku agar aku tidak meberitahukan keberadaanya kepada orang lain. Katanya itu adalah perjanjian dasar antara helper dan wisher. Aku menurutinya, dan aku tidak pernah memberitahu orang lain tentang Alyss.

Kalau begitu, bagaimana Oz bisa tahu kalau aku adalah seorang wisher?


TBC


A/N:

Halo, anda bertemu kembali dengan author gak waras ini! #slapped. Fic ini merupakan sequel dari fic Aoife yang sebelumya, Tell Me Your Wish. Karena ada yang minta dibuat sequelnya, akhirnya Aoife buatkan, deh. Semoga tidak mengecewakan. Kemungkinan fic ini jadinya twoshoot, dan moga aja bisa selesai sebelum UKK #ngarep tingkat dewa. Satu lagi, jangan heran kalau gaya penulisan Aoife gonta-ganti mulu, soalnya Aoife lagi nyari gaya yang pas buat Aoife/

Akhir kata, boleh minta reviewnya? Flame juga diterima, lho!

Will be update around next week.