Goresan tinta jingga kebiruan, nampak menghiasi langit cerah di sore itu.

Semilir angin, berembus dari Timur ke Barat.

Perlahan-lahan mengahapus rona biru langit yang sedikit demi sedikit tergantikan dengan kemilau jingga di langit sore.

Koak burung gagak yang beterbangan pulang, tak asing lagi di telinganya.

Mata biru seindah batu safir itu, menatap nyalang pada sebuah batu nisan yang terus ia tangisi sejak tadi.

Tak ada isak. Tak ada sebuah penyesalan yang terucap di bibir ranum itu.

Tapi yang ada hanyalah butir-butir air mata yang selalu menggenang dan berakhir dengan mengalirnya sungai kecil yang bermuara di kelopak matanya.

Wajah cantik itu kini, seperti mayat hidup. Pucat pasi, dan terlebih lagi, raut wajahnya yang menyiratkan rasa kedukaan yang mendalam.

Raut wajah, yang seakan telah di tinggalkan oleh sang terkasih. Raut wajah yang kini tak mengenal kehangatan cinta lagi.

Kehangatan cinta, yang dulu tulus ia berikan pada sosok itu. Sosok yang sangat berarti baginya, setelah almarhum kedua orang tuanya. Sosok yang selalu setia berada disisinya. Sosok seorang pemuda yang berbakti pada tanah airnya.

Namun kini, sosok itu tlah pergi. pergi meninggalkan dirinya sendiri. Termenung melihat sepi.

Sekarang tak ada lagi yang berarti baginya. Terkecuali untuk sebait lirik lagu yang dulu pernah cintanya nyanyikan.

Lirih ia nyanyikan sepotong lirik yang begitu menusuk perasaanya. Bersusah payah agar matanya tak lagi mengeluarkan kristal-kristal bening itu.

Tapi itu semua sia-sia belaka. Tetap saja butiran-butiran kecil itu menetes dari pelupuk matanya, mengalirkan lagi dua buah aliran sungai yang semakin lama semakin menderas. Ia menggumam pelan.

"Kumohon jangan keluar lagi!" gumamnya mengancam.

Tangannya terkepal. Matanya terpejam erat. Berusaha menghentikan aliran sungai itu.

Setelah beberapa saat berperang dengan air matanya. Ia kembali membuka kedua kelopak matanya.

Mata biru yang dulu memancarkan keceriaan dan kepolosan, sekarang berselimut kesedihan dan kesakitan yang begitu mendalam.

Sakit. Ia akui itu. Tapi, tak ada gunanya lagi ia merintih, menjerit. Karna, sekarang pemuda tercintanya tlah pergi dan takkan pernah kembali lagi, untuk selamanya.

Kekosongan… hampa… dunia terasa berputar… membuatnya limbung dalam sebuah ruangan, dimana tak ada lagi yang bisa membantunya keluar dari ruangan itu. Sendiri… ia hadapi kenyataan pahit ini…

Kenyataan yang mengatakan, bahwa ia tlah pergi. Meninggalkan ia sendiri… menangis di tengah rasa sakit yang terus mendera batinnya…

Perlahan ia beranjak dari posisinya yang sekarang, menjadi berdiri. Di tangannya terdapat sebuah biola cantik berwarna putih suci, dengan alat geseknya yang juga berwarna sama.

Disampirkannya biola putih itu, ke pundak mungilnya, yang sedikit bergetar., karna menahan segala rasa sakit di hatinya.

Berulang kali, ia hirup udara sore hari yang begitu menyejukkan. Namun kali ini berbeda… semua yang dirasakannya hanyalah perasaan hampa.

Perlahan ia gesekkan senar biola itu. Menghasilkan alunan melodi indah nan pilu yang pernah ia mainkan.

Gesekan demi gesekan terus ia mainkan pada senar biolanya. Memainkan alunan melodi sebuah lagu yang dulu sering kekasihnya mainkan untuka dirinya.

Sebuah lagu yang betemakan pengabdian cinta untuk wanitanya. Dan lagu itu selalu ia tujukkan pada dirinya.

Seiring dengan permainan biolanya yang memilukan. Ia tak lagi bisa menahan semua rasa sakit yang membebani nuraninya.

Membiarkan air mata itu turun dan kembali membasahi kedua pipi tan-nya, sebagai sebuah pelampiasan atas semua kepedihan yang ia rasakan kini.

Gumaman-gumaman kecil tak luput dari bibirnya. Menggumamkan beberapa bait lagu yang ia hafal.

Permainanya semakin menjadi. Membuat seakan-akan biolanya lah yang merintih dan menangis, sebagai penggantinya. Gesekan biola itu semakin menusuk hati. Lebih memilukan dari yang sebelumnya, disaat bait terakhir yang ia gumamkan.

"Now and forever… you will be… my… man…"

Permainan biola solo itu berhenti. Kedua tangannya terkulai lemas disamping tubuhnya. Merasa tak kuat lagi untuk melanjutkan permainan solo-nya, yang begitu menyedihkan. Menyedihkan bukan berarti tidak baik… tapi terkesan… mati…

Matanya terpejam. Jejak-jejak air mata masih terlihat di kedua belah pipinya.

Didongakkan nya kepalanya itu ke atas. Seakan sedang menatap langit sore yang cerah, tapi sebenarnya tidak.

Seulas senyum manis mengembang anggun di wajahnya. Membayangkan betapa indahnya bila ia kembali ke masa itu. Masa dimana ia selalu bersama dengan pemuda yang ia cintai itu, disaat sebelum peperangan yang mengenaskan itu merebut nyawa pemudanya. Cinta pertama dan terakhir… Uchiha Sasuke…

*Owari*

Yo! Readers! Ini Cuma one shoot tanpa arti yang Mi-chan publish karna gag ada kerjaan dan pengennya sih ini cerita mau ku kirim ntar!

Jadi, sebelum ngirim beneran, aku butuh komentar dan saran!

Sip! Dah! Mohon bantuannya ya readers!

Mind to reviews?