WAKTU sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dan aku sudah keluar dari toko dua jam lalu. Tapi, bukannya pulang dan berendam didalam air hangat bersama puluhan lilin-lilin aromatherapy wangi lavender, aku malah bekeliling kota dengan tujuan yang tidak jelas dengan Volvo-ku. Aku merasakan lelah yang amat sangat, karena disamping pengunjung toko yang padat aku juga harus mengurus kepindahanku yang amat mendadak sejak seminggu lalu. Tapi aku tidak berniat pulang sama sekali, setidaknya untuk sekarang. Aku masih mau menikmati ujung-ujung Konoha yang akan aku rindukan nanti.

Konoha bukan kota yang luas, maksudku berita yang ada disini akan menyebar hanya dalam waktu dua puluh menit. Jadi, baiklah, kalian bisa menyebut Konoha adalah kota yang sempit. Tidak sulit menghapal orang-orang yang tinggal disini dalam waktu tiga hari. Karena kau akan sering bertemu dengan mereka dalam kegiatan sehari-harimu. Misalnya Ino di toko bunga, tentu dia akan menyapamu didepan toko setiap hari karena disamping toko bunga-nya terdapat supermarket terbesar dikota ini. Lalu ada lagi Kakashi di kedai kopinya yang terkenal dikota ini, kau pasti setidaknya pernah minum kopi kan? Atau kau pasti akan menemukan dia di toko buku sedang berburu buku icha-icha paradise terbaru. Atau kau akan menemukan dia di salah satu pub bersama pasangannya Iruka. Baiklah, dia memang homoseksual. Maksudku, memangnya kenapa? Kakashi adalah orang yang terbaik yang pernah aku kenal. Dia sahabatku sepanjang masa, andai saja kami tidak terpaut usia yang jauh.

Kau juga akan bertemu dengan Iruka di kedai kopi Kakashi. Tunggu, bukan maksudku setiap ada Kakashi selalu ada Iruka, bukan. Tapi mereka berdua memang bekerja sama mendirikan kedai kopi itu. Iruka adalah seorang bartender dulunya, dan beralih profesi menjadi coffee maker terbaik se- Konoha. Lalu ada lagi Naruto yang akan selalu ada di kedai mie setiap jam makan siang ataupun jam pulang kantor. Atau kau akan menemukannya sedang berada di kantor broadcaster. Yah, dia memang bekerja sebagai penyiar radio. Bagaimana tidak? Suaranya renyah dan begitu menyenangkan. Kau akan menemukannya bersama cengiran hangatnya. Huh, begitu banyak hal menyenangkan di kota ini. Naruto adalah salah satunya.

Dan Konoha adalah kota yang indah. Kau akan banyak menemukan padang lavender di sini. Bayangkan saja, kapuk berwarna keunguan yang sangat empuk dan harum. Kau bisa menemukannya di mana saja dan kau bisa menjatuhkan diri di sana saat kau merasa jenuh dengan pekerjaanmu kapan saja. Aku tentu sangat tidak rela meninggalkan semua itu. SANGAT TIDAK RELA. Tapi aku tidak bisa lagi menolak. Apalagi yang kau korbankan disini adalah kisah cintamu yang sudah kau pertahankan selama dua setengah tahun. Dimana kau sedang berada di puncak asmaramu dan satu langkah lagi kau akan menjadi ratu. Satu-satunya wanita di dalam hidupnya.

Oh, tuhan. Betapa tidak adilnya kau menciptakan lelaki untukku. Wajahnya yang sungguh tampan, dengan masa depan yang begitu cerah, otak yang begitu jenius tapi keegoisan yang begitu tinggi. Jangankan aku yang akan melakukan apa saja untuk menjadi wanita satu-satunya, Ino atau siapapun wanita di Konoha pun bahkan akan melakukan hal yang lebih ekstrem dari pada aku. Untung aku masih dibekali kewarasan yang cukup untuk menghadapinya.

Oke, mungkin sekarang telepon genggamku sudah dipenuhi pesan atau mailbox darinya. Karena memang aku mematikan telepon genggamku sedari tadi. Aku agak sedikit jenuh dengan tekanan darinya. Setidaknya udara segar Konoha akan membuatku sedikit merasa lebih baik. Dan yah, sepertinya aku butuh kopi sekarang. Jadi, menurutku tidak buruk jika aku memutar balik dan mengunjungi kedai kopi Kakashi yang –mungkin masih buka.


.

.

.

Untunglah, saat mobilku tiba di kedai kopi Kakashi, mereka sedang siap-siap untuk tutup. Tapi tentu saja aku mendapatkan dispensasi untuk menikmati kopi buatan Iruka saat jam tutup seperti sekarang.

"Aku mau espresso." Kataku sambil membuka pintu kaca, diiringi satu bungi 'ting' dari bel yang dipasang didepan pintu. Kakashi menatapku heran. Baiklah, aku memang selalu begini jika ada masalah. Jadi, dia pasti tahu aku ada apa-apanya.

"Sekarang apa lagi yang dibuat oleh pantat ayam itu?" Tanya Kakashi sarkatis. Ya tuhan, apa semua lelaki di Konoha harus menggunakan nada sinis saat membicarakannya? Aku kadang tidak mengerti soal itu, kecuali dengan Naruto yang memang sudah menjadi sahabat cek-cok nya. Bagaimana ya? Habis aku tidak tega menjuluki mereka musuh karena disamping mereka cek-cok mereka juga menjadi teman yang sangat baik.

"Kenapa kau selalu begitu terdengar kesal dengan semua yang berhubungan dengan Sasuke?" Tanyaku balik, dengan nada yang sarkatis pula. Kakashi tetap mengelap mejanya, dan aku terkadang meliha Iruka yang sedikit-sedikit mengintip dari dapur ke arah kami. Aku pun tersenyum saat menangkapnya melirik ke arah ku, sedangkan dia tersenyum kecut telah dipergoki.

"Bagaimana tidak? Dia telah mencuri wanita terbaik diseluruh Konoha dan akan membawanya pergi." Jawabnya tambah sinis. Ini sudah jawaban yang ke duabelas yang aku dapatkan, tepat seperti yang dikatakan Kakashi. Pertama dari Naruto, lalu beberapa orang di kantor, lalu Lee di Gym saat aku sedang fitness, lalu beberapa orang yang aku lupa, lalu sekarang Kakashi. Apa mereka sedang bersekongkol untuk mengerjaiku di beberapa minggu terakhirku di Konoha?

"Ayolah, Kakashi. Kau tidak bisa begitu terus terhadap Sasuke. Dia akan menjadi suamiku dalam hitungan minggu, dan kau yang ironisnya adalah sahabatku malah membencinya." Kakashi malah mendengus kesal dengan perkataanku barusan.

"Aku setuju, sangat setuju malah jika dia menjadi pacarmu ataupun menikahimu. Kau bahagia 'kan?" Dia terdiam sebentar, lalu aku mengangguk kecil. "Kalau begitu akupun akan bahagia, tapi dia menekanmu untuk ikut dengannya tinggal di Suna yang asing dan meninggalkan kampung halamanmu. Kau tidak suka itu, tapi dia memaksamu. Aku mau berbuat apa? Tentu aku akan sangat membencinya."

"Aku akan sering-sering mengunjungimu, Kakashi. Aku juga akan merindukan yang lain. Suna tidak jauh dari sini, kau tahu?" Aku mencoba mengelak. Iruka mengantarkan espresso yang aku pesan sambil tersenyum peduli. Aku membalasnya, tentu. Berbeda dengan Sasuke yang terkenal dingin dan acuh tak acuh.

"Coba kau bayangkan, kau yang menempuh perjalanan tiga jam setiap hari untuk mengunjungiku di Konoha. Dan kau akan buru-buru pergi menempuh perjalanan tiga jam lagi untuk menyambut Sasuke pulang di Suna. Itu sangat tidak menyenangkan, kau juga tahu itu kan?" Jawab Kakashi. Aku menyeruput esspressoku yang masih panas, dan memijat-mijat pangkal hidungku yang terasa pusing.

"Tidak setiap hari, hanya saat liburan saja. Setiap hari sabtu dan minggu, aku juga akan mengunjungi ayah disini. Dia sendirian dan yah, pasti dia akan merasa kesepian jika tidak ada aku. Jadi aku harus mengunjunginya. Atau dia yang berlibur di Suna satu minggu. Dia sudah tua dan butuh penyegaran." Kataku berangan-angan. Kakashi sudah memasang tangannya di depan dada dan menggelengkan kepalanya.

"Kau harus memikirkan dia juga. Dia butuh pendamping, saat kau tidak ada. Itu akan membantu, setidaknya untuk menghilangkan kesepiannya."

"Tidak. Dia pasti bisa sendiri, yah pasti bisa." Jawabku singkat dan penuh kepastian. Aku tidak bisa membayangkan jika ayah bersama wanita lain yang penuh dengan lemak, dan wajahnya bermake-up tebal, tahi lalat dibawah bibirnya. Oh iya ditambah lagi wanita itu cerewet dan makan banyak. Tidak, tidak. Ayah pasti tidak tahan bersama dengan wanita seperti itu. Dia lebih baik sendiri.

"Itu dia yang aku bilang egois. Kau akan meninggalkannya dan membiarkannya sendirian. Sedangkan kau akan bersenang-senang dengan suamimu. Tidak etis sekali." Kakashi mengambil tempat didepanku, sedangkan Iruka melanjutkan pekerjaan Kakashi mengelap meja. Aku merasa seperti Iruka adalah isteri idaman setiap lelaki, ehm.

"Ah, Kakashi. Kau membuatku tambah pusing."

"Maka dari itu, tidak mudah untuk pindah dari kota yang indah ini. Terlebih kau sudah menghabiskan seluruh hidupmu disini. Dan kau harus merencanakan semua itu matang-matang, tidak bisa dengan waktu yang hanya satu bulan."

"Tapi aku akan menikah dua minggu lagi! Aku harus menyiapkan segalanya, belum lagi urusan kepindahanku."

"Kau harus bicarakan itu dengan Sasuke. Itu lebih baik."

"Dia tidak akan mendengarkan, demi tuhan."

"Kau belum mencobanya!"

"…"

"Ayolah, Sakura. Tidak hanya untuk kebaikanmu, untuk kebaikan ayahmu juga. Aku, Naruto dan semuanya yang merasa akan kehilanganmu."

"…"

"…"

"Baiklah."

Kakashi dan Iruka menghela napas panjang. Lalu Iruka tersenyum padaku, sangat tulus. Dia meremas pundakku, mengirimkan energy positif untukku dan membuatku merasa lebih baik. Lebih baikdari pada secangkir espresso.

"Untuk kebaikanmu." Bisik Iruka dibelakangku.

Aku tersenyum lagi.


-

-

-

Oke, ini fic kedua setelah Mocca :D Niatnya sih mau nyelesain Mocca dulu, tapi tangan udah gatel buat publish ini. So, enjoy it! Review too!