Atsushi meminta izin masuk ke ruangan bos Port Mafia. Setelah menjalankan misinya untuk mengantar sesuatu ke Agensi Detektif Bersenjata, dia mendadak punya ide yang ingin diusulkannya pada sang bos, Dazai Osamu.

"Atsushi-kun, ada apa menemuiku jam segini?" Dazai kelihatannya sedang membaca beberapa dokumen yang berserakan di mejanya ketika menyadari kedatangan Atsushi. "Oi, Chuuya, bantuin!" serunya seenaknya pada bawahannya yang duduk santai menyandar ke meja.

"Enak saja, salahmu yang menumpuk pekerjaan." Chuuya menolak. "Seingatku Gin sudah mengantarkan berkas-berkas itu padamu sejak kemarin."

"Heeh," Dazai kembali meluruskan kepalanya ke arah Atsushi. "Jadi, ada apa?"

"I-itu ... Mengenai konflik dengan Mimic, setahuku sudah semakin berat." Atsushi memulai dengan gugup.

"Ah, benar."

"Jadi, bagaimana kalau kita mengadakan aliansi dengan suatu organisasi ... Untuk membereskan Mimic itu?" Atsushi menelan ludahnya ketika Dazai hanya diam menatapnya. "Maksudku adalah, aliansi dengan Agensi Detektif Bersenjata ..."

Chuuya yang dari tadi bahkan tidak menoleh tiba-tiba saja bangkit berdiri. "Bocah, bagaimana bisa kau berpikiran senaif itu? Port Mafia dan Agensi Detektif Bersenjata sudah menjadi musuh bahkan sejak bos sebelumnya. Kau pikir mereka bersedia bekerjasama?"

"Ah, iya ... Tapi," Atsushi menatap kakinya, urung menguatkan pendapatnya sendiri setelah mendengar beberapa patah kata dari Chuuya yang benar-benar menihilkan niatnya

Dazai terdiam beberapa saat. Seolah mempertimbangkan banyak hal. "Setahuku Mori-san dan Shachou dulunya adalah rival. Um ... Sebenarnya ini sangat menarik." Pemuda itu tersenyum dengan cara yang membuat Chuuya menghela napas.

"Chuuya, bisa temani aku mengunjungi gedung agensi itu besok?" tanya Dazai santai. Daripada menerobos teritorial musuh, ini lebih terlihat seperti akan makan siang di kafe.

"Kalau itu perintah dari Dazai, aku tentunya menolak. Tapi sebagai bos Port Mafia, perintahmu adalah mutlak. Benar, kan?" Chuuya menyahut sebal. "Jadi apa gunanya sok-sok nanya begitu."

"Untuk mengganggumu, tentunya."

"Cih."

Atsushi hanya menonton adegan di depannya. Tidak tahu harus berbuat apa selain pura-pura tidak terlibat.

"Atsushi-kun," Dazai tiba-tiba memanggilnya dengan keseriusan mendadak.

"Ya?"

"Apa Akutagawa-kun marah dan menyerangmu?"

"Iya."

Chuuya geleng-geleng kepala. "Dengan sambutan begitu, bagaimana bisa aliansi akan terjalin?" keluhnya tak percaya. Tapi ketika melirik ekspresi Dazai yang sangat tenang, secara ajaib untuk beberapa detik dia merasa itu akan berhasil.

Itu tepat jam tujuh pagi ketika Kunikida masuk ke kantor agensi. Dering panggilan masuk berbunyi keras dari meja. "Halo, kutebak ini Kunikida-kun?" Terdengar sapaan ceria dari seberang ketika telepon diangkat.

"Siapa?" tanya Kunikida spontan. Terang saja dia heran ketika tahu-tahu orang yang tidak dikenalnya mampu menebak tepat lawan bicara bahkan sebelum mendengar suaranya.

"Aah, apa ada Fukuzawa-shachou di sana?" Tanpa menggubrisnya, orang itu seenaknya memaksa Kunikida memindai ruangan dan menemukan sang pimpinan berdiri tepat beberapa langkah di belakangnya.

Melihat cara Kunikida melotot saat menatapnya, Fukuzawa entah kenapa mengerti bahwa si penelepon ingin bicara dengannya. Jadi dalam beberapa detik, gagang telepon berpindah tangan.

"Halo," Fukuzawa berbicara, menunggu balasan dari orang di seberang.

Perlu beberapa detik untuk Dazai menahan napas ketika mendengar suara tegas dari sang pimpinan. "Halo," Akhirnya dia menyahut. "Aku Bos Port Mafia saat ini, Dazai Osamu." Oh, dia bisa merasakan aura berbahaya dari pendekar pedang itu bahkan lewat telepon.

"Apa maumu?" tanggap Fukuzawa kemudian. Ekspresinya yang serius bertambah serius dan itu menjadi perhatian para anggota agensi lain yang baru datang.

"Aku cuma ingin memberitahu bahwa pihakku akan berkunjung hari ini ke kantor Anda untuk mengadakan semacam negosiasi." Dazai berkata lancar dan tenang.

"Kalau begitu aku tidak bisa menjamin utusanmu akan kembali dengan selamat." Fukuzawa melirik ekspresi para anggota Agensi yang terpaku menunggu instruksi darinya.

"Eh, utusan?" Dazai mengulang dengan nada geli. "Baik, baik, aku mengerti." Dengan begitu dia menutup panggilan. Bergumam bahwa tentu saja dia tidak bisa menyerahkan urusan seperti ini hanya pada seorang utusan. Ini adalah pertemuan yang harus dia sendiri -sebagai Bos Port Mafia- hadiri.

Gin masuk dengan membawa secangkir teh dan beberapa amplop surat dari pemerintah. Dia bekerja dengan cukup baik sebagai seorang sekretaris. Pendiam, tepat waktu, tidak pernah melakukan kesalahan berarti.

"Gin-chan," Dazai memanggilnya dengan gaya jenaka. "Apa hari ini kau senggang?"

Gin mengedipkan matanya beberapa kali. "Iya...?" jawabnya ragu. "Apakah Anda perlu bantuan, Bos?"

•~•

"Hei, kenapa situasinya menegangkan begini?" tanya Kenji yang baru datang dengan ceria.

"Ada tamu yang akan datang." Tanizaki memberikan jawaban singkat.

"Klien?" Kenji menyimpulkan, wajahnya menjadi lebih bahagia.

Odasaku yang duduk di meja kerjanya diam-diam sedang mengisi ulang peluru. Laki-laki yang ekspresinya cenderung datar itu menatap kosong ke di dinding di hadapannya. "Bukan klien. Tergantung pada situasi, bisa saja terjadi pertumpahan darah di sini."

Dan senyum dengan segera surut dari bibir Kenji.

Pukul sembilan lewat lima belas menit ketika Tanizaki yang berjaga di kafe menelepon ke lantai empat bahwa orang yang dicurigai sebagai utusan Port Mafia memasuki gedung. Pemuda itu berkata bahwa mereka terdiri dari 3 orang.

Ketika Dazai membuka pintu kantor agensi, dia tersenyum kecil melihat wajah-wajah yang menyambutnya dengan tatapan permusuhan yang agaknya mampu membekukan ruangan.

"Selamat datang, utusan Port Mafia. Aku Fukuzawa Yukichi, pimpinan di sini." Fukuzawa yang berdiri paling depan memperkenalkan dirinya dengan lantang.

"Aku Dazai Osamu. Terima kasih atas sambutan kalian."

Untuk beberapa detik, Fukuzawa merasa kaget bahwa anak muda di hadapannya adalah seseorang yang kini memegang jabatan paling tinggi organisasi gelap Port Mafia.

"Ehm, Odasaku, Kunikida-kun, aku sarankan agar kalian menyimpan saja dulu pistol itu," saran Dazai. "Lagipula rekanku ini bisa memantulkan balik arah peluru, jadi itu akan gawat," sambungnya merujuk pada Chuuya yang berdiri selangkah di belakangnya.

Odasaku dan Kunikida yang sebenarnya menyembunyikan tangan mereka saling bertukar pandang. Lalu mengangguk dan meletakkan pistol mereka di meja dengan kehati-hatian yang semakin meningkat.

"Sepertinya kalian tidak akan menyediakan tempat duduk, itu sedikit menyedihkan." Dazai belum bergerak sedikitpun dari ambang pintu. "Tapi itu tidak masalah. Apa kalian sudah dengar tentang Mimic?"

"Ya. Tapi Divisi Pengawas Orang Berkemampuan Khusus yang akan mengatasi mereka," sahut Fukuzawa. "Kami tidak tertarik bergabung dengan perselisihan antar kalian."

Dazai mengangguk kecil seolah reaksi begitu sudah diperkirakannya. "Hai, Akutagawa-kun, sepertinya hidupmu sudah lebih baik, huh?" sapanya tiba-tiba pada si pengguna Rashoumon yang langsung mendelik begitu namanya disebut.

"Kembalikan adikku." Akutagawa menggeram dengan mata memendam kemarahan.

"Itu harga terakhir yang kupikirkan." Dazai bergumam. "Nah, Gin-chan?" Dari belakang punggungnya, seorang wanita berjalan maju dengan kepala menunduk dalam.

"Gin!" Hampir melompat dari tempat duduknya, Akutagawa tidak bisa menahan diri untuk tidak maju dan mendekati adik perempuannya itu. Tapi sebelum ia berhasil menyentuhnya, Chuuya sudah berjalan lebih dulu ke depan Gin, merentangkan tangannya tanpa bicara.

"Kita belum membuat kesepakatan, Akutagawa-kun." Dazai berkata dengan muram.

"Kesepakatan apanya? Mengembalikan seorang adik pada kakaknya bukanlah sesuatu yang harus diberi imbalan. Tindakanmu yang memisahkan mereka sampai sekarang dapat disebut kejahatan." Oda menyuarakan protesnya.

"Kejahatan?" Tatapan Dazai tiba-tiba menjadi lebih dingin. "Aku sebagai mafia tidak akan menyangkal hal tersebut. Tapi asal tahu saja, Akutagawa-kun sudah membunuh 6 orang bawahanku."

Akutagawa berseru, "Tapi Port Mafia lah yang memulai dengan membunuh teman-temanku!"

"Bahkan meski begitu, apa kau yakin bukan mereka yang memulai permasalahan?"

Akutagawa mengepalkan tangannya. "Kami hanya ingin hidup."

Hening untuk sesaat. Fukuzawa memegang gagang pedangnya dengan mata terpejam. "Dazai Osamu, atas nama Agensi Detektif Bersenjata, kembalikan Gin pada kakaknya."

Dazai tidak langsung bereaksi. Sementara Chuuya kelihatannya sudah siap untuk pertarungan. Gin sendiri hanya terpekur saat keberadaannya diperebutkan.

"Bagaimana kalau begini? Jika kalian bersedia membantu dalam pembasmian Mimic, aku akan mengembalikan Gin." Dazai mengajukan syarat. "Ah, dan selama itu, aku juga tidak masalah jika Gin tinggal bersama Akutagawa-kun. Ini sangat menguntungkan kalian, kan?"

Ada celah yang besar di sini. Tidak masalah jika Agensi mengulur waktu. Selama misi penumpasan Mimic berlangsung, Gin akan berada di pihak Agensi. Jika misi sukses maka tidak ada alasan Port Mafia kembali merekrut Gin. Jika pun pertarungan menjadi sulit, maka tidak masalah karena kontrak itu hanya terputus jika Agensi secara tegas menolak untuk bekerja sama.

"Bukankah itu tawaran yang tidak masuk akal? Apa jaminan bahwa Agensi tidak akan berkhianat?" tanya Ranpo, memicingkan matanya.

"Tentu saja kami punya banyak celah untuk menarik sandera. Salah satunya adalah alamat anak-anak yatim yang dibesarkan Odasaku. Ah, ada juga para karyawan biasa seperti Haruno-san, atau pekerja sambilan, Naomi-san." Dazai membacakan daftar target dengan sangat lancar.

"Kau!" Odasaku menarik pistolnya. "Jangan pernah sentuh mereka," ancamnya dingin dengan posisi pistol mengarah tepat ke dahi Dazai.

Chuuya menghela napas, menghentakkan sebelah kakinya dan warna merah efek pengendalian gravitasinya menjalar cepat ke posisi Odasaku, menjatuhkan pistol itu dalam prosesnya. "Aku mengerti bahwa kalian ingin membunuhnya. Tapi itu adalah bagianku nanti." Ia mengeluh setelah dari awal menutup rapat mulutnya.

"Seperti yang dia bilang," Dazai bersenandung. "Ngomong-ngomong Shachou, tadi Anda mengatakan bahwa Divisi Khusus akan mengatasi Mimic, tapi kenyataannya adalah tugas tersebut telah dilimpahkan pada Port Mafia. Apa Anda sekarang memahami seberapa rumitnya persoalan ini?"

"Jangan bicara sembarangan. Ketua Taneda mempercayakan hal seperti itu pada organisasimu?" Fukuzawa terlihat tidak yakin.

Ranpo berpikir, matanya menilai kejujuran Dazai dengan seksama. "Dia tidak berbohong, Shachou," komentarnya setelah menyimpulkan.

"Seperti yang dikatakan Ranpo-san. Kita bisa sepakat?" desak Dazai. Dia terlihat lelah dan pucat layaknya penderita anemia. Bahkan mendengar cara bicaranya, Chuuya menoleh seolah siap menahannya kalau jatuh.

Fukuzawa mengangguk, "Kurasa itu keputusan terbaik saat ini. Namun, aku akan membunuhmu kalau sampai ada bawahanku yang mati dalam misi gabungan ini."

"Dimengerti," Dazai menyanggupi. "Gin-chan, sana, temuilah kakakmu tersayang." Pemuda itu mendorong pelan punggung Gin untuk maju ke arah Akutagawa.

Gin menatap ragu pada Dazai, tapi Akutagawa dengan segera menarik lengannya, mengantisipasi perintahnya itu tidak dicabut. Dan Dazai tertawa kecil melihat sikap protektif Akutagawa.

"Nah, dah selesai kan, ayo cepat balik." Chuuya mengingatkan Dazai dengan nada bosan. Tapi beberapa orang di ruangan tersebut bisa melihat kilat kekhawatiran berkelebat di mata pemuda itu.

"Iya, Iyaa," Dazai menurut dengan gaya enggan. "Oh, terakhir, Odasaku," Sebelum berbalik arah, Dazai menyempatkan diri bertatapan dengan salah satu anggota agensi itu. "Jangan sampai seseorang bernama Gide mengetahui kemampuanmu." Pesan yang disampaikannya kedengaran sangat serius.

•~•

Sudah seminggu sejak pertemuan antar dua pimpinan organisasi tersebut, namun belum ada perkembangan berarti. Anggota Agensi bahkan mulai berpikir bahwa Dazai melupakan kesepakatan kerja sama karena hingga kini tidak ada pembahasan lanjutan.

Sementara Akutagawa membawa Gin ke asramanya, sempat terjadi perdebatan tanpa dua saudara itu tentang seberapa bisa dipercayanya Gin mengingat posisinya sebagai sekretaris Port Mafia.

Yosano dengan teori stockholm syndrome, berbantah dengan Kunikida yang berbicara tentang idealismenya. Odasaku kemudian menyarankan jalan tengahnya yang disetujui oleh Fukuzawa.

Itu hari Minggu yang agak mendung ketika Odasaku membawa para anak asuhnya berkunjung ke museum. Akutagawa ikut dengan mereka. Dia awalnya juga mengajak Gin namun adiknya itu mengatakan bahwa ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan jadi dia tidak bisa.

Mengubah jalan cerita tidak semudah yang diharapkan Dazai Osamu. Karena di museum tersebut secara kebetulan Gide benar-benar bertemu lagi dengan Odasaku. Sekalipun Odasaku mengaku tidak punya motivasi untuk membunuh, Gide tentu tidak menyerah dan berjanji akan membuat pria dengan kemampuan serupa dengannya itu memahami perasaan mereka.

Ketika Odasaku dan Akutagawa masuk ke kafe Uzumaki dengan tampilan berantakan setelah konfrontasi jarak dekat, mereka cukup kaget melihat bos Port Mafia tertidur di salah satu meja dengan minuman yang masih mengepulkan asap dalam jangkauan tangannya. Jam di dinding menunjukkan pukul lima sore.

Mungkin karena merasakan ada perubahan cahaya, Dazai terbangun. "Ngg ... Kalian rupanya."

"Kau tidak terlihat sehat," gumam Odasaku. "Yah, dari kemarin juga sih," sambungnya datar. Hei, kenapa juga dia peduli pada pimpinan musuh?

Dazai mengerjabkan matanya beberapa kali, mengusir pusing yang muncul setelah bangun tidur. "Masa ah, aku selalu dalam kondisi terbaikku ... " Pemuda penuh perban itu meregangkan tangannya.

"Kalau ada urusan dengan pimpinan, kau bisa langsung ke atas." Odasaku jelas tidak begitu percaya melihat kulit pucat Dazai dan kantung tebal di bawah matanya.

"Tapi kali ini urusannya denganmu." Dazai meraih gelas minumannya, menyeruput cairan hangat di dalamnya tiga kali. "Sepertinya kalian habis bertarung ya."

"Maaf." Odasaku agaknya baru sadar bahwa dia telah melanggar peringatan dari Dazai.

Akutagawa yang awalnya berdiri di belakang Odasaku sedikit-sedikit merapat ke meja yang menjadi jarak mereka dengan Dazai. "Apa ada hal buruk yang akan terjadi?" Ia memberanikan diri bertanya.

"Nah, justru aneh kalau tidak, kan? Odasaku, kau pikir bagaimana cara termudah menghilangkan keinginan hidup?"

Odasaku terdiam sebentar, berpikir bahwa Dazai benar-benar menebak dengan tepat situasinya tanpa perlu mendengar penjelasan. "Itu ..." Ketika sang penulis teringat daftar target Dazai kemarin terkait sandera, matanya mendadak membelalak.

"Akutagawa, cepat!" Setengah menyeret, Odasaku dengan terburu-buru berlari keluar dari kafe. "Anak-anak dalam bahaya!"

Dazai hanya menatap kepergian mereka dengan tanpa ekspresi. "Gin-chan," panggilnya pada karyawan baru di kafe itu. "Bisa tolong tambahkan es batu?"

Sudah hampir gelap ketika Odasaku dan Akutagawa sampai di rumah. Jantung mereka terasa berpacu ketika mendengar bunyi raungan dan benturan logam dari dekat.

Sementara Odasaku mencabut pistolnya dan Akutagawa bersiap mengaktifkan Rashoumon, mereka disambut dengan pemandangan bus yang terbelah dua.

Perwujudan Yasha Shirayuki menyarungkan kembali pedang raksasanya. Kyouka melirik sekilas ke arah Atsushi yang cakar-cakarnya berlumuran darah. Mayat beberapa pria dewasa yang mengenakan mantel penutup kepala berserakan di sekitar. Sementara itu anak-anak malang yang melihat pembantaian di hadapan mereka duduk merapat di depan pintu dengan gemetar.

"Kau ... Yang kemarin," Akutagawa mengenali Atsushi. Atsushi balas menatap Akutagawa, menganggukkan kepalanya sekali.

"Apa yang terjadi di sini?!" Odasaku bertanya. Yang dia tahu adalah para remaja seperti Atsushi dan Kyouka masih terlalu muda untuk membunuh orang-orang. Bahwa tatapan dingin di mata mereka bukan hal yang normal untuk usianya.

"Perintah dari Bos." Kyouka menjawab, nada suaranya seolah bergumam pada diri sendiri. "Dia menugaskan kami untuk melindungi anak-anak di rumah ini sampai konflik dengan Mimic berakhir."

Untuk saat itu, Odasaku tidak tahu bagaimana dia harus berpikir tentang Dazai Osamu. Di satu sisi, dia sangat berterima kasih karena telah menyelamatkan para anak asuhnya. Di sisi lain, dia tidak bisa menerima bagaimana Atsushi dan Kyouka diperlakukan layaknya senjata.

"Gin memberitahuku kalau kau di sini." Sekitar pukul sebelas malam, Chuuya masuk ke kafe yang lengang dengan ekspresi mengantuk. Dia menatap Dazai yang duduk bertopang dagu di depan gelas kosong dengan setengah mencibir. "Apaan nih, keasyikan minum?"

"Hei, Chuuya, sebenarnya kafe ini tempat yang bagus. Aku menyarankannya padamu kalau minat minum kopi." Dazai yang kelihatannya tidak terkejut dengan kedatangan Chuuya melambai-lambaikan tangan dari mejanya.

Chuuya tidak membalas. Tangannya memutar-mutar kunci mobil, seolah mengajak Dazai pulang. "Tanggung," si bos muda beralasan. "Besok pagi aku harus ke sini lagi."

"Hmm, kenapa?" Chuuya bertanya. Tidak bisa menebak alasan rekan yang sekarang jadi atasannya.

"Pembersihan Mimic." Dazai menjawab dengan bosan. "Sepertinya sudah tidak bisa ditunda lagi." Jika dibiarkan, kerusakan yang dibuat para veteran perang itu di Yokohama ini akan semakin parah.

"Apa kau berniat menggunakan Oda Sakunosuke?" Chuuya memastikan, belakangan dia tahu kemampuan ketua Mimic sama dengan salah satu anggota agensi yang sekarang beraliansi.

"Sayangnya itu tidak bisa." Dazai mengetukkan jarinya ke meja. "Jika dia bertarung melawan Gide, yang ada malah duel yang tak selesai. Yah, beda lagi jika akhirnya dia punya alasan untuk membunuh."

Chuuya mengedip-ngedipkan matanya. "Kau yang membocorkannya? Lokasi rumah anak-anak yatim itu?" Gagasan itu terasa sangat sesuai dengan Dazai.

"Iya. Aku meminta agen rangkap tiga -Sakaguchi Ango- memberikan informasi itu pada Gide." Dazai sama sekali tidak membantah.

"Hah?"

"Ayolah, Chuuya, aku bosan menjelaskan," keluh Dazai. "Kamu tidak cocok untuk jadi bos mafia kalau beginii~" ejeknya lagi.

"Enak saja!" umpat Chuuya, tidak terima direndahkan, dia mencoba memutar otaknya. "Haah, jangan-jangan karena cepat atau lambat Mimic akan menemukan kelemahan Oda?"

"Tumben pinter."

Chuuya menghela napas, sebenarnya dia cuma asal tebak saja. "Oh, jadi kau membocorkan informasi untuk memancing pergerakan Mimic?" Dengan begitu Dazai juga bisa langsung mempersiapkan antisipasinya.

Dazai tidak mengangguk, lagi-lagi tenggelam dalam pemikirannya sendiri. "Chuuya, aku ingin menugaskanmu untuk menemui seseorang."

"Penting?" Itu bukan pertanyaan yang berani disuarakan para mafia ketika Dazai mengeluarkan perintah. Tapi mereka sudah saling kenal bertahun-tahun, membuat jurang sosial antar keduanya nyaris hilang.

"Pergi ke alamat ini. Kau harus sampai sebelum sore." Dazai memberikan selembar catatan yang berisi tulisan tangannya. "Terus ... Serahkan ini padanya." Sebuah amplop surat biasa.

"Sama saja kau menyuruhku pergi pagi-pagi." Chuuya mendengus, kadang-kadang dia sendiri mempertanyakan loyalitasnya ketika berhadapan dengan Dazai.

"Tepat sekali, pergilah dengan baju tidurmu dan jatuh ke juraang ~" Seperti biasa, Dazai selalu mengatainya seriang itu. Chuuya tiba-tiba teringat bagaimana Dazai menyuruhnya menerima peluru musuh dan mati di malam konflik dengan Shibuzawa

"Diam. Pada akhirnya yang ingin mati kan kau," Balas menyumpahi Dazai tidak ada gunanya. Chuuya sudah terlalu berpengalaman kalah dalam perang kata.

"Yaa, itu memang tidak salah sih," Dazai menguap. "Ya sudah, sana pergilah." Dengan santai dia malah mengusir Chuuya.

Melirik jam dinding, Chuuya pada akhirnya malah duduk di salah satu kursi, berhadapan dengan Dazai. "Setidaknya biarkan aku istirahat beberapa jam." Tanpa menunggu persetujuan, dia merebahkan kepalanya ke meja.

"Yah, baiklah," Dazai sendiri kembali menyandarkan kepalanya ke kursi, memejamkan mata.

•~•

Dazai terbangun ketika mendengar hentakan sepatu Kunikida. Dia melihat bangku di hadapannya sudah kosong, yang berarti Chuuya sudah lebih dulu bangun dan berangkat ke alamat yang ditulisnya.

"Lain kali kau bisa meminjam kamar kosong di lantai atas, daripada tidur semalaman di sini," celetuk Ranpo yang kelihatannya sedang mengisi ulang kaleng permen.

"Akan kupertimbangkan," Dazai menanggapi tawaran itu dengan sopan. Dia berinisiatif ke wastafel terdekat untuk mencuci muka. Ranpo masih betah di salah satu meja, seperti sengaja menunggunya. Tanpa kesepakatan, kedua orang itu berjalan beriringan ke lantai empat, kantor agensi.

"Selamat pagi~" Dazai menyapa para anggota agensi dengan ceria. "Sesuai kesepakatan kemarin, aku membutuhkan bantuan kalian." Detik berikutnya, keseriusan mewarnai suaranya yang tenang dan dalam.

"Siapa saja yang kau butuhkan?" Kunikida bertanya. Dia tidak terlalu peduli dengan aliansi ini, tapi mengingat Mimic berbahaya bagi Yokohama, dia akan mengesampingkan fakta bahwa bekerjasama dengan musuh tidak cocok dengan panduan idealnya.

"Kunikida-kun hebat dalam serangan kejutan, kan. Itu akan sangat berpengaruh pada adegan pembuka." Dazai merujuk pada kemampuan Kunikida yang bisa membuat bom cahaya atau semacamnya di detik-detik yang menentukan.

"Yah, adegan pembuka?" Ngomong-ngomong, Kunikida sedikit sakit hati mendengar perannya versi Dazai.

"Kemampuan Tanizaki-kun akan sangat berguna untuk penyusupan. Kita bisa pakai itu."

"Yosano-sensei berjaga di belakang saja." Dazai beralih mengatur posisi sang dokter. "Kenji-kun yang akan menemani Anda."

"Kau tahu banyak, ya," Ranpo tiba-tiba angkat bicara. "... Tentang kemampuan masing-masing kami dan cara terbaik menggunakannya." Suasana mendadak hening, anggota lain juga merasa aneh dengan Dazai yang seperti sudah lama mengenal agensi.

"Banyak hal bisa diperoleh hanya dengan penyelidikan sederhana." Dazai membuat alasan.

"Itu masuk akal sih," Ranpo mengangguk setuju.

Akutagawa datang belakangan. Dia melaporkan bahwa Odasaku tidak bisa hadir hari ini karena anak-anak yang masih trauma menahannya pergi. Dazai berkomentar dia sudah menduganya dan menjadikan Akutagawa satu tim dengan Kunikida.

Fukuzawa diam-diam mendengarkan penyusunan strategi Dazai dari ruang sebelah. Meskipun terlihat seperti sedang menikmati teh pagi, pria itu sebenarnya berusaha untuk fokus agar tidak melewatkan pembicaraan.

"Kapan tepatnya kita memulai penyerbuan?" Yosano mengangkat tangannya, interupsi.

"Berdasarkan pra kiraan cuaca, akan hujan beberapa jam. Operasi dimulai tepat setelah hujan itu berhenti." Dazai menjelaskan dengan rinci.

Giliran Kenji yang bertanya, "Tempat musuh memangnya di mana?" Itu salah satu hal paling penting yang belum dibahas.

"Kalau itu, aku baru mau menanyakannya." Dazai mengalihkan perhatian pada Akutagawa. "Mereka meninggalkan petunjuk, kan?" Akutagawa mengeluarkan sehelai kertas bergambar denah sederhana dari saku bajunya.

"Oke, dengan begini semua beres.." Dazai menepukkan kedua tangannya dengan puas. "Kalau begitu, sampai ketemu nanti." Dengan langkah tergesa, penggila perban itu meninggalkan ruangan. Berkata bahwa dia juga harus mengomando para mafia.

Itu sore yang indah dengan rerumputan masih basah. Satu regu yang dipimpin Dazai bertemu dengan para agen detektif di depan bangunan yang merupakan markas musuh.

"Hirotsu-san, setelah ini komando kuserahkan pada Anda," kata Dazai tanpa menatap pria yang diberinya mandat.

"Saya mengerti. Anda akan memisahkan diri?" Hirotsu memastikan. Ini tidak dalam rencana. Tapi sudah biasa anak itu punya celah tersembunyi dalam strategi.

Dazai menoleh. menunjukkan senyuman yang Hirotsu menemukan seberkas kesedihan di sana. "Terima kasih." Pertanyaannya tidak memperoleh jawaban.

Penggrebekan dimulai. Hirotsu mulai dengan menghancurkan pintu depan. Kunikida dan Akutagawa menyerbu masuk paling awal. Beberapa tentara Mimic berjatuhan disabet torrent Rashoumon.

Sepasukan lagi datang dengan persenjataan lengkap. Kunikida mengaktifkan kemampuannya, cahaya silau memenuhi ruangan dan ketika redup para mafia sudah membereskan sebagiannya.

"Mana Si Bos dan Tanizaki?" Kunikida sadar ada anggota mereka yang menghilang.

"Daripada itu, musuh yang menunggu kita di dalam masih sangat banyak. Jangan lengah!" Hirotsu mengingatkan.

Sementara itu Dazai dan Tanizaki berjalan dengan santai menyusuri koridor. Dengan kemampuan Sasame Yuki, kedua orang itu lolos dari pandangan.

"Dazai-san ... Sebenarnya kita mau ke mana?" Tanizaki bertanya dengan canggung.

"Tempat dimana Ketua Mimic menunggu." Dazai menjawab lugas. "Oke, sampai di sini saja," Dia berhenti ketika sampai di antara deretan pintu. "Tolong samarkan pintu-pintu ini jadi dinding setelah aku masuk."

"Itu mudah, tapi kenapa?"

"Ini bakal jadi duel satu lawan satu jadi bagusnya biar gak ada yang ikut campur." Dazai masuk ke salah satu pintu secara asal. Dia sudah pernah ke tempat yang sama sebelumnya. Membuatnya tahu bahwa semua pintu itu terhubung ke semacam aula. "Sampai jumpa, Tanizaki-kun."

Di dalam sana, Gide sudah bersiap dengan senjatanya. "Kamu kelihatan kecewa," Dazai tersenyum "Setidaknya bisa tolong jangan terlalu jelas?"

"Aku cuma tidak menyangka akan berhadapan langsung denganmu." Gide mengaku, "Dazai Osamu, kau yang telah menggagalkan rencanaku memancing Sakunosuke."

Dazai menyeringai. "Langsung saja, jangan berdiri terlalu dekat denganku." Dazai mengingatkan ketika jarak mereka tinggal 2 meter. "Atau kau akan kehilangan kemampuan yang kau banggakan." Dor! Tembakan pertama itu gagal diprediksi Gide. Bahunya mengucurkan darah. Dengan cepat veteran itu mengambil jarak. Dia menemukan kegilaan di mata Dazai yang dengan puas menembak secara beruntun.

•~•

Odasaku duduk di tengah ruangan. Sakura tertidur di pangkuan. Katsumi bersandar ke punggungnya. Yang lainnya juga tidak mau jauh-jauh. Mereka bahkan mengikutinya sampai pintu kamar mandi baru-baru ini.

Beberapa jam lalu Akutagawa mengiriminya pesan tentang detail rencana penyerangan. Itu kelihatan bagus. Dengan adanya Yosano, dia tidak terlalu mengkhawatirkan keselamatan para agen detektif. Tapi kenapa perasaan resah ini tidak hilang? Odasaku merasa ada sesuatu yang salah tapi dia tidak tahu apa itu. Menatap ke luar jendela, Odasaku tiba-tiba merasakan getaran halus dari saku bajunya.

"Halo," Odasaku menjawab panggilan yang diketahuinya berasal dari agensi.

"Orang itu berniat mati." Suara Ranpo yang tenang dan serius membawakan kalimat tersebut seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.

Odasaku terdiam, tidak tahu harus merespon apa. Bunyi panggilan berakhir menyadarkannya bahwa Ranpo juga tidak memberikan saran apa pun. Lalu kenapa memberitahunya?

Pelan-pelan pria berambut merah gelap itu bangkit, dia memindahkan Sakura ke sofa dan menyambar mantelnya yang biasa. Buru-buru menyelipkan dua buah pistol di holster, Odasaku yakin pelurunya terisi penuh.

"Odasaku ... Mau kemana?" Yuu bertanya padanya, mengalihkan pandangan dari buku yang dari tadi ia tekuni.

"Maaf, ada yang harus kulakukan." Oh, Odasaku bisa merasakan tatapan tidak puas para bocah menghujam punggungnya. Dia memberi usapan singkat di kepala masing-masing dan mulai memakai sepatu. Ketika dia membuka pintu, Atsushi dan Kyouka masih duduk di teras, memandangi langit yang seolah menangis tanpa suara.

"Hei, kalian," panggil Odasaku pelan, tidak ingin mengejutkan keduanya yang sedang larut dalam lamunan. Atsushi dan Kyouka menoleh, bertanya ada apa. "Tolong jaga anak-anak, oke?" Pintanya hanya dibalas dengan anggukan heran. Itu adalah perintah Dazai jadi untuk apa mengulanginya lagi? Mungkin itu yang mereka pikirkan.

Ketika Odasaku sudah meninggalkan rumah beberapa langkah, dia samar mendengar percakapan singkat antar dua remaja Port Mafia itu.

"Kyouka-chan, apa Dazai-san akan baik-baik saja, ya?"

"Aku tidak tahu. Semoga saja."

Dan Odasaku mempercepat langkahnya. Setidaknya ada satu hal baru yang kini ia ketahui. Bahwa kedua anak itu menyimpan rasa hormat pada sang Bos Port Mafia terlepas dari apakah mereka suka atau tidak digunakan seperti ini. Bahwa alih-alih sebagai alat, mereka malah memandang Dazai Osamu sebagai seorang penyelamat. Dan karena itulah dia tidak bisa membiarkan orang itu mati.

Membiarkan sepatunya basah karena berlari menjejaki sisa genangan air di cekungan aspal, Odasaku berharap dia tidak terlambat. Sampai di gerbang, terlihat Yosano sedang mengobati para mafia yang terkena luka tembak. Kenji menggotong orang-orang yang terluka dari dalam untuk dibawa ke hadapan si dokter agensi.

"Wah, Oda-san, Anda datang?" Bocah agraris itu menyapa Odasaku dengan senyuman heran.

"Bagaimana situasinya?" Odasaku menghampiri mereka.

"Ntah ya, yang lain sepertinya masih terlibat pertempuran di dalam." Yosano tercenung sesaat, "Informasi terakhirnya sih Tanizaki ngilang."

Odasaku berterima kasih, berlari masuk ke dalam. Lorong-lorong sepi, banyak orang terluka di kaki dan tak bisa bergerak. Tangan mereka diikat dan kelihatannya senjata sudah dilucuti.

"Kunikida!" seru Odasaku ketika melihat rekannya bersandar di salah satu tiang, tampak bekas goresan peluru merobek bajunya di bagian bahu. "Mana Akutagawa?"

"Dia menyisir ke sebelah sana," jawab Kunikida. "Dia gak terluka kok, musuh juga sudah habis. Kami sedang mencari Tanizaki." Odasaku mengangguk paham. Dia melirik Hirotsu yang memimpin pasukannya untuk menyebar, mencari-cari sisa musuh. Sesekali terdengar bunyi tembakan dari bagian lain bangunan.

Odasaku tahu Tanizaki tidak punya alasan khusus untuk bersembunyi. Itu berarti ini ada kaitannya dengan Dazai, orang yang juga tidak kelihatan.

"Oi, Tanizakii!" panggilnya pada dinding-dinding kosong, menyimpulkan bahwa rekannya itu pasti menggunakan Sasame Yuki makanya tidak kelihatan.

"Oda-san," Tanizaki muncul tidak jauh darinya. "Begini, bos Port Mafia itu yang menyuruhku ... " jelasnya tergesa. "Tapi aku khawatir ... Dari tadi ramai bunyi tembakan, tapi sekarang jadi diam," lapornya.

"Biarkan aku lewat." Odasaku meminta Tanizaki menghilangkan dulu latar buatannya. Tanizaki sempat ragu, terikat dengan perintah Dazai yang sudah lebih dulu. "Dia bisa mati!" Odasaku masih ingat bagaimana skill Gide saban sore. Tanizaki mengangguk buru-buru.

Dazai dalam posisi terduduk, darah yang mengalir deras dari lututnya menggenangi lantai. "Nee, berapa pelurumu yang tersisa?" tanya Dazai menahan sakit. Warna merah yang basah merembes dari perban di sekitar kepalanya, menetes hingga dagu.

"Satu." Gide menyahut jujur. Tatapannya tidak berhenti mencoba menemukan alasan pria di hadapannya tersenyum pada kematian. Veteran perang itu ingin mati, tentu saja. Dia sudah kehilangan alasan untuk hidup, barangkali itulah sebabnya.

Namun lawannya berbeda. Daripada kehilangan, tatapan lelah itu lebih ditujukan pada kehampaan. Seseorang yang tidak punya apa pun dari awal. Menyadari kesimpulan memilukan itu, diam-diam bulu kuduknya meremang.

"Aku punya tiga." Dazai memutar-mutar pistolnya. "Beri aku keringanan dong. Skil menembak kita kan beda jauh ~"

Gide menimbang-nimbang permintaan Dazai. Memang benar kalau dari tadi tembakan Dazai tidak ada yang mengenai titik vitalnya. Pemuda itu terus menerus mundur beberapa langkah setelah melakukan tembakan beruntun. Tapi pergerakan Dazai pada dasarnya tidak buruk juga. Dia menangkis peluru yang diarahkan ke dadanya dengan sebelah tangan, mengelak dengan nyaris sehingga hanya mendapat goresan, tapi yah, pada akhirnya dia jatuh juga.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Gide akhirnya. Diam-diam dia menghormati cara Dazai mengisolasi mereka berdua di ruangan ini sehingga mengurangi korban dari pihak Port Mafia dan Mimic sendiri, yang bisa saja ikut campur mengintervensi.

Dazai mengedipkan matanya yang agak kabur beberapa kali, tidak menyangka Gide setuju. Kemudian dia tersenyum. "Begini, biarkan aku menembakkan tiga peluruku baru kemudian kamu membalas."

"Baiklah." Dengan kemampuan khusus Gide, menghindari peluru adalah hal yang mudah. Sementara itu saat ini Dazai dalam kondisi tidak bisa bergerak dari posisinya, jadi cukup satu peluru untuk penyelesaian.

Dor!

Gide melihat secara tidak nyata bagaimana peluru pertama Dazai diarahkan pada tali gantungan lampu raksasa yang berada tepat di atas kepalanya. Sementara tembakan kedua ditargetkan pada lampu paling rendah, memecahkannya. Kemudian peluru terakhir mengarah tepat ke jantung. Gide yakin sekali slide terakhir yang dilihatnya adalah gambar semburan darah dari dadanya.

Dan Dazai memang melakukannya persis dengan gambaran Gide. Dia tidak mundur tanpa alasan dari tadi. Menggiring Gide ke bawah lampu adalah bagian dari strateginya. Sekarang, bahkan jika Ketua Mimic itu bisa melihat kemungkinan, bagaimana caranya menghindari ketiganya dalam hitungan detik?

"Ow, meleset, ya," Dazai menggerak-gerakkan lengan tangannya yang pegal. Matanya menatap bosan Gide yang berhasil melompat mundur dengan timing yang sempurna. Alih-alih mengenal Gide, peluru ketiganya malah menabrak pecahan lampu sebagai hasil tembakan keduanya.

Namun hal yang tidak disangka Dazai tiba-tiba terjadi. Gide mungkin juga tidak menyangkanya. Bahwa dari awal tembakan terakhir Dazai memang tidak akan mengenainya. Peluru yang menembus dadanya itu bukan berasal dari depan. Ketika tubuhnya jatuh ke lantai, Gide dalam hati memuji ketepatan penembaknya dalam mengenai target.

Di ambang pintu, bermeter-meter jaraknya dari mereka, berdiri Odasaku.

"Di sini sangat berantakan." Katanya mengomentari lampu gantung yang tidak lagi berada di ketinggian. "Yah, berkat itu aku bisa lebih cepat menemukan ruangan ini." Pria itu melangkah maju.

"Hai, Odasaku." Dazai tersenyum senang saat melihat kedatangan salah satu anggota agensi itu. Odasaku diam-diam berpikir bagaimana Dazai hampir selalu menunjukkan sikap bersahabat padanya.

Bos Port Mafia itu terluka parah. Odasaku mempertimbangkan untuk memanggil Yosano ke sini dalam perjalanannya menghampiri rekan aliansi mereka yang dengan kekanakan mengeluhkan rasa pusing di kepalanya karena belum sempat makan siang.

"Aku tidak menyangka Odasaku akan datang."

"Ranpo meneleponku." Odasaku berdiri di depan Dazai. Memperhatikan sebelah tangannya terkulai, ada lubang peluru yang masih mengalirkan darah ke mantel hitamnya.

"Kau membuang terlalu banyak darah." Odasaku prihatin.

Dazai membuka mulutnya, tapi sebelum sempat mengucapkan apa pun, tubuhnya sedikit tersentak. Odasaku terbelalak kaget ketika lubang baru terbentuk di perut pemuda itu.

"Ah ... Hahaha, benar juga ..." Dazai menatap lurus ke arah Gide yang baru saja menembakkan peluru terakhirnya. Odasaku menoleh ke arah musuhnya dengan pistol teracung, tapi kembali menurunkannya ketika melihat orang itu kembali rubuh, dan mungkin tak akan bangun lagi.

"Hei, berusahalah tetap sadar!" Beralih pada Dazai, Odasaku mencoba menekan luka itu untuk menahan pendarahannya. Tapi Dazai menggeleng padanya. Sorot matanya yang mati tetapi pada saat yang sama terasa hangat membuat Odasaku tertegun.

"Aku akan panggilkan Yosano-san, tunggulah sebentar." Bos mafia atau apa, Dazai masih terlalu muda untuk mati. Odasaku bersiap untuk lari ke luar tapi tangan kurus Dazai mencengkeram ujung bajunya.

"Ketika kau kembali aku sudah mati." Dazai mengatakan itu dengan ringan.

"Kau mungkin masih bisa tertolong! Tidak, Yosano-san pasti bisa ... "

"Odasaku, menurutmu kenapa kemampuanmu tidak bisa mendeteksi bahwa Gide akan menembak?" Sekalipun yang jadi targetnya adalah Dazai, Odasaku juga nyaris berada dalam lintasan proyektil.

"Aku tidak tahu. Tapi yang penting sekarang bukan itu!" Kehilangan pengendalian dirinya melihat ketenangan Dazai, tanpa sadar Odasaku menaikkan suaranya.

"Kemampuanku adalah menetralkan kemampuan lain." Dazai melanjutkan perkataannya, tidak kelihatan terpengaruh.

Odasaku memejamkan matanya dengan ekspresi yang nyaris bisa disebut sedih. Tangannya seperti bergerak sendiri untuk menahan ketika Dazai menjatuhkan dirinya ke lantai.

"Kenapa ... Kau melakukannya sejauh ini?"

Kenapa Dazai repot-repot membuat kesepakatan payah yang intinya cuma untuk mengembalikan Gin pada Akutagawa?

Kenapa dia mengutus Atsushi dan Kyouka untuk melindungi para anak asuhnya?

Kenapa Dazai turun tangan sendiri menghadapi ketua Mimic bukannya memanfaatkan para anggota agensi?

Kenapa Odasaku bisa melihat ekspresinya seperti anak kecil kesepian di belakang kesan kejam tak berperasaannya? Seorang anak kecil kelewat cerdas yang harus menanggung beban dunia sendirian.

"Yah, tentu saja akan kulakukan ... " Dazai menjawab dengan sederhana. Simpel tapi tidak menjelaskan apa yang diminta. "Hei, Odasaku ... Bahkan jika posisi kita sebagai musuh, bisakah ... Aku meminta sesuatu?" Suaranya putus-putus, tidak lagi sekeras dan selancar tadi.

"Yeah." Odasaku mengangguk cepat. Dia bahkan belum tahu apa yang akan diminta Dazai. Tapi permintaan seseorang yang sekarat, bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. "Apa itu?" Dia bisa merasakan suhu tubuh Dazai yang dingin. Bukan pertanda bagus.

"Pertama ... "

•~•

Chuuya memarkir mobilnya, berjalan kaki ke lorong-lorong sepi. Sepertinya ini bekas perkampungan yang ditinggalkan. Mengingatkannya sekilas pada reruntuhan kota Suribachi. Siapa orang yang tinggal di tempat begini dan sepenting apa dia sampai harus ditemui oleh seorang petinggi Port Mafia?

Mengantongi alamat dari Dazai, Chuuya berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengetuk pintu kayu itu beberapa kali. Ada suara dua orang anak-anak dari dalam yang langsung menghilang. Digantikan langkah kaki mendekat ke sumber ketukan.

"... Chuuya-kun?"

Chuuya tersentak kaget ketika berhasil mengidentifikasi sosok di ambang pintu. Bibirnya bergetar pelan, "Bos, tapi ... "

Mori tersenyum saja menanggapi kebingungan Chuuya. "Aku sudah mati, begitu?" Pria berpakaian putih itu menepuk pundak bawahannya dengan akrab. "Masuklah."

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Chuuya menurut. Perjalanannya yang melelahkan jadi terasa tidak sia-sia dengan pertemuan ini.

"Huh, Dazai-kun benar-benar menyembunyikan semuanya bahkan darimu, yah?" Tentang pemalsuan kematian Mori untuk menghindarkannya dari musuh waktu itu.

"Tch, yah, bagaimana pun senang melihat Anda baik-baik saja, Bos."

Mori tersenyum seperti biasa. Tapi ekspresinya menunjukkan sesuatu yang salah. "Dazai-kun yang menyuruhmu ke sini?"

Chuuya mengangguk, menyerahkan amplop yang dititipkan padanya. "Ini dari Dazai."

Mori membuka amplop putih itu. Ketegangan mewarnai wajahnya ketika membaca baris-baris kalimat yang tintanya masih baru. "Chuuya-kun, aku memintamu untuk tenang."

"Hah?" Chuuya bingung. Dia tidak merasa sedang butuh ditenangkan saat ini. Bunyi panggilan masuk membuat perhatiannya berpindah.

"Siapa?"

"Agen Detektif Bersenjata ... Kunikida." sahutan dari penelepon menyuarakan ragu. "Aku ingin memberitahu bahwa Bos Port Mafia, Dazai Osamu ... "

Kata selanjutnya membuat Chuuya hampir menjatuhkan ponselnya. "Apa katamu? Tunggu di sana, aku akan menuntut balas kalian semua!" ancamnya spontan tanpa melalui proses pemikiran.

(Hei, Mori-san. Ini mungkin tiba-tiba, tapi jika terjadi sesuatu padaku, silahkan kembali ke Port Mafia. Lalu ... tolong tenangkan Chuuya. Kalau dia sampai mengaktifkan corrupt bakal gawat soalnya. Hehe, tapi masa sih dia sejauh itu.)

"Chuuya-kun, tunggu," Mori berusaha menghentikan Chuuya yang buru-buru keluar. Langkah cepatnya tergesa menuju mobil.

Namun dia terhenti oleh ledakan keras beberapa puluh meter dari tujuan.

(Untuk jaga-jaga, aku berencana meledakkan mobil Chuuya. Itu akan menghentikannya sementara.)

Mori tersenyum miris ketika membaca tulisan Dazai. Kagum dengan cara pikirnya yang penuh prediksi seperti biasa sekaligus sedih mengatahui bahwa dia gagal mencegah Dazai.

Iya, mencegah Dazai untuk menempuh misi bunuh diri. Mori tahu Dazai bisa membuat rencana

lain yang tidak mengancam nyawanya tapi pemuda itu pasti akan memilih jalan paling beresiko. Dan dari caranya mengantisipasi reaksi Chuuya, berarti ini sangat serius.

Elise dan Q keluar dari rumah begitu mendengar letupan. Tak berkedip mereka menonton mobil Chuuya yang pastinya tidak bisa dipakai lagi. "Kita akan kembali ke Yokohama besok pagi dengan mobil sewaan." Mori mengusap kepala dua bocah itu. "Malam ini aku memintamu menginap di sini, Chuuya-kun."

Chuuya masih memunggungi mereka. Tatapannya yang nyaris kosong perlahan memanas. Dia membenci Dazai dan seharusnya tidak masalah orang itu mati. Di sisi lain sebagai tangan kanan orang itu, dia merasa gagal melindunginya. Lalu sebagai teman yang sudah melalui banyak hal selama 7 tahun ini, Chuuya tidak tahu mengapa dadanya terasa sakit.

•~•

Dua bulan berlalu sejak misi gabungan. Banyak hal terjadi sejak saat itu. Mulai dari kemunculan Mori di Agensi yang lumayan menggegerkan. Fukuzawa mengutarakan bahwa dia harusnya sudah mati dan walaupun ternyata masih hidup, tidak ada alasan untuknya menginjakkan kaki di kantornya.

Mori hanya menggaruk-garuk kepalanya dengan tampang jenaka. Lalu menjelaskan bahwa dia datang untuk memastikan keadaan Atsushi dan Kyouka.

"Mereka sudah meninggalkan Port Mafia dan bergabung dengan Agensi. Itu pesan dari bos sebelumnya, kan." Fukuzawa memberitahu dengan muram. Tatapannya yang terpaku pada lantai menyiratkan rasa bersalah. "Maaf ... Karena dia mati padahal sedang beraliansi dengan kami."

("Yang pertama, Atsushi-kun dan Kyouka-chan ... terima mereka di Agensi ...")Odasaku teringat bagaimana reaksi dua anak itu ketika menerima kabar kematian Dazai. Sampai sekarang kadang Atsushi masih memanggil nama orang itu dalam tidurnya.

"Oh, mereka kembali!" seru Kenji yang berdiri menghadap jendela. Di halaman gedung agensi, terlihat Akutagawa, Atsushi dan Kyouka berjalan masuk. Kelihatannya dua remaja laki-laki itu berdebat tentang sesuatu sedangkan satu-satunya perempuan di sana hanya menonton dari belakang.

"Yah, Dazai-kun memang begitu, penyesalan tidak akan menghidupkannya kembali." Mori berkata ringan, tanpa sadar malah memperberat suasana dengan memperdengarkan fakta tersebut. "Tapi ... Bohong juga kalau disebut aku tidak kehilangan."

•~•

Odasaku melihat seseorang berdiri di depan sebuah makam. Berjalan mendekat, dia akhirnya sadar bahwa orang itu tidaklah asing. "Nakahara Chuuya ... Ya?" Sosok yang pernah memaksa Odasaku menjatuhkan pistol dengan kemampuan gravitasinya, tangan kanan Dazai Osamu.

"Oh, kau." Chuuya melirik malas. "Detektif punya waktu senggang ternyata."

Odasaku mengangkat bahunya. "Kami bekerja lebih santai sejak ada tambahan anggota. Ngomong-ngomong, aku tahu mafia bekerja malam hari. Tapi kalau di siang hari juga tidak tidur, kapan kamu istirahatnya?"

Chuuya membalikkan tubuhnya. "Sekarang ini, aku sedang berjalan dalam tidur," katanya asal. "Dalam keadaan terjaga, aku gak bakal mengunjungi makamnya." Lalu pria bertopi itu melangkah meninggalkan area pemakaman.

"Oh," Odasaku menatap bunga yang masih kelihatan segar. "Membeli bunga lalu meletakkannya di makam temanmu dalam tidur itu cukup luar biasa."

(Kedua, kalau Odasaku bertemu orang aneh berkacamata di Bar Lupin, abaikan saja ocehannya.)

Meskipun dibilang begitu, Odasaku tidak menyangka dia akan benar-benar bertemu pria suram berkacamata ketika berkunjung ke Bar Lupin.

"Odasaku-san, kan?" Lagi-lagi ada yang memanggilnya dengan nama itu. Dengan nada akrab yang tidak dikenalnya tapi membangkitkan perasaan nostalgia.

"Siapa?" Odasaku bertanya singkat, duduk di samping orang itu yang tidak mau lama-lama bertemu mata dengannya.

"Sakaguchi Ango." Ango tiba-tiba meneguk minumannya hingga tandas. "Odasaku-san, apa yang akan kukatakan selanjutnya adalah efek dari minum, jadi jangan dipikirkan. Di dunia lain, kita bertiga adalah teman."

"Bertiga?"

"Ya, dengan Dazai-kun juga."

Selanjutnya Ango menceritakan banyak hal yang didengar keseluruhannya oleh Odasaku. Setelahnya, anggota Divisi Khusus itu pamit dengan membiarkan setengah gelas sisa tidak disentuh. Dan Odasaku masih mengulang-ulang penuturan Ango di kepalanya. Bertanya-tanya bagaimana jus tomat bisa membuat seseorang mengarang kisah sedemikian nyata.

Ini benar-benar beda dari Beast, jadi maaf kalau penokohannya rada OOC dan alur dipaksakan. Kemudian seperti biasa, maaf sudah membuang waktu kalian.