Title :

The Lie That You Tell Me in Winter

Disclaimer :

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Pair :

AkaKuro (main)

Story :

©Alta Sky and Rall Freecss

Warning :

AU, OOC, Typo, BL.


Kereta baru saja sampai di stasiun. Begitu pintunya terbuka, puluhan orang keluar dari dalam sana. Beberapa tampak tergesa-gesa, yang lain tak kalah cepat. Stasiun kereta hari ini pun ramai seperti biasanya.

Dari dalam kereta, seorang pemuda berwajah murung tampak terseret arus manusia. Langkahnya tertatih-tatih menuntun tubuh ringkihnya, jika ia tak hati-hati, bisa saja dirinya menabrak tiang yang berada tak jauh dari sana. Untung saja, ia masih bisa menarik dirinya dari arus mematikan itu.

Setelah selamat dari maut, pemuda itu berjalan gontai keluar dari stasium. Jaketnya tak terkancing dengan benar, syal yang melingkar pada lehernya tampak akan segera jatuh, ia tampak acak-acakkan sekali.

Kepulan asap mengudara ketika pemuda itu menghela nafas, ah, musim dingin sudah kembali berkunjung.

Sepatu boots yang ia kenakan bertabrakan dengan jalanan yang tampak mulai ditutupi permadani putih yang dingin. Potongan permen kapas itu berhatuhan dari langit, sedikit demi sedikit.

Pemuda berantakan itu mengadah, menatap langit biru yang sewarna dengan matanya nanar, "Oh, lihatlah, salju pertama tahun ini telah turun," ucapnya entah pada siapa.

Netranya menangkap sepasang kekasih tengah bermesraan di bawah payung yang mereka bagi, saling melempar guyonan, kemudian tertawa bersama.

Ah,manis sekali. Tapi,juga membuat hatinya hancur berkeping-keping. Membuat dirinya ingin menumpahkan air mata.

Kuroko Tetsuya, 21 tahun, baru saja kembali menyandang gelar single yang sudah ia tinggalkan selama 4 tahun lamanya. Ia tak percaya, kepercayaan dan cinta yang ia dan mantan kekasihnya bangun dalam kurun waktu selama itu bisa kandas di pinggir jalan seperti ini, tanpa alasan yang tepat pula.

Diputuskan secara sepihak, aku bahkan tak tahu apa alasannya, batin pemuda itu sambil merapikan syalnya yang mulai lalai menghangatkan lehernya.

"AKASHI-KUN BODOH!" teriak pemuda itu frustasi, orang-orang di sekitarnya tampak tak peduli, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi, begitu lebih baik, kalau sampai ada yang menoleh, Kuroko bisa saja diseret ke pos polisi setempat karena dikira mengalami gangguan kejiwaan.

Tapi, tampaknya dalam waktu dekat Kuroko akan benar-benar kehilangan akal sehatnya, akan benar-benar menjadi bagian dari Rumah Sakit Jiwa terdekat. Ah, semoga saja hal seperti itu tak terjadi.

Puas berteriak, menyuarakan kekesalan serta kejengkelannya, Kuroko menghela nafas, dan melanjutkannya kembali perjalanan pulangnya. Ia tak mau jadi mati beku karena lama-lama mematung di sana. Setidaknya, sebelum ia mendapat penjelasan dari Akashi, mantan kekasih tercintanya.

Lihat saja, akan kupaksa ia untuk bicara. Bahkan jika itu artinya aku harus mengejarnya sampai ke ujung dunia, tekad Kuroko dalam hati sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jaket, mencari kehangatan.

Langkahnya terburu-buru lagi. Menembus lautan manusia dan hiruk-pikuk kota, mengabaikan suara dan bisik yang masuk ke dalam telinga. Sebab apalah gunanya perasaan jika bukan untuk dirasakan, memerangkap Kuroko dalam kekesalan yang pastilah tak menyenangkan. Akashi Damn Seijuro.

Lalu, takdir rupanya memang naksir dengan permainan lemparan dadu. Menentukan asal korbannya macam yang menjadi setannya di permainan petak umpet siang bolong. Karena semesta ini saja sudah sengkarut, apalagi perasaannya, yang sekarang seolah jungkat-jungkit di taman kanak-kanak yang dimainkan.

Kuroko sebetulnya tak berharap, tapi juga tak menolak, bila ada suara indah, mulus, penuh kebahagiaan berteriak nyaring memenuhi udara.

"Ah—Kurokocchi!"

Sungguh, rasanya Kuroko makin pusing saja. Teka-teki silang yang ia pernah ia isi pun tak serumit ini, lalu apa-apaan dengan alur kisahnya?

Kalau saja ia bisa lupa ingatan mendadak, ataupun tuli mendadak, Kuroko pasti bisa langsung berlari menuju rumahnya tanpa harus berurusan dengan pemuda pirang yang sejak tadi menyerukan namanya.

Tolonglah, ia sedang tidak mood bertemu dengan orang lain saat ini.

"Kurokocchi!" sekali lagi, teriakan cemprengnya terdengar memenuhi udara, menembus keributan yang diciptakan lingkungan sekitar.

Mau tak mau, Kuroko menghentikan langkahnya, berbalik dan menyapa si pirang dengan nada datar seperti yang biasanya ia lakukan.

"Doumo, desu, Kise-kun."

Cover boy majalah terkenal itu menghentikan langkahnya ketika jaraknya dengan si mungil biru muda hanya terpaut empat langkah, tak terlalu jauh, tak juga terlalu dekat, cukuplah bagi dirinya. Dari jarak sedekat ini, aroma vanila Kuroko sudah tercium jelas oleh indera pengendus Kise, oleh karena itu ia tak meminta lebih.

Aroma tubuh Kuroko yang membaur dengan salju yang masih berjatuhan memberikan sensasi tersendiri bagi Kise, pemuda yang digandrungi remaja putri sampai ibu-ibu arisan itu merasa seolah sedang menikmati ice cream vanilla.

Makan ice cream di musim seperti ini? Yang benar saja.

Tapi, kalau berada di dekat Kurokocchi semuanya jadi hangat. Makan 1 box penuh es pun aku sanggup,ssu! batin Kise mulai tak karu-karuan.

Ah, selalu saja seperti ini, ketika pemuda mungil ini berada dalam area jangkauannya, imajinasinya selalu saja menjadi liar, jantungnya pun tak kalah liar, seolah ingin melompat keluar dari mulutnya.

"Uh," Kuroko memanggil lantaran Kise sudah terlihat bego wajahnya, bertanya halus meski agak menampar bagai dilempar bola basket, "Kise-kun sudah autis atau bagaimana?"

"Duh, Kurokocchi!" Kise mengembungkan pipinya, pura-pura kesal. Selalu seperti ini, Kuroko kadang tak mengerti kenapa Kise bertingkah sok manis di depannya. "Aku, 'kan, kangen padamu. Sudah lama ke luar negeri dan tak bertemu Kurokocchi. Eh, eh, Kurokocchi, bagaimana hubunganmu dengan Akashicchi?"

Senggol sedikit saja, ternyata rasanya cukup sakit. Jadi Kuroko hanya menunduk, membiarkan sepasang iris angkasa tak berkilat gemilang lagi diterpa mentari, malah sekarang meredup sampai-sampai warnanya agak biru tua.

Kise bungkam. Tak mengerti dan belum mendapat penjelasan, jadi ia tidak tahu tingkah apa yang harus dilakukan.

"Err, Kurokocchi—UWA!"

Karena bulir air itu tanpa sadar jatuh dan melewati dagu, menetes jatuh menampar bumi.

Kuroko bingung, kenapa rasanya bisa sesakit ini? Padahal ia pernah membuat jarinya berdarah hebat ketika hendak membuat sop tofu untuk Akashi dulu, tapi, rasanya tak sesakit ini.

Kenapa bisa sesakit ini? batin Kuroko menerawang.

Pemuda gemini yang berdiri di sampingnya panik, bingung atas reaksi yang diberikan teman lamanya ini. "Ku-Kurokocchi … ! Ke-kenapa menangis … ? Apakah aku mengatakan hal yang salah, ssu?"

Ya, kau baru saja menabur garam pada luka yang masih basah, mencurahkan perasan lemon pada luka baru. Selamat, Kise, kerjamu bagus sekali.

Cowok flamboyan itu buru-buru mengeluarkan sapu tangan dari tasnya, menyeka air mata yang menetes sedikit demi sedikit, membasahi pipi pucat itu. Menggenangi pelupuk matanya, mencemari wajah yang biasanya datar itu.

"Maafkan aku, Kise-kun. Emosiku sedang tidak stabil," ujar Kuroko sambil menepis tangan si pirang lembut, kemudian mengucek-ucek matanya yang sempat menjelma menjadi air terjun, bendungan yang bobol oleh air bah.

"Apakah perkataanku barusan menyinggungmu, Kurokocchi? Apakah ada yang salah pada hubungan kalian berdua..?" tanya Kise, ia tak ingin kembali menusuk Kuroko, tapi, ia penasaran setengah mati.

Kuroko tersenyum miris, "Ya," pemuda itu menunduk, "Kami sudah bukan lagi sepasang kekasih, Kise-kun."

Nafas Kise tercekat, "Kami sudah putus, 1 jam yang lalu."

Kise, sekali lagi, bungkam. Oh, ayolah—dari sekian banyak hal yang bisa ia lakukan, dan ia bungkam? Otaknya pasti bermasalah, atau memang bahkan ia tak lagi punya otak. Karena lidahnya kelu bahkan untuk sekadar mengucap hibur.

"Ku-Kurokocchi ..."

Menoleh ke arah kawannya yang sibuk mengusap wajah, Kise menepuk-nepuk kepalanya pelan. Saat Kuroko mendongak, apa yang ia dapat adalah wajah hangat penuh senyum si pemilik helai pirang. Teduh, dan ... menenangkan.

"Uhm, ssu, kalau Kurokocchi tak keberatan ... ingin ikut denganku?"

Kuroko mengerjap. Tak paham, tapi juga penasaran. "Ke mana, Kise-kun."

"Suatu tempat, gymnasium, ssu. Di sana, ada Kagamicchi yang sedang bertanding antar kota."

Kuroko pertama heran, namun akhirnya mengangguk juga. Kise tersenyum manis, memeluk hangat dan mencekik si pemilik bola mata lautan.

Ah, seperti biasanya, ya. Tak berubah meski mereka sudah lulus SMA. Selalu sama, meski tak lagi jarang bertemu.

"Nah, ayo, ssu! Kita buat wajahmu tersenyum lagi!"

Kise menyambar tangan mungil Kuroko, menggenggamnya erat. Kali ini ia bersumpah tak akan melepaskannya lagi, ia tak ingin mengulang kejadian bertahun-tahun yang lalu. Ketika kebodohannya membuat tangan si aquarius terlepas dan pergi darinya, hilang dari daerah jangkauannya.

Keduanya berlari-cukup kencang-menembus kerumunan manusia yang memenuhi jalanan. Bahkan di tengah salju seperti ini jumlah manusia yang memenuhi jalan tampak tak ada bedanya dengan hari cerah biasanya, tetap saja ramai.

Pegangan tangan Kise makin lama kian makin erat, membuat Kuroko mulai merasa risih, agak sakit.

"Ano, apakah kau mau meremukkan tanganku, Kise-kun?" tanyanya dengan nada monoton, tampak sama sekali tak ada emosi di dalamnya.

Kise terkejut mendengarnya, apakah ia menggenggam tangan pemuda manis ini sebegitu eratnya?

Keduanya berhenti, Kise pun langsung melepaskan genggamannya, buru-buru minta maaf.

"Gomen, aku cuma takut Kurokocchi terbawa keramaian. Aku takut kita terpisah, ssu."

Kuroko diam, Kise gelagapan, "Ka-kau tau, tubuhmu kan kecil, jadi resiko terseretnya besar, ssu. Oleh karena itu …." ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Tapi Kuroko memotongnya begitu saja, "Baiklah, aku mengerti, Kise-kun."

Pemuda yang mengaku tak suka belut itu menghela nafas lega, "Tapi," Kuroko mengusap tangannya pelan, "aku mohon jangan genggam tanganku seerat yang tadi, rasanya sakit sekali."

"Aku mengerti, ssu," jawab Kise sambil tersenyum lebar, kemudian ia mengulurkan tangannya, menunggu Kuroko menyambut tangannya. Detik berikutnya, keduanya kembali melanjutkan perjalanan menuju pertandingan basket Kagami.

Di tengah keramaian kota yang kadang mencekik dan salju yang terus turun tanpa ampun, Kuroko masih saja murung. Masih saja bersedih. Kehangatan yang disalurkan Kise melalu tangan besarnya, membuat Kuroko merasa kesepian, membuat memori tentang orang itu kembali muncul.

Ah, kehangatan yang berbeda, batin Kuroko sedih.

Keduanya berjalan dalam sunyi, hanya suara derap kaki mereka yang mengiringi. Tidak seperti biasanya, Kise sedikit lebih tenang hari ini. Hal itu membuat Kuroko sedikit terusik, tapi, ia terlalu sibuk mengurusi dirinya yang tengah patah hati, tak ada waktu untuk mengurusi orang lain.

Ia harus bekerja keras untuk menyatukan kembali semua pecahan hatinya yang kini berserakan ke sana ke mari. Dan Kuroko yakin, tanpa lem yang kuat, pekerjaan ini akan sangat melelahkan baginya.

"Kise-kun ..."

Kuroko memanggil pelan, membuat perhatian si pirang teralih, lagi.

"Ya, ssu?"

Kuroko terdiam. Sebelum gumaman halus, hampir tak terdengar, tersapu angin dan dibawa pergi.

"Terima kasih."

.

.

Aomine menyemburkan kola. Mungkin sebaiknya ia memang tak diberikan minuman, makanan, atau apa pun yang bisa membuat refleknya merugikan bagi orang lain ketika sedang berbicara hal penting.

Kise menyambit wajah Aomine dengan majalah, tanpa pikir dua kali.

"Jorok, Aominecchi! Menjijikan, ssu!" pekiknya, melotot garang. Karena hampir saja semburan penuh bakteri itu mengenai jas biru-nya.

"Kau serius? Tetsu putus dengan Akashi?! Kok bisa! Apa mau si mantan kapten itu! Akan kupukul dia, lihat saja! Mana sih orangnya?! Sini!"

"Aominecchi, kau persis ibu-ibu yang putrinya dicampakkan menantu sendiri."

Mendengar hal itu, Aomine hanya mendengus pelan. "Ya kau tahu ... ini aneh. Akashi bukan orang yang bisa memutuskan satu tindakan tanpa berpikir, mendengar ceritamu yang kau sendiri dengar dari Kuroko, itu tidak masuk akal. Pikir ulang, Kise. Akashi memutuskan Kuroko tanpa alasan."

Sambil mengelap kemejanya yang basah, Kise memutar otak, ada benarnya juga perkataan pemuda redup ini. Tanpa alasan, yang benar saja.

"Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, ini aneh, ssu."

Aomine mengangguk dengan mata terpejam, mematut diri karena baru saja mengatakan hal yang berguna.

Keduanya larut dalam diam, berusaha mencari titik terang dari masalah ini. Sungguh, mereka tak tahan melihat Kuroko uring-uringan seperti saat ini. Seperti anak ayam kehilangan induknya. Kosong.

Setelah dirasa cukup, Kise menghentikan acara mengelap kemejanya. Kemudian menyesap black coffee pesanannya.

"Ceh, pahit," keluhnya sambil meletakkan kembali cangkir putih itu.

Aomine berdecih, "Kalau begitu jangan pesan itu, dasar bodoh."

"Aku kan cuma mau terlihat keren, ssu!" rengek Kise dengan suara cemprengnya, Aomine merotasi bola matanya kesal.

Dasar berisik, gerutu Aomine dalam hati.

Pintu cafe tempat mereka berdiam terbuka, sesosok pemuda berambut hijau lumut memasuki bangunan bergaya klasik itu bersama seorang pemuda tinggi lainnya.

Pemilik manik emerald itu berjalan mendekati meja Aomine dan Kise, begitu sampai, sambil menaikkan kacamatanya ia bertanya, "Jadi, kabar penting apa yang mau kau sampaikan di jam sibuk seperti ini?"

Keduanya kemudian dipersilahkan duduk, empat pemuda tampan nan menawan berkumpul di satu meja, membuat pengunjung cafe lainnya tertarik untuk memperhatikan keempatnya.

"Kalau kau hanya menyampaikan hal yang tak berguna, aku bersumpah akan membuatmu menyesal seumur hidup," ancam yang berkacamata dengan tangan berbalut perban.

"Maa, maaa, Midorimacchi, bagaimana kalau memesan sesuatu dulu?" tawar Kise sambil menyodorkan buku menu.

"Hn," Midorima menggulirkan iris rumput itu ke arah menu. Berujar datar, "Sup kacang merah," pada pelayan sebelum pelayan itu pergi dan menyebutkan pesanan Midorima.

Murasakibara, si jangkung, mulai membuka mulut; "Eclair, mille-feuille, gateau chocolate, macaron, chocolate milkshake, fish n chips, ribs steak, fettucini, lagsana—"

"Stop di sana, Murasakibaracchi. Nona manis, pesanannya hanya es krim, satu. Terima kasih, ssu."

"Nah," Kise was-was. Mengabaikan gerutuan Murasakibara karena tak jadi dapat asupan, Kise melihat ke arah dua kawannya yang baru datang itu. Kebetulan ia kena semburan kola waktu pertama menyampaikan kabar, jadi kali ini ia akan lebih berhati-hati. Mungkin ada baiknya Kise mengambil jarak sebelum sup kacang merah panas yang baru datang diantar pelayan itu mengenainya karena reflek yang sialan.

"Midorimacchi," panggil Kise.

Midorima meneguk sup menggunakan sendok perak. Aomine membuang muka ke arah jendela, Hanya perasaanku, atau Kise memang terlihat ingin mengumbar-umbar kabar ini?

Murasakibara, tak tertarik, seperti biasanya. Menyendok es krim ketika pesanan itu datang.

"... Akashicchi putusin Kurokocchi tanpa alasan. Tanpa alasan."

Es krim jatuh ke meja.

Sendok perak yang tadinya akan membawa sup kacang merah hangat itu ke dalam mulut Midorima diletakkan kembali. "Apa katamu?"

"Heh, kau tiba-tiba tuli ya, Midorima? Dia bilang Akashi putus dengan Kuroko." Sahut Aomine,

Midorima menghela nafas kesal, "Bukannya tuli, aku hanya memastikan bahwa aku tak salah dengar, nanodayo," ujarnya sambil melipat kedua tangannya.

"Putus?" tanya Murasakibara dengan mata terbelalak.

Kise mengangguk, "Ya, tanpa alasan pula."

"Bisa kau hentikan soal tanpa alasan itu? Kau sudah mengulangnya tiga kali, bodoh," gerutu Aomine sambil mempelototi Kise. Ah, tampaknya mood Aomine sedang buruk-buruknya hari ini.

"Kapan kejadiannya?" tanya Midorima.

"Kemarin, ssu. Kurokocchi sendiri yang mengatakannya ketika kami kebetulan bertemu di kota."

"Lalu, keadaan Kurochin sekarang bagaimana?" Murasakibara mulai memusatkan perhatiannya pada topik pembicaraan mereka, memastikan ia tak ketinggalan satu berita pun.

Kise menunduk, ia tampak murung, menunjukkan bagaimana ekspresi kecewa yang ditunjukkan Kuroko padanya tempo hari, "Dia sangat terpuruk, ssu. Sedih sekali kelihatannya."

Murasakibara menggeram, tangannya menggenggam erat sendok es krimnya, "Aka-chin …akan ku hancurkan kau … !" sendok di tangan Murasakibara patah menjadi dua bagian.

Kise bergidik ngeri, ia langsung merapatkan dirinya dengan Aomine. "Jangan nempel begini, Kise. Mengganggu, tahu tidak?!"

Yang bersurai hijau lumut menghela napas, "Akashi itu, apasih yang ia pikirkan …." gumamnya sambil mengurut dahinya yang terasa berdenyut.

Cowok flamboyan yang barus saja disemprot lagi oleh Aomine dengan sumpah serapahnya meneguk ludahnya, takut, sungguh takut. Reaksi teman-temannya ini benar-benar di luar dugaan.

"Aku tidak menyangka kalau reaksi kalian akan seperti ini, ssu." Ucap Kise hati-hati, matanya buru-buru mengamati ketiga temannya, berharap perkataannya tak membuatnya akan disembur lagi.

"Maa, habisnya mau bagaimana lagi, kita semua pernah dibuat menggila oleh orang yang sama, bukan?" Aomine menghela nafas, kembali menatap keluar jendela.

Murasakibara dan Midorima mengangguk kompak, "Kita semua pernah sama-sama mengejar orang yang sama, nanodayo."

"Bahkan Kagachin pun sempat bersaing untuk mendapatkan Kurochin dengan kita berlima'kan.." tambah Murasakibara.

Aomine tampak tersadar akan sesuatu, "Bicara soal si Bakagami, apakah dia sudah tahu soal ini?"

Kise menggeleng, ia belum bicara apapun tentang masalah ini pada si alis bercabang itu.

"Nah, akan kuberitahu. Satsuki juga sekalian." Aomine, tak ada nada kesal dalam suaranya. Tapi yang jelas iris biru tua itu terlihat kelam.

"Hei ...," panggil Kise, "kalau sudah begini, lebih baik kita diami dulu—maksudku, ssu, Kurokocchi juga butuh waktu untuk tenang."

Hening mencengkam, meski di antara mereka saja.

"Heh, tak bertindak. Maaf saja," Aomine mengangkat suara, memang pongah orangnya, angkuh pula kata yang disampaikan, "ini akan jadi rebut-rebutan, kau tahu, Kise."

"E—ehhh?!"

"Aku juga, Kise-chin."

"Sa-sama, nodayo. Bukan artinya aku masih suka, hanya saja ... a-aku hanya ingin membuktikan bahwa Akashi salah, itu saja."

Kise menghela napas gusar.

Tampaknya, ia baru saja memicu perang. Membangkitkan kembali persaingan yang seharusnya tak lagi terungkit. Perang yang seharusnya sudah dimenangkan oleh Akashi Seijuro, akan diulang kembali. Kali ini, entah siapa yang akan menjadi pemenangnya.


To be continued


Mind to review? Thanks.

16:11

20/05/2015

Alta Sky and RallFreecss