Pertengahan Maret cukup padat. Stasiun pusat di Uzushio nampak ramai. Tak jarang sesekali beberapa bertabrakan satu sama lain karena terlalu fokus dengan urusan masing-masing. Lain para calon penumpang, lain pula beberapa pedagang yang hilir mudik. Di tengah kecanggihan mesin otomatis yang ditawarkan di sana, masih ada saja beberapa yang menjajakan makannya.

Tidak, bukan beberapa. Hanya sesosok—atau lebih tepatnya seorang gadis kecil yang menenteng termos di tangan kanannya yang berjualan.

Sosok kecil berusia sekitar delapan tahun itu mengerjap pelan. Sering ia kepergok oleh petugas stasiun, tapi tak seorang pun dari mereka yang menghardiknya. Terkadang malah calon penumpang yang bertanya padanya dengan mimik heran. Untuk apa seorang bocah berkeliling stasiun seorang diri?

Iris sejernih lautan miliknya menyapu sekeliling, sebelum akhirnya ia menghela nafas pelan. Di usia yang sama, para anak lain tentu akan bersenang-senang di sekolah dasar, mengecup pipi orangtua mereka dengan mesra—atau bahkan sesekali bertukar canda dengan teman sebaya.

Surai pirang platina miliknya yang hanya sebatas bahu terlihat kusam. Atensinya tertumbuk pada sebuah pandangan dimana seorang anak—mungkin seusia dengannya—nampak tersenyum cerah tatkala tangan kanannya digenggam ibunya.

"Kapan aku bisa seperti mereka?"

Jangankan membayangkan digandeng ibunya, nama orangtuanya ia tak tahu. Yang diketahui hanyalah ia tinggal di salah satu panti asuhan selama ini—selama delapan tahun hidupnya. Tidak buruk juga mengetahui siapa orangtuanya, tapi sepengetahuan gadis kecil itu, ia selalu dikirimi uang jajan tak normal dari Nenek Mito—pengasuhnya di panti asuhan. Jika dicerna baik-baik, mengapa Nenek Mito lebih memilih memberinya uang jajan dibanding menyimpan uang itu untuk keperluan seluruh penghuni panti asuhan?

"Ino?" Merasa terpanggil, ia menoleh. Menatap salah satu petugas stasiun dengan ekspresi inosennya.

"Belum habis?" Ino hanya menggeleng pelan.

Ino. Ia tahu itu namanya. Ino juga tahu betul apa marganya. Yamanaka. Tapi sampai sekarang, Ino masih tak mengerti. Apa dosa yang telah diperbuatnya hingga orangtuanya tega membuangnya ke panti asuhan tanpa merobek nama keluarga mereka?

Apa Ino disembunyikan?

Atau mungkin ada masalah yang menyebabkan orangtua Ino menitipkannya di panti asuhan?

Tidak, itu tak mungkin. Ino menggeleng pelan untuk membuang jauh-jauh argumen itu. Dari pada menitipkan, Ino lebih suka menggunakan frasa dibuang. Lagi, bukankah semua orang bisa memungut apa yang telah ia buang?

Petugas stasiun yang diketahui Ino bernama Shikaku Nara itu mengajak Ino mendudukan dirinya di salah satu bangku panjang. Entah hanya perasaan Ino atau apa, tapi sepertinya kepala keluarga Nara yang tengah pindah tugas ini salah satu orang penting—terbukti dari segannya petugas-petugas lain.

"Nara-jisan?"

"Hm?"

"Kenapa Nara-jisan baik sekali padaku?"

Shikaku menoleh, menatap sosok kecil yang seusia dengan putranya dengan tatapan iba, "Memangnya tak boleh?" Shikaku mengacak pelan rambut pirang pendek Ino.

Ino merengut sembari merapikan tatanan rambutnya. Meski usianya masih kecil, Ino tahu jika ia termasuk golongan gadis cantik—Ino bukan narsis. Seluruh panti juga tahu, dibanding menjadi anak panti, Ino lebih pantas menjadi gadis bangsawan. Jangan salahkan Ino jika ia sombong, salahkan saja pantulannya di cermin yang lebih menyerupai indahnya boneka dibanding manusia. "Jisan tahu? Jika orangtuaku tahu puteri mereka tumbuh secantik ini, aku pikir mereka akan menangis darah." Ino menepuk surainya yang masih sebatas bahu.

Keduanya tertawa. Inilah Ino. Meratapi nasibnya dengan tawa—kesedihan yang ditunjukkan pada orang lain bukanlah dirinya. Tidak, Ino sama sekali tak berniat bercanda untuk membandingkan kecantikannya dengan Mito-baachan.

Kembali, Shikaku mengacak surai pirang Ino, "Mungkin. Tapi kau tahu apa yang akan paling mereka sesalkan, Ino?"

Ino hanya menggeleng pelan, "Tidak. Memangnya apa, Jisan?"

"Mereka akan menyesal karena tak bisa melihat putri mereka yang tumbuh seindah sinar rembulan." Shikaku tersenyum arif.

Ino cengo seketika.

Maksudnya seindah sinar rembulan itu ... bagaimana?

"Kau akan tahu suatu saat nanti, Ino. Kau adalah keindahan yang membuat semua di dekatmu bersinar."

Ino menggaruk pipinya. Mungkin Ino cerdas, sih. Di usianya kini, ia sudah lancar dalam perhitungan angka, membaca, cukup bisa berbahasa asing—akibat dari dorama yang sering ditontonnya. Bahkan Ino sudah bisa membantu memasak—meskipun hanya sebatas mencuci beras dan mengocok telur. Tapi ... untuk bisa menangkap teka-teki, apalagi perumpamaan berat itu, masih butuh waktu.

Huh, dasar Nara!

Usia Ino boleh muda, tetapi Ino tetap saja seorang gadis. Di mana-mana, kodrat utama seorang gadis adalah sebagai tukang gosip serta rumpi. Seluruh Uzushio bahkan tahu jika Nara merupakan salah satu keluarga terpandang dari Konoha yang dikaruniai kejeniusan di atas rata-rata. Tapi kenapa Ino diajak main teka-teki, coba? Padahal Ino bukan keturunan Nara.

"Kau lapar?" Mengabaikan kebingungan Ino, Shikaku justru menyodorkan onigiri pada Ino.

Bukannya menerima, Ino justru tertawa lebar, "Jisan lupa? Aku yang menjual itu." Kemudian Ino membuka termos—yang dalamnya menyerupai tempat kukusan—yang dalamnya telah berkurang. Menampakkan onigiri di bagian paling atas.

Shikaku hanya melirik sebal Ino sebelum kembali tertawa bersama. Onigiri yang memang dibelinya dari si pirang itu kemudian dimakannya—setidaknya sebelum sebuah pertanyaan ambigu itu meluncur dengan bebas dari sang keturunan Yamanaka.

"Melihat Nara-jisan, aku jadi penasaran bagaimana Shikamaru itu ..."

Dan Shikaku sukses tersedak.

Selain cantik dan kuat, Ino Yamanaka, si gadis kecil delapan tahun ini juga memiliki rasa ingin tahu yang besar rupanya.

.

.

.

.

.

Childhood

Awas! Lautan typo! Alur yang semrawut, OOC, bahasa serta ejaan semau saya

Ino Yamanaka and Itachi Uchiha

.

.

.

.

.

Setelah Shikaku berlalu, tak ada lagi yang bisa Ino lakukan selain duduk termenung di salah satu kursi tunggu stasiun. Ia menepuk pelan bahu kananya. Terkadang Ino sedikit sebal jika menyadari usianya baru delapan tahun. Ino tak bisa membantu Mito-baachan terlalu banyak. Padahal penghuni panti asuhan lebih dari lima puluh anak—baik bayi maupun yang terus mengalami perkembangan. Mereka semua tentu membutuhkan nutrisi agar terus tumbuh dengan baik. Dan nutrisi yang baik didapatkan jika membeli bahan makanan yang berharga cukup mahal. Lalu dari mana mereka makanan bernutrisi jika hanya mengandalkan uang dari para donatur?

Ino mungkin memang belia. Tapi Ino tak sebodoh itu untuk tetap acuh tak acuh saat sering mendengar keluhan dari Mito-baachan tengah malam. Wanita uzur yang masih cantik itu sering bergumam mengenai banyaknya segala macam keperluan ini dan itu. Yah, mungkin Ino tidak terlalu pandai berhitung dalam nominal banyak, tapi Ino tahu jika Mito-baachan sedang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan panti.

Maka dari itu, dibanding dengan bersekolah, Ino lebih memilih membantu Mito-baachan. Sekolah membutuhkan biaya tak sedikit. Lagipula, waktunya pasti juga akan banyak tersita jika ia bersekolah. Jadi, Ino lebih memilih berangkat ke stasiun. Waktunya sama-sama tersita, namun Ino dapat menambah uang tabungan untuk saudara pantinya.

Ino Yamanaka tumbuh menjadi gadis kuat dan cantik. Kuat dengan caranya sendiri di usia delapan tahun. Cantik karena sama sekali tak memancarkan aura khas panti asuhan yang biasanya suram—di usia Ino.

Helaan nafas kasar Ino menarik perhatian sosok di sebelahnya. Tanpa disadarinya, iris sekelam malam dengan daya intimidasi penuh itu seolah menyayat Ino. Keduanya masih kecil, tetapi usianya mungkin sekitar tiga belas tahun. Sekelebat pemikiran aneh melintas di benaknya, bisakah bocah awal sekolah dasar membolos?

"Ada apa?" Ino menoleh, menatap anak kecil dengan bulu mata lentik itu bingung.

"Kau bolos?" Ino nyaris saja menggulingkan termosnya saat suara berat itu menerpa gendang telinganya.

Astaga, astaga! Kami-sama!

Eh, sejak kapan Ino jadi tukang gagap?

Hela nafas. Buang. Lagi, Ino. Hela nafas. Buang.

Mengabaikan pertanyaan yang diajukan untuknya, Ino mengatur jantungnya yang tiba-tiba seolah ingin keluar dari tempatnya saat anak laki-laki di samping Ino bersua, "Suaranya saja mengerikan."

Meskipun itu gumaman, tetapi seorang di samping Ino bukan sembarang orang, "Aku mendengarmu." Dan itu cukup untuk membuat seorang Ino Yamanaka—bossy, gadis kecil paling aktif sekaligus cerewet terdiam.

Ino sibuk meremas kepalan tangan di atas pangkuannya sendiri. Entah sejak kapan berada dengan orang asing terasa sangat canggung untuknya. Biasanya, tak jarang ia mengolok orang tua yang seenak jidatnya mengomentari Ino yang tak sekolah. Bahkan sesekali melempari candaan pada petugas stasiun ataupun pembeli onigirinya.

Tapi ... kenapa dengan dia tidak mempan?

Ke mana sikap banyak omong Ino sebenarnya?

Sekian menit terdiam, mau tak mau membuat Ino semakin bingung. Jika Ino masih di sini, itu adalah kewajaran. Tapi kenapa laki-laki di samping Ino tak juga berlalu? Mau melirik, Ino sedikit ngeri. Mau bertanya, nanti Ino tambah gemetar. Jika ketakutan dan rasa gemetar adalah lazim, maka hal itu tak akan berlaku pada bocah ini. Dia bocah. Perempuan. Delapan tahun.

Memangnya apa diketahui mengenai perbedaan rasa sungkan dan ketakutan oleh anak delapan tahun?

Terdorong rasa bersalah karena telah membuat gadis kecil di sampingnya ketakutan, laki-laki itu menghela nafas pelan, "Maaf membuatmu takut."

Ino merasa beban yang menghimpit dadanya terangkat seketika. Senyuman termanis yang pernah dimilikinya pun ia tampilkan, "Tidak apa-apa, Jisan."

SING ...

Perempatan muncul dengan sempurna di dahi pemuda yang tak tertutupi poni itu. Untung saja ekspresinya sudah tertakdir sedatar triplek. Sepanjang eksistensi hidupnya, baru sekali ini ada bocah yang seenak lututnya memanggilnya jisan. Jika bukan karena teringat adiknya, mungkin gadis kecil ini akan mati terkena tatapan kelewat beku andalannya.

Sementara Ino—yang merasa tak melakukan kesalahan apa pun—kembali bergetar tatkala tatapan tajam nan dingin itu menusuknya. Aura pekat dewa kematian Ino rasakan mulai mencekiknya. Seketika keringat dingin melewati pelipisnya. Duh, Ino rasanya pengen pipis!

Dia siapa, sih? Serem banget!

"Aku tidak setua itu."

Dan demi keselamatan dunia akhirat, Ino lebih memilih mengangguk-anggukkan kepalanya pasrah. Baru sekarang ini Ino akan menerapkan prinsip Mito-baachan kepadanya. Diam-itu-emas. Dari pada Ino harus mati muda oleh anak-laki-laki berwajah boros?

Satu menit ...

Ino kembali melirik ke samping. Dia masih tetap diam.

Dua menit ...

Tidak ada yang berubah.

Sepuluh menit ...

Ino sesekali mengabaikan sampingnya saat beberapa calon penumpang nampak tertarik membeli onigirinya.

Tiga puluh menit ...

Ino semakin bersyukur saat onigirinya hanya tersisa beberapa. Itu berarti ia bisa pulang lebih awal hari ini.

Satu jam ...

Kali ini, Ino memberanikan diri menolehkan kepalanya. Dan aquamarine jernihnya mau tak mau membulat menatap anak laki-laki itu masih duduk dengan manis di salah satu ujung kursinya. Setahu Ino, orang-orang tidak akan menunggu terlalu lama untuk kereta mereka. Oh, pasti anak laki-laki ini bukan calon penumpang.

Mungkin.. Penjual dorayaki?

Tapi, mana barang dagangannya?

"Etto ... uhm, tidak naik kereta?"

Berbekal nekad, Ino menipiskan jarak duduk di antara mereka—hingga tepat lengan kecilnya bersinggungan dengan siku anak laki-laki misterius ini. Seketika itu juga bulu kuduknya berdiri. Semoga Ino masih selamat saat pulang dari sini.

"Tidak."

"Lalu, kenapa malah duduk di sini?"

Ino bisa melihat iris gelap itu meliriknya enggan, sebelum mengembalikan arah pandangnya ke depan. Benar-benar tipikal anak susah bersosialisasi. Sudah auranya seram, cara bicaranya seperti orang sariawan, ekspresinya selalu serata aspal pula. Ck, kasihan sekali ibu anak ini, pikir Ino.

"Bukan urusanmu."

Bibir Ino berkedut seketika, "Dasar wajah peot!" Ino mulai menggeram tak jelas.

"Kau bilang apa?"

Mengabaikan tatapan tajam, Ino melipat kedua lengannya sembari menggembungkan pipi sebal, "Bukan urusanmu."

Aduh, duh, mereka berdua menggemaskan seka—tidak. Bukan menggemaskan. Lihatlah, dua manik beda warna itu saling menghunus satu sama lain. Jika oran-orang di sekeliling mereka acuh menoleh, pasti akan menyerupai pertengkaran kakak-adik—atau bahkan perang dingin dengan efek petir yang menyambar-nyambar?

Tidak ada yang berniat mengalah. Jernihan aquamarine itu masih mempertahankan keangkuhannya di sana. Sementara manik obsidian tetap menebar aura gelapnya. Rambut gelap, baju gelap, manik mata gelap. Nyaris tak ada bedanya dengan malaikat pencabut nyawa—bedanya yang ini tampan. Ditambah berkharisma pula.

"Ino?"

Mau tak mau, Ino menolehkan kepalanya ke asal suara. Shikaku Nara memperlihatkan raut bingung saat mendapati sosok anak laki-laki yang lebih tua duduk tepat di samping Ino. matanya menyipit ragu, sepertinya ia kenal siapa anak laki-laki ini, "Itachi Uchiha?"

Dan sebelum Shikaku bisa mendekat, tangan anak laki-laki—yang disebut Itachi tadi buru-buru menarik lengan Ino Yamanaka. Meninggalkan kepala keluarga Nara sekaligus karib orangtua Ino itu dengan kerutan serta tanda tanya.

Ada hubungan apa Sang Ace Uchiha dengan bocah panti seperti Ino Yamanaka?

.

.

.

.

.

Menjadi yang utama dan pertama bukanlah segalanya bagi Itachi Uchiha. Ia sadar betul marga Uchiha yang disandangnya membuat hidup masa kecil yang menjadi impiannya raib entah ke mana. Sejak Itachi sudah bisa melangkah, sejak itu pula ia sudah mulai berpikir. Penerus Uchiha. Salah satu keturunan Uchiha yang dibanggakan. Segala macam hal yang dilakukannya menjadi yang utama. Ada kalanya Itachi jengah—mengapa hidupnya begitu menyebalkan?

Dalam seminggu, ia harus tujuh hari belajar. Seharinya, lebih dari dua belas jam dihabiskan Itachi mengasah otak. Sisanya untuk mengulang pelajaran, melakukan kegiatan yang biasa dilakukan Uchiha, tidur dan mendengarkan nasihat Fugaku. Jarang sekali Itachi bisa bermain seperti anak seusianya kebanyakan saat itu—kecuali dengan para Uchiha lain.

Tetapi semua berubah saat Sasuke Uchiha lahir ke dunia.

Hidup menyebalkan yang tadinya selalu menjadi topeng Itachi, lama-kelamaan ia coba nikmati demi sang adik terkasih. Meninggalkan masa kecil itu menyedihkan. Dan Itachi tak mau Sasuke mengalami hal yang serupa. Oleh karena itu, biarlah ... biarlah Itachi menikmati kehidupannya yang menyebalkan, asalkan Sasuke bisa merasakan kehidupan anak kecil yang seharusnya.

Meskipun ia diharuskan lulus sekolah dasar di usia sembilan tahun. Bahkan walau ia terpaksa pergi ke luar Jepang saat usianya menginjak tiga belas tahun untuk menempuh jenjang kuliah. Itachi tidak apa-apa. Lebih tepatnya, bagaimanapun kondisinya, Itachi tetap-harus-selalu berkata tidak apa-apa.

Demi Sasuke ... demi adik terkasihnya.

Dan entah keberuntungan atau apa, Itachi tertinggal kereta. Paling parahnya, semua barang Itachi saat di asrama Uzushio International School telah diangkut dahulu. Hanya menyisakan Itachi dengan tas jinjingnya yang berisi uang tak seberapa. Tak seberapanya itu tidak cukup untuk membeli tiket lagi—bahkan untuk ongkos taksi kembali ke asrama.

Demi Dewa Jashin, Itachi Uchiha, pewaris utama Uchiha tengah kekurangan uang? Apa yang akan dikatakan para wartawan jika menyadari sulung Uchiha—tak ubahnya seperti gelandangan ini—tengah berkeliling seperti orang hilang di stasiun Uzushio?

"Jisan, kita mau ke mana sebenarnya?"

Bersama seorang bocah merepotkan pula ...

Ino menatap inosen sosok tegap yang masih menggandeng pergelangan tangannya sembari berjalan tak tentu arah. Sebagai seorang anak kecil cerdas, Ino tentu hafal setiap seluk beluk di stasiun. Tapi ia masih tak mengerti ... mengapa paman ini tetap berputar-putar sedari tadi?

Ino menatap tajam sosok di depannya. Tangan kirinya pegal ditarik-tarik. Dan tangan kanannya juga terasa berat membawa termos. Namun sepertinya Itachi sama sekali tak berniat untuk menghentikan langkahnya.

"Aku. Bilang. Berhenti." Dengan tenaga mengerikan—yang entah Ino dapat dari mana—Ino menarik lengannya kuat-kuat. Itachi berhenti, menatap Ino dengan pandangan kesal—tapi tetap berlapis dengan air muka triplek andalannya.

"Kenapa tarik-tarik, sih? Sakit, Jisan!" Hardik Ino keras. Pergelangan tangannya nampak memerah. "Dari tadi diam saja, terus tarik tiba-tiba. Memangnya aku apa?" Ino mulai menyembur kesal.

Stasiun sedikit melenggang. Jam padat telah berlalu beberapa jam. Keheningan menerpa dua anak yang masih tetap diam.

Seorang dengan ekspresi triplek namun gemuruh batin yang kacau. Sementara yang lain menampilkan ekspresi tak mengerti. Obsidian dan aquamarine. Helaian pirang berkibar di hadapan surai pirang. Aura suram nan gelap khas Uchiha yang tengah berlawanan dengan cahaya rembulan sang gadis kecil Yamanaka. Ino dan Itachi—babi hutan serta sang musang.

Keheningan masih berlangsung di antara keduanya. Itachi Uchiha tetaplah Itachi Uchiha—si sulung yang tak bisa mengekspresikan diri dengan kosa kata. Sementara Ino merasa ini bukan saatnya berbicara. Yang menggelandangnya tadi siapa, yang harusnya bicara juga siapa?

"Aku tertinggal kereta." Itachi mulai buka suara. Melirik si pirang dari ekor matanya. Dia masih bergeming, seolah tak memiliki niat untuk berlari menjauh. Padahal bisa saja ia langsung lari sedari tadi. "Dan aku tak memiliki cukup uang untuk membeli tiket lagi."

Ino menolehkan kepalanya bingung, "Jisan sedang curhat?"

Jika Itachi tak mengingat Sasuke, mungkin si pirang ini sudah mati beku sejak tadi.

Tak berselang lama, Ino tertawa. Itachi semakin menekuk mukanya. Serius, sepertinya gadis cantik itu tak menyadari aura mematikan yang jadi hak paten Uchiha. Namun siapa sangka, setelahnya Ino justru tersenyum manis. Sangat manis malah. "Bercanda kok, Niisan." Ino menghela nafas pelan. "Niisan kenapa tak bilang dari tadi? Niisan kan bisa meminjam uangku dahulu untuk membeli tiket."

Itachi Uchiha tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Sepanjang hidupnya, Itachi selalu diberi wejangan untuk tetap menjaga ekspresi apa pun yang terjadi. Menunjukkan emosi merupakan pantangan utama di Uchiha. Namun Itachi juga tak dapat menolak saat senyuman itu menghangatkan hatinya.

Inikah ... rasa perhatian seorang yang tulus?

Untuk pertama kalinya, Itachi tersenyum tulus. Bukan senyum kasih yang biasanya ia berikan ke Sasuke ataupun senyum seringai yang sering ia tunjukkan ke Shisui. Tapi senyuman yang.. manis. Terlampau manis untuk ukuran Uchiha hingga sukses membuat wajah Ino memanas.

"Niisan tampan jika tersenyum seperti itu ..." Ino tetaplah Ino. Bocah delapan tahun polos yang mengutarakan segalanya secara jujur. Sayangnya, pujian singkat itu berhasil membuat senyum Itachi semakin lebar. Mulai sekarang, ada hal lain yang akan ia sukai selain bersama Sasuke sepertinya.

CTAK!

Ino meringis memegangi dahinya yang berubah warna kemerahan. Matanya menatap sebal Itachi yang justru berbinar geli. Ekspresi Ino sangat mirip dengan Sasuke. Lucu dan menggemaskan. "Terima kasih, Ino. Tapi keluargaku pasti akan cepat mencariku kemari." Entah ke mana tatapan menusuk dingin serta wajah datar Itachi. Yang ada kini justru pandangan lembut.

Mendengar kata keluarga, membuat Ino menunduk sedih. Niisan ini benar. Niisan memiliki keluarga. Tentu saja ia akan dicari jika tak kunjung pulang. Sementara Ino? Satu-satunya yang Ino miliki hanya penghuni panti yang terkadang saling bertengkar untuk berebut mainan.

"Ino?"

Buru-buru Ino mengubah raut wajah sebisanya, "Niisan benar. Niisan memiliki keluarga. Pasti keluarga Niisan akan mencari Niisan. Tidak sepertiku. Aku ... aku tidak memiliki siapa pun." Namun air muka Ino tetap tak luput dari Itachi. Anak laki-laki ini menemukan jika Ino tak jauh berbeda dengannya. Kesepian. Namun dalam situasi yang berbeda.

"Aku tinggal di panti asuhan selama ini." Pipi Ino mulai basah. Ia rindu keluarganya. Ia ingin bertemu orangtuanya. Ino sebal dengan orang-orang yang bernasib lebih baik dari Ino. Ino benci saat melihat orangtua dan anak mereka yang berjalan bersama. Ino iri ...

"Keluarga adalah orang-orang yang selalu peduli dan ada untukmu, Ino. Meskipun terkadang kepedulian mereka menyakitimu." Itachi menepuk-nepuk kepala Ino pelan sembari tersenyum tipis. "Jadi, semua orang di panti sama dengan keluargamu." Dia menghapus sisa-sisa air mata Ino menggunakan ibu jarinya.

Ino kembali cengo.

Ino pernah melihat ini. Seperti ... seperti apa, sih?

Oh, ini seperti dorama yang sering ditonton Ino. Dorama dimana sang gadis menangis, lalu kemudian ada anak laki-laki yang datang dan menghiburnya. Lalu memeluknya. Eh, eh! Bocah Yamanaka satu ini terlalu banyak menonton adegan tidak layak tonton rupanya.

Ino berhenti menangis. Itachi Uchiha juga tak bosan memberikan wajah lembutnya untuk Ino. Itachi harus mengakui, untuk ukuran gadis kecil, Ino adalah gadis terhebat yang pernah ia temui. Kuat dan lembut di saat yang bersamaan. Namun cantik dengan caranya sendiri.

Dan tentu saja, Ino terlihat sangat bersinar dengan segala ketulusannya.

"Niisan serius ingin menunggu di sini sendiri?" Itachi mengangguk.

"Pulanglah. Keluargamu pasti khawatir padamu."

Ino menggangguk mantap, "Sampai jumpa lagi kalau begitu, Niisan. Senang bertemu dengan Niisan." Si pirang melambaikan tangannya ceria sebelum berjalan menjauh meninggalkan Itachi yang justru menatap sedih punggung Ino.

Uchiha sulung itu menghela nafas pelan, "Aku yang seharusnya lebih senang bertemu denganmu, Ino."

.

.

.

.

.

Satu-satunya alasan mengapa Itachi masih tetap duduk di kursi tunggu stasiun ini ialah ia tak ingin terlalu mencolok. Sebisa mungkin tak membuat gerakan yang membuat orang lain menolehkan kepala ke arahanya. Apa yang akan dikatakan Madara-jiisan nanti jika mengetahui keturunannya mempermalukan Uchiha?

Terkadang Itachi merasa angker dengan embel-embel angkuh yang terlanjur disandang marganya. Bahkan dalam kondisi terdesak seperti ini pun, Itachi tak bisa meminta bantuan kepada orang lain. Ya, kecuali pada gadis cilik dengan sinaran tulus yang sukses membuatnya tersenyum hangat.

Ah, mengingatnya saja Itachi ingin tersenyum kembali—jika ia tak lupa tentang marga Uchihanya.

Dulu saat Itachi kecil, banyak anak lain yang menawarkan perhatian yang serupa. Namun Itachi selalu menolak karena tahu mereka hanya akan memafaatkan Itachi. Bahkan hingga Itachi menginjak sekolah atas. Itachi nyaris tak mengenal pertemanan selain dengan Shisui, sang sepupu.

Lalu, hari ini. Semenjak tiga belas tahun hidupnya, Itachi baru paham apa itu pertolongan tulus. Dengan aquamarine yang berbinar serta senyuman cerah, gadis kecil itu jauh lebih indah dibanding dengan sinar bulan purnama.

Ino. Dan panti asuhan.

Sepertinya Itachi tahu alasan apa yang akan membuatnya sering berkunjung ke Uzushio saat ia akan pulang ke Jepang.

Bunyi kereta yang datang mengacaukan pemikiran Itachi. Obsidiannya menoleh, mencari petunjuk arah waktu. Senja telah mengikis. Dan sialnya, Itachi masih tetap berdiam diri seperti anak hilang di sini. Seorang diri.

Dengan enggan, anak laki-laki dengan rambut model spiky panjang itu melangkahkan kakinya ke luar stasiun. Percuma saja menunggu sekian jam di sini jika hasilnya akan sama. Toh, Fugaku pasti masih sibuk dan Mikoto yang ragu jika Itachi segera pulang karena memang Itachi tak pernah memberi tahu kedua orangtuanya akan pulang ke Konoha dan mengurus keperluan di Jepang secepatnya. Tapi apalah daya, niat memberi kejutan malah berujung kesialan.

Malang sekali nasibmu, Itachi Uchiha!

Begitu kedua tungkai kakinya menginjak luar stasiun, hujan deras telah mengguyur. Langit pun seolah menangisi mirisnya hari sang Uchiha kali ini. Kehabisan uang. Ketinggalan kereta. Disapa langsung oleh hujan. Dan yang terburuk adalah polahnya yang menyerupai gelandangan.

Tapi sebelum Itachi mengumpat lebih jauh, payung berwarna ungu tersodor di hadapannya.

"Niisan bisa pakai payungku dulu."

Itachi mengerjap. Sejak beberapa jam lalu, otak jeniusnya lemot dalam mengelola informasi—bahkan hingga lupa tak seorang pun yang akan mencarinya karena Itachi tak memberitahu mengenai kepulangannya ke Konoha. Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah menatap payung ungu yang tersodor di hadapannya, kemudian seorang gadis cilik di sampingnya yang masih menyunggingkan senyuman manis.

"Sudah berapa kali aku katakan untuk pulang, Ino? Keluargamu pasti akan mencarimu."

Ino hanya nyengir kaku sembari mengangkat termos yang nampaknya sudah tak berisi, "Aku sekalian menghabiskan daganganku, Niisan," elaknya.

"Ini sudah petang. Kau tak khawatir jika mereka mencarimu?"

"Oleh karena itu aku masih di sini." Ino meletakkan termosnya di lantai, kemudian membuka payung ungu kesayangannya sebelum memaksa kedua tangan Itachi menggengam payungnya. "Karena Niisan peduli padaku, aku juga harus peduli pada Niisan."

Itachi sudah sering mendapati anak perempuan mengerling padanya. Tapi tak sedikit pun terbesit untuk melirik mereka. Namun saat gadis cilik yang membuatnya terpesona ini yang mengerling, Itachi seperti melupakan sekeliling.

Tidak, tidak. Ini pasti karena Itachi tak pernah berbincang dengan anak perempuan sebelumnya.

"Niisan?"

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Eh?" Ino seketika baru sadar. Ia hanya memiliki satu payung. Jika payungnya ia pinjamkan ke Niisan, Ino terpaksa menunggu hujannya reda. "Panti asuhanku tidak jauh dari sini. Niisan pergi dulu saja," dalih Ino.

Tanpa mengucapkan apa pun, Niisan—demikian Ino memanggil Itachi—berjalan menembus derasnya hujan. Meninggalkan Ino yang masih setia menatapnya dengan senyuman cerah. Setidaknya, Ino senang bisa menolong orang yang dianggapnya keluarga selain Mito-baachan. Ya, Niisan Ino itu mungkin seram. Tapi senyumannya menenangkan. Belum lagi nasihatnya bak seorang ayah pada anaknya serta caranya menghapus airmata Ino yang hangat.

Tak genap tujuh langkah langkah, Itachi berbalik. Menatap Ino dengan pandangan sulit diartikan sebelum setengah berlari menghampiri Ino. "Di mana panti asuhan tempatmu tinggal?"

"Tidak jauh kok, Niisan. Suer deh!" Ino bahkan sampai membentuk huruf v dengan jemari kirinya.

"Kita pulang bersama."

"H-Hah?"

Dan sebelum Ino mengajukan protes, lengannya sudah terlebih dahulu ditarik kuat. Dengan sebelah tangan yang membawa payung, sementara tangan yang lain sibuk merangkul Ino untuk merapat padanya, rona merah sukses membakar wajah Ino. Mungkin karena Ino tengah memeluk termos—atau sebuah lengan yang melingkar di bahunya—Ino merasakan kehangatan lembut di tengah hujan deras yang mengguyur Uzushio.

.

.

.

.

.

Baik Itachi maupun Ino masih sama-sama terdiam. Keduanya bahkan tak berniat membuka percakapan. Jadi sepanjang perjalanan mereka hanya di isi suara gemericik hujan dan langkah kaki beradu air yang menggenang. Itachi sibuk dengan pemikirannya sendiri, sementara Ino bingung untuk berkata apa.

Jika Ino boleh jujur, Ino sebenarnya sangat ingin memiliki seorang ayah. Atau minimal, seorang yang bisa ia panggil kakak. Sedari kecil, ia hanya diberi kehangatan ibu oleh Mito-baachan. Mungkin, ini saatnya Kami-sama memberi berkah untuk Ino. Seorang yang ia panggil Niisan. Entah kenapa, Ino merasakan kehangatan yang bahkan tak dimiliki saat diperhatikan Mito-baachan.

Mungkin ... seperti ini rasanya dilindungi oleh saudara laki-laki.

Atau seperti ini rasanya perhatian seorang ayah?

"Panti asuhanmu masih jauh?"

Ino menoleh. Apa bila melihatnya dari samping, ternyata anak laki-laki yang ia panggil Niisan cukup tampan. Tampan sekali malah. Bulu mata lentiknya itu yang membuat Ino ingin mencabutnya karena gemas. Belum lagi aroma tubuhnya yang menenangkan—seperti aroma mint. Lengkap sudah seperti di dorama yang ditonton Ino.

"Ino?"

"Ah, ya ..." Ino mulai ragu. Itu tadi jawaban panggilan, bukan jawaban pertanyaan.

Kembali hening ...

"Niisan?"

"Hn?"

"Jika Niisan mengantarku, lalu Niisan tidur di mana? Bukankah Niisan kehabisan uang?"

Skak mat!

Itachi kembali memutar otaknya. Itachi tidak mungkin pulang ke Konoha, serta mustahil jika kembali ke asrama—jaraknya lebih dari dua puluh kilometer. Lalu, di mana ia harus menghabiskan malam yang panjang di tengah guyuran hujan?

Menyadari jika Niisan terus saja diam, Ino berinisiatif membuka suara, "Jika Niisan mau, Niisan bisa tidur di panti asuhan."

"Tidak." Sanggah Itachi cepat yang membuat kedua alis Ino menukik. "Tidak, bukan maksudku tidak mau, Ino. Hanya saja ... aku tidak bisa bertemu dengan banyak orang." Tentu saja Itachi tak mau membuat keributan di Uchiha dengan menginap di salah satu panti asuhan—sementara jelas-jelas marga menyebalkan itu bersandang marga ternama.

Walau Ino tak mengerti, tapi bocah berkulit putih susu ini tetap mengangguk-anggukan kepalanya. Otaknya mulai berputar—berpikir keras, "Sebenarnya aku sering tidur di rumah pohon, Niisan. Tapi aku tidak tahu aman atau tidak di sana untuk Niisan."

Itachi paham. Ini perasaan yang sama saat ia bersama Sasuke. Kehangatan yang sama saat Sasuke selalu bergelayut padanya. Dan rasa yang sama ini ... Itachi dapati dari seorang yang faktanya non Uchiha. Pasti Kami-sama tengah berbaik hati pada Itachi.

Setidaknya, sampai kapan pun itu, Itachi harus menikmati kehangatan ini—sebelum ini berakhir.

"Tak masalah. Asalkan bersamamu, aku yakin itu aman."

Rasa yang sama yang membuatnya yakin semua akan baik-baik saja. Tentunya, selama gadis pirang ini di samping Itachi.

Meski Itachi ragu untuk mengakui, semoga saja ia bisa merasakan kebahagian yang tak ia dapatkan ketika menyandang Uchiha. Walau hanya untuk satu hari, setidaknya Itachi bebas ke mana pun tanpa ada yang mengaturnya.

Dan perjalanan yang cukup dingin itu dipenuhi dengan kehangatan senyuman Ino dan pelukan hangat Itachi. Mengabaikan derasnya air yang makin menjadi, keduanya bahkan tak berniat untuk sekadar berteduh atau mempercepat langkahnya.

Ya, itu permintaan Itachi.

Hal pertama yang terbesit adalah berjalan-jalan menikmati pemandangan kota yang terkenal dengan keasriannya. Uzushio tak serindang Konoha. Tapi entah sejak kapan, hujan yang mengguyur kota yang terkenal dengan bangunan klasiknya ini selalu terlihat indah. Tanpa angin berhembus kencang atau pun gemuruh kilat. Hanya tumpahan air tetesan langit yang nampak begitu tenang.

"Niisan?"

"Hn."

"Niisan tak pernah bermain air, ya?"

Seolah tertampar kalimat Ino, Itachi menarik tangannya yang menengadah ke langit. Dengan wajah canggung—yang tentu saja ala Uchiha—ia mengangguk singkat. Langit sendiri seolah tak sedang bermuram durja. Cerah seperti biasa. Mungkin inilah alasan mengapa desa ini dinamakan Uzushio—pusara air. Seburuk apapun hujannya, tetap saja enak dipandang. Baik langit, suasana, bahkan rintikannya.

.

.

.

.

.

Ketika Ino masih berusia lima tahun, ia selalu berpikir bahwa hidupnya begitu tidak adil. Sering kali Ino diajak Mito-baachan untuk pergi berjalan-jalan. Saat yang sama pula menimbulkan rasa iri tak terbendung. Sekelilingnya penuh dengan sebaya Ino yang digandeng dua orang, sementara mengapa hanya Ino yang mendapat satu gandengan tangan?

Namun saat usia Ino bertambah, ia mulai paham. Ino berbeda. Dia tak sama—atau lebih tepatnya tak seberuntung sebaya Ino lain. Kata Mito-baachan, Ayah Ino orang baik—sebuah bentuk sugestif untuk menekan rasa benci Ino pada kedua orangtuanya.

Dan sepertinya itu berhasil.

Meski harus tumbuh dengan rasa iri yang selalu menggerogoti, Ino Yamanaka bukan menjadi gadis dengki yang lantas berbuat sesuka hati. Ino tetap rendah hati, banyak bicara dan sering membantu orang lain. Katanya, walau Ino tak bersekolah, tetapi Ino tetap sering mengunjungi perpustakaan di pusat Uzushio untuk menambah pengetahuannya. Ino bisa berhitung—hitungan sederhana—juga membaca, seperti usia sekolah dasar kebanyakan. Untuk itulah, Ino berpikir sekolah hanya akan semakin membuang waktunya. Lagipula, kasihan Mito-baachan jika menanggung terlalu banyak beban. Penghuni di panti asuhan Ino masih terlampau kecil untuk mencari uang.

Maka dari itu, sebagai salah satu yang tertua di panti asuhan, Ino merasa bertanggung jawab untuk ikut menanggung kebutuhan adik-adiknya. Apapun, jika Ino bisa, Ino akan lakukan. Baginya, tak ada yang lebih membahagiakan selain menemukan keluarga pantinya tersenyum—hal yang baru dipelajarinya dari Niisan.

Lalu tentang uang jajan yang diberikan Mito-baachan juga. Ino sering diberi wejangan agar menjadi hemat—dan salah satu bentuk penghematan yang paling mujarab adalah rajin menabung. Dari sana, Ino belajar menekan rasa ingin memiliki mainan atau apalah itu. Jika Ino menabung, Ino bisa mengumpulkan banyak uang, nasihat Mito-baachan.

Jadi, meskipun Ino tumbuh tanpa orangtuanya, Ino tidak apa-apa. Ino sudah terbiasa.

"Lagi pula, Kami-sama tengah berbaik hati mengirimkan Niisan untukku." Ino tersenyum, "Niisan seperti Ayah dan saudara laki-laki untukku."

Itachi tersenyum simpul, "Begitukah?"

Ino mengangguk singkat sebelum merapatkan tubuhnya ke Niisan.

Di rumah pohon berukuran empat meterpersegi itu Ino memulai ceritanya. Sementara sosok di samping Ino hanya mendengarkan dengan seksama. Hujan deras masih setia mengguyur, membuat dua anak ini semakin meringkuk. Masing-masing sisi rumah pohon berjendela tanpa kaca ini basah, jadi hanya sebagian kecil yang masih layak untuk berteduh.

Seindah apa pun hujan, tetap saja airnya di sana dingin.

"Niisan sendiri ... bagaimana?"

Mengabaikan pakaiannya yang basah, Itachi menghela nafas berat, "Kau tidak segera pulang, Ino?" tanyanya mengalihkan topik.

Sejak awal Itachi tak berniat membuka dirinya. Tetapi entah karena apa, gadis kecil ini dengan berani mendekat. Dengan kehangatannya, sedikit beban Itachi terangkat. Namun bila harus membuka diri lebih dalam, Itachi rasa dirinya belum siap.

Ino merengut sebal—persis seperti Sasuke. Jika Itachi bisa, mungkin ia akan meminta adik perempuan kloningan dari Ino. Ino lebih dari cantik atau baik. Tapi sayangnya tidak. Perempuan di Uchiha dianggap tidak akan membantu banyak. Jadi, mungkin Itachi akan merubahnya untuk mendapatkan pasangan hidup seperti kloningan Ino.

Lho, kok?

Sepertinya setelah ini, Itachi harus benar-benar bergaul dengan anak perempuan.

"Niisan sejak tadi seperti itu."

CTAK!

"Ittai!" Refleks, Ino memegangi dahinya yang memerah. Huh!

"Maaf, Ino. Mungkin lain kali." Itachi tersenyum simpul.

Ino mendengus kesal—mengabaikan senyuman Niisan yang tadi ia gadang-gadang senyuman manis. Menepuk pelan lengannya yang tak sengaja terguyur air sebelum beranjak berdiri. "Lain kali menurutku berarti tidak akan pernah terjadi, Niisan." Kemudian ia mengambil termosnya, memutuskan untuk pergi dengan hati dongkol.

Baru juga beberapa saat ia merasakan kehangatan ayah dan rasanya mendapat perlindungan saudara laki-laki—eh tak lama kemudian sikap seram Niisan bangkit. Benar-benar anak laki-laki wajah peot yang menyebalkan!

Namun, meski Ino tak menyadarinya, Itachi sama sekali tak mengalihkan netra gelapnya dari sosok kecil pirang itu—setidaknya sebelum Ino benar-benar hilang dari pandangan Itachi. Tatapannya menyendu—ini jelas bukan jenis tatapan Uchiha.

.

.

.

.

.

T.B.C

.

.

.

.

.

Aduh, apa ini?

Ini buat yang minta ItaIno digrup kemarin T_T. Berhubung in OTP saya, jadi saya bikinin cerita tentang mereka XD. Duh, maap sekali ya. Hari terakhir sebelum dua minggu malah dipakek buat nulis ini :')

Akhir kata, selamat membaca dan terima kasih loh bagi yang mau meninggalkan jejak :* :* :*