This story is belong to Masashi Khisimoto, AU, OOC, Mature content.


Bahkan mencintaimu, tidak membuat aku buta. Meski membuat aku mati, membuat aku tidak dapat bergerak. Kalau memang kau mencintaiku, kenapa tidak kau lepaskan Sai? Aku ingin, merangkulmu, mengenalkanmu di hadapan teman-temanku, bercanda denganmu di tempat umum. Sesuatu yang Sai lakukan dan aku tidak.


Kehidupan seluruh Desa Konoha di tanganku. Aku bukanlah perempuan yang akan begitu saja bergantung pada nasib. Akan kuperjuangkan kerajaan ayah. Di tanganku sendiri. Jika tidak ada yang dapat membantuku. Karena aku, perempuan yang menentukan sendiri akan seperti apa nasibku. Juga nasib kerajaanku.

Asap rokok yang mengepul menyesakkan ruang paru-paruku, juga membuat mataku perih. Namun kesenangan seperti hari ini, tidak kusia-siakan bersama rekan-rekan sejawatku. Rasanya sungguh nikmat merasakan kebebasan seperti ini. bersama ketiga sahabatku, sahabat yang selalu bersama denganku semenjak kami menginjak tingkat sekolah menengah pertama. Sejak kami, masih ingusan dan konyol.

"Ah! Skak mat! Sudah kubilang! Aku akan menang!" si bocah pirang, teman baikku. Naruto Uchiha berteriak dengan seru. Ah, mungkin kemenangannya bermain catur setelah pertandingan 6 kali yang di ulang. Melawan Neji Hyuga.

"Berisik kalian." Sabaku No Garra bocah berambut merah itu berteriak dengan malas-malasan dari depan televisi. Jari telunjok dan jari tengahnya sedang mengepit sebatang rokok, sesekali dia menghisapkan benda beracun itu lalu menghembuskannya kembali memenuhi seluruh ruangan. Sedang aku, ada disini. Di meja makan, membuka bungkus kacang, di temani segelas bir hitam.

"Hei Sasuke. Bagaimana kabar pacarmu itu?"

"Sudah mati." Jawabku sarkastis. Mengingat pertanyaan Garra, yang terdengar seperti kalimat sindiran untukku.

"Aku heran denganmu, wajah tampan, keluarga kaya, dan seribu gadis di luaran sana berteriak histeris untukmu. Kenapa harus perempuan itu?" Kali ini, tidak hanya Garra yang ikut campur dalam kehidupan pribadiku. Sepertinya Naruto juga mulai tertarik.

"Memang kenapa dengan perempuan itu?" aku bertanya lagi .

"Tidak, tidak ada yang salah. Hanya saja, perempuan itu memiliki akte kepemilikan pria lain, kawan."

Ya, memang tidak ada yang salah dengan perempuanku. Dia cantik, matanya berwarna biru aqua, rambutnya pirang. Dia memiliki wajah yang indah dan cantik. Sungguh, dan aku mencintainya. Ya, dari seribu gadis di luaran sana, aku hanya mencintainya Ino Yamanaka. Pertemuanku pada malam itu di pesta ulang tahun Hinata Hyuga. Saat itu juga kali pertama aku merasa jatuh cinta padanya. Tidak, tidak ada yang salah. Hanya, dia adalah pacar Sai.

"Kau seperti pecundang belakangan ini, teman." Timpal Neji yang sedang menatap bidak-bidak caturnya.

"Ya, kau seperti pecundang. Aku bahkan heran, mengapa kau bebas hari ini."

"Apa maksud kalian?" aku bertanya dengan dingin, tidak suka dengan ejekan mereka. rahangku mengetat dan kedua tanganku mengepal.

"Kau lebih mirip pembantu si gadis seksi itu." Garra bangkit dari sofa lalu menghampiri aku, dan sekarang dia menarik kursi meja makan, lalu duduk berseberangan denganku.

"Tidak, dia bukan pembantu. Hanya kekasih gelap, Garra." Sambung Naruto sambil cekikikan. Apa menurut mereka, kehidupanku lelucon semata?

"Ini bukan urusan kalian." Kataku singkat.

Tiba-tiba ponselku bordering,

"Pasti majikanmu menelpon." Naruto terkekek geli saat mengucapkannya.

Benar. Ino menelpon. Aku menghela nafas sebelum menjawabnya.

"Ada apa?" tanyaku dingin.

"Sasuke, aku merindukanmu. Datanglah ke apartemenku,"

"Aku sedang sibuk."

"Kumohon.." suara merdunya mulai menebar racun yang senantiasa menundukan tubuhku ini.

"Mana pacarmu?"

"Dia, selalu sibuk dengan semua kehidupannya. Kumohon, aku kesepian di sini."

Aku juga selalu merindukanmu Ino. Aku sayang padamu.

"tunggulah." Lalu segera kututup telpon itu.

"Aku harus pergi sekarang." aku menoleh pada Garra lalu Naruto dan Neji. Mereka hanya menghela nafas kesal, seperti biasa. Aku segera bangkit dari kursi lalu berjalan keluar dari ruang tamu Neji yang sudah kukenal betul ini.

"Sasuke…" Garra memanggilku saat aku keluardari pintu. "Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" pertanyaannya sungguh mengagetkanku. Sampai kapan? Ya. sampai kapan? Pertanyaan yang setiap pagi menghantuiku, setiap sore menggeyangiku, dan seitap malam menjamah mimpiku.

"Entahlah." Aku menjawab singkat. "Sampai jumpa.."

"Sasuke, kami perduli padamu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi Ino Yamanaka, jelas bukan yang terbaik."

Aku tersenyum sekilas pada mereka. lalu melangkah keluar. Kusambangi pekatnya malam dengan dingin yang menusuk. Aku merapatkan jaketku begitu keluar dari rumah Neji, cuaca malam sungguh dingin. Aku mengambil kunci mobil dari dalam saku celanaku, lalu kumasuki mobil itu dengan terburu-buru untuk menghindari rintik hujan gerimis malam yang berjatuhan seperti batu kerikil. Kunyalakan mobil, lalu kulajukan mobilku menyusuri jalanan yang kukenal betul. Jalan menuju apartemen Ino.

OoooooO

"Aku rindu padamu, Sasuke.." Ino mengalungkan kedua lengannya ke leherku. Wajahnya begitu sayu, dia hanya mengenakan jubah mandi berwarna putih yang berbahan seperti handuk. Apartemen Ino begitu familiar, harumnya seperti lemon, dan nyaman.

"Kenapa?"

"Karena aku mencintaimu." Dia mengecup bibirku sekilas.

Aku melengoskan pandanganku, lalu berjalan ke arah sofa, lalu menghempaskan tubuhku di sana. Ino berjalan menghampiriku, lalu dia duduk di pangkuanku dengan kedua lengannya di kalungkan lagi di leherku. Dia begitu harum, harumnya seperti permen dan buah. manis. Tuhan, dapatkah aku mengendalikan diriku sendiri jika yang ada di hadapanku adalah makhluk seindah dia. Ingin rasanya aku segera melenyapkan Sai dari muka bumi ini. atau setidaknya, jangan jadikan dia sebagai penghalang antara kami. Cintaku, dan cintanya. Jika dia memang benar mencintaiku.

"Ino, sampai kapan?" Ino mengernyitkan keningnya bingung. "Sampai kapan, aku hanya akan menjadi bayang-bayangmu. Hanya mendekam di apartemenmu ini, sedangkan dia ada diluar sana. Menggandeng dan merangkulmu?"

Ino menyurukan kepalanya ke leherku. Rambut pirangnya sedikit lembab sehabis keramas, namun aku selalu merasa nyaman seperti apapun keadaannya. Aku sedang jatuh cinta. Ya, dengan gadis ini. kurasakan desah nafasnya saat dia mulai berbicara, kalimat yang selalu di ucapkannya setiap kali aku mempertanyakan hubungan kami berdua, yang makin lama semakin di ujung jurang.

"Aku mencintaimu Sasuke sungguh, aku selalu ingin kau hadir…"

"Hanya di saat-saat kesepianmu tanpa Sai." Aku emlanjutkan kalimatnya dengan sarkastis.

"Tidak, sungguh. Aku hanya… aku hanya butuh waktu. Aku ingin kau mengerti."

"Berapa lama? Kau selalu mengatakan itu dari setahun yang lalu. Apa lagi yang kau tunggu? Apa yang tidak bisa aku berikan yang Sai dapat berikan?"

"Sasuke, kumohon. Jangan memojokanku. Aku mencintaimu, dan kau mencintaiku. Apa yang salah? Kenapa tidak kita nikmati cinta kita berdua?"

"Bahkan mencintaimu, tidak membuat aku buta. Meski membuat aku mati, membuat aku tidak dapat bergerak. Kalau memang kau mencintaiku, kenapa tidak kau lepaskan Sai? Aku ingin, merangkulmu, mengenalkanmu di hadapan teman-temanku, bercanda denganmu di tempat umum. Sesuatu yang Sai lakukan dan aku tidak." aku melepaskan rangkulan tangannya, entah mengapa. Aku mulai muak dengan semua ini.

"Aku berjanji padamu. Suatu saat kita akan memiliki masa-masa itu, tapi kumohon jangan sekarang. temani aku malam ini."

"Hn.."

Ino melumat bibirku, di kalungkan lagi kedua lengannya ke leherku. Nafsu birahi segera menguasaiku, membuat seluruh tubuh ku bereaki. Membuatku merasakan Ino sepenuh hati, dan membiarkan tanganku bergerak menelusuri tubuhnya yang putih mulus, dan seksi. Perutnya yang ramping, kulitnya yang halus, kugenggam jemarinya, lalu kujambak rambut pirangnya, bersama kita menghabiskan malam itu berdua.

OooooO

Suasana istana Konoha pada malam itu, tidak setenang biasanya. Malam semakin kelam, dan bulan tidak menampakan sinarnya. Semua orang diliputi ketakutan yang mistis. Berkumpul, di tengah-tengah lapangan resmi desa konoha yang terletak di kolong bumi. Terdengar riak-riak kekhawatiran dari celoteh-celoteh para penduduk desa yang di landa kecemasan.

Tuan Orochimaru, duduk di singgasananya, rambut hitamnya terurai panjang. Wajahnya menyeringai bahagia, atas penyebab kecemasan yang melanda penduduk desa Konoha. Kemenangannya. Dia akan merebut singgasananya! Sebentar lagi, akan di pakainya mahkota berlapiskan emas dan berhiaskan berlian. Tapi yang paling penting, batu Kristal Alexandria yang tertanam di mahkota itu. batu yang akan membuat kekuatannya menjadi satu dengan alam. Dia akan menguasai langit beserta cakrawala, bumi beserta laut dan daratnya, neraka beserta api dan penderitaanya. Ya hanya dia.

"Tu.. Tuan Orochimaru.." sang pengawal datang tergopoh-gopoh menghampiri majikannya. "Aku membawa kabar buruk.." ketakutan serta kekhawatiran kini tergambar begitu jelas di wajahnya, keringatnya mengalir deras, membayangkan tubuhnya akan di bakar hidup-hidup oleh kemarahan Tuan Orchimaru.

"Apa itu?"

"Mah.. mahkotanya…" Dia ingin melanjutkan, namun tenggorokannya seperti disumbat, terasa kering kerontang karena ketakutan yang melanda.

"Ada apa dengan mahkotaku?" Orochimaru bangkit dari singgasananya, dadanya meledak-ledak membayangkan terjadi sesuatu dengan mahkotanya. "Apa dia hilang?"

"Tidak, mahkotanya tidak hilang.. namun.. namun.."

"Cepat katakan!"

"Batu Kristal Alexandria yang menempel di kepalanya telah lenyap, Tuan.."

Orochimaru mengepalkan kedua tangannya. Matanya membelalak lebar karena kemarahan. Dia mengamuk. Mengamuk besar.

"Sial…" katanya dingin. Dan dia mengibaskan tangannya, pengawal itu berteriak-teriak karena api berkobar menyelimuti tubuhnya. Hingga 3 detik kemudian, tubuhnya hancur lebur menjadi debu. Orochimaru duduk kembali ke atas singgasananya dengan tenang, menopang dagunya dengan tangan kanan. Di tengah ruangan yang penuh debu manusia. "Akan kubuat kau jadi debu juga Sakura Haruno."

OooooO

Aku terus berlari, kudengar kuda yang berderap-derap di belakangku membuat tubuhku banjir dengan keringat. Kusingkapkan gaun hijauku yang panjang hingga semata kaki agar memudahkan aku berlari. "Aku harus keluar dari tempat ini.". nafasku mulai terengah-engah, kurasakan paru-paruku seperti hendak meledak saat itu juga. Kakiku rasanya tidak mampu lagi menopang tubuhku berlari. Aku berlari menyusuri hutan di tengah malam yang gelap dan pekat. Ku singkirkan ranting-ranting pohon yang bergelayutan seperti jaring setan dengan cepat.

Aku tersungkur jatuh, kakiku tersandung akar pohon yang tua dan besar. Rasanya sakit, kakiku seperti terkilir. Aku tidak dapat melihat apakah ini luka yang parah atau tidak, yang jelas aku merasakan kakiku basah karena darah yang mengalir. Rerumputan sungguh tajam melukai kulitku yang halus. Dari kejauhan, aku melihat titik-titik cahaya yang bergerak-gerak semakin mendekat. Serta derap kuda yang makin jelas terdengar. Itu adalah para pengawal yang membawa obor. Aku tidak bisa bangkit lagi, aku telah menggapai ambang batas kelelahan yang seharusnya. Kupaksakan tubuhku bergerak, terseok-seok menimbulkan suara gemerisik saat gaunku bergesekan dengan rerumputan yang tajam. Beruntunglah, rerumputan di hutan ini sungguh lebat dan tinggi. Aku bersembunyi di balik semak-semak yang terlindung di belakang dua pohon yang sangat besar. Kubungkukan tubuhku, berharap semoga sosokku tidak terlihat di sini.

"Dimana dia!" kudengar seorang pengawal berteriak-teriak. Tentulah, yang dimaksud dengan "dia" adalah aku. Aku yang sedang mereka incar. Kurasakan tanganku menggenggam sesuatu, barulah aku mengingatnya. Kubuka kepalan tanganku, lalu kutatap batu Kristal berwarna kebiruan itu. warnanya biru, seperti laut. Namun ada sebercak merah di tengahnya. Seperti cairan darah yang tersangkut dengan sengaja.

Samar-samar kudengar seruan mereka semua, berteriak-teriak mencariku. Oh Tuhan semoga mereka tidak menemukanku di sini. Salah seorang pengawalnya berjalan di depan semak-semak. Tepat di mana aku berada, dapat kulihat sepatu bootnya yang terbuat dari kulit itu menginjak rerumputan.

"Ah, dasar gadis kurang ajar. Buat susah saja.."

Aku menahan nafas merasakan ketegangan yang menerjangku sekarang. jangan sampai dia menemukanku, kumohon! Hanya aku yang dapat merubah semuanya. Hanya aku! Biarkan aku selamat kali ini.

Kaki itu berhenti melangkah, tepat di depan wajahku. Jantungku serasa berhenti berdetak saat itu juga, keringatku semakin membanjir, ketakutan ini mulai menelanku seperti monster besar yang mengerikan. Kurasakan dia mulai membungkuk, dan.. ah! Dia membuka semak-semak tempatku bersembunyi. Sial.

"Ah, kena kau gadis nakal!" aku mengangkat wajahku.

Kudapati wajah Sasori di sana. Wajahnya terlihat layu dan muram. Sasori, kawanku dulu. Orang yang sangat kusayangi, sekarang berada di bawah kendali ular sialan itu. ingin segera kupeluk saja dirinya, seperti dahulu. Kala kita masih kanak-kanak, Sasori yang melindungiku. Namun, sekarang dia telah berubah.

"Sasori kumohon.." Aku terisak karena ketakutan sekaligus kekecewaan telah gagal melarikan diri dari istana yang macam neraka ini. Sasori berjongkok, hingga sekarang wajahnya berhadapan denganku. Aku mulai menitikkan air mata. Kurasakan telapak tanganku nyeri, karena aku menggenggam batu Kristal ini dengan begitu kuat, aku hanya berharap dia dapat menyatu dengan tanganku sehingga tidak ada satu orangpun yang dapat merebutnya.

"Sakura, dengar aku.. aku sungguh menyayangimu.." Sasori berkata pelan sambil berbisik. Sasori masih tetap sosok yang melindungiku. Semoga. "Aku tidak akan menyerahkanmu. Dengarkan aku, aku ingin istana ini kembali seperti dulu, saat ayahmu berkuasa. Sakura. Hanya kau yang dapat melakukannya percayalah padaku.. aku akan menyelamatkanmu kali ini, tapi aku tidak dapat melindungimu. Maafkan aku, Orochimaru mengawasiku sekarang. inilah saatmu untuk bertindak. Selamatkan kerajaan kita.."

Segera saja aku menghambur kedalam pelukan Sasori. Sudah lama sekali rasanya, kami tidak seperti ini. semenjak ular itu menduduki singgasana ayah, dia mengubah seluruh hidupku. Nasibku. Tapi aku bukanlah perempuan yang akan bergantung hanya pada nasib.

"Aku.. aku tidak tahu harus bagaimana.." aku terisak lagi. ".. Aku bahkan tidak mengerti, apa kegunaan batu ini. bagaimana caraku memanfaatkannya."

Sasori menegang saat salah seorang rekannya berteriak-teriak memanggil namanya. Dia segera melepas pelukanku.

"Sakura, aku tidak mengerti. Hanya ayahmu dan Orochimaru yang mengerti bagaimana. Kau harus mencari tahu. Dengarlah, aku akan memberimu ini.." dia menyerahkan sebilah pisau yang tertutup dengan kulit pelindung, terukir lambang konoha di sarungnya. "Pakailah ini untuk menjaga dirimu. Sakura, kau akan menemukan cara untuk memanfaatkan Kristal itu. dan saat itu tiba, kau harus kembali kesini. Selamatkan kami. Aku sayang padamu." Sasori memeluku lagi kali ini sungguh erat, kurasakan dia mengecup rambutku. Lalu segera bangkit dan berdiri. Aku kembali bersembunyi di balik semak-semak. Menunggu hingga keramaian itu menjauh.

"Hei, Sasori. Kau sudah menemukan gadis itu?" kudengar samar suara seseorang bercakap dengan Sasori.

"Kuduga dia ke arah Selatan sana. Tadi aku melihat bayangannya berlari. Sebaiknya, kita langsung mengerahkan seluruh pasukan kesana."

Terima kasih Sasori. Percayalah, aku akan melakukan itu untukmu, untukku, dan seluruh rakyat Konoha.

Suasana mulai sunyi, kudengar derap kuda semakin menjauh. Hingga hilang. Suara itu hilang sama sekali. Kutatap sekali lagi pisau yang di berikan Sasori kepadaku. Dengan perlahan, kucoba untuk bangkit berdiri. Ah sial, kakiku seperti ditusuk ribuan jarum, lalu di pelintir hingga terputar tulang mata kakinya. Sakit sekali. Pasti kakiku terkilir tadi. Aku merenggangkan tubuhku yang kelelahan, lalu kulepaskan kedua sepatu kainku yang bermotif bunga lily dengan perlahan-lahan. Aku sedikit memekik kesakitan, saat membuka sepatu kananku, kakiku tersenggol.

Aku menahan kedua tanganku dengan berpegangan pada batang pohon, berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Ku angkat tubuhku perlahan-lahan, kukerahkan seluruh kekuatan yang aku punya hanya untuk menapakan kakiku ke atas rerumputan. Lalu kugerakan maju, perlahan-lahan. Berhasil, aku berjalan semakin jauh lagi. aku terseok-seok perlahan. Tanganku masih tetap bertumpu pada batang pohon agar tidak terlalu membebani kakiku yang terkilir.

Groarrr..

Sial. Aku menoleh kebelakang, kutatap dua mata hitam legam yang muncul dari balik bayang-bayang, hingga sosok itu semakin maju. Oh apalagi ini? kenapa anjing peliharaan Orochimaru masih berkeliaran di sini? Aku mengenal sosok binatang peliharaan itu. tidak bukan anjing, tubuhnya sangat besar. Dalam keadaan berjalan dengan empat kaki, dia sejajar dengan bahuku. Kepalanya besar, dan gigi-giginya tajam juga panjang. Sekarang dia menggeram, kulit bibirnya tertarik keatas memperlihatkan taringnya yang menyeramkan. Air liur menetes-netes dari dalam mulutnya. Tidak, aku bukanlah seorang penggemar hewan. Jadi saat di tempatkan dalam keadaan seperti ini, hal terbaik yang dapat kulakukan adalah. Lari.

Ku tarik kedua kakiku agar dapat melaju dengan kencang, kurasakan hewan itu mengejar dari belakang, dia masih menggeram. Dia bukan anjing, dia tidak menggonggong. Tapi setahuku, dia dapat memakan daging manusia. Hewan sialan ini tidak berbeda jauh dari majikannya! Ah. Kakiku rasanya hampir putus. Tapi aku tetap berusaha untuk lari. Dan

Bruuk. Anjing itu menyergapku. Aku akan mati. Tidak. demi nama seluruh rakyat Konoha. Penghuni kolong bumi. Aku tidak akan mati. Aku akan menyelamatkan mereka. Alexandria, kumohon. Aku tidak mengerti bagaimana menggunakanmu. Kumohon, selamatkan Konoha. Selamatkan aku sekarang juga.

Kurasakan kukunya menancap di gaunku, lalu kurasakan kainnya telah robek terkoyak oleh ketajaman dan kekuatan cengkraman kukunya. Kugenggam batu itu erat-erat. Kumohon. Kumohon. Selamatkan aku kali ini.

Kurasakan tubuhku terhentak. Dan gelap. Gelap. Jika ini akhirnya, maka aku telah menghabiskan hidupku dengan begitu sia-sia. Ku ucapkan selamat tinggal untuk Sasori, seluruh temanku. Aku minta maaf tidak dapat mengubah nasib kalian. Tidak ada sedikitpun hal berharga yang pernah kulakukan dalam hidupku. Dan sekarang, hidupku berakhir. Aku akan bertemu ayah. Aku telah berusaha.

OooooO

"Sial, sial, sial!" umpatku berkali-kali sambil mengenakan celana jeansku, aku kehilangan keseimbanganku, lalu jatuh terjerembab ke atas karpet yang lumayan empuk. Segera ketelusupkan kedua kakiku kedalamnya. Lalu kukancingi celana jeansku, dan segera berdiri. Kutatap Ino yang masih terbaring di atas ranjangnya. Mendengar kegaduhan yang kubuat, dia mengerjapkan matanya, lalu menatapku dari atas ranjang, dia sedikit mendongakan kepalanya,

"Mau kemana, sayang?"

"Aku terlambat!" aku segera menyambar kaus hitamku yang tersampir di sofa kamar Ino, entah sejak kapan kaus itu berada disana. Kemarin malam, kesadaran benar-benar lenyap ke langit terjauh di atas sana.

"Terlambat kemana? Kau tidak menginginkan sarapan?" dia bangkit dan terduduk di atas kasur menatapku yang terburu-buru seperti orang yang sedang kesetanan. Aku berhenti sejenak mendengar pertanyaannya.

"Kau bisa membuat sarapan?"

"Tentu tidak. kita dapat memesan makanan."

"Ah, sudahlah. Tidak sempat lagi, aku harus segera menghadiri pertemuan keluarga."

"Ada apa?"

"Entahlah. Menyangkut masalah Itachi…" aku berlari menuju meja rias, mencari-cari kunci mobilku yang entah ada di mana kemarin malam. "… Sial, dimana kunci mobilku?"

"Kurasa kau menaruhnya di meja ruang tamu kemarin malam…" Ino terdiam sejenak. ".. Ada apa dengan Itachi?"

"Aku tidak tahu. Hei, aku harus pulang." Aku segera berlari kearah pintu kamar lalu membukanya.

"Sasuke, aku mencintaimu. Kabari aku, jika ada sesuatu yang terjadi." Kutatap tubuh telanjang Ino yang hanya terbalut selimut. Gadis yang bersamaku kemarin malam itu, sungguh menggairahkan. Ah andai aku tidak dalam keadaan terburu-buru begini, pasti sudah ku jamah lagi tubuh seksinya itu.

"Ya, aku juga. Sampai jumpa."

OooooO

Benar, hanya pertemuan tidak penting lainnya. Itachi ingin menikah. Dengan Hinata Hyuga. Yang benar saja? mana mungkin Hinata berkenan untuk memiliki suami aneh seperti dirinya? Dan yang kuketahui, Hinata adalah kekasih Naruto. Ah dasar orang itu membuang waktu saja. aku menyewa apartemen di tengah kota yang mewah. Aku hanya tidak ingin terus-menerus tinggal dengan orang tuaku, jadi di sinilah aku. Aku berjalan beberapa blok dari era apartemenku. Sekedar mencari udara segar. aku memasuki sebuah supermarket untuk membeli beberapa makanan kaleng.

Sesuatu yang mudah di masak. Masukan kedalam microwave lalu voila, makanan siap saji terhidang. Aku pria lajang yang tidak bisa memasak. Menyedihkan memang. terkadang, aku akan menelfon restoran untuk memesan pizza atau apapun yang cepat. Tapi tetap, aku butuh persediaan makanan untuk dirumah.

Aku menenteng kantong belanjaanku menyusuri jalan raya yang ramai dengan hiruk pikuk, meskipun di malam hari. Cuaca dingin menusuk-nusuk, aku merapatkan jaketku dan terus berjalan. Banyak kriminalitas yang terjadi di kotaku. Tapi tentu tidak di lingkungan ini. kawasan ini ramai oleh penduduk. Kawasan modern yang penuh gedung-gedung menjulang tinggi. Toko-toko baju serta sepatu. Pusat kota yang paling ramai. Di sinilah aku tengah kerlap-kerlip kota yang ramai dan bising. Kendaraan lalu lalang di sekitarku menjadi penyemarak hidup.

"Kau!" aku berhenti berjalan, merasakan seseorang mencengkram jaket hitamku. Aku menengok kebawah. Kusaksikan seorang wanita paruh baya dengan pakaian compang-camping, tubuhnya dekil dan bau. Rambutnya berwarna pirang, namun kusut dan tidak terawatt. Mau apa orang ini, aku merogoh jaketku dan mengambil recehan untuk kuberikan padanya. Saat kuulurkan itu, mendadak dia mencengkram tanganku.

"Kau, sebentar lagi.." dia berceloteh tidak jelas "..Kau pria menyedihkan. Akan menemukan takdirmu sebentar lagi." menyedihkan? Dia mengatakan seorang Sasuke Uchiha sebagai pria menyedihkan? Ya ampun. Pasti orang ini, tidak pernah melihat televisi. "Kau akan menjemputnya sebentar lagi. kau akan menantang takdir. Melampaui batas yang telah tercipta. Kau akan melepas kutukan itu! kau akan menyelamatkan dunianya!"

Aku menepis tanganku, lalu kuulurkan uang receh itu perlahan-lahan.

"Kau tidak percaya padaku! Kau lihatlah! Sebentar lagi! nasibmu akan berubah!"

"Kau tah sesuatu, Bu? Kau bahkan tidak mengenal aku. Sekarang aku ingin pulang."

"Tidak mengenalmu?" lalu dia tertawa terbahak-bahak. "Sasuke Uchiha? Siapa yang tidak mengenalmu di seluruh kota ini?" dia tertawa semakin keras. Orang ini pasti sudah gila. aku mengabaikannya, lalu segera pergi. tahu sesuatu? Percaya pada ramalan akan membuatmu gila dan terjebak dengan pikiran-pikiran gilamu. Abaikan itu seperti angin yang lalu, maka hidupmu akan tenang seperti biasanya. Aku tersenyum sendiri membayangkan nasibku akan berubah. Tidak jelas apa maksudnya.

Aku berjalan kembali, hingga tubuhku bergeming. Membeku. Menatap sosok yang sungguh familiar di sana. Rahangku mengetat menahan amarah juga kekecewaan yang tidak terbendung lagi. Ino Yamanakan, bergandengan mesra. Dengan Sai. Dia sungguh cantik malam ini, tubuhnya terbalut gaun berwarna hijau selutut dan syal abu-abu. Di sampingnya, Sai sedang merangkul bahunya dengan begitu mesra, kulihat Ino tertawa senang saat Sai menunjukan sesuatu dari kaca etalase toko. Lalu mereka berdua masuk kedalamnya. Aku berjalan, berusaha sekuat tenaga mengabaikan mereka berdua. Siapa yang sangka? Sai akan melihatku.

"Hei, Sasuke!" dia memanggilku dari dalam toko. Aku menoleh. Kulihat mereka berdua berjalan keluar menghampiriku, dapat kurasakan Ino khawatir. Dia menggigit bibir bawahnya. Entah apa yang dia khawatirkan. Apakah dia khawatir kalau-kalau aku membongkar hubungan kami? Atau khawatir aku semakin kecewa? Kurasa pilihan pertamalah yang paling tepat. "Sudah lama sekali aku tidak melihatmu, kawan!" Sai tersenyum. Senyuman palsunya yang ditebarkan ke semua orang.

"Ya, aku juga." Kubalas senyuman palsu itu juga dengan senyuman dan keramahan yang palsu.

"Hai, Sasuke. Lama tidak bertemu." Sapa Ino. Lama tidak bertemu? Lucu. Baru kemarin malam kita menghabiskan waktu bersama, dan tadi pagi adalah terakhir kali aku melihatnya hari ini. yah, tentu saja. sandirawa sedang dimulai.

"Ya, lama tidak bertemu." Kujawab dengan singkat.

"Hei, sedang menyiapkan makan malam ya?" dapat kutangkap sorot mata yang mengejek dari Sai. Hah, bajingan ini. "Kau tahu, seharusnya kau mencari kekasih Sasuke, agar tidak kesepian. Seperti aku, dan Ino. Kami bahagia." Katakan itu pada bokong anjing, temanku. Jika kalian bahagia, seharusnya kau pertanyakan itu lagi pada gadis cantik di sebelahmu.

"Bukan urusanmu."

"Ah, masih seorang Sasuke yang biasanya ya? kawan, sampai kapan kau akan terus begitu, pantas saja seluruh gadis takut denganmu."

"Ada ratusan bahkan ribuan gadis diluar sana berteriak-teriak untukku." Aku tersenyum. "Lagipula, apa kau sudah membereskan hutang keluargamu, Sai? Sampai-sampai kau sibuk mengurusi kehidupan percintaanku." Skak mat. Kena dengan tepat di sasaran. Puas rasanya, aku seperti menembak sasaran yang melingkar berwarna merah di tengah-tengah. Sai bergeming. Tak lama kemudian dia tersenyum kecut.

"Wah, wah. Sejak kapan kau mulai berani membawa-bawa identitas keluarga Uchiha sebagai tamengmu, Sasuke-chan?"

"Sejak aku ingin membunuhmu, Sai-chan. Ah, sebaiknya aku pulang, malam sudah larut. Mungkin begitu juga dengan kalian berdua. Sampai jumpa."

Dan aku merasa bagaikan pecundang. Aku kalah telak seperti pecundang. Tidak, bukan karena kalimat terakhir Sai, tapi aku selalu merasa sebagai pecundang kala melihat kebahagiaan mereka berdua. Siapa aku? Seorang Uchiha Sasuke, bergelimangan harta, tampan, dan pintar. Di balik semua itu, aku hanyalah simpanan seorang Ino Yamanaka.

Kuhempaskan tubuhku ke atas sofa. Kunyalakan televisi menggonta-ganti channelnya karena memang tidak ada yang menarik di sini. Ah, sejak kapan hidup terasa begitu menyedihkan dan membosankan? Apakah benar aku adalah seorang pria yang menyedihkan? Aku merasakan keheningan. Malam ini menjadi begitu sepi, hanya detak jarum jam dan deru pendingin ruangan yang senantiasa menjadi teman di kala malam hariku. Ya, aku mulai seperti perempuan menyedihkan yang kesepian.

Kusetel acara sepak bola, terdengar si narrator berceloteh terus menerus tentang permainan yang sama sekali tidak kusukai ini. setidaknya, melihat banyak orang ada di dalam televisi, mengusir sedikit rasa sepiku. Kudengar angin bertiup kencang, di susul hujan deras mengguyur kota. Jendelaku berderak-derak terpukul kencangnya air hujan.

Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Menenangkan hatiku yang entah sejak kapan berdegup begitu kencang. Sial, rasanya seperti akan terjadi sesuatu. Ku ambil gelas dari dalam rak, lalu kuputar keran air wastafel demi segelas air. Kutenggak cairan bening itu hingga habis tak tersisa. Percuma, hatiku tetap tidak tenang.

Aku merasa bergetar. Apakah aku akan pingsan? Sungguh. Aku merasa dunia bergetar. Tidak. aku tidak hendak pingsan. Ini gempa! Sungguh ini gempa! Baru saja aku berjalan beberapa langkah, guncangan semakin kencang. Hingga aku tersungkur jatuh dan kepalaku membentur sofa. Tentu tidak terjadi apa-apa dengan kepalaku, hanya saja kejadian ini begitu aneh. terdengar suara gemeretak membelah kayu. ah tidak. suara ini semakin terdengar seperti gemuruh. Gemuruh petir yang memekakan telinga. Dan dunia benar-benar berguncang. Aku meraih punggung sofa untuk berdiri. Percuma! Aku terjatuh kembali. Benar, ada yang terbelah. Ini bukan gempa biasa, karena bukan atap atau beton yang runtuh. Namun lantaiku terbelah menjadi dua! Aku tersudut di dekat sofa melihat kejadian yang di luar akal sehatku ini.

Tiba-tiba cahaya putih menyilaukan mataku. Aku menghadangkan tanganku untuk menghalangi cahaya itu secara refleks. Tetap saja percuma, cahaya itu masuk menusuk mataku. Hingga aku terpejam sejenak. Lalu gemuruh itu perlahan-lahan mereda. Suasana kembali hening, persis seperti tadi. Detak jam, acara sepak bola, dan deru pendingin ruangan. Aku mencoba membuka mata. Aku menengadah keatas, menatap sekeliling ruangan. Ya tetap seperti biasa.

Lalu aku melengos kearah lantai yang terbelah dua tadi. Sekarang lantai itu telah merapat kembali. Tapi…

Ada tubuh terbaring di atasnya. Sial! Mimpi apa aku semalam! Kejadian macam ini, tidak pernah kubayangkan akan menimpa kehidupanku yang tenang, yeah. Dan membosankan. Dengan begitu perlahan, kudekati tubuh yang terbaring di karpet apartemenku itu. rambutnya berwarna pink, dan dia perempuan. Ah! Aku berjongkok untuk melihat wajahnya dengan lebih jelas. Dia memakai gaun hijau yang sudah compang-camping, bahkan jika boleh kukatakan jelek seperti kain yang dikenakan wanita di jalan tadi. Hanya saja, bila kucermati. Bentuk gaun ini tidak seperti gaun yang di pakai, gadis-gadis jaman sekarang. terdapat motif bunga di bagian pinggangnya, dan agak menggembung di ujung bagian tangan. Membuatku teringat gadis-gadis jaman viktoria dulu. Bukan gadis jaman modern. Dengan bros berwarna merah di sisi kanan dadanya. Wajah si gadis telah ternoda kotoran tanah.

Dengan ragu-ragu, kutoel tubuhnya sedikit. "Hei, bangun.." dia tetap terdiam. Ku guncang tubuhnya sekali lagi, tetap saja dia tertidur. Apa jangan-jangan dia sudah mati? Perlahan-lahan kuraih tangan kanannya. Mengepal, dengan erat sekali. Aku mencoba untuk membuka kepalan tangan itu, namun tidak berhasil. Gila, apa gadis ini benar-benar dalam keadaan tidak sadar? Kuabaikan tangannya yang terkepal lalu ku cek pembuluh nadinya. Berdetak. Dia hidup! Kucermati tubuhnya dari atas hingga kebawah. Bagian bawah gaunnya terkoyak, mengerikan. Seperti terkoyak oleh sesuatu yang tajam dan beringas. Kakinya berdarah-darah. pasti terluka parah. Aku berdiam selama 5 menit, mempertimbangkan, harus kuapakan gadis ini. akhirnya kuputuskan, untuk membopong dia kedalam kamar.

Aku menghubungi salah seorang karyawan yang bekerja di apartemenku. Perempuan paruh baya itu dengan senang hati membantuku membereskan perempuan berambut pink ini setelah mengetahui seberapa besar tips yang akan kuberikan. Dia membalut luka si perempuan dengan perban, setelah itu dia pergi meninggalkan kami. Dapat kulihat dari raut wajahnya, bahwa dia sedang berpikiran yang tidak-tidak tentang "kami" berdua.

"Kau tahu, dia.. hadir begitu saja di apartemenku dengan keadaan berantakan begitu. Sungguh, aku tidak mengenalnya." Kataku kikuk.

"Ya, ya. tidak apa-apa. Tentu saja, ini bukan urusanku." Sambil tersenyum jail. Sial! Sebentar lagi, namaku pasti akan menjadi gosip terhangat untuk para karyawan di sini!

Aku menutup pintu, lalu masuk ke dalam kamar. Hari ini, sungguh melelahkan. Aku bergelung di dalam kasur yang hangat, kuselubungi diriku dengan selimut. Lalu kupejamkan mataku. Tak lama kemudian, pikiran kalutku buyar. Dan aku terlelap.

OoooooO

Cahaya matahari yang silau dan hangat menusuku, memaksaku untuk segera membuka mata dan menyambut pagi hari yang cerah. Seingatku, ini adalah hari minggu. Harinya orang-orang untuk berjalan-jalan dan menghabiskan akhir pekan. Lalu aku? Si pria tampan di kota, akan menghabiskan hari ini dengan teman-temanku. Sejenak aku mengerjapkan mata menatap langit-langit. Hingga kurasakan ada desah nafas orang lain di sampingku. Aku menoleh.

"Argh!" aku berteriak lalu dengan spontan melompat hingga terjatuh dari atas ranjang, saking paniknya, aku sampai terlilit selimutku sendiri. Sedangkan si gadis berambut pink, dan baru kuingat. Aku menemukannya kemarin malam di apartemenku dengan keadaan yang sungguh menggenaskan. Dia membuka mata. Saat melihat sosokku, tiba-tiba dia mengacungkan tangannya, dan dia membawa pisau. Seharusnya sudah kuduga, tidak boleh membawa orang asing ke dalam rumah!

"Siapa kau? Dimana aku?" dengan perlahan dan penuh defensif, dia bangkit dari ranjangku. Matanya tetap melekat ke arahku, seolah akan menelanku dengan tatapan itu. dia seperti bernafsu sekali untuk membunuhku. Hei? Apa tidak salah? Bukankah dia bisa saja ku buang keluar jendela kemarin malam? Kebodohanku. Alih-alih melakukan itu, aku malah menelfon karyawan apartemen untuk membereskannya yang pasti akan semakin memperumit hidupku!

"Kau tahu.. seharusnya aku yang mempertanyakan hal itu.." aku bangkit berdiri perlahan-lahan, namun dia semakin maju dan menodongkan pisau itu ke arahku. aku menengadahkan tangan untuk menenangkanya. "… tenang sedikit kenapa sih? turunkan pisau itu!"

"Tidak akan, sebelum kau memberitahuku siapa kau."

"Ah, seharusnya yang bertanya itu AKU bukan KAU. Sekarang aku yang mau bertanya. Siapa kau?"

"Aku tidak akan menjawab, sebelum kau menjawab terlebih dahulu."

"Oke.. Oke.. aku Uchiha Sasuke. Aneh, kau tidak mengenal aku." Dia mengernyitkan kening bingung. Apa? Dia benar tidak mengenalku? Ah dia pasti bercanda. Sungguh, aku bukan pria yang terjangkit penyakit narsisme seperti kakakku Itachi, tapi setahuku. Aku terkenal. Itu saja.

"Aku tidak mengenalmu."

"Oke, hentikan semua tindakan terormu ini. begini. Aku menemukanmu kemarin malam, di apartemenku dan ENTAH datang dari mana. kau seperti setan yang muncul dari perut bumi, dan membelah permukaannya lalu dengan paksa kau naik ke atas. Beserta cahaya putih yang semakin mendramatisir keadaan. Kau parah kemarin malam. Kakimu terkilir, pakaianmu compang-camping."

Barulah ia tersadar, lalu dia menatap ke bawah. Aku juga ikut menatap tubuhnya yang di balut pajama suteraku. Aku memberikan itu kepada si wanita karyawan kemarin agar dipakaikan ke tubuhnya. Sekarang, wajahnya merah merona. Aih! Sepertinya aku tahu hal apa yang nyangkut di otaknya.

"Lalu di mana aku?"

"Kau di Jepang."

"Jepang?"

"Ya! kau makhluk bumi bukan sih?"

"Bu.. bumi? Aku.. bumi?" Dia seperti tidak percaya bahwa dia berada di bumi. Dia makhluk apa sih?

Mendadak dia tersenyum. "Oh ya, maafkan aku. Kau tahu, benturan kemarin malam, sedikit membuatku kebingungan. Dan jujur, aku tidak mengingat apapun."

"Apa? Maksudmu, kau? Amnesia? Ah kau pasti bercanda!" aku mulai panik. Apa ini artinya dia hadir tanpa identitas, tanpa kepastian, juga tempat untuk kembali? Yang artinya dia harus bersamaku dalam waktu lama? Oh tidak.

"Aku.. aku.." dia mengernyitkan kening sebentar, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Aku ingat, namaku Sakura Haruno, namun sisanya. Aku buta. Aku tidak mengingat apapun."

"Oke, Sakura. Kau dapat mengingat darimana asalmu?" dia menggeleng.

"Bolehkah aku tinggal di sini untuk sementara waktu?" ah menyebalkan. Kehadiran gadis ini, akan mengganggu kehidupanku dalam sekejap saja!

"Ah. Tidak bisakah kau pergi ke tempat lain saja dan jangan mengganggu kehidupanku?"

"Kumohon.." dia mulai terisak.

"Akan ku pertimbangkan. Kita lihat, kalau sekali saja kau mengacaukan kehidupanku, maka kau boleh pergi dari tempat ini dengan segera," aku menatapnya dalam-dalam. "Ngomong-ngomong, kakimu sudah sembuh?" kulihat ke bawah, kakinya di balut perban.

"Ah! Masih sakit! mungkin karena aku takut padamu tadi, sehingga aku melupakan rasa sakitmu tadi."

"Yah, dasar makhluk ajaib." Aku mendekatinya, namun dia sedikit menjauh. ".. kau tidak butuh bantuanku?" tanyaku padanya. Barulah, dia melepas pertahanan dirinya sedikit demi sedikit, lalu menerima bantuanku. Dengan perlahan ku rebahkan tubuhnya ke atas sofa. Lalu kulihat lukanya, aku menyentuhnya sedikit, dan dia berteriak. Sepertinya parah.

"Kita harus ke dokter." Aku berucap singkat. Melihat lukanya separah itu.

"Dokter?" ah darimanapun makhluk ini berasal, yang jelas jauh dari peradaban.

"Ya, orang yang dapat menyembuhkan segala penyakit."

Ponselku bergetar di saat yang sungguh tidak tepat.

"Halo Sasuke? Bagaimana, kita jadi pergi bukan hari ini? aku ingin mengajakmu karaoke, lalu kita akan mencari gadis cantik. Hehehe.." kata Naruto dari seberang sana.

"Eh, maaf. Sepertinya aku tidak bisa."

"Ah pasti Ino lagi bukan?"

"Bukan, ada keperluan lain yang mendadak. Sudah ya, sampai jumpa."

Lalu aku menutup ponsel dan kembali mencermati kakinya. Mendadak aku teringat sesuatu.

"Benda apa sih yang kau genggam dari kemarin? Sampai tidak pernah kau lepaskan. Hanya dua bendakah yang kau bawa? Pisau dan sesuatu itu?"

Tatapannya kembali defensif saat aku menyinggung-nyinggung benda yang dibawanya itu. dia semakin mengepalkan tangannya, seolah menyembunyikan benda itu dariku. Ah seperti aku perduli saja dengannya.

"Tanganmu bisa terluka, kalau kau terus-terusan mengepalkan tanganmu begitu." Kulihat tangannya semakin melemas, lalu dengan kaku dia membuka telapak tangannya. Terlihatlah olehku benda berbentuk seperti Kristal berwarna biru dan ada titik merah di tengahnya. Aku mencermati benda itu sebelum dia menyadarinya lalu mengepalkan tangannya kembali.

"Sepertinya benda itu berharga sekali ya untukmu? Daripada kau genggam terus seperti itu, akan lebih baik kalau kau menyimpannya di tempat yang lebih aman."

"Kau memakaikan aku jubah yang aneh," ucapnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Itu pajama. Baju tidur. Baju tidurku. Aku tidak memiliki pakaian perempuan di sini. Kurasa kita akan segera membelinya nanti."

"Terima kasih. Sasuke." Aku tersenyum. Tulus. Sesuatu yang jarang kulakukan.

"Tidak perlu berterima kasih, sebaiknya kau berkonsenterasi dengan pikiranmu, segera setelah kau ingat siapa kau, aku akan langsung mengembalikanmu."

Lalu aku beranjak bangkit menuju dapur untuk mengambil air, sebelum kudengar suaranya berbisik pelan.

"Aku tahu siapa aku. Aku hanya tidak mau pulang, sekarang."

To be continued...