Title :
More Than Closer
Main Cast :
SeHun, LuHan, Kai
Support Cast :
ChanYeol, SuHo
Rated :
M
Romantic mystery, horror, suspense
Dedicated by :
© eternal_chen
.
.
.
.
.
.
.
Present..
.
.
.
.
.
.
Enjoy~
.
.
.
Dengan hati-hati, pria berambut hitam pekat itu memakirkan skuter matic-nya. Buru-buru ia melepas helm dan mengambil kotak yang diikat di bagian belakang skuternya yang sudah beberapa bulan ini ia pakai. Pekerjaan ini sebenarnya sangat melelahkan. Mengantar barang apapun itu dengan bayaran yang tidak jelas. Jika ia mendapat panggilan dari pelanggan untuk mengirim barang, maka ia akan mengambil barangnya dan meminta alamat lalu mengantarnya ke alamat tersebut. Dengan begitu, ia akan mendapat bayaran cash saat itu juga dari orang yang menerima. Kadang-kadang ia hanya dibayar lima belas ribu won jika jaraknya sekitar lima sampai sepuluh kilometer. Namun jika sedang beruntung, empat puluh sampai enam puluh ribu won akan datang ke tangannya.
Dia Luhan, hanya lulusan SMA biasa yang hidup sendiri di Seoul. Orang tuanya tinggal di Beijing. Sejak 6 tahun yang lalu setelah lulus SMA, ia sudah beberapa kali berganti pekerjaan. Meskipun uang hasil kerjanya sebagai jasa pengiriman barang terbilang kecil untuk hidup di Korea, ia masih bisa bertahan sampai sekarang.
Saat ini ia sedang berada di stasiun subway Yongsan. Stasiun kereta bawah tanah yang sangat terkenal di kota Seoul. Baru kali ini Luhan mengantar barang dengan jarak lebih dari sepuluh kilometer jauhnya. Biasanya ia akan menolak jika pengiriman barang dilakukan dengan jarak tempuh lebih dari perkiraan. Namun kali ini alamat yang dituju adalah stasiun Incheon Bus Terminal, yang dapat ditempuh dengan subway dan satu kali transit. Luhan tidak perlu repot-repot mengendarai skuter matic-nya dan semoga uang yang akan diterimanya sepadan dengan jauhnya jarak dari Seoul ke Incheon.
Sambil mengangkat kotak yang terbilang cukup berat, Luhan membeli tiket single trip dari loket otomatis. Kemudian memasuki peron line 4 dan menoleh ke kanan kiri, berharap subway yang akan ia naiki cepat tiba. Suasana di peron line 4 benar-benar ramai. Ia sempat berpikir apakah semua orang disini akan menuju Incheon? Tapi pemikirannya tak cukup lama karena subway yang akan membawanya sudah datang. Luhan masuk dengan gesit agar mendapatkan tempat duduk. Karena tidak mungkin ia akan berdiri dengan membawa kotak itu selama satu jam ke depan.
'Selamat datang di stasiun subway Yongsan. Bagi para penumpang yang duduk diharapkan mengutamakan wanita hamil, ibu dengan balita, dan wanita lan...'
"Sial."
Suara dari intercom berhasil membuatnya mengumpat dalam hati dan mendecak sebal. Sampai salah seorang nenek di hadapannya tersenyum mengejek padanya. Dengan berat hati, mau tak mau ia berdiri sambil terus memegang kotaknya. Membiarkan nenek-nenek itu menduduki tempat hasil usaha gesitnya. Luhan meniup poninya sebal. Sepatu kanannya ia ketuk-ketuk ke lantai subway dengan tidak sabar. Lewat ekor matanya, ia dapat melihat nenek-nenek itu mencibir padanya dan Luhan mengumpat kesal lagi dalam hati.
"Dasar wanita tua tidak berteri—Aaaa!" tanpa sadar subway itu bergerak tiba-tiba, membuat tubuhnya terhempas ke belakang. Untungnya, ia cepat-cepat menyeimbangkan diri sebelum bokongnya berhasil menyentuh lantai subway yang keras.
Sudah hampir 20 menit yang lalu subway ini terus berjalan dan berhenti di beberapa stasiun yang Luhan benar-benar malas menghitungnya. Tapi suasana di dalam subway terus saja ramai seiring manusia yang naik turun di setiap pemberhentian. Terakhir kali ia melihat ke jendela luar, ia sudah berada di stasiun Gaebong. Yang artinya, masih ada sembilan pemberhentian dan ia akan transit di stasiun Bupyeong menuju stasiun Incheon Bus Terminal. Luhan ingin sekali meletakkan kotak itu di bawah, tetapi di dalam benar-benar sesak. Jika saja ia berani meletakkannya di bawah, mungkin kotak itu sudah habis terinjak-injak oleh kaki penumpang lain. Alih-alih meletakkan kotaknya di bawah, peganganpun ia tidak bisa.
Setelah transit, Luhan kembali menaiki subway ke tempat yang dituju. Tangannya terasa ingin lepas melihat penumpangnya tidak jauh berbeda dari sebelumnya, padat meskipun tidak sampai sesak. Sampai di pemberhentian kedua sebelum terakhir, Luhan tersenyum lega. Hampir 80 persen penumpang turun di stasiun Incheon City Hall hingga akhirnya ia bisa duduk dengan nyaman. Namun, kelegaan Luhan tak terlalu lama setelah sampai di stasiun ArtsCenter. Ia heran melihat semua orang yang ada di dalam subway turun di stasiun itu. Luhan menoleh kesana kemari dengan penuh kebingungan. Di dalam sana ia hanya seorang diri tanpa melihat petugas satupun. Luhan sangat yakin ia tidak salah tujuan. Iapun melihat peta diatas pintu subway dengan cermat dan ia benar, setelah ini adalah stasiun Incheon Bus Terminal tujuannya.
Sekali lagi, Luhan menoleh ke gerbong lain hanya untuk mendapati dirinya seorang diri. Ia berusaha membuang pikiran-pikiran negatif dari otaknya. Kakinya ia ketuk-ketuk ke lantai dengan perasaan bimbang.
Aku tidak salah naik subway 'kan?
Hanya pikiran itu yang terus berputar-putar di otaknya sekarang. Tak lama kemudian, subway itu berhenti. Membuyarkan pikiran Luhan dan saat ia menoleh keluar pintu subway yang mulai terbuka, terdapat papan bertuliskan Incheon Bus Terminal Station. Sesaat setelah menginjakkan kakinya keluar subway, suasana stasiun sepi bukan main. Hanya ada suara subway yang baru saja pergi meninggalkannya dan perlahan-lahan mulai tidak terdengar. Tubuhnya mematung. Kali ini ia sungguh bingung dan terkejut. Bagaimana bisa stasiun yang sebelumnya begitu ramai sedangkan yang ini begitu sepi? Bahkan tak ada satupun manusia lewat di penglihatannya. Hanya ada satu pintu keluar dan satu pintu masuk dari dan ke peron.
Kakinya melangkah menuju pintu keluar peron, berniat mencari petugas keamanan ataupun pusat informasi di stasiun itu. Jika ia menoleh ke kanan, ia hanya akan mendapati kursi-kursi tunggu yang berjajar rapi dan berujung pada mesin-mesin ATM. Jika ia menoleh ke kiri, ia mendapati antrian keluar masuk dengan mesin tiket scan dan berujung pada tangga sebagai pintu keluar utama. Karena tak ada orang, Luhan memutuskan untuk keluar menuju pintu utama. Akhirnya ia melangkah menuju antrian keluar mesin scan sambil sibuk mencari nomor ponsel yang tadi sudah ia simpan. Perlahan, Luhan meletakkan kotak yang dibawanya diatas mesin scan. Kemudian mendekatkan ponselnya ke telinga sambil merogoh-rogoh saku jaketnya mencari tiket.
Tepat disaat terdengar nada sambung dari ponsel, tiket Luhan berhasil discan setelah bunyi 'beep' keluar dari mesin scan itu. Tiba-tiba pergerakan Luhan terhenti. Suara nada dering asing menggema di sekitar stasiun yang sepi. Ia mengernyit pelan dan kepalanya menoleh kesekeliling. Tadi ia benar-benar sudah memastikan jika tak ada satupun orang disana kecuali dirinya. Iapun mematikan ponselnya dan nada dering asing itu ikut berhenti. Luhan mencoba memanggil nomor itu lagi dan nada dering itu kembali menggema.
Ia masih menempelkan ponsel itu ke telinganya dan kembali berjalan perlahan menuju pintu keluar masuk peron line. Matanya tak ingin mengedip sedikitpun, seolah ia takut kehilangan siaga. Ia yakin suaranya berasal dari peron line 4 tempat dimana ia turun tadi. Iapun kembali masuk ke pintu peron line 4 dan tak mendapati seorangpun disana. Kemudian mendengar suara subway mendekat dan lewat begitu saja dihadapannya. Ternyata subway itu tidak berhenti di stasiun ini.
Apa?
Tidak berhenti?
Jangan bercanda.
Luhan menelan ludahnya paksa. Mau tak mau ia harus kembali ke kenyataan jika barang yang dibawanya belum sampai ke tangan penerima. Ia memeriksa jam di ponselnya yang masih menunjukkan pukul 4 sore. Ia keluar lagi dari peron dan akhirnya menyadari jika ia tidak lagi sendiri. Ada seseorang berbaju hitam sedang duduk kursi tunggu yang berjajar rapi. Celana jeans hitam, coat hitam, syal hitam, sampai beanie yang menutupi seluruh rambutnya juga berwarna hitam. Pria itu duduk bersandar dan matanya terpejam. Pelan-pelan, Luhan mendekatinya tanpa ragu.
"Permisi..?"
Mata pria itu terbuka dan menoleh ke arah Luhan yang tak jauh di depannya. Kulit pria itu putih pucat, bibirnya tipis, alis dan rahangnya tegas. Benar-benar tampan dan tidak terlihat seperti orang Korea pada umumnya.
Pria itu menatap Luhan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian matanya terpaku pada kotak yang dibawa Luhan, membuat Luhan segera menyadari tatapan itu.
"Ah.. ini. Aku adalah jasa pengiriman barang. Katanya ia akan menunggu di stasiun ini tetapi.. aku sepertinya salah." Kata Luhan canggung.
Pria itupun berdiri di depan Luhan, ia mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu won lalu menyerahkannya pada Luhan. Jelas saja Luhan langsung terheran-heran menatap uang yang belum ia ambil dari tangan pria itu.
"Ambil ini dan berikan kotak itu padaku." Katanya sambil menatap dalam iris mata Luhan.
Dua ratus ribu won?!
Apakah itu tidak terlalu berlebihan?
Melihat keraguan dimata Luhan, pria itu mengeluarkan selembar uang seratus ribu won lagi dari dompetnya.
"Sudah cukup?" Tanya pria itu. Tapi Luhan benar-benar seperti hilang akal. Melihat mata itu.. sorot matanya tajam dan penuh kharisma.
Tanpa sadar, kotak yang dibawa Luhan telah ada pada pria itu. Ia segera kembali ke realitasnya dan ternyata uang senilai tiga ratus ribu won sudah ada dalam genggamannya.
Perlahan, pria itu membungkuk dan berbisik ke telinga Luhan. Kemudian Luhan mengangguk pelan. Namun tak disangka, Luhan merasakan bibir pria itu bergesekan dengan telinganya. Ia membeku. Bulu kuduknya meremang seketika dan perutnya terasa geli.
Pria itu baru saja... apa maksudnya dia melakukan itu?
Orang asing yang bahkan baru beberapa menit yang lalu bertemu?
Luhan benar-benar terkejut sampai ia tidak mengetahui kapan pria itu pergi. Ia memutar tubuhnya dan kepalanya menoleh ke seluruh penjuru stasiun. Pria itu benar-benar sudah tidak ada. Secepat itukah ia pergi? Bahkan suara langkah kaki tak masuk ke pendengarannya. Luhan akui ia sedikit kecewa karena ia kembali seorang diri di stasiun ini. Kotak itu benar-benar sudah tak lagi di tangannya dan sekarang terganti dengan uang tiga ratus ribu won. Iapun mendaratkan bokongnya ke kursi yang diduduki pria tadi. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah kartu yang tergeletak di lantai dimana ia berpijak bersama pria misterius itu. Luhan segera mengambilnya dan melihatnya dengan cermat.
Sebuah kartu identitas dengan kewarganegaraan Belanda. Dengan foto yang mirip seperti pria yang baru saja ia temui. Rambutnya berwarna merah gelap tetapi lebih dominan warna coklat. Sangat cocok untuk kulit putih pucat seperti aslinya.
Kota kelahiran Seoul, 12 April 1994.
Luhan mengernyit. Jadi ia adalah orang Korea-Belanda? Pikirnya. Umurnya masih terbilang muda untuk tinggi badan yang semampai. Padahal Luhan lebih tua 4 tahun darinya, berani sekali?! Menggesek telinganya dengan lembut menggunakan bibir tipisnya. Luhan kembali fokus pada kartu itu. Terdapat pula alamat pria tersebut yang terletak di distrik Seoul. Sampai dibagian paling atas, hal yang seharusnya terlebih dahulu dilihat oleh Luhan. Pria bergolongan darah O itu bernama ...
.
.
.
.
.
.
.
"David Oh?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be continued..
.
.
.
.
.
.
.
Wooooow David Oh?!
Ada yang bisa menebak siapa itu David Oh?
Please give 'More Than Closer' a lot of support!^^
Terimakasih yang sudah berkenan favorit dan follow ff ini.
Chapter 1 udah selesai diketik, kira-kira kapan ya postingnya? Malam jumat gimana?
Ayo divoting-divoting.. Hehe
