a/n1. kepengen nulis beruani kok jadi nulis aruani ya. aku ini kenapa.

a/n2. tuhannnn annie lama-lama ngingetin aku sama Belarus. oh, well. kepalaku sinting.

a/n3. gak bermaksud nulis romance. friendship murni huahaha.


"Apa kau… membenciku, Armin?"

Annie melihat kelopak mata lelaki itu mengerjap mendengar suaranya yang pelan, halus, namun monoton. Annie juga melihat, kedua mata lelaki di sebelahnya membulat dengan pupil mengecil.

Mengheningkan cipta berkumandang, sementara netra Annie dalam diamnya memerhatikan lensa yang bertabrakan dengan lensanya sekarang. Lensa Armin warna secerah langit tanpa awan. Milik Annie warna juga sama—hanya saja, apabila makna yang bisa digali dari milik Armin ialah seperti laut yang ditimpa kilau matahari, maka milik Annie maknanya seperti kedalaman samudra. Dingin, dalam, dan gelap.

Desah panjang lolos dari mulut Annie. "Kenapa, Armin? Apa kau tuli atau tidak mendengar?"

Masih tidak ada respon. Yang ditanya mematrikan pandangan ke depan, melihat hujan yang turun pada malam ini; bulir-bulirnya menggila bersama embusan angin dingin. Sungguh kombinasi yang membuat hawa malamvini semakin dingin, membuat Armin merapatkan jubah Survey Corps yang ia kenakan.

"Kau tahu, Annie." Armin membuka suaranya. Terdengar gamang, pikir Annie, namun ia tak ingin berkomentar banyak dan memilih untuk tetap diam mendengarkan. "Merupakan suatu kebohongan, bila aku tak membencimu…"

Ah, senyum memanjat di wajah Annie—senyum kecil yang getir. Tentu saja Armin membencinya; ia adalah musuh dari umat manusia, yang menyamar diantara sekian banyaknya prajurit. Menyembunyikan diri sebagai salah satu Titan Shifter, menyerang Survey Corps pada ekspedisi mereka yang ke-57 dengan sosok Titannya. Bahkan, membunuh banyak anggota-anggotanya…

Fokus lensa yang redup Annie merosot pada kedua tangannya. Rasanya dingin, tapi ia enggan menyelipkan kedua tangannya pada jubah yang ia kenakan. Ia menutup matanya sejenak,

Bodoh sekali. Kenapa aku menanyakan sesuatu yang sudah aku ketahui jawabannya?

"…Tapi, itu dulu."

Annie terperanjat, bersamaan dengan matanya yang terbuka perlahan. Ada tangan lain yang mendarat di atas kedua tangannya, menggenggamnya erat. Rasanya hangat, dan hangatnya menjalar pada seluruh tubuhnya. Menelisik masuk pada hatinya yang beku.

"Aku tidak lagi membencimu, Annie." Armin tersenyum lebar, kedua matanya berbinar. "Tidak lagi—aku suka dengan Annie yang sekarang."

"Su… ka…?"

"Iya. Annie yang kembali berpihak pada umat manusia, Annie yang sekarang lebih membaur dengan yang lainnya. Tapi, yang terpenting dari itu semua, aku suka cara Annie tertawa dan menangis."

Annie mengerjap sekali lagi. Armin mengatakan semuanya dengan tulus, ia tahu itu.

Senyum kembali memanjat pada wajah Annie kemudian. Barangkali hanya senyuman tipis, namun begitu berarti. Dan Annie pun, menatap lamat-lamat Armin.

"Terima kasih, Armin. Terima kasih."