Ohayou minna, kali ini saya ingin membuat ffn tentang salah satu pairing favorite saya, fufufu.

Happy reading yaaaaa.

DON'T LIKE, DON'T READ

Happy Birthday Fairy Tail

Chapter 1 : Mirajane Stauss

Disclamer : Hiro Mashima

Pairing : Laxus&Mirajane

Maaf kalau jelek yaa :)

Story by : Bii Akari

MIRA'S POV

"Apa yang kau lakukan, Laxus?", tanyaku riang sambil masih mengamatimu.

"Bukan urusanmu", kau bangkit lalu berlalu, meninggalkan bangku yang selalu setia kau duduki.

Aku menatap ke jendela, tempatmu melihat tadi.

"Ah, ternyata hanya kumpulan orang-orang guild", bisikku kepada diriku sendiri.

Tapi, kenapa dia terlihat begitu, gelisah?.

Bukankah pemandangan itu biasa saja, pemandangan Natsu dan yang lainnya yang selalu bercanda dan membuat keributan.

Sudahlah, kau memang sulit dimengerti.

FLASHBACK

"Lisanna, sudah aku bilang kau jangan main hingga malam", aku menasihati adik kecilku itu dengan agak sedikit membentaknya.

"Maaf nee-san", dia menunduk, menyembunyikan air yang keluar dari kedua mata bulatnya.

"Dan kau, Natsu. Jangan berani-berani mengajak Lisanna pergi ke hutan malam-malam lagi, atau kau akan tahu sendiri akibatnya", ancamku pada anak laki-laki berambut pink itu.

"B-baik Mirajane", jawabnya gugup, siapa yang tak takut padaku?.

"Ini bukan salah Natsu, nee-san. Ini salahku", Lisanna mulai menangis tersedu-sedu.

"Lihat Natsu, kau membuat dia menangis", ucapku kesal.

"Sudahlah, nee-san. Mereka sudah minta maaf", seperti biasa Elfman membela mereka lagi.

"Minta maaf? Bagaimana kalau Lisanna terluka, hah?", aku benar-benar marah kali ini.

"Sudahlah, Mira. Sebaiknya kau memaafkan mereka", kini Erza mulai ikut campur.

"Ini bukan urusanmu, Erza", dialah satu-satunya gadis yang berani menentangku.

"Kau sudah mengganggu ketenangan guild, itu sudah menjadi urusanku", ucapnya lantang.

"Lalu? Mau bertarung?", aku meninju meja terdekat.

"Kalau kau memaksa", dia bersiap mengeluarkan pedangnya.

"Nee-san, Erza, tolong jangan bertarung", Elfman memisahkan kami sambil sedikit merengek.

Suasana menjadi semakin riuh.

"Argh, kalian sangat berisik!", suara itu.

"Laxus", bisikku pelan.

"Kalau kalian masih ribut, aku akan memaksa kalian menutup mulut bawel kalian selamanya", dia memukul dengan keras meja dihadapnnya hingga terbelah sempurna.

HENING.

Kalau Laxus sudah begini, tak ada yang berani melawannya, sekalipun aku, atau Erza.

FLASHBACK END

Aku kembali melanjutkan aktifitasku yang sempat tertunda tadi.

"Mira, tolong satu gelas jus jeruk", ujar Lucy sambil duduk di bar tepat didepanku.

"Aku juga, tolong jus blueberry nya satu, Mira", kali ini suara Juvia, dia juga ikut duduk disamping Lucy.

"Fuuh, para pria itu mengganggu acara kencanku", ujar Cana sambil masih membawa satu tong birnya.

"Ini dia", aku menyerahkan dua gelas pesanan Lucy dan Juvia.

"Kencan? Aku tak melihat satupun pria bersamamu disana tadi", ucap Lucy setelah berterima kasih padaku.

"Kau tak tahu, ini dia teman kencan Cana", aku menepuk pelan bir yang masih dalam pelukannya itu.

Mereka berdua tertawa kecil.

"Ya ampun, Juvia sempat iri tadi", gadis berambut biru itu memegang pipinya yang bersemu merah.

"Dia adalah teman kencan yang cukup baik, kalian harus mencobanya nanti", mendengar ucapan Cana itu, kami pun tertawa bersama.

"Ah, senangnya sampai rumah", Erza segera menghampiri kami.

"Selamat datang, Erza. Bagaimana perjalananmu?", sapaku ramah.

"Seperti biasa, dimana kakek? Aku ingin melaporkan pekerjaanku"

"Dia masih diluar, katanya ada urusan. Duduklah dulu, akan aku buatkan minuman, kau pasti lelah", aku tersenyum.

"Terimakasih", dia lalu duduk disamping Cana.

"Ada apa ini, kenapa ribut sekali?", tanya Erza.

"Biasa, para pria itu mulai mengacau", jawab Lucy.

"Jadi mereka bertengkar saat aku tidak ada, awas saja. Pasti Natsu dan Gray yang memulainya", dia berjalan menuju aula yang sudah sangat berantakan itu.

"Hei, apa kalian tidak bisa diam?!", bentak Erza dengan keras.

Mereka semua segera berhenti bertarung dan tak ada yang berani mengucapkan satu katapun, begitulah Titania kita.

"Cepat bereskan tempat ini, saat aku kembali, aku mau tempat ini sama seperti saat aku tinggalkan kemarin", ancam Erza lalu segera kembali menuju bar.

"Kau hebat Erza", puji Lucy.

"Yaa, seandainya Juvia seberani itu untuk mengatakan perasaan Juvia", wajah Juvia mulai memerah lagi, pasti dia menghayalkan yang tidak-tidak.

"Ah, itu biasa saja", jawab Erza enteng.

"Ini dia", aku memberikan segelas minuman pada Erza.

"Terimakasih, Mira"

"Apa ada yang melihat Gajeel?", Levi muncul dari arah perpustakaan.

"Dia pasti sedang sibuk membereskan aula sekarang", jawab Lucy.

"Membereskan? Apa mungkin?", Levi memutuskan duduk disamping Lucy.

"Ini perintah Erza, percayalah", Cana mulai menyingkirkan pacarnya, mungkin sudah habis.

"Ohiya, aku selalu merasa Levi dan Gajeel itu cocok", ucapku semangat.

"A-aku t-tidak", wajah Levi sudah semerah tomat sekarang.

"Sudahlah, Levi. Mengaku saja, kau menyukainya kan?", goda Lucy.

"Juvia tidak menyangka Levi mencintai Gajeel", ujar Juvia.

"Aku tidak-"

"Lalu kenapa kau selalu mencarinya?", potong Erza.

"A-aku hanya-", Levi kehabisan kata-kata, dia lalu memainkan ujung jarinya dengan gugup.

"Sudahlah Levi, tak apa, kita kan sama-sama wanita", Lucy mencoba menghibur sahabatnya itu.

"Iya, jujurlah pada kami, tak ada yang akan membocorkannya", timpal Cana.

Kali ini wajahnya bertambah merah.

"Huh, aku sungguh bosan", Evergreen datang dengan tampang lesu.

"Kau sendiri? Mana kedua sahabatmu itu?", tanya Erza.

"Mereka sedang berkencan", dia lalu duduk disamping Erza.

"B-berkencan?", Juvia lagi-lagi membayangkan sesuatu yang tak seharusnya.

"Tidak, aku bercanda. Mereka sedang mengambil pekerjaan, aku sedang tak ingin ikut. Tolong minumannya, Mira", Eve lalu memperbaiki letak kacamatanya.

"Ayolah Carla, kita ambil saja pekerjaan itu", rengek Wendy.

"Tidak, itu terlalu berbahaya buatmu", tegas Carla.

"Duduklah kalian berdua, aku akan membuatkan kalian minuman", ucapku sambil tersenyum kepada mereka.

"Terimakasih, Mira", ucap mereka bersamaan sambil menunjukkan senyum terbaik mereka.

"Seandainya saja ada Lisanna, Bisca, Laki, dan Kinana, kita sudah lengkap", ujar Lucy bersemangat.

"Laki dan Kinana sedang pergi untuk membeli persediaan makanan di kota sebelah, mungkin mereka baru bisa kembali besok, sayang sekali. Sementara Lisanna sedang mengambil pekerjaan bersama Elfman. Dan aku belum melihat Bisca seharian ini", jelasku sambil menyuguhkan minuman untuk Eve, Wendy, dan Carla.

"Yah, jarang sekali kita berkumpul bersama seperti ini", Bisca datang lalu segera duduk disamping Wendy.

"Benar", ucapku. Kami semua lalu tertawa.

"Ohiya, aku tadi mendengar teriakan Levi, sepertinya kalian membicarakan hal yang seru?", kali ini Eve yang membuka perbincangan.

"Ini rahasia", ucapku sambil memberikan minuman pada Bisca.

Mereka semua mengangguk setuju.

"Levi ternyata mencintai Gajeel", ucap Lucy blak-blakan.

"Lu-chaan", wajah Levi mulai memerah.

"Lihat wajahmu sayang, kau pasti sangat menyukainya", ucapan Bisca benar-benar membuat wajah Levi memerah dua kali lipat.

"Sudahlah, kita semua sudah tahu", tambah Erza.

"Juvia pikir kalian pasangan yang serasi", Juvia tersenyum.

Kami semua membenarkan.

"A-aku malu", ucapan Levi membuat kami semua tertawa.

"Wendy, kau belum pantas ada disini", tegur Carla.

"K-kenapa? Aku juga bagian dari guild ini", jawab Wendy.

"Tapi kau masih kecil", lanjut Carla.

"Tak apa, sebentar lagi dia akan dewasa", Cana tersenyum kecil kearah Wendy.

"Terimakasih, Cana", semburat merah terpancar dari wajah polosnya.

"Tapi, apa Wendy pernah suka pada seseorang?", ucapan Lucy sontak membuat wajah Wendy memerah.

"T-tidak", jawabnya gugup.

"Kau masih kecil Wendy", ucap Carla dingin.

"Hanya saja, aku kagum pada seseorang", ujarnya polos.

"Kagum itu tak apa, Wendy", Carla tersenyum melihat mata gadis polos itu.

"Pada Jellal Edolas?", tebak Lucy.

Wendy mengangguk.

"Kau tentu tak akan cemburu kan, Erza?", Cana menyikut pelan lengan Erza.

"Tentu saja tidak", jawabnya tenang.

"Sudah pasti Cana, yang Erza cintai adalah Jellal dunia kita", Bisca mulai buka mulut.

Erza tersentak dan mengeluarkan semburat merah diwajahnya.

"Jadi, Erza mencintai Jellal?", tanya Levi penasaran.

Lucy mengangguk-angguk.

"Juvia sudah tahu itu, karena itu, Juvia percaya, Erza tidak akan merebut Gray-sama dari Juvia", dia juga ikut mengangguk-angguk.

Cana tertawa lebar.

Levi juga ikut tertawa bersama Wendy dan Carla.

"Tak perlu malu begitu, Erza", Bisca tertawa kecil.

"Ayolah Erza, katakan sesuatu", ucapku disela-sela tawaku.

Dia memandang kami bergantian, lalu tersenyum lembut, "Aku berharap dia membalas perasaanku"

"Dia pasti mencintaimu juga", ucapku yakin.

Yang lain menyetujuinya, Erza pun tersenyum manis.

"Astaga, aku belum pernah bertemu Jellal, bisa kau ceritakan, dia pria seperti apa? Aku penasaran", Bisca meneguk minumannya, menunggu pertanyaannya terjawab, bukan, kami semua menunggu.

"Dia, dia orang yang sangat hangat, kau akan tahu hanya dengan menatap mata onyx nya. Dan menurutku, ini hanya menurutku yah, dia itu, err, tampan, meski rambut azure nya agak berantakan, justru itu yang membuatnya terlihat seksi- ups", Erza langsung menutup mulutnya dan berhasil mendapat tatapan nakal dan seruan dari kami.

"Dan tatoo di pipi kanannya membuatnya terlihat, manis mungkin. Yah, begitulah", tambahnya.

"Terlihat jelas kau sangat mencintainya, pria berambut biru itu beruntung", ucap Eve.

"Kau benar", ucap kami serempak.

"Kalau berbicara tantang biru, aku jadi ingat-", mereka memandangku penuh tanda tanya.

"Happy", ucapku akhirnya, mereka sweatdropped.

"Happy?", Carla lah satu satunya yang tersentak mendengarnya.

"Ehm, menurutku dia kucing yang cukup baik", ungkap Erza, aku mengerti permainannya sekarang.

"Iya, dia juga sangat rajin, dia sering membantuku", ungkapku.

"Yah, dan dia cukup berani untuk seekor kucing", Lucy sepertinya mulai mengerti.

"Tentu saja, dia sangat riang, aku suka semangatnya itu", ujar Levy.

"Juvia juga pikir dia cukup tampan, rambutnya biru seperti Gray-sama", ada apa dengan gadis satu ini?.

"Dan jangan lupa kalau dia seekor kucing yang penyayang", lanjut Bisca.

"Yah, meski sedikit menyebalkan. Dia cukup menyenangkan", tambah Eve.

"Dia kadang-kadang menghiburku saat sedang bosan", ucap Cana.

"Dan aku rasa, dia sangat menyukaimu, Carla", ucap Wendy polos.

"A-apa?", Carla memalingkan wajahnya dari tatapan kami.

"Carla, ayolah, jujur saja", bujuk Bisca.

"Iya, kita sudah berjanji tak akan membocorkannya", lanjut Cana.

"Aku berharap kau mau menerima perasaan Happy, kasihan dia", ucap Lucy.

"Iya, aku rasa dia sudah sangat perhatian padamu, Carla", Wendy juga ikut meramaikan.

"Jadi?", aku sungguh penasaran dengan kisah cinta kucing, bukan, exceed seperti mereka, fufufu.

"S-sebenarnya-", dia terlihat sangat gugup.

"Aah, kami mengerti", ucap kami bersamaan.

"Sudah jelas bukan", Erza tersenyum geli.

"Baiklah, lalu siapa selanjutnya, bagaimana denganmu Lucy?", ucapku riang, aku juga cukup penasaran dengannya.

"Eh, aku?", dia nampak begitu bingung.

"Ayolah, semua orang penasaran dengan hubunganmu, Natsu atau Gray? Atau mungkin Hibiki atau Loke yaa?", tanyaku menggebu-gebu.

"Aku dengar kau pernah mandi bersama Natsu dan Gray?", Eve tampak penasaran.

"I-itu, mereka memang sering melakukannya, tapi aku tak ada disana, percayalah", Lucy membela dirinya.

"Benarkah, Lu-chan?", Levi menatapnya curiga.

"Benar, dia memang tak ada disana. Kami hanya bertiga saat itu", ucap Erza sambil meminum minumannya.

"Apaaa?", semua yang ada disana, minus Erza, langsung membeku beberapa saat.

"Kenapa?", Erza memandang kami bingung, seharusnya kamilah yang bingung.

"K-kau mandi dengan Gray-sama", Juvia mulai pinsan, Lucy segera menangkapnya.

"Erza, kau sadar melakukannya? Bagaimana jika Jellal tahu? Dia pasti akan marah", tegur Bisca.

"Tentu saja, itu adalah hukuman karena mereka malas mandi. Lagipula tak terjadi apapun disana, tenanglah", dia mengucapkannya dengan santai, ya ampun.

"J-juvia, Juvia juga mauu", Juvia sudah sadar dan mulai menghayalkan yang tidak-tidak lagi.

"Tenanglah Juvia", aku berusaha menenangkannya.

"Sudah pasti itu Natsu", kali ini Erza yang membuat kami kaget, lagi.

"Iya kan Lucy?", semua mata tertuju pada Lucy sekarang.

"Aa-apa?", wajahnya mulai memerah.

"Yaa, Lucy, ternyata memang Natsu", godaku.

"Aku tak menyangka kau menyukai pinky boy itu", ledek Eve.

"Natsu cukup tangguh, dia pasti bisa melindungimu, Lucy", ucap Cana.

"Aku juga merasa kalian cocok", kata Wendy disertai anggukan Carla.

"Yah, kalian memang serasi", lanjut Bisca.

"Ini berarti Gray-sama milik Juvia, fufufu", gadis hujan itu tampak sangat bahagia.

"Cieee, Lu-chan ternyata mencintai Natsu", ledek Levi, dia sepertinya balas dendam.

Sementara Lucy hanya blushing sendiri.

"Baiklah, saatnya membahas kisah cinta Juvia dan Gray-samaa", ucapnya riang dengan mata yang berbinar-binar.

"Tidak perlu, itu sudah jelas", ucap Cana.

"Yaaah, hanya masalah waktu sampai Gray menyadari perasaannya padamu", ucapanku ini sukses membuat Juvia pinsan dengan wajah merah habis.

"Lalu, lalu, bagaimana dengan Eve, aku tak pernah mendengar gosip tentangmu", terang Bisca.

"Kau tak tahu? Dia sedang dekat denga-", Eve segera menutup mulut Erza.

Dia lalu memperbaiki letak kacamatanya, "T-tidak ada yang aku sukai sekarang"

"Lalu, bagaimana dengan Elfman?", tanyaku, aku pikir mereka benar-benar saling suka.

"D-dia, mana mungkin akuu-", kali ini Erza yang menutup mulutnya.

"Mereka akan segera menikah", tegasnya.

"Apa? T-tidak, akuu-", Erza menutup mulutnya, lagi.

"Dan aku rasa, Mira merestuinya", lanjut Erza, mereka memandangiku.

Aku tersenyum, "Selama mereka saling mencintai, aku ikut bahagia", ucapku lembut.

Eve akhirnya terdiam, dengan wajah blushing tentunya.

"Bagaimana denganmu, Bisca?", tanya Cana.

"Apa maksudmu, Cana?", Bisca balik bertanya.

"Kapan Asuka akan punya adik?", godanya.

"A-apa?", wajahnya sudah mulai memerah.

"Ayolah, dia sudah cukup besar untuk punya seorang adik", lanjut Cana.

"E-entahlah", jawabnya gugup.

"Kalian bahkan tak ada saat kami menikah", lanjutnya pelan.

Kami semua menunduk, yah, kami menghilang selama tujuh tahun, cukup banyak yang kami lewatkan.

"Gomen", ucap kami pelan.

Bisca menatap kami satu persatu.

"Tak apa, kalian sudah ada disini, itu sudah lebih dari cukup", senyuman Bisca membuat kami semua ikut tersenyum.

"Jadi? Bagaimana cara Alzack melamarmu?", kali ini aku cukup penasaran.

Yang lain mengangguk-angguk setuju.

Bisca menatap kami dengan lembut, lalu tersenyum kecil, "Ceritanya panjang, nanti akan aku ceritakan, kita berkumpul lagi nanti malam, oke?", dia mengedipkan satu matanya.

"Oke", jawab kami serempak.

Kita tinggalkan Bisca, berlanjut ke, emm.

"Cana", ucapku lirih.

"Hn?", dia menatapku.

"Bagaimana kencan butamu dengan pria yang dikenalkan Lucy itu?", tanyaku antusias.

"Iya, apa berjalan dengan baik, Cana?", Lucy juga terlihat sama antusiasnya denganku.

"Hmm, yaah, begitulah, kami masih berkomunikasi, meski susah", jawabnya.

"Kau menyukainya?", tanyaku penasaran.

"Tentu saja, Mira. Tak mungkin dia minum begitu banyak hari ini kalau bukan karena pria itu", jawab Erza.

"Dia akan segera datang ke Magnolia, aku hanya merasa, agak, gugup", ungkap Cana dengan wajah blushing.

Kami semua mengangguk mengerti, lalu kembali tertawa.

"Cana, Erza, kau ingat, dulu kita masih sangat kecil, dan belum mengenal pria seperti sekarang, coba lihat kita sekarang, kita semua sudah punya kisah masing-masing", ucapku sambil tersenyum kecil, mengenang masa lalu.

"Aku rasa tidak juga", potong Cana.

"Yah, ada yang sudah mengenal pria lebih dulu, tapi masih menyembunyikannya", lanjut Erza.

"Ini akan menarik", ucap Lucy semangat.

"Siapa pria itu?", tanya Levi antusias.

"Iya, siapa, Mira?", Bisca juga sangat antusias.

"E-eh, itu-", mungkinkah harus aku katakan?.

Kalau itu, kau?.

Aku menutup mataku, menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan, tapi, yang terbayang malah, kejadian itu.

FLASHBACK

"Apa yang kau lakukan disini?", suara itu.

"Tidak, hanya melamun saja", aku berusaha jujur.

Kau duduk disampingku, menyandarkan punggungmu ke hamparan rumput pendek dibelakang.

"Langitnya cukup bagus", ungkapmu sambil terus mengamati langit diatas.

"Begitukah? Bagiku terlihat sama saja", itu memang terlihat sama, hanya warna biru seperti biasa.

"Ayolah, itu terlihat berbeda, Mira", kau tak mau mengalah.

"Tidak, bagiku itu tetap biru, seperti biasa", ungkapku kesal, jangan menggangguku hari ini. Aku sedang tidak bisa diajak bertengkar dengan baik sekarang.

"Apa ini?", kau melemparkan sebuah kotak kecil kearahku.

"Hadiah, hari ini kau ulang tahun", ucapmu yakin.

"Siapa bilang hari ini aku ulang tahun? Baka", ledekku sambil menggenggam erat kotak itu. Bahkan aku sendiri tak tahu kapan ulang tahunku, bagaimana mungkin kau tahu?.

"Kalau aku bilang hari ini kau ulang tahun, berarti hari ini kau memang ulang tahun", kau memang keras kepala.

Aku tersenyum, kau tidak akan bisa melihatnya.

"Jangan hanya tersenyum begitu, bukalah", ucapmu.

Aku memalingkan wajahku, memastikan bahwa kau memang berada disampingku masih dengan posisi yang sama, "Dari mana kau tahu aku sedang tersenyum?"

Kau hanya mengeluarkan cengiran khasmu.

Aku lalu membuka kotak itu.

"Fotoku?", aku menatap bingung foto itu.

Kau bangkit, lalu mengambil posisi duduk, tepat disampingku.

"Itu adalah fotomu, saat pertama kali aku melihatmu", jawabmu.

Aku memandanginya, ternyata aku sudah banyak berubah, sejak saat itu.

"Jangan menangis, Mira", kau menyadarkanku dari lamunanku, menangis?.

Aku mengusap air mata yang turun tanpa seizinku ini.

"Kau bisa membuat fotonya rusak", lanjutmu. Kali ini aku jengkel padamu.

"Hei, ayolah aku hanya bercanda", bujukmu.

Aku masih memalingkan wajahku, sebenarnya aku tak marah, aku malu.

"Foto itu, difoto itu, kau terlihat sangat rapuh. Tapi lihatlah sekarang, kau sudah banyak berubah", aku berbalik, tersentuh dengan ucapanmu tadi.

KLIK

"Dapat", ucapmu bangga.

"Hei, hapus, ayolah, aku terlihat jelek", teriakku kesal.

"Tidak akan, biar diulang pun, hasilnya akan sama", ledekmu.

Aku menatapmu jengkel.

"Selamat ulang tahun, Mira. Ini tepat satu tahun kau bergabung dengan Fairy Tail", senyum itulah yang membuatku betah memandangmu.

"Satu tahun? Berarti hari ini?", aku mengerti sekarang.

"Yah, hari ini hari ulang tahunmu", ucapmu, masih dengan rasa percaya diri itu.

"Hari-ulang tahunku", aku memandangimu, lama.

"Iya, Mira", kau mengacak-acak rambutku, hal yang selalu kau lakukan.

Aku memang tak tahu kapan aku lahir.

Yang aku tahu hanya hari ulang tahun Elfman dan Lisanna, sebab aku ada disana saat itu.

Hari ulang tahunku? Aku terlalu takut menanyakannya pada Ibu.

Kau tahu, kau membuatku menyukai hari ini.

Padahal, sebelumnya aku sangat membenci hari ini.

Kenapa?.

Karena hari ini, adalah hari dimana ayahku membunuh ibuku,

Dan juga, hari dimana aku membunuh ayahku.

Terimakasih,

Kau membuatku melihat langit hari ini menjadi sangat indah.

FLASHBACK END

"Ayolah, Mira", rengek mereka, nampaknya mereka benar-benar penasaran.

Aku tersenyum kecil.

"Hei, diamlah", suara itu.

"Laxus", Erza nampak kaget melihat Laxus yang begitu berantakan hari ini.

"Kau mabuk", aku menatapnya sendu.

"Diamlah, kalian membuatku terbangun", dia lalu bangkit dari kursi dibelakang meja dipojok ruangan.

"A-apa kau mendengar pembicaraan kami?", tanya Lucy.

"Apa? Jadi kalian sudah lama disini? Aku baru saja terbangun, pirang", jawabnya ketus.

Mereka langsung menghembuskan napas lega.

"Sejak kapan kau bangun, Laxus?", tanya Erza.

"Sejak kalian meneriakkan nama Mira", jawabnya jujur.

Dia memegangi kepalanya yang mungkin sakit, dan berjalan gontai menuju kearah kami, bukan, kearahku.

"Kau tak apa? Mau aku ambilkan air?", tanyaku sesaat sebelum dia sampai.

Dia tidak menjawab, dia terus melangkah mendekatiku, lalu menggenggam tanganku dan menarikku, reflek aku langsung mengikutinya dibelakang, tangannya, begitu besar, dan hangat.

"Mira", dapat kudengar teriakan Lucy yang panik.

"Tak apa, biarkan saja", ucap Cana.

"T-tapi, itu, Laxus", jawab Levi takut.

"Justru karena itu Laxus", ini sudah yang ketiga kalinya Erza membuat mereka tersentak.

"Laxus tidak akan menyakiti orang yang dia cintai", lanjutnya pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya, sedikit semburat merah terpancar diwajahku.

"APAAA?", teriakan mereka membuat semua orang guild berlarian kearah mereka denga panik.

Kalau diingat-ingat, ini bukan pertama kalinya dia menarikku seperti ini.

FLASHBACK

"Hai, namamu siapa? Aku Laxus, Laxus Dreyar", kau memberikan tangan mungilmu, hendak bersalaman denganku.

"A-aku, namaku Mira, Mirajane Strauss", ucapku gugup.

"Kau ingin bergabung disini, Mira?", tanyamu riang.

"Bergabung?", aku tak mengerti.

"Iya, ini adalah guild terhebat di Fiore, Fairy Tail", jelasmu singkat.

"Fairy Tail?", tanyaku polos.

"Ikut aku, aku akan mengenalkanmu pada kakek", kau menarik tanganku untuk yang pertama kalinya, dan anehnya, aku ikut denganmu, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Selamat yaa, Mira. Kau sudah menjadi anggota Fairy Tail, apa mereka adikmu?", sesaat setelah bergabung, aku membawa Elfman dan Lisanna masuk ke guild setelah sebelumnya menyuruh mereka menunggu diluar.

"Demon? Kau hebat, Mira. Bagaimana kalau kita berlatih bersama?", kau menarikku lagi, dan aku hanya mengikutimu.

"Mira, ada banyak bintang malam ini, temani aku melihatnya yaa", perlahan tapi pasti, aku suka, aku suka ketika kau menarikku, seakan kau menyadari keberadaanku.

Kalau diingat, kaulah yang dulunya paling dekat denganku, selain Elfman dan Lisanna, sebelum Lisanna meninggal.

"Mira, maaf, aku baru mendengarnya, aku turut berduka cita", kau memelukku erat.

"Ayo, ikutlah denganku", lalu kau menarik tanganku, lagi.

"Lihat, Lisanna masih disini. Bersama kita, dengan lambang Fairy Tail. Aku yakin dia masih hidup, dihati kita, Mira", kau memperlihatkan pintu gerbang Fairy Tail padaku, membuatku sadar, bahwa Lisanna memang masih ada dihatiku, dia tak akan kemana-mana.

Sejak dulu, aku selalu cengeng didepanmu.

Aku menangis saat mendapat cap Fairy Tail dari kakek, saat berhasil melakukan pekerjaan pertamaku, saat ulang tahun pertamaku di bukit berdua denganmu, bahkan saat menatap bintang, dan saat Lisanna meninggal.

Aku tak pernah menangis didepan orang lain, tak ingin mereka memandangku lemah, tapi kau beda, aku bisa merasa nyaman bersamamu, Laxus.

Karena aku,

FLASHBACK END

"Mira", kau membuyarkan lamunanku, dengan segera aku menatap mata hazelmu.

"Kau tak berubah", senyum khasmu mulai menghipnotisku, lagi.

"Sejak dulu, kau tak pernah mengeluh jika aku menarik tanganmu dan membawamu berlari, kau tak pernah bertanya apalagi mengelak", kau berbalik, memandangi langit.

"Tempat ini", aku memandangi sekitar, sekarang sudah banyak bunga disini.

"Yah, kau masih ingat?", kau memandangku sekilas lalu kembali memandang langit.

"Iya, terimakasih, Laxus", sejak dulu, aku tak pernah mengucapkannya, terimakasih.

"Kenapa?", kau memandangku bingung.

Aku berjalan mendekatimu dan berhenti tepat disampingmu, lalu ikut menatap langit yang dari tadi begitu betah kau tatap.

"Kau tak perlu tahu, pokoknya terimakasih", ucapku sambil tersenyum semanis mungkin.

"Dasar aneh", kau membalas senyumku.

"Kalau begitu, maaf, Mira", ucapmu masih sambil menatap langit.

Kali ini aku yang bingung, "Kenapa?"

"Kau juga tak perlu tahu, pokoknya maaf", kalimat ini terdengar aneh jika kau yang mengucapkannya.

Aku mendengus kesal.

"Kau tak ingin bertanya mengapa aku membawamu kesini?", aku mengalihkan pandanganku kembali padamu.

"Kenapa?"

Kau tersenyum, senyum yang hanya kau tujukan untuk sebagian orang saja, "Kau benar-benar tak tahu alasannya, Mira?"

Aku tersenyum, apa kau ingin bermain tebak-tebakan?.

Aku baru saja hendak menjawab ketika kau tiba-tiba menciumku dengan lembut, astaga, first kiss ku.

Ciuman ini begitu dalam dan lembut, penuh dengan cinta. Sekarang aku sudah yakin, Laxus.

Kita saling membalas ciuman masing-masing, cukup lama, hingga kita benar-benar kehabisan napas.

"Kau masih tidak tahu kenapa?", tanyamu sesaat setelah kau melepaskanku.

"Kau curang, kau tak membiarkanku menjawab tadi", ucapku kesal.

"Waktumu sudah habis tadi, Mira", dasar keras kepala.

"Hmm, sekarang aku sudah yakin", aku tersenyum kepadamu.

"Aku yakin kalau ka-", kau menciumku, lagi.

Dan seperti tadi, aku tidak bisa menolak ciumanmu.

Kali ini ciumanmu cukup singkat, kau lalu menatapku.

"Kau tak perlu mengatakannya, aku hanya bertanya kau tahu atau tidak, aku tak butuh alasan yang panjang lebar", jelasmu.

Aku mengangguk kecil.

"Bagus, kita sepakat, tak perlu kata-kata untuk menunjukkannya", lanjutmu.

Aku tersenyum, tanda setuju.

"Marry me, Mira?", kau mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakumu, lalu membukanya tepat dihadapanku.

Aku memandangi kotak kecil itu dengan tatapan tak percaya, lalu kembali memandangmu dengan tatapan AYOLAH, KAU PASTI BERCANDA.

Kau membuat wajahmu semakin tampan dengan senyuman itu, seakan mengartikan INI SUNGGUHAN, BAKA.

Oh, Kami-sama, aku akhirnya sadar.

Aku mengangguk sambil tersenyum senang, berharap kau segera memakaikan cincin indah itu padaku.

"Indah", ucapku riang sambil mengamati cincin berlian yang sudah terpasang di jari manisku.

Meski kau tidak membungkuk seperti pria lainnya, atau membawakan sebuket bunga yang indah untukku seperti yang pria lain lakukan.

Aku merasa kau sangat romantis, dari matamu dan senyummu yang hangat, kau melakukannya dengan cinta yang lebih yang tak bisa digantikan dengan kata maupun bunga apapun, terimakasih Laxus.

SEMENTARA ITU-

NORMAL POV

"Apa yang mereka lakukan disana?", gadis berambut pirang itu menyipitkan matanya agar dapat melihat dengan lebih jelas.

"Sssst, mereka berciuman", ungkap gadis berambut coklat.

"Tutup matamu, Wendy", kata si kucing putih.

Gadis berambut biru itu segera mengikuti intruksinya.

"Cukup lama, Laxus hebat juga", ujar gadis berambut merah.

"Juvia juga ingin melakukannya dengan Gray-sama", gadis berambut biru itu memegang kedua pipinya yang merah.

"Seharusnya kita tak mengintip seperti ini", ucap gadis berambut hijau sambil memperbaiki letak kacamatanya.

"Kalau begitu minggirlah, dan berikan tempat itu padaku. Aku tak melihat apapun disini", gadis coboy itu mengeluh kesal.

"Sampai kapan mereka akan berciuman", gadis berambut biru pendek itu memalingkan tatapannya.

"Sebaiknya kita tak melihat lebih lama lagi", tegas si rambut merah.

Mereka pun membubarkan diri.

"Tunggu", teriak si kucing putih.

Mereka kembali ke posisi semula.

"Apa? Mereka hanya berciuman lagi", ujar si rambut coklat kecewa.

"Tidak, lihat baik-baik", potong si rambut pirang.

Mereka semua membulatkan mata mereka, tak percaya bahwa apa yang mereka lihat dibalik jendela kecil itu benar-benar terjadi.

"Oh, Kami-sama", ucap setengah dari para gadis yang menguntit itu.

"Gray-sama, Juvia juga mauu", kali ini wajah si gadis hujan itu sudah berwarna sangat merah.

"Aku rasa itu cukup romantis", ujar gadis berambut merah sambil melirik ke arah gadis lain.

Mereka semua mengangguk setuju.

"Apa yang kalian lakukan disini?", seruan pria berambut pink itu membuat para gadis yang masih serius memperhatikan kedua pasangan diluar jendela itu gelagapan.

Mereka segera berbalik, membelakangi pemandangan indah dibalik jendela itu.

Tanpa ada yang menyadari, seorang gadis sedang tertawa kecil dengan riang dibalik pohon yang agak jauh dari sana, rambut ikalnya dibiarkan terurai, sementara satu tangannya terus menutupi bibirnya yang tak henti-hentinya tersenyum.

"T-tidak, tidak ada apa-apa", sergah gadis berambut merah.

"Ohiya, Erza. Ada yang mencarimu diluar", ungkap si rambut pink.

Dalam hati, semua bersyukur atas kepolosan si pria itu.

"Siapa?", tanya gadis yang dipanggil Erza itu dengan kaget.

Kyaaaaaaaaaaaa.

Disini nggak ada Lisanna, maafkan saya, saya nggak bisa masukin dia disini, habisnya bingung mau pasangin dia sama siapa?.

Kalau sudah ketemu pasangannya, nanti saya pikir-pikir lagi buat masukin, hehe.

Tolong bantu author satu ini, kasih saran kepada saya, sebaiknya Lisanna dipasangin sama siapa, eh, nggak boleh sama Natsu yaa, saya penggemar NaLu loh, fufufu.

Endingnya juga gaje banget, gomen.

Meski begitu, tetap di RIVIEW yaaaaa.

Siapa? Siapa yang mencari Erza?

Penasaran?

Siapa gadis pirang itu? Penasaran nggak?

Kekeke.

Tunggu chapter selanjutnya yaaaaaaaa, arigatou.