Semua wanita hanya berharap menikah satu kali seumur hidupnya, begitupun dengan Jihoon. Ia berpikir meskipun ia dan mantan suaminya itu dijodohkan, mereka akan bisa bahagia seiring berjalannya waktu. Dibandingkan cinta pada pandangan pertama, Jihoon lebih percaya dengan cinta yang datang karena terbiasa. Sayangnya, hal tersebut tidak kunjung datang pada kehidupan rumah tangganya.
[.
(re-do)
Hei, ini untuk siapapun yang mengharapkan saya membuat sekuel dari Affair, maaf tapi ini bukan sekuel hahaha, ini lebih seperti versi cerita sebenarnya dan Affair sendiri adalah cuplikan kecil (yang mesum) dari jalan cerita re-do. Saya berusaha keras untuk tidak membuat ini terlihat seperti drama atau sinetron tapi sepertinya tidak bisa lol
Sekali lagi, hati-hati dengan adanya violence, dan percayalah bahwa Jihoon adalah sosok yang kuat. Omong-omong, saya minta maaf karena pakai chara Seyong sebagai antagonis disini /cri
.]
.
Lee Seyong baik pada awalnya, ia adalah pria lembut. Mereka sepakat untuk tidak menunda memiliki momongan mengingat alasan keduanya dijodohkan adalah keinginan masing-masing orangtua yang tidak tahan untuk segera menggendong cucu. Ketika rumah tangga mereka berjalan satu tahun lebih, dan Jihoon belum juga mengandung, Seyong menjadi curiga. Dua tahun usia pernikahan mereka, Seyong mulai menuduh yang tidak-tidak—mengenai Jihoon yang memiliki penyakit bahkan sampai secara kasar menyebut istrinya mandul. Jihoon tidak banyak bicara sejak terakhir ia mengajak Seyong untuk memeriksa kondisi reproduksi mereka, suaminya itu memukulinya dan meneriakinya perempuan sial karena tidak juga memberikannya anak.
Diam-diam Jihoon memeriksakan kondisinya sendiri. Di rumah sakit jiwa tempatnya bekerja, ia sempat berkenalan dengan salah satu dokter kandungan yang setiap seminggu sekali buka praktik di rumah sakit tersebut—terkadang beberapa pasien jiwa memiliki keluhan dengan kandungan mereka meskipun mereka tidak mengandung, enam bulan lalu ada salah satu pasien yang melahirkan disana. Jihoon sempat melihat bayinya dan hatinya teriris, bahkan orang gila saja bisa memiliki anak.
Jihoon diminta datang ke rumah sakit umum tempat kenalannya bekerja jika ingin diperiksa lebih lanjut, namanya Yoon Jeonghan, sudah menikah dan punya seorang anak bernama Choi Hansol. Suaminya namanya Choi Seungcheol, tentara berpangkat kapten. Jeonghan perempuan yang sangat kalem, dan ia mengurus Hansol yang baru mulai menginjak usia empat tahun dengan sangat sabar meskipun sendirian. Seungcheol selalu pergi dalam misi, terkadang ia kembali dalam waktu satu bulan kemudian, di waktu yang lain ia bahkan baru kembali setelah satu tahun.
"Rahimmu dalam keadaan sehat, Jihoon. Juga tidak ada yang salah dengan alat reproduksimu. Aku heran kenapa kau bisa belum hamil hingga sekarang."
Jihoon terdiam, berarti selama ini sama sekali bukan salahnya.
"Lebih baik suamimu juga memeriksakan diri."
"Dia tidak akan mau, eonni. Aku tidak mau ambil resiko, aku tidak suka dipukuli."
Jeonghan menghela nafasnya pelan, "Apa suamimu selalu begini?"
"Ya." Jihoon menatap balik Jeonghan dan Jeonghan sendiri merasa hatinya teriris ketika ia menembus mata Jihoon meskipun Jihoon tidak mengatakan apa-apa.
"Lee Jihoon-ssi, kau memang dokter kejiwaan tapi sebaiknya kau tidak usah terlalu menutupi. Aku tahu hatimu gelisah, aku tahu kau tidak bisa menunjukkan perasaanmu dengan baik, tapi kita sama-sama wanita dan kita sama-sama bersuami." Jeonghan menggenggam tangan Jihoon dan mengelusnya perlahan, "Kau bisa bercerita padaku."
Jihoon bukan perempuan manis, Jihoon bukan perempuan yang gampang menangis. Bahkan ketika suaminya memukulinya ia masih bisa menahan emosi dan tidak menangis. Ia hanya diam. Tapi, Jeonghan yang mencoba menyentuhnya dengan kelembutan membuat sisinya yang ingin berkeluh kesah muncul. Selama ini ia tidak bisa mengatakan apapun pada orangtuanya maupun mertuanya. Itu tidak menyakitinya, tapi mematikan hatinya secara perlahan.
Jihoon membalas genggaman tangan Jeonghan dengan lebih erat dan air matanya menetes sebelum ia bercerita.
.
Rumah sakit sedikit sibuk hari ini. Direktur Kwon yang sudah tua dengar-dengar akan segera diganti oleh putranya sendiri. Jihoon pernah bertemu dengan anak direktur tersebut yang sekarang sedang mencari titel Profesor. Namanya Kwon Soonyoung kalau tidak salah, Jihoon masuk untuk melanjutkan pendidikan spesialis ketika Soonyoung wisuda. Jihoon memanggilnya senior di beberapa kesempatan. Soonyoung sudah mendekati umur tiga puluh tapi wajahnya kelihatan seperti umur dua puluh tiga.
"Lee Jihoon-ssi." Soonyoung mengetuk meja yang dipakai Jihoon untuk meletakkan makan siangnya, "Boleh duduk di sebelahmu?"
Jihoon mengangguk, ya mana bisa dia melarang anak direktur—calon direktur baru—untuk berbagi tempat? Lagipula dia sedang sendirian.
"Err." Jihoon berdeham, "Selamat atas promosi Anda sebentar lagi, kudengar Anda lulus ujian untuk jadi Profesor?"
"Oh, iya." Soonyoung menjawab dengan nasi di mulutnya, "Ayahku menyuruhku mencari titel itu, padahal selama aku jadi dokter, aku sudah merasa sangat cukup. Lalu dia mendadak mengatakan ingin aku yang menggantikannya di rumah sakit ini. Ah, merepotkan sekali."
Pria didepannya ini langsung bicara tanpa tedeng aling-aling. Jihoon hanya bisa mengangguk dan tersenyum sebagai respon untuk menghargai. Itu adalah kali pertamanya duduk berdua dengan Soonyoung dan terlibat dalam sebuah percakapan—atau mungkin hanya Soonyoung saja yang bicara.
Dan setelah kejadian itu, bahkan sampai Soonyoung sudah menjadi direktur yang baru, ia masih makan siang di kafetaria rumah sakit, dan ia selalu mencari tempat duduk di sebelah Jihoon. Jihoon mulai risih, teman-teman sekantornya selalu meliriknya dengan berbagai macam tatapan sekarang. Jihoon berpikir jika ia membawa teman atau mencari tempat duduk untuk makan siang bersama teman yang lain, Soonyoung akan mengurungkan niat untuk duduk bersamanya. Seperti yang ia lakukan siang ini. Ia membawa seorang dokter muda baru lulus bernama Lee Seokmin untuk makan bersama, tapi Soonyoung tetap saja menghampiri mejanya.
"Jihoon-ssi, boleh duduk disini?"
"Maaf, sajangnim. Tapi, seperti yang Anda lihat, tempat duduk disini sudah diisi."
Ada jeda yang cukup lama. Soonyoung masih memandangi Jihoon dan Jihoon sama sekali tidak menunjukkan kecanggungan meskipun yang ia tolak adalah seorang direktur. Seokmin yang merasa tidak enak hingga ia merasa ingin kencing.
"Tidak masalah, sajangnim. Anda bisa duduk disini, saya akan pindah, masih banyak tempat duduk kosong."
Soonyoung tersenyum menang lalu menatap Seokmin, "Terimakasih banyak, Lee Seokmin-ssi. Anda sungguh baik."
Seokmin beralih dan Soonyoung yang menempati tempatnya sekarang. Jihoon hanya memutar bola mata. Tidak peduli jika Soonyoung melihatnya melakukan hal tidak sopan tersebut.
"Jihoon, kau punya media sosial?"
Jihoon berdiri dari tempatnya duduk, "Maaf, Tuan. Saya tidak punya waktu untuk meladeni basa-basi Anda."
Jihoon membawa makanannya, tapi Soonyoung mencengkeram pergelangannya dan menahannya cukup keras hingga Jihoon menjatuhkan nampan berisi makan siangnya. Bunyi piring kaca yang pecah membuat semua orang memberikan atensi padanya dan juga Soonyoung disana. Sesaat kemudian terdengar suara bisik-bisik yang membuat kuping Jihoon berdenging sakit.
"Kenapa kau begitu keras kepala, ha? Aku cuma mau makan siang denganmu."
"Dengan mengusir orang yang sebelumnya duduk denganku?"
"Aku tidak mengusirnya, kapan kau mendengarku menyuruhnya pergi dari sini?"
Jihoon menghela nafasnya berat. Ia menyentak tangan Soonyoung dan memunguti serpihan piring pecah ke atas nampannya, gelas plastik, sumpit dan sendoknya. Ia pergi tanpa melirik lagi pada Soonyoung—dan juga seluruh orang yang ada di dalam kafetaria.
Jihoon pulang ke rumah dan menemukan suaminya dengan keadaan marah. Jihoon menghela nafasnya, ia sungguh tidak siap. Ia tidak mau dipukul. Tapi, ia tidak bisa kabur.
"Sejak kapan kau belajar jadi selingkuhan direktur?"
Jihoon berjengit, Seyong memukulnya di rahang dan ia tersungkur. Ia menatap Seyong dengan wajah yang kentara sekali ketakutan, "Aku tidak selingkuh!"
"Pembohong! Kau ini memang perempuan sial! Sudah tidak punya anak, selingkuh pula!"
Jihoon hanya bisa melingkarkan tangannya sendiri di perut ketika suaminya menendanginya di bagian tersebut. Jihoon sudah menggigit bibir untuk menahan supaya ia tidak merintih sakit. Tapi kali ini Seyong mengamuk lebih parah dari biasanya dan Jihoon menerima dampak yang juga dua kali lipat.
"Cukup!" Jihoon menjerit, "Sakit, aku mohon hentikan—"
Jihoon berteriak lebih keras maka Seyong semakin menjadi. Jihoon biasanya tidak menangis, tapi kali ini ia menangis keras-keras dan memohon berhenti. Hatinya berdenyut teramat nyeri, tidak hanya tubuhnya tubuhnya yang disakiti.
"Seharusnya aku tidak menikahimu, untuk apa menikahi perempuan mandul!"
Aku tidak mandul. Aku sehat. Dokter Yoon bilang aku bisa punya anak.
Jihoon cuma bisa menangis ketika Seyong selesai memukulinya dan meninggalkannya sendirian di ruang tamu rumah mereka. Darimana Seyong mengetahui isu bodoh tersebut? Jihoon tidak pernah selingkuh, bahkan meskipun Soonyoung gencar mendekatinya seperti itu. Jihoon masih sangat waras dan sadar bahwa ia adalah wanita yang sudah bersuami. Sebenci apapun ia pada Seyong, prinsip pernikahan yang suci selalu dipegang oleh Jihoon.
Entah kenapa Jihoon jadi teringat pada Soonyoung.
Seandainya, seandainya saja ia bertemu dengan Soonyoung lebih dulu. Tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan menikah dengan pria itu.
Dan mungkin hidupnya tidak akan seperti ini.
.
Jihoon kesulitan mengangkat lengan kirinya, Seyong menginjak lengan atasnya cukup keras kemarin dan sekarang rasanya seperti bengkak. Ia menolak ajakan Seokmin yang mengajaknya makan di kafetaria hari ini—yang sebenarnya sempat takut kalau-kalau Jihoon marah padanya karena kejadian kemarin. Jihoon memperlihatkan satu senyuman tipis dan berkata kalau hal tersebut tidak perlu dipikirkan.
Kira-kira lima belas menit setelahnya, Jihoon melihat Soonyoung masuk ke ruangannya. Ia menghela nafas, kenapa pria satu ini suka sekali mendekatinya.
"Coba angkat lenganmu."
Jihoon meliriknya kaget, "Apa?"
"Lee Jihoon-ssi, ini dari atasanmu."
Jihoon mengerutkan dahi, mengangkat kedua tangannya. Soonyoung menangkap pergelangan tangan kirinya dan menyingkap jas putih yang dipakai Jihoon. Soonyoung ingin mengatakan sesuatu—mulutnya sudah terbuka, tapi kemudian menutup lagi—ketika ia melihat memar di lengan atas Jihoon.
"Apa suamimu selalu seperti itu?" Soonyoung menatapnya, "Jihoon, bisa-bisanya kau bertahan dengannya."
"Maaf, Anda tidak tahu apa-apa tentang rumah tangga saya." Jihoon menarik tangannya turun. "Sebaiknya Anda pergi dari sini, menurut Anda apa yang akan dikatakan orang jika Anda terus-menerus mendekati perempuan yang sudah bersuami?"
"Orang akan bilang kalau aku sedang berusaha mendekati istri orang." Soonyoung menunjukkan senyuman miring, "Tolong jangan salahkan aku, Jihoon. Tapi, aku memang menyukai istri orang—wanita yang sudah bersuami."
Jihoon tahu ia seharusnya marah—sebenarnya Jihoon juga marah, tapi entah kenapa ia tidak bisa menunjukkannya. Soonyoung seperti begitu rendah memandangnya, menganggapnya gampangan dengan cara seperti itu. Alih-alih marah dan membentak, Jihoon hanya diam.
"Tolong keluar dari sini, sajangnim." Jihoon lebih seperti memohon daripada memerintah atau mengusir dengan nada bicara selemah itu. "Saya pikir banyak perempuan lain yang jauh lebih baik daripada saya, dan lebih sempurna." —seperti apa yang dikatakan suamiku.
Soonyoung memalingkan mukanya, meninggalkan ruangan Jihoon dengan satu kalimat terakhir yang sialnya malah membuat Jihoon berdebar.
"Aku menunggumu bercerai dengan suamimu, Jihoon."
.
"APA-APAAN INI LEE JIHOON?!"
Jihoon baru saja memasuki rumah saat Seyong mendadak menjambak rambutnya dan memperlihatkan sesuatu di ponsel. Jihoon terkejut ketika melihat ada sebuah gambar dimana Soonyoung sedang mengangkat tangannya dan menyibak lengan jasnya untuk melihat luka lebam yang ia punya di lengan atas sebelah.
"Sekarang kau sudah bisa mengadu pada selingkuhanmu kalau kau dipukuli, benar begitu? Hah, kau pikir kau bisa mendapat perlindungan darinya?"
Seyong mendorong wajah Jihoon hingga wajahnya membentur dinding. Jihoon pening, meraba hidungnya yang terbentur cukup keras, sedikit kebawah dan Jihoon merasakan basah di bagian philtrum. Jihoon tahu hidungnya berdarah.
"Darimana kau mendapatkan foto itu?" Jihoon mengumpulkan keberanian untuk bertanya, sudah sangat jelas kalau suaminya memiliki mata-mata di rumah sakit jiwa tempatnya bekerja.
"Kau tidak perlu tahu." Suaminya memukulnya di wajah. Jihoon berusaha menghindar, tapi itu malah semakin membuat Seyong kalap.
"Sialan, Jihoon. Perempuan sial!"
Jihoon selalu merasa sakit hati ketika Seyong mulai memaki-makinya, ia mendadak teringat apa kata ibunya. Jihoon adalah anak tunggal. Orangtuanya selalu menginginkannya bahagia. Ketika kenalan orangtuanya mengenalkan Seyong—yang seorang dosen dan saat itu berperilaku sangat baik, mereka langsung sepakat untuk menjodohkan keduanya.
Ibunya selalu bilang kalau Jihoon adalah harta paling berharga yang dimiiki orangtuanya, dan Jihoon sejak remaja selalu diberi penekanan bahwa ia harus bisa menghargai suaminya kelak dengan sebaik-baiknya. Kadang ibunya curhat mengenai ia dan ayah Jihoon yang dijodohkan, namun mereka bahagia dan memiliki Jihoon.
Perempuan itu bukan sosok yang bisa disakiti, Jihoon.
Jihoon meneteskan air mata lagi, ia meronta ketika Seyong membawanya ke kamar mandi dan memasukkan kepalanya dengan paksa ke dalam bak air mereka.
"Renungkan baik-baik sambil kau mendinginkan kepalamu, jalang." Kepala Jihoon didorong masuk lagi ke dalam air, kali ini lebih lama hingga Jihoon terbatuk. Ia menggelengkan kepalanya sambil tergugu karena air yang dingin.
"Kumohon…" Jihoon terbatuk, "Hentikan—"
Hal itu percuma. Seyong sedang berada di puncak kemarahannya. Jihoon memilih menangis di kamar mandi hingga menjerit-jerit ketika Seyong pergi keluar untuk minum. Malam itu juga ia mengepak barang-barangnya dan pergi dari rumah tanpa memberitahu suaminya. Tidak, Jihoon tidak pulang ke rumah orangtuanya, Seyong pasti akan menemukannya disana, dan orangtuanya tidak akan bisa melindunginya. Seyong sangat pintar bicara dan bermanis muka, yang ada Jihoon malah akan dibujuk orangtuanya untuk pulang bersama suaminya.
Jihoon mendial nomor Jeonghan, syukurlah segera diangkat. Jihoon sangat takut jika tiba-tiba saja Seyong menemukannya di jalan.
"Jihoon? Astaga kau kenapa?" Jeonghan terdengar panik ketika ia mendengar Jihoon agak sesenggukan di telepon.
"Ti-tidak apa-apa, Dokter Yoon." Jihoon menelan ludahnya, "Apakah kira-kira Anda keberatan jika aku menginap di rumah Anda malam ini?"
Jeonghan terdengar berisik di seberang sana, "Dimana kau sekarang? Aku segera menjemputmu, Hansol baru saja tidur jadi kau tidak perlu khawatir."
"Terima kasih banyak, Dokter Yoon." Jihoon rasanya seperti ingin menangis lagi, ia memberitahu posisinya pada Jeonghan dan wanita itu bilang ia akan tiba disana sepuluh menit lagi.
.
(to be continued)
Psst, pls leave ur review, te-he-
