Title: Questionable

Rate: T

Genre: Fantasy, friendship, romance.

Cast: Yoo Seonho, Lai Guanlin, other produce 101 season 2 trainees.

Summary: Mulai sekarang, ada dua hal yang tidak disukai Yoo Seonho. Jauh dari rumah, dan orang aneh.

unedited ; typos

.

.

.

Lelaki itu terus memutar otaknya, memikirkan bagaimana cara ia harus membujuk sang Ibu yang sejak beberapa hari yang lalu memaksanya agar masuk Seoul Highschool. Asal kau tau, sekolah itu berbasis asrama. Jadi, tentu dengan alasan agar anaknya ini bisa hidup mandiri.

"Apakah aku kurang mandiri?" Ia bertanya pada dirinya, tentu ia sendiri sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Selama ini dia merasa tidak merepotkan Ibu. Well, itu apa yang dipikirkannya–

Hanya ada dua pilihan, dan keduanya berada pada tangan Seonho, anak itu. Semua hal tentu memiliki resiko masing-masing, bukan? Tidak terkecuali pilihan-pilihannya.

Mari kita jabarkan,

1. Jika ia (semoga) menemukan alasan yang tepat untuk menolak perintah Ibunya, pasti dia akan kena marah dan kemungkinan besar Ibu tidak akan segan mengirimnya sendirian dengan pesawat untuk hidup di negera orang. Itu terdengar sama saja, kan? Tapi, keuntungannya adalah Ibu mungkin saja menjenguknya tiga bulan sekali. Setidaknya, itu terdengar sedikit menyenangkan.

Lalu,

2. Kalau ia menuruti perintah Ibu, ia akan tinggal di asrama Seoul School, selama tiga tahun, bertemu orang baru sebagai roommate-nya, dan hanya mendapat jatah bertatap muka dengan Ibu 5 kali hingga hari kelulusan. Tapi, tentu dia tidak akan kena semprotan ibunya, dan tidak akan mengalami kesulitan berkomunikasi yang dikarenakan perbedaan bahasa yang signifikan.

Otaknya sudah terlalu lelah untuk diajak bekerja, Seonho memutuskan untuk memejamkan mata, menarik selimut sampai puncak kepalanya dan terlelap. Yang jelas, masih dengan pikiran yang sedikit banyak mengganggunya.

.

.

.

Rasanya sangat familiar, tangan yang bertengger pada pipinya ini. Seonho memaksa sepasang netranya terbangun, mengerjapkannya beberapa kali karena cahaya yang datang secara bergerombol.

Ia menangkap wajah sang Ibu yang tersenyum di hadapannya.

Anak itu memutuskan untuk duduk, berhadapan dengan si Ibu yang sudah memindahkan tangannya dari pipi Seonho.

"Ada apa, MomSeonho bertanya, masih dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, membuatnya memasang wajah malas.

"Apakah kau lupa? Kau harus memutuskannya hari ini, Honey,"

"Tapi, Mom," Seketika ia merasa seutuhnya terjaga, mungkin karena terkejut dengan fakta bahwa ia tidak memiliki waktu untuk menimbang-nimbang lagi. Dan, ya, masih belum dapat alasan untuk menolak perintah Ibunya.

"Tidak ada penolakan untuk hari ini. Jika kau masih belum memutuskannya, maka, biarkan Mommy yangmemutuskannya untukmu. Dua minggu adalah waktu yang panjang untuk memilih, bukan? Aku rasa sudah cukup." Ibu menaikan alisnya, menambah kesan menjengkelkan pada kalimat sebelumnya.

Ya,

Untuk kali ini, ia kalah, sekalah-kalahnya.

Demi tuhan, ini karena aku sayang kau, Mommy." Seonho hanya berucap dalam hatinya, mengurungkan niat sebelumnya untuk merengek pada Ibu, sungguh, jika boleh jujur, ia juga sudah lelah.

"Baiklah! Sekarang," Ibu berdiri dari posisinya,

"Sebaiknya, kau segera memilih dan merapikan apa saja yang akan kau bawa ke asrama nanti. Besok pagi kita akan berangkat, ok, Honey?"

Setelah mencium puncak kepala anaknya yang berusia 16 tahun itu, Ibu keluar dari kamar Seonho, meninggalkannya dengan senyum pahit yang sengaja ia pasang, namun tidak dihiraukan. Tentu.

Seonho langsung menyambar dan mendekap bantal ayam kuning besarnya, seraya membenamkan wajahnya pada benda tersebut,

"Oh Tuhan, aku salah apa!" Teriaknya dengan lantang, yang diredam si ayam.

.

.

.

Dirasa cukup bersikap kekanakan untuk hari ini, Seonho sudah merapikan isi kopernya, semuanya sudah terkemas apik di dalam benda kotak berwarna hijau itu.

Jam menunjukkan pukul 07:05 dan langit sudah gelap di luar dengan bintang yang menggantung tidak beriringan memberi sedikit warna dan cahaya, ia bergegas pergi ke ruang makan untuk makan malam bersama keluarganya, mungkin yang terakhir hingga 3 tahun ke depan.

Ia tidak banyak bicara, dan juga tidak banyak hal yang diperbincangkan pada makan malam hari ini, tapi tentu tentang dirinya dan asrama tidak mungkin dilewatkan. Well, ia mendapat sedikit pujian dari Ayah karena dianggap sudah lebih dewasa, tentu perihal menuruti Ibu. Iya, terima kasih, Dad.

Selesai makan malam, ia memutuskan untuk langsung masuk ke kamarnya dan memandangi seisinya. Ah, pasti akan sangat rindu.

.

.

.

Alarm berdering tepat pukul 05:00, hari ini ia tidak disambut cahaya sang surya yang menerjang tirai untuk mengawali paginya. Seonho sudah pasrah dengan keadaan, dan memutuskan untuk pergi ke asrama.

Tanpa perintah, ia mandi dan memilih beberapa potong pakaian yang tersisa di lemarinya untuk digunakan hari ini. Membubuhkan sedikit gel pada rambutnya, dan pergi sarapan saat arloji di tangan kirinya menampilkan angka 06:15. Sedikit kesulitan untuk membawa kopernya ke ruang makan, hanya sedikit.

"Wah, sudah sangat siap?" Seuntai senyum puas terlihat pada wajah Ibu.

Seonho memutuskan untuk duduk terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ibunya yang masih ia biarkan menggantung.

"Tentu. Kan aku sudah tidak punya pilihan–" Oops, kalimat terakhir diucapkan dengan pelan, kan? Baiklah.

Ibu menyodorkan sepiring pancake ke hadapan Seonho, dan sebotol maple syrup sebagai pelengkap.

"Ayo, cepat dimakan, Ibu akan memanaskan mobil lalu kita akan meluncur! Ayah tidak bisa ikut, mungkin kau mau meneleponnya?"

Seonho menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, tangan Ibu mengusap surainya, lalu pergi untuk segera mempersiapkan kendaraan mereka.

.

.

.

Sepanjang perjalanan, Ibu melemparkan beberapa pertanyaan ringan padanya.

"Jangan murung begitu, Honey, ini hanya sebagian dari perjalanan hidupmu, ingatlah. Mom hanya memberikan pengalaman padamu."

"Bagaimana kalau aku rindu Mommy?"

"Laptop boleh digunakan, tenang saja." Sedikit tawa terdengar Ibu mengikuti ucapannya, membuat suasana tidak semembosankan sebelumnya.

Tak berapa lama, pandangan Seonho dipertemukan dengan gedung berwarna abu-abu yang cukup– tidak, sangat besar. Banyak pilar tinggi mengelilinginya, dan tak jarang anak seusianya berkeliaran di bagian depan.

"Terlihat seperti sebuah sekolah?"

Ternyata dugaannya benar, ketika Ibu menjawab,

"Kita sudah sampai!"

Oh, demi semua anak ayam, setidaknya berikan ia roommate yang normal.

TBC

GUUUUUYS. Aku kembali (?)

Yang ini bakal aku selesain secepatnya! Much luvs.