Merayakan kemerdekaan dari Higanbana Rin Lidde yang kini telah menuntaskan semua UKK, maka dibuatlah sebuah fanfic multichapter bertemakan School Life yang berpotensi gore dan bloody.

Happy reading!

.

Gakuen no Fushigi na Gensou to Youkai

Higanbana Rin Lidde-2010

Mystery/Supernatural. T

Pandora Hearts by Jun Mochizuki

Gakkou Youkai Kikou~you~ and Higanbana no Saku Yoru ni by Ryuukishi07

Gakuen no Fushigi na Gensou to Youkai (The Illusionary Mystery and The Demon of School) by Higanbana Rin Lidde

OOCness, Gajeness, death charas, maybe a little bit bloody, AU

.

Would you become, the last?

.

.

Pria—yang kira kira berusia 24 tahun—berkacamata itu nampak sedikit aneh dengan penampilannya; rambut abu dengan poni menutupi mata kanannya yang berwarna merah, dan baju lab kedodoran. Pria bernama Break Xerxes ini berdiri di depan papan tulis hitam sambil menuliskan sesuatu.

"Ee..." Break menuliskan sebuah nama di papan tulis. Di belakangnya, berdiri seorang anak perempuan berambut putih, seputih salju, dengan sepasang bola mata berwarna violet. Dia menatap ke depan, ke arah murid-murid 2-C yang memandang kagum atas dirinya.

"Mulai hari ini, Alice akan belajar bersama-sama dengan kita. Kalian, mohon kerja samanya," kata Break.

Seisi kelas langsung ribut, terutama kaum pria. Mungkin mereka belum pernah melihat gadis seperti Alice.

Gadis itu, cantik. Terlihat begitu bersinar, sinar yang tidak lazim. Sesaat, terasa seperti berada di dunia lain.

Gadis itu, cantik. Kulitnya putih, dan rambutnya jauh lebih putih lagi. Panjang terurai, dengan dua kepangan kecil di sisi kanan dan kiri rambutnya.

Gadis itu, seperti boneka. Bahkan jika kau pertama kali bertemu dengannya, akan ada perasaan familiar dalam jiwa. Tidak bisa dijelaskan, seperti deja vu.

"Alice-chan~! Sudah punya pacar, belum?" tanya Vincent dengan nada merayu. Seisi kelas langsung melemparinya dengan karet penghapus, isi pensil, dan lain-laiinya. Yang dilempari hanya tertawa jahil. Alice tertawa kecil melihat tingkah laki-laki berambut emas dengan bola mata yang tidak sewarna itu.

"Hey, Vincent! Mau kau kemanakan Lotti, hah?" goda salah satu murid. Merasa namanya dipanggil, Charlotte mendelik ke arah orang itu.

"Diamlah, Zwei!" bentak Charlotte. Semburat merah muncul di pipinya, sementara Zwei hanya tersenyum puas. Seisi kelas langsung tertawa melihat Charlotte yang malu-malu.

"Kalian, tenanglah! Suami-istri jangan diganggu..." canda Break.

"Sensei!" ucap Vincent dan Charlotte bersamaan. Break tersenyum polos dan tidak memperdulikan tatapan dua muridnya itu. Dia tidak menggubrisnya, dan menerawangi seisi kelas, "Hm, bangku kosong... Bangku kosong..." gumam Break. Dan dia menemukan apa yang dicarinya.

"Alice, silahkan duduk di sana," kata Break sambil menunjuk sebuah bangku kosong yang berada paling belakang, di sebelah jendela. Di depannya, duduk seorang anak laki-laki berambut emas dan bermata zambrud yang sedari tadi memandangi Alice—mungkin tidak berkedip-

Alice mengangguk sekali, lalu berjalan perlahan menuju tempat duduknya.

"Ah! Jack curang!"

Yang dipanggil Jack hanya melirik sumber suara dengan senyum kemenangan, " Bukan curang, Oz. Ini namanya keberuntungan..." kata Jack. Dia menoleh ke belakang, bangku kosong itu kini telah terisi.

"Jack Vessalius," kata Jack memperkenalkan diri. Alice membalas sambil tersenyum tipis, "Alice,"

.

.

Sudah satu minggu sejak kedatangan Alice ke sekolahku. Dia langsung saja menjadi populer. Bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena keramahan dan kecerdasannya yang—mungkin—menyamai Oz—kau tahu, kan? Sepupuku itu adalah siswa paling cerdas di angkatan kami-.

Dan lebih beruntungnya lagi, aku duduk di depannya. Yah, ini keberuntunganku, kan? Keberuntungan.

.

.

.

.

Chapter 1

.

24 April, 10.15. Jam Istirahat pertama, koridor lantai satu.

"Gilbert-sensei menyebalkan!" desah gadis berambut biru keabuan itu. Dia membawa sebuah bola dunia besar—alat peraga yang akan digunakan untuk jam pelajaran selanjutnya-

"Diamlah, Zwei. Aku juga merasa terbebani..." seorang gadis yang persis dengan dirinya tetap memasang wajah datar dan tidak berekpresi. Dia membawa dua buah peta besar yang digulung.

"Haaah... Kelas kita kan ada di lantai atas, perjalanan menuju tangganya sangat melelahkan..." kata Zwei lagi.

"Hei, kenapa tidak pakai tangga ini saja? Lebih dekat, kan?" tanya Alice. Dia berhenti di depan sebuah tangga yang terletak tidak jauh dari ruang guru.

Jika diperhatikan, tangga itu sangat kotor, dan berdebu. Seperti tidak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Tidak ada jejak apa-apa disana, menandakan kalau memang tidak ada yang memakainya.

"Tidak ada yang mau menaiki tangga itu, Alice..." kata Echo—masih tetap dengan wajah datar khasnya-

Alice mengerjap, tidak mengerti. "Kenapa? Setahuku, tangga lain berada seratus meter dari sini, dan nanti letaknya jauh dari kelas kita," kata Alice.

"Yah, aku juga tidak terlalu mengerti..." kata Echo. Dia menatap kembarannya, Zwei. "Bagaimana denganmu?" tanyanya. Zwei mengangkat bahunya.

"Yah, yang kutahu, tangga ini berhantu..." Zwei menatap tangga itu. "Anak tangganya ada dua belas, tapi konon begitu petang menjelang, dan hari menjadi gelap, anak tangganya bertambah menjadi tiga belas. Dan di anak tangga ke tiga belas..." Zwei tidak melanjutkan ucapannya.

"Ada apa?" tanya Alice. Zwei menggeleng. "Tidak ada yang menceritakan sampai ke situ, tapi konon jika menaiki tangga ini, dan begitu dihitung jumlah anak tangganya ada tiga belas, maka orang tersebut akan mengalami hal yang tidak mengenakan..." kata Zwei.

"Tapi itu cuma cerita yang dibuat-buat oleh orang... Tapi biar begitu pun, tetap tidak ada yang mau menaiki tangga ini..." kata Echo. Dia kembali melanjutkan perjalanan, disusul oleh Zwei. Sementara Alice tetap diam sambil memandang tangga tersebut.

"Diantara semuanya, kau yang paling ironis..." desisnya. Alice lalu berlari kecil, menyusul Zwei dan Echo.

.

24 April, 11.15. Jam Pelajaran ketiga, Ruang Kelas 2-C.

Guru serba hitam itu—Gilbert Nightray—menjelaskan pelajaran di depan kelas. Sementara yang lain memperhatikan pelajaran—atau mungkin memperhatikan gurunya?-, Jack menaruh buku di depan mukanya, seolah-olah sedang membaca, tapi pada aslinya dia tidur.

"Hei, Jack..." Alice memukul pelan pundak Jack dengan pulpennya.

Jack tersadar, lalu berbalik, "Kenapa?"

"Kau tahu tangga yang ada di dekat ruang guru?" bisik Alice.

"Oh, tangga itu? Ya, aku tahu. Kenapa?"

"Katanya tangga itu berhantu, ya? Memangnya sudah pernah kejadian?" tanya Alice.

"Berhantu atau tidak, aku tidak tahu pasti. Tapi dulu kakekku pernah bercerita, ada teman sekelasnya yang menaiki tangga itu setelah senja, dan besoknya dia hilang. Dan ditemukan mayat seorang anak perempuan di anak tangga teratas..." kata Jack. Alice mengerutkan dahinya, "Anak perempuan?"

"Sahabat baik dari teman kakekku. Yah, tapi itu cerita lama. Sudah lima puluh tahun yang lalu," kata Jack sambil memasang tampang tidak terlalu tertarik. Memang, baginya mitos-mitos seperti itu tidak bisa dipercaya. Jack kembali ke posisi duduk awalnya, begitu pula dengan Alice. Namun, Jack merasakan ada sesuatu yang aneh. Jack sudah lupa semua cerita kakeknya sejak berusia sepuluh tahun, tapi kenapa setelah enam tahun berlalu, dia tiba-tiba bisa mengingatnya?

'Kenapa begitu aku melihat Alice, aku langsung mengingat cerita kakekku?' batinnya.

.

24 April, 12.15. Jam Istirahat ketiga, atap.

"Oz, apa kau ingat cerita kakek tentang sekolah ini dulu?" tanya Jack di sela-sela jam istirahat ketiga—sekaligus jam makan siang-.

Oz nampak berfikir, "Tidak terlalu ingat. Kenapa?" tanya Oz balik.

"Apa dia sempat menyinggung soal perempuan?"

"Sering. Kau fikir darimana kita dapatkan jiwa 'host club' kalau bukan darinya?" kata Oz. Jack memukul kepala Oz pelan.

"Jangan bercanda, Oz!" katanya. Oz terkekeh, "Maaf, maaf. Yah, kalau tidak salah ada satu yang kuingat. Soalnya menurut deskripsi kakek, perempuan itu paling mencolok..." kata Oz sambil mengurut dagunya, berfikir.

"Memangnya kenapa, Jack?" tanya Oz. Jack menggeleng pelan, "Tidak. Hanya saja, aku merasa... Alice, dia terasa sangat familiar," kata Jack.

"Cih, sindrom 'love at the first sight'. Dasar penganut roman picisan," sindir Oz sambil tertawa, memasang tampang tidak berdosa meskipun Jack sudah melancarkan death glare-nya.

"Tapi perlu kuakui, aku juga merasakan hal yang sama,"

.

"Hei, oyajii. Kau ini mau cerita horror atau menceritakan kisah kasih di sekolah?"

"Cerita horror, kan? Kalian sendiri yang minta..."

"Jack yang minta. Aku sih cuma mengiyakan saja,"

"Tapi kau juga tertarik kan, Oz?"

"Sudah, sudah. Aku akan menceritakan kisah horror di sekolahku dulu,"

"Terus perempuan itu?"

"Dia adalah pemeran utamanya, Jack"

.

24 April, 12.15. Jam Istirahat ketiga, koridor lantai dua.

Tap, tap. Alice berhenti di anak tangga teratas. Dia terdiam sambil terus memandang tempatnya berpijak.

"Kau menyadarinya, ya?" gumamnya.

"Alice!" Alice tersentak saat mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh ke arah suara, menemukan Zwei dan Echo sedang berjalan ke arahnya.

"Hai, Echo, Zwei!" sapa Alice.

"Hai, Alice!" balas Zwei.

"Apa yang kau lakukan di depan tangga ini?" tanya Echo.

"Kau naik ke atas dengan tangga ini?" tanya Zwei. Alice menggeleng. "Aku cuma kebetulan berhenti di depan tangga ini..." kata Alice.

"Ngomong-ngomong, kalian berdua selalu bersama, ya?" Alice tersenyum.

Zwei langsung memeluk Echo. "Tentu saja! Kami kan kembar! Aku sangat menyayangi Echo, bagiku, dia adalah orang yang paling penting!" kata Zwei. Mendengar itu, muka Echo memerah. "Zw...Zwei?"

"Jiwa kami saling terhubung, jika salah satu dari kami tersakiti, maka kami berdua akan saling membagi kesedihan kami, karena itu aku sangat menyayangi Echo. Dia seperti separuh dari jiwaku. Echo, kau juga kan?" kata Zwei. Echo blushing, dia mengalihkan matanya. "Ya, tentu saja..." ucapnya pelan dan agak malu-malu.

"Ikatan kalian berdua kuat sekali..." kata Alice.

"Kami tidak terpisahkan!" kata Zwei sambil tersenyum.

.

24 April, 18.15. Jam Pulang, Lantai tiga.

Hari sudah menunjukkan pukul enam sore—bahkan lewat-. Seharusnya, semua murid sudah pulang, kecuali yang ada keigiatan eskul yang dijadwalkan malam. Salah satunya adalah Echo. Karena itu, Zwei selalu pulang terlebih dahulu dari Echo.

Dan hari ini pun, Echo pulang malam. Dia baru saja menutup pintu klub, dan telepon genggamnya berdering.

"Halo, ibu? Kenapa?" Echo terdiam sejenak, mendengar orang di seberang telepon berbicara. Tiba-tiba saja matanya membelak kaget.

"Zwei belum pulang?"

.

Kami berdua adalah kembar.

Dilahirkan dari rahim yang sama, pada waktu yang sama.

Ikatan kami lebih kuat dari siapapun.

Oleh karena itu, kami berdua tidak terpisahkan.

.

24 April, 18.30. Jam Pulang, Lantai satu.

"Alice?" Jack agak terkejut saat melihat Alice duduk di jendela yang ada di depan pintu ruang klubnya.

"Hai, Jack! Mau pulang bersama?" tanya Alice. Muka Jack memerah, akhirnya ada juga perempuan yang meresponnya.

"Tentu saja. Tapi kenapa kau mau menunggu disini? Sudah tidak ada orang lain lagi di sekolah..." kata Jack sambil memandang arloji digitalnya.

"Soalnya, kalau tidak pulang bersamamu, tidak akan ada artinya..." Alice tersenyum polos. Jack mengerjap, tidak mengerti.

.

24 April, 18.45. Jam Pulang, koridor lantai satu.

Echo mempercepat derap langkahnya, terlihat di wajah minim ekspresinya sedikit kekhawatiran, meski pada dasarnya dia sangat khawatir.

Tap, tap.

Terdengar bunyi langkah seseorang. Echo berhenti, memandang ke arah suara. Suara tersebut berasal dari tangga yang ada di dekat ruang guru. Di anak tangga teratas.

"Zwei?" panggil Echo ragu-ragu. Tidak ada jawaban.

Echo mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, dia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menaiki anak tangga tersebut.

.

Di anak tangga pertama, kau memiliki semua keberanian

Di anak tangga kedua, kau tahu bahwa yang kau cintai ada disana

Di anak tangga ketiga, kau akan mengingat sesuatu yang sudah lama kau lupakan

Di anak tangga keempat, kau menyadari kalau sebenarnya nyali adalah sesuatu yang tidak kau punya

.

Di anak tangga kelima, kau sempat berhenti, tapi kau naik lagi

Di anak tangga keenam, kau merasa menyesal untuk melanjutkan ini

Di anak tangga ketujuh, kau telah menempuh setengah perjalanannmu

Di anak tangga kedelapan, bayangan orang yang kau cintai muncul di hadapanmu

.

Di anak tangga kesembilan, kau mempercepat langkahmu

Di anak tangga kesepuluh, kau tersenyum lega

Di anak tangga kesebelas, senyummu hilang, semua terasa semu

Di anak tangga kedua belas, kau berhenti, seolah nyawamu ditarik paksa dari raga

.

Di anak tangga ketiga belas...

.

"Zwei?" Echo mundur beberapa langkah dan menabrak dinding. Di hadapannya, Zwei tergeletak tidak bernyawa, darah menggenang, mengalir di sepanjang anak tangga.

.

Konon begitu petang menjelang, dan hari menjadi gelap, anak tangganya bertambah menjadi tiga belas. Dan di anak tangga ke tiga belas, orang yang menaiki tangga itu akan melihat mayat dari orang yang paling berharga baginya.

.

Tubuh Echo bergetar hebat, dia merasa sangat syok. Air matanya-pun tumpah. Orang yang paling berharga baginya kini hanya tinggal tubuh tak bernyawa di hadapannya.

Ya, mereka tidak terpisahkan.

"Eh?" Echo membelak kaget. Tubuhnya mati rasa, dia tidak dapat melakukan apapun, seluruh inderanya seolah lumpuh saat tangan dingin Zwei menggenggam kakinya.

.

Kami tidak terpisahkan

.

24 April, 18.50. Jam Pulang, koridor lantai satu.

Alice menepuk dahinya, "Celaka, bukuku masih tertinggal di kelas!" kata Alice.

"Kalau begitu, ayo kita ambil..." kata Jack. Alice mengangguk, lalu mereka berdua berjalan menelusuri lorong sekolah yang gelap. Melewati tangga di dekat ruang guru.

"Kalau dilihat malam hari seram juga..." kata Jack sambil tertawa kecil. Alice tersenyum, lalu mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan menuju tangga yang satunya lagi.

.

Jack dan Alice berada di lantai dua, tempat kelas mereka berada. Jika mereka mau menuju kelas, mereka pasti melewati tangga yang tadi.

'Aku yakin, aku tahu siapa perempuan ini...' batin Jack sambil terus memandang Alice. Mereka berdua terus berjalan, hingga akhirnya Alice tiba-tiba berhenti.

"Jack..."desisnya. Jack menoleh, betapa kagetnya dia saat menemukan mayat Zwei disana.

"Zwei!" Jack berteriak, tidak percaya.

"Jack! Panggilkan penjaga sekolah!" kata Alice.

"Bagaimana denganmu?" tanya Jack.

"Aku akan menunggu disini. Jangan khawatir!" kata Alice. Meski ragu, Jack hanya mengiyakan saja dan berlari sekuatnya menuju ruangan penjaga sekolah.

.

Ya, aku yakin bahwa aku tahu siapa Alice.

Sangat mengenalnya.

Tapi, tidak pernah bertatap muka.

.

Lampu di koridor lantai dua dinyalakan. Polisi-polisi dan orang-orang dari rumah sakit datang beramai-ramai. Disana hanya ada mayat dari Zwei, tidak ada yang lain.

"Kenapa...?" desis Jack. Alice menggeleng, "Tidak ada yang tahu, Jack?" ucapnya pelan. Tiba-tiba saja, telepon genggam Jack berbunyi, ada email dari Oz. Jack membacanya dengan seksama.

"Kenapa, Jack?" tanya Alice.

"Oz bertanya, apakah ada Zwei dan Echo di sekolah? Ibu mereka tadi menelepon Oz, katanya mereka berdua belum pulang..." kata Jack.

Mata Alice membulat, "Lalu, dimana Echo?"

.

25 April, 10.15. Jam Istirahat pertama, koridor lantai satu.

"Echo hilang, tidak ditemukan di manapun..." kata Jack. Alice menghela nafas berat sambil terus bersender di pilar tangga yang menjadi saksi bisu kematian Zwei.

"Terjadi lagi, ya? Seperti cerita kakekmu..." kata Alice sambil tersenyum tipis. Jack mengangguk, dia terus memandangi Alice. Seolah masih belum puas jika belum mengetahui siapa sebenarnya gadis ini.

.

"Dia pemeran utamanya,"

.

Ya, aku ingat! Alice... Alice adalah...

Gadis yang ada di cerita kakekku.

.

"Dulu, ada seorang anak perempuan. Dia sangat cantik. Rambutnya seputih salju, mata beningnya berwarna ungu, dia persis seperti boneka. Dia bercahaya, namun itu bukan cahaya yang berasal dari 'dunia ini'. Pada akhir dari kisah ini, dia akhirnya memberitahukanku siapa sebenarnya dirinya. Dia adalah..."

.

"Jack?" panggil Alice. Jack tersentak kaget.

"Kau kenapa?"

Jack menggeleng pelan, "Bukan apa-apa," kata Jack. Dia tersenyum, lalu meninggalkan Alice sendirian.

.

Tap.

Alice menaiki satu anak tangga lalu duduk di tengah-tengahnya.

"Dua jiwa yang terikat, mereka mati dengan cara yang ironis. Usahamu memang untuk menyatukan mereka, tapi mereka tidak akan pernah bertemu di alam sana. Kau tahu? Orang yang terikat di dunia, tidak akan bertemu di alam sana. Kau benar-benar yang paling ironis dari semuanya," gumamnya pelan. Alice tersenyum, lalu berjalan meninggalkkan tangga itu.

.

Terikat sekuat apapun, pasti akan terpisah juga pada akhirnya.

Kau mengetahui bahwa kau tidak akan berhasil,

Tapi kau terus melakukannya.

Karena manusia selalu melawan hukum alam.

.

TBC

.

Ini bikinnya pas mati lampu! Malam-malam pula! XD

Saya berniat membuat fanfic tentang tujuh keajaiban sekolah, dengan pemeran utamanya Will of Abyss dan Jack Vessalius. Jadinya, saya tidak menjamin keselamatan nyawa karakter lain...XD

Disini, nama WoA adalah Alice. Kenapa? Karena secara official, nama Will of Abyss adalah Alice. Saya sih berusaha sebisanya ngikutin versi official. XD

Nah, bagi yang mau melihat aksi dari Alice B-Rabbit, sayang sekali! Alice B-Rabbit tidak akan muncul dalam fanfic ini. Dan bagi pecinta Woa, bergembiralah! *gajelas*

Terinspirasi dari Gakkou Youkai Kikou~you~(The Breathed Demon of School~you~) dan Higanbana no Saku Yoru ni(At Night When The Amaryliss Blooms). Jika kalian sudah pernah membaca manganya, pasti kalian sudah tahu identitas asli dari WoA di fanfic ini.

Yasud, review?

Fujoshi rock!

xoxo

Rin