.

Problematic Boy (Jaemin x Renjun)

BlueBerry's Fanfiction

Don't Like, Don't Read

warning : Seme!Jaemin, ooc, gaje

.

Jaemin menyelesaikan perkelahian dengan hasil, sebut saja kalau dia menang karena Ketua dari kelompok pengecut yang melawan dirinya harus dipapah oleh tiga anak buahnya. Tangan kanan Jaemin menekan lebam di sisi wajahnya dan mendecih sebal, berjalan pelan menuju gerbang utama untuk pulang. Langkah Jaemin terhenti, saat dia menemukan Renjun berdiri sekitar dua meter di hadapannya. Pandangan mereka beradu, entah apa yang dimaksud oleh adu pandang keduanya. Tidak ada kemarahan, tidak ada kesedihan, juga tidak ada kebahagiaan, mereka seperti dua orang asing yang bertemu tanpa sengaja.

Renjun memperhatikan lebam di sisi wajah Jaemin yang baru Pemuda itu dapatkan dari perkelahian beberapa saat sebelumnya, murid pindahan itu memberi isyarat pada Pemuda di hadapannya untuk mendudukkan diri di bangku yang berdekatan dengan posisi mereka. Jaemin menuruti isyarat yang diberikan oleh Renjun tanpa mengatakan apapun, tatapannya tidak lepas dari Renjun yang mendekat dan menghentikan langkah di sisinya. Sadar kalau dirinya diperhatikan oleh Jaemin, Renjun melihat Jaemin dan hanya menemukan pandangan acuh tidak acuhnya yang membuat Renjun kembali pada kesibukan awalnya.

Tas Renjun berada di sebelah Jaemin, sementara sang pemilik mencari obat luka yang selalu dia bawa. Jaemin hanya diam, saat Renjun mulai mengobati luka di wajahnya . . .

"Tidak sakit?" Tanya Renjun yang membuat Jaemin melihat pada mata Renjun, meski Renjun sendiri sibuk memperhatikan lebam di sisi wajah Jaemin yang tengah dia obati

"Tidak" Jaemin membuka mulutnya dengan seringai kecil, tergelitik dengan pertanyaan Renjun. Setiap hari mendapat luka dari perkelahian, membuatnya tidak lagi merasakan sakit (bahkan Jaemin tidak pernah memberi pertanyaan itu pada dirinya sendiri)

"Aku sudah selesai" Renjun merapikan peralatannya, membuang kapas yang sudah dipakai ke tempat sampah dan menutup resleting tas ranselnya

"Kau baru selesai melakukan latihan dengan Klub Vokal?" Jaemin bertanya tanpa mengubah posisi, memperhatikan Renjun yang sedang mengenakan tasnya

"Iya. Kau juga, baru selesai berkelahi?" Itu bukan pertanyaan sarkastik yang bermaksud mengejek, atau apapun itu. Siapapun sudah mengetahui dan menyerah untuk menghadapi kekeraskepalaan Jaemin, yang sering menyelesaikan masalah dengan berkelahi

"Hm, kau bisa melihatnya" Tangan Jaemin membenarkan tali ransel di bahu kirinya, saat dia bangkit dari posisi duduk. Posisi Jaemin berhadapan dengan Renjun, walau bukan posisi terlampau dekat yang membuatnya mengetahui wangi rambut Renjun

"Sangat jelas" Renjun melihat wajah Jaemin yang selalu dihiasi lebam setiap mereka bertemu. Kalaupun ada lebam yang memudar, Renjun tidak sempat memperhatikan karena ada luka lain yang membuat Renjun mengeluarkan obat merahnya untuk menghindari infeksi dari lebam atau luka akibat perkelahian Pemuda asli Korea itu

"Aku akan kembali, beberapa hari lagi" Jaemin tidak memiliki rencana pergi ke tempat lain, maksud perkataannya adalah kembali bertemu dengan Renjun dalam situasi ini (dia selesai berkelahi dan Renjun mengobati lukanya)

"Terserah padamu" Renjun bicara tanpa melihat Jaemin, tidak memperlihatkan sorot bosan juga lelahnya. Ada dua alasan yang membuat Renjun tidak mengatakan, 'jangan berkelahi lagi'. Alasan pertama, sudah disebutkan kalau Jaemin terlalu keras kepala untuk dinasehati. Dan, alasan lainnya adalah dia bukan siapa-siapa bagi Jaemin, bahkan mereka bukan teman satu kelas

"Sampai jumpa" Sebelah tangan Jaemin terangkat, memberi gerakan pendukung untuk perkataan yang dia lontarkan

"Eung, sampai jumpa" Balas Renjun dengan suara halus, menjadi pihak yang lebih dulu beranjak dari tempat itu. Kalau ada yang menanyakan kenapa Renjun tidak pernah mengusir Jaemin, Renjun hanya mengatakan kalau itu adalah hal tidak mungkin karena dia yang pertama mendekati Jaemin. Kalau ditanyakan apa alasan dia mendekati Jaemin, Renjun hanya diam dan tersenyum kecil. Sebenarnya, Renjun bukan orang dengan tingkat kepedulian terlampau tinggi, biasanya dia memberi bantuan jika ada orang yang meminta tolong padanya.

Tidak ada yang mengetahui sedari kapan berkelahi menjadi bagian dari kehidupan Jaemin, tidak ada yang mengetahui sedari kapan Renjun rutin menemuinya dekat gerbang usai Jaemin berkelahi, semua berjalan begitu saja seolah Jaemin dan Renjun memiliki keterkaitan. Jaemin tidak memiliki jadwal tetap untuk melakukan perkelahian, tapi setiap dia menyelesaikan perkelahian, dia menemukan Renjun di dekat gerbang dengan ransel berisi peralatan sekolah juga obat merah yang digunakan untuk mengobati dirinya.

.

Pribadi Jaemin dikenal sebagai anak yang penuh semangat dan memiliki senyum menggemas kan, hingga orangtuanya memutuskan berpisah dan sibuk mengurus bisnis yang dijalankan oleh masing-masing. Jaemin yang berusia empat belas tahun saat orangtuanya berpisah berusaha memahami keadaan, bualan ayahnya mengenai kunjungan tiap bulan membuat Jaemin tidak bersedih dengan larut. Sulit menemukan senyuman Jaemin saat dia melewati tiga bulan tanpa kunjungan ayah atau perhatian Ibu, mengubah sosok Jaemin menjadi sosok tertutup secara drastis. Jaemin mengikuti cara orangtuanya untuk melupakan masalah dengan menyibukkan diri di bulan berikutnya, hingga dia jatuh sakit.

Jaemin tidak bisa tidak merasa senang dengan perhatian yang diberikan oleh orangtuanya selama dia menerima perawatan intensif, tapi dia menghentikan diri dari banyak kegiatan yang dia anggap terlalu mengekang. Satu waktu dia terlibat perkelahian dengan seseorang dari kelas sebelah dan kembali membutuhkan perawatan, Ibunya hendak mengomelinya saat ayah mengatakan kalau 'itu wajar untuk remaja laki-laki'. Jaemin mengingat saat itu sebagai awal dirinya melakukan perkelahian, mencari pelampiasan dari rasa kecewanya tanpa dipermasalahkan oleh orangtuanya selama dia mengikuti kegiatan sekolah dengan baik dan memiliki nilai yang baik pula.

Kesadaran Jaemin mulai terkumpul, saat dia merasakan seseorang sedang mengobati luka di tangannya. Maniknya terbuka secara perlahan dan menemukan ruang kamar yang tidak didominasi dengan warna putih, tentu ini bukan kamar rawat di rumah sakit . . .

"Renjun?" Gumam Jaemin, mengingat tempat ini sebagai kamar tidur milik Renjun karena saat ini bukan pertama kalinya dia sadarkan di ruangan ini usai perkelahian hebat

"Iya. Aku tidak bisa membawamu ke Rumah Sakit, ini akhir bulan" Renjun menjelaskan tanpa memindahkan fokusnya dari kegiatan mengobati luka di tubuh Jaemin. Jaemin hanya mengangguk kecil sebagai tanda dia mengerti, setelahnya dia memperhatikan ekspresi serius Renjun

"Kenapa kau masih berada di sekolah?" Tanya Jaemin, mengingat hari ini bukanlah jadwal latihan Klub Vokal dan tidak ada kompetisi tertentu yang membuat para anggota memerlukan latihan hingga menetap lebih lama di sekolah. Renjun melihat sebentar padanya dan menarik sudut bibirnya dengan tipis

"Bisakah kukatakan, ini semacam insting?" Jawab Renjun, menjelaskan kalau seringai tipisnya dikarenakan pemikiran konyol itu. Renjun merapikan peralatan yang selesai dia gunakan untuk mengobati luka Jaemin, menyimpannya pada sisi lemari pakaian yang beralih fungsi menjadi ruang sempit serbaguna bagi Pemuda Tiongkok itu

"Insting?" Jaemin membentuk seringai yang lebih lebar dari Renjun, tergelitik karena mendengar ucapan Renjun yang seolah menggambarkan dirinya dan Renjun memiliki keterkaitan

"Makan?" Renjun memiliki kefasihan untuk berbicara dengan Bahasa Korea, tapi dia dan Jaemin hanya memiliki pembicaraan dengan kata yang singkat

"Aku tidak menolak" Jaemin menyetujui, maniknya mengikuti pergerakan Renjun yang meraih kotak makanan dengan logo rumah makan cepat saji

"Luka di bagian wajahmu tidak terlalu parah, jadi aku tidak perlu membelikan makanan lembut untukmu" Renjun berucap dengan tenang, selagi dia menaruh kotak makanan yang dipegang olehnya ke sisi Jaemin

"Hm" Deham singkat Jaemin memberi tanda kalau dia tidak mempermasalahkan, membuat Renjun leluasa mengambil langkah menuju meja belajar dan menjadi sibuk mengerjakan tugas sekolah karena tidak ingin mengganggu waktu makan Jaemin

"Aku berharap, aku memiliki insting baik sepertimu" Jaemin mengujar di tengah kegiatan makannya, Renjun menggerakkan pulpen tanpa memindahkan fokus dari tugas sekolahnya pada Pemuda yang masih menempatkan diri di tempat tidurnya

"Makanan akan terserap lebih baik, kalau kau mengunyahnya dalam waktu lama dan menjadi halus. Jangan menelan makananmu begitu saja" Nasihat Renjun tanpa melirik pada Jaemin, membuat Jaemin mendecak sebal. Jaemin bukan orang yang senang meminta perhatian orang lain, tapi melakukan pembicaraan dengan melihat punggung lawan bicara membuatnya sebal

"Aku tidak senang diatur" Balas Jaemin dengan sikap keras kepalanya, meski dia memperlamban kunyahan dan menelan setelah dia merasa makanannya sudah halus. Renjun tidak mempedulikan protes yang dilontarkan oleh Jaemin, hanya mengangkat bahu dan fokus menyelesaikan tugas

"Kau berada di rumahku saat ini. Selama kau ada di tempatku, kau harus mendengar dan menuruti perkataanku" Renjun bukan orang yang senang memaksakan keinginan atau sekedar memerintah orang lain, tapi Jaemin menjadi pengecualian kelihatannya. Renjun sering memerintah Jaemin, membuat Jaemin menurut hanya dengan tatapan matanya (Renjun bukan orang yang bersikap sok tahu terhadapnya dan melarangnya berkelahi, dan Jaemin pikir tidak masalah untuk menuruti permintaan kecilnya)

"Hm, aku mengerti" Sama seperti Jaemin adalah pengecualian bagi Renjun, Renjun sendiri bisa disebut sebagai pengecualian, meski Jaemin merasa kelonggaran adalah sebutan yang lebih tepat. Jaemin tidak akan bersikap lemah pada Renjun, tapi ada kalanya dia merasa berterima kasih pada Renjun dan membiarkan Renjun memerintah dirinya

"Apa kau tidak memiliki pekerjaan rumah yang harus dikerjakan?" Tanya Renjun masih tanpa mengalihkan pandangannya, sibuk membalik halaman buku pelajaran untuk menyelesaikan tugas yang rasanya tidak pernah habis. Perkataan Renjun, dengan halus dan secara tidak langsung, mengatakan kalau dia ingin Jaemin segera pulang

"Iya, tentu saja" Harga diri Jaemin terlalu tinggi untuk meminta agar dirinya dibiarkan menetap lebih lama di tempat ini, jadi Jaemin beranjak setelah dia membersihkan kotak makanan yang diberi kan Renjun sebelum Pemuda itu fokus mengerjakan tugas

"Tas milikku?" Pertama kali dari saat Renjun membuka buku catatannya, Pemuda marga Huang itu mengalihkan atensi pada Jaemin yang memberi pertanyaan

"Kasur" Telunjuk Renjun mengarah pada kasur yang sebelumnya ditempati oleh Jaemin, pada bagian kaki kasur dimana tas ransel milik Jaemin berada

"Baiklah" Jaemin melepas fokusnya dari Renjun selama beberapa detik untuk mengambil tasnya, dan Pemuda itu mengernyitkan dahi demi menyelesaikan tugas saat Jaemin kembali melihatnya. Tangan Jaemin membenarkan posisi tali tas yang berada di bahu kirinya, matanya memperhatikan ekspresi serius dari Renjun yang mengerjakan tugas

"Ada apa?" Tanya Renjun, menyadari kalau Jaemin melekatkan perhatian padanya sedari tadi. Renjun tidak mengalihkan pandangan pada si pemilik marga Lee, tapi mungkin saja tatapan Jaemin membuatnya merasa terganggu dan tidak nyaman

"Aku pulang" Enggan membuat Renjun merasa terganggu dalam waktu yang lebih lama, Jaemin melontarkan ucapan pamit selagi dia berjalan menuju pintu utama

"Iya, hati-hati" Kalau ada tukang jajanan atau tetangga berisik yang mengganggu, tentu Jaemin akan melewatkan ucapan Renjun. Hanya gumaman kecil yang dia dengar dengan samar, tapi Jaemin tahu Renjun peduli padanya.

'Blam' Renjun berhenti memandangi deretan huruf dengan istilah rumit di bukunya, saat Jaemin menutup pintu. Renjun melihat pintu yang tertutup rapat juga menyadari mantel kelebihan ukuran yang dia letakkan di dekat pintu sudah tidak ada, kepalanya mengangguk paham kalau Jaemin yang mengambil dan memakainya karena seragam sekolah terlalu tipis untuk menangkal udara malam yang dingin.

.

Renjun dengan kegiatan menggambar di waktu istirahat adalah dua hal yang sulit dipisahkan, tidak berbeda dari Haechan yang mengantri menu enak atau Jeno yang melakukan adu basket dengan para senior. Beberapa orang menganggap kalau buku gambar yang menerus dibawa Renjun membuatnya lucu dan konyol, dan beberapa orang lain mengatakan kalau usia Renjun sudah terlalu dewasa untuk menyibukkan diri dengan buku gambar daripada memikirkan menu makan siang. Hanya satu orang di lingkungan sekolah yang mengomentari gambar Renjun dengan perkataan baik, mudah ditebak kalau Jaemin adalah satu-satunya orang itu.

Hari pertama Renjun berada di sekolah ini, dia mempelajari nama murid bermasalah untuk menghindari perkara rumit yang membuat orangtuanya harus terbang dari Tiongkok. Nama Jaemin populer dan sering disebut sebagai anak pintar namun senang melakukan perkelahian, Renjun pikir kalau tipe orang yang senang memukuli orang lain adalah paling buruk (lebih daripada memiliki nilai merah dan sering membolos). Pekan kedua, Renjun bertemu dengan Jaemin di atap sekolah dan menjatuhkan buku gambarnya saat dia hendak pergi, Jaemin melihat sebentar dan mengatakan kalau gambar di bukunya bagus sebelum Pemuda marga Na itu berlalu pergi.

Malas untuk menggerakkan tungkainya demi mencari tempat berpemandangan menarik, Renjun memulai kegiatan menggambar diantara keriuhan beberapa murid yang juga memutuskan tinggal di kelas dan melakukan kegiatan masing-masing . . .

"Jaemin tidak masuk hari ini, kata temanku yang sekelas dengannya" Renjun mendengar apa yang murid perempuan di dua baris belakangnya katakan, meski tatapannya hanya mengarah pada lengkung garis yang dia buat di buku gambar

"Sungguh? Kurasa, perkelahiannya kemarin sangat parah" Sahut teman sebangku murid perempuan itu. Awalnya dia merasa sulit memecah konsentrasi, tapi lama kelamaan Renjun terbiasa membagi konsentrasi antara menyelesaikan gambar juga mendengar apa yang orang lain bicarakan mengenai Jaemin. Renjun tidak menyukai kegiatan menguping, tapi dua murid perempuan tadi berada di posisi berdekatan dengannya hingga dia tidak bisa mengacuhkan percakapan mereka

"Ini bukan hal baru, sebenarnya. Dia selalu absen paling tidak sepekan dalam satu bulan" Gadis pertama kembali berbicara. Renjun masih menggerakkan pensil, selagi dia membenarkan dalam hati kalau saat dimana Jaemin membolos selalu terjadi setiap bulan

'Tuk' Pensilnya memberi satu ketukan pada meja, saat dia menghentikan tarian alat gambarnya itu selagi dia serius menyegarkan memorinya mengenai bulan ini

"Biasanya dia hanya absen satu pekan penuh, bukan dua kali. Bulan ini dia melakukan absen dua kali, ini tidak seperti biasa" Ah benar, Jaemin sudah melakukan absen di awal bulan ini. Dua pekan lalu dia tidak memasuki sekolah selama lima hari berturut, dan hari ini dia absen lagi?

"Ah, tapi aku lebih khawatir pada Senior Jihoon" Gadis itu mengubah bahan pembicaraan, meski dua hal ini memiliki sambungan karena lawan kelahi Jaemin kemarin adalah Senior Jihoon. Senior yang di kenal ramah dan menyenangkan pada adik kelas, meski tentunya dia pernah berkelahi atau melakukan kenakalan lainnya. Renjun tidak mengerti bagaimana murid lain mengetahuinya, dia sendiri tidak bertanya pada Jaemin yang dipapah oleh Jeno dan diantar ke Rumah Sakit oleh Pemuda marga Lee itu

"Kau tidak ingin menjenguknya, Renjun?" Pensil Renjun membentur meja saat Pemuda marga Huang itu tersentak dengan suara yang begitu dekat dengannya, menyadari kalau seseorang bicara padanya. Renjun mengangkat pandangannya dan memberikan senyum, itu adalah ekspresi Renjun yang sering dia perlihatkan pada orang lain, entah saat dia memang ingin tersenyum atau saat dia berusaha menyembunyikan sesuatu

"Siapa yang perlu kujenguk, Jeno?" Renjun bertanya dengan nada ringan, seringan gula kapas. Karakter Renjun memang seperti itu, dia pandai bersikap bahwa segalanya baik-baik saja dan membuatnya seolah tidak memiliki kesulitan apapun

"Na Jae Min, tentu saja" Tahu kalau Renjun sebenarnya mengerti, Jeno menjawab pertanyaan Renjun dengan nada ringan yang sama. Jeno merasa sulit melakukannya, karena rasa kesal terhadap Renjun yang bersikap tidak khawatir juga berpura tidak tahu. Jeno tahu pada awalnya Renjun dan Jaemin sering bertemu tanpa kesengajaan dan banyak pertemuan mereka tidak memiliki kesan istimewa, tapi sekarang Renjun sungguhan menaruh perhatian lebih pada Jaemin

"Kenapa aku harus menjenguknya?" Bagi Renjun, dia tidak memiliki keistimewaan untuk melakukan hal semacam itu. Renjun bukan pasangan yang leluasa mencemaskan keadaan Jaemin, bukan pula teman sekelas yang merasa kehilangan saat Jaemin absen, bukan juga musuhnya yang tidak memiliki kegiatan selama Jaemin tidak masuk. Rasanya, tidak ada alasan Renjun untuk menjenguk Pemuda dengan hobi berkelahi itu

"Hei! Si Jaemin tidak memiliki pasangan, tidak ada teman sekelas yang dekat dengannya, dan musuhnya tentu bahagia saat mengetahui dia sakit. Karena tidak ada yang menjenguknya, maka kau yang menjenguknya saja" Kata Jeno, menyahuti apa yang dipikirkan oleh Renjun. Renjun tidak suka fakta bahwa orangtuanya dan orangtua Jeno berteman hingga Jeno mengetahui banyak hal darinya, bahkan menurut Renjun dia mengetahui terlalu banyak

"Kenapa bukan kau?" Tanya Renjun seraya merapikan peralatan menggambarnya, tidak lagi memiliki keinginan menyelesaikan gambar di dalam ruang kelasnya dan memutuskan untuk mencari tempat lain

"Aku memiliki janji kencan dengan Haechan" Jawab Jeno, tidak meninggalkan sisi Renjun meski Pemuda Huang itu memperlihatkan ekspresi enggan padanya

"Kau bisa menjenguknya di hari lain" Renjun tidak menemukan tanda kalau Jeno akan mengganti bahan pembicaraan ini, membuat Renjun beranjak dari posisi duduknya

"Apa masalahnya, kalau kau menjenguk Jaemin?" Jeno belum menyerah untuk memberi alasan kalau Renjun harus menjenguk Jaemin, Pemuda marga Lee itu mengikuti langkah Pemuda marga Huang yang keluar dari kelas

"Serius, Jeno. Kau bisa menjenguknya sendiri kan?" Renjun melontarkan tanya dengan ekspresi masam yang tidak kentara, tapi Jeno sudah mengenalnya dalam waktu lama hingga dia mengetahui kekesalan Renjun tanpa perlu dikatakan secara jelas

"Iya, aku bisa. Tapi, kenapa kau tidak ingin menjenguk Jaemin?" Jeno bertanya, Renjun mengernyit karena tidak menyenangi topik pembicaraan. Pasang kaki Renjun ingin melangkah meninggalkan Jeno, saat Jeno mengambil buku gambar miliknya terlebih dahulu

"Kembalikan" Pinta Renjun seraya menengadahkan tangan, menggunakan gerakan meminta yang biasa dilakukan oleh anak kecil. Seperti dikatakan, Renjun dengan kegiatan menggambar tidak bisa dipisahkan

"Jawab pertanyaanku dulu" Pemuda dengan marga Lee itu mengajukan syarat, tangannya terangkat tinggi untuk memastikan kalau Renjun tidak mengambil dengan mudah darinya. Renjun menghela nafas dengan kasar, tidak ingin menjawab karena jawabannya sangat memalukan. Ekspresi Jeno serius saat Renjun meliriknya, melihat wajahnya saja Renjun tahu kalau dia tidak bisa mendapat buku gambarnya hingga dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan Jeno

"Aku tidak ingin melihat Jaemin sakit" Renjun memberi jawaban, menghindari kontak mata dengan Jeno yang berada di depannya. Suasana koridor sedang ramai, tapi semua orang sibuk dengan urusan sendiri hingga tidak menambah rasa canggung Renjun

"Kalau dia tidak menghadiri sekolah, bukankah itu artinya dia terluka parah? Kupikir, aku tidak bisa melihatnya dalam keadaan seperti itu. Jangan lagi memaksaku untuk menjenguknya, Jeno, aku tidak bisa" Renjun tahu dan paham dengan baik, dia tidak memiliki hubungan dengan Jaemin. Renjun tidak memiliki hak untuk merasa sakit atas luka yang dialami Jaemin, tidak memiliki hak untuk merasa sedih atas absennya Jaemin. Tapi Renjun tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, bagaimana dia menanti Jaemin dengan cemas saat perasaan buruk menghampirinya, bagaimana dia menahan nafas saat dia melihat Jaemin yang setengah sadar sebelum membawanya ke Rumah Sakit atau rumahnya, bagaimana dia mencuri waktu untuk melihat Jaemin di tengah kegiatan mereka yang berbeda

"Baik, aku mengerti" Jeno menghembuskan nafas dengan perlahan, mengulurkan tangannya untuk mengembalikan buku gambar milik Renjun pada sang empunya. Renjun menerimanya dan memberi senyum sebagai pengganti ucapan terima kasih, sebelum dia berlalu menuju tempat lain. Sudah lama Jeno mengenal Renjun, tapi dia masih tidak mengerti bagaimana Renjun tersenyum dengan mudah –walau dia tahu itu tidak tulus– setelah mengatakan kesedihannya.

.~~~KKEUT~~~.

Hai, rasanya udah lama banget aku ngga nulis fanfic dengan pemain NCT Dream. Ceritanya aku nemuin flashdisk isi beberapa fanfic yang udah aku tulis dua tahun lalu pas lagi ngeberesin rumah, dan lagi pengen nulis JaemRen tapi idenya mentok terus (maaf buat pair lamanya, yang kuganti gitu aja). Aku masih ngeship NoRen (makanya Jeno kuselipin) juga MarkMin, tapi momen JaemRen mengguncang aku terlalu kuat. Tolong, tatapan Jaemin ke Renjun tuh dikondisikan, aku yang ambyar nih. Maaf, buat yang ngga suka sama pair ini. Makasih, buat yang udah baca fanfic ini. Aku tahu masih banyak kesalahan dan kekurangan, jadi silahkan review ^v^

(Cerita ini harusnya oneshoot, tapi ternyata perlu perubahan untuk menyesuaikan pergantian pemain dan rasanya akan terlalu panjang kalo bagiannya dijadikan satu. Aku usahakan bagian keduanya segera dirampungkan pengeditannya)