The Legend of Arx
Suasana remang nan mencekam tak menyurutkan niat sesosok laki-laki berjubah ungu panjang yang sedang berjalan terburu-buru menelusuri lorong kastil. Lorong kastil itu hanya berpenerangan obor yang menempel di dinding batu tuanya di setiap jarak dua meter. Ketergesaan dan kepanikan jelas terpancar dari wajahnya. Namun, sosok itu malah menyunggingkan sebuah senyum bangga. Tuannya pasti akan senang mendengar berita yang ia bawa.
Sosok itu hendak mengetuk pintu sebagai izin ingin masuk sesampainya ia di depan pintu kayu ganda besar yang membatasinya dengan sebuah ruagan yang ia tuju, namun, sang tuan, yang ada di dalamnya, seolah telah mengetahui kehadirannya dan sudah lebih dulu meyuruhnya masuk.
"Masuk." Suara serak dan penuh tekanan milik sang tuan agak mengintimidasinya.
"Terima kasih, Tuan." Sosok itu membungkuk. Ia sendiri heran kenapa ia bisa sangat sopan di depan tuan yang satu ini. Ia bukanlah tipe orang yang akan dengan mudah tunduk pada orang lain.
"Apa yang membawamu ke sini Casey? Kuharap sesuatu yang penting karena-"
"Pedang Arx telah dicabut dari tempatnya menancap, Tuan." Entah mendapat keberanian dari mana sampai Casey, laki-laki berjubah ungu tadi, berani memotong perkataan tuannya. Sang tuan sendiri tampak tak begitu peduli perkataannya dipotong, walaupun biasanya ia akan sangat marah.
Satu-satunya yang memenuhi pikiran sang tuan sekarang ini adalah berita yang dibawa Casey, mengenai pedang Arx yang telah dicabut dari tempatnya. Kilatan ketakutan sekilas muncul di matanya. Namun, ia segera menyembunyikan itu dengan seringai iblisnya. Tak ada yang boleh tau kalau ia agak takut sekarang.
"Segera siapkan pasukan dan rebut pedang itu dari siapa pun yang berhasil mencabutnya!" Perintah sang tuan.
"Baik, tuan."
"Aku mengandalkanmu Casey."
"Terima kasih, atas kehormatannya…" Casey sekali lagi membungkuk.
"Tuan Sooman."
XXX
Beberapa jam sebelumnya…
Desa Eddenton
"Aiden…"
"Aiden… Bangun, nak." Seorang wanita paruh baya tampak sedang mengguncang-guncang tubuh seorang lelaki muda yang masih terbaring di tempat tidurnya.
Lelaki muda itu merespon dengan membuka matanya perlahan. Ia tahu ibunya yang membangunkan, maka dengan segera ia mengumpulkan kesadarannya, tak ingin membiarkan ibunya menunggu lama.
"Maaf, bu. Apa aku terlambat bangun?" Aiden bangkit sambil mengucek kedua matanya.
Wanita itu menggeleng. "Ibu hanya membangunkanmu karena sarapan sudah siap. Ayo cepat cuci muka dan sarapan."
Aiden mengangguk. Ia segera ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi, seperti biasa setiap pagi. Ia menatap wajah tampannya sendiri di cermin. Melihat sad-eyenya sendiri menatap balik ke arahnya.
"Aku harus berusaha lebih keras hari ini. Membantu lebih banyak orang dan mengumpulkan kayu lebih banyak. Fighting!" Setelahnya ia berkomat-kamit tidak jelas. Satu lagi kebiasaannya di pagi hari. Untuk penyemangat katanya.
Sepeninggal ayah dan kakak laki-lakinya tiga tahun yang lalu, kehidupan Aiden dan ibunya memang tergolong sederhana. Bisa dikatakan mereka miskin, tetapi tidak sampai melarat.
Aiden yang baru berusia 18 tahun itu harus bekerja membanting tulang untuk menghidupi dirinya sendiri juga ibunya. Pekerjaan rutinnya adalah mencari kayu bakar di hutan dengan berbekal sebuah kapak. Ia menebang pohon, memotong-motongnya menjadi lebih kecil, kemudian membawanya untuk dijual di desa. Namun Aiden tahu diri, kalau ia menebang berarti ia harus menanam, maka itulah yang ia lakukan.
Selain menjual kayu bakar untuk mendapat uang, Aiden juga tak segan-segan mencari pekerjaan ke akan bersedia membantu warga desa untuk melakukan apa saja, selama itu baik. Seperti memperbaiki atap bocor, menjadi kuli panggul di pasar, menjadi kurir, bahkan menjaga anak-anak pun ia bisa. Semuanya ia lakukan demi menghasilkan sedikit uang untuk ibunya.
Ibunya, tentu tak tega membiarkan anaknya membanting tulang sendirian, maka ia pun bercocok tanam di sebuah lahan kecil peninggalan suaminya di pinggir hutan.
Mereka berdua, Aiden dan ibunya saling mendukung dan membantu dalam menjalani kehidupan. Mereka hanya memiliki satu sama lain di dunia ini. Maka dari itu, ibunya sangat menyayangi Aiden begitu pun sebaliknya.
Selesai sarapan pagi ini, Aiden segera berpamitan pada ibunya untuk pergi mencari kayu bakar di hutan.
"Pulanglah sebelum makan siang, Aiden. Dan jangan berbuat aneh-aneh di hutan, ibu punya firasat…"
"Firasat apa, bu?" Aiden penasaran karena ibunya tak melanjutkan.
"Ah, tidak, jangan dipikirkan. Sudah sana, hati-hati ya…" Ibunya mendorong Aiden pergi. Aiden hanya tersenyum mendapat dorongan dari ibunya.
Setelah kepergian Aiden, ibunya menghela napas panjang. Bagaimanapun firasat seorang ibu tak bisa diremehkan. Ia merasakan sesuatu yang buruk mungkin akan menimpa Aiden hari ini. Namun, ia tak mau firasat semacam ini menguasainya, apalagi sampai membuat Aiden cemas.
XXX
Sudah beberapa jam sejak Aiden meninggalkan rumahnya. Keringat bercururan membasahi wajah dan tubuhnya. Pekerjaan menebang kayu memang berat, ditambah matahari yang bersinar terik sejak pagi, tapi itu semua tidak menyurutkan semangatnya dalam bekerja. Ia tak pernah sedikit pun mengeluh.
Aiden mendongakkan kepalanya, merasakan panas matahari yang semakin menyengat. Matahari sebentar lagi akan tepat berada di atas kepala. Sudah mendekati waktu makan siang. Ia mempercepat pekerjaannya memotong-motong gelondongan kayu, tak ingin mengecewakan ibunya yang mungkin sedang menunggu di rumah.
Tak lama, semua gelondongan kayu itu sudah berubah menjadi potongan-potongan kayu bakar. Aiden mengikat semuanya menjadi satu dan tengah bersiap memanggulnya di punggung saat mendengar suara lenguhan hewan hutan yang sepertinya sedang dalam bahaya.
Aiden mencari-cari asal suara dan menemukan seekor rusa terjerat sebuah jebakan yang sepertinya sengaja dibuat oleh seseorang.
"Wah, kau terkena jebakan pemburu. Kasihan sekali kau rusa malang." Aiden melihat sekeliling dan tak mendapati seorang pun pemburu yang kemungkinan memasang jebakan itu. Ia berpikir mungkin itu bekas jebakan yang dibuat sudah sangat lama, maka tak ada salahnya kalau ia melepaskan saja rusa itu dari jebakan.
"Ayo, sekarang kau bisa pergi!" seru Aiden saat selesai melepaskan jerat dari kaki si rusa.
Rusa itu mengangguk-angguk dan melompat-lompat seolah berterima kasih pada Aiden kemudian segera berlari masuk ke kedalaman hutan.
"HEI! Apa yang kau lakukan pada hewan buruan kami?!"
Aiden sontak menoleh saat pertanyaan yang lebih terdengar seperti bentakan itu terdengar oleh telinganya. Dua orang laki-laki yang kira-kira usianya tak jauh berbeda dengannya menghampiri.
"Jadi… itu hewan buruan kalian? Maaf, aku tidak tahu, makanya kulepaskan…" Aiden tampak sangat merasa bersalah.
"Haaah, yasudahlah nanti juga dapat lagi, asal tidak ada orang bodoh yang melepaskannya lagi saja!" Salah satu dari dua laki-laki itu menghempaskan dirinya hingga terduduk di hamparan rumput di bawahnya dan mulai memakan apel dalam genggamannya.
"Hei, Dennis, maaf saja tidak cukup! Orang ini harus bertanggung jawab. Kita sudah kehilangan makan siang kita." Laki-laki yang satu lagi menggerutu, tampak agak kesal sambil menunjuk-nunjuk Aiden.
"Sudahlah Marcus, menggerutu hanya akan membuatmu tambah lapar."
"Huuhh." Laki-laki yang dipanggil Marcus hanya bisa mengikuti laki-laki yang dipanggilnya Dennis, duduk dan memakan apelnya.
Aiden yang melihat perdebatan kecil itu semakin merasa bersalah.
"Ma-maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu itu makanan kalian. Bagaimana kalau kalian ikut ke rumahku saja dan makan siang di sana?" Aiden mengajukan sebuah solusi.
"Oh, kau masih di sini rupanya?" Dennis bertanya dengan polosnya.
"I-ya… bagaimana? Apa kalian mau?"
Dennis tampak berpikir sambil mengunyah apel di mulutnya.
"Terima saja, aku benar-benar lapar." Marcus menyahut sebelum Dennis sempat menjawab.
"Heh, kau lupa, ya? Kita sedang dalam misi penting, tak boleh sampai melibatkan orang biasa, apalagi rakyat jelata seperti dia." Bisik Dennis pada Marcus.
"Yah, dia sepertinya orang baik, orang ini tak akan macam-macam. Lagipula hanya makan siang Dennis, orang ini juga tidak mungkin mengorek tentang kita. Ayolah… kau tega membiarkan adikmu ini kelaparan…" Marcus memasang tampang memelas, masih dalam bisik-bisik.
Dennis tampak berpikir lagi. "Baiklah… Hei, kau!"
"Y-ya?" Jawab Aiden takut-takut.
"Kami terima permintaan maafmu dan undangan untuk makan di rumahmu. Tapi ingat, makan kami tidak sedikit dan kau juga harus menyiapkan bekal makanan untuk perjalanan kami." Ujar Dennis setengah memerintah.
'Kau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, kau memang pintar Dennis…' Marcus bergumam dalam hati.
"Hah, syukurlah kalau kalian mau memaafkanku. Ayo ke rumahku sekarang!"Aiden tersenyum cerah membuat dua orang itu heran.
"Dia kau peras, tapi malah senang. Orang ini aneh." Bisik Marcus di telinga Dennis saat berjalan mengikuti Aiden ke rumahnya. "Sudahlah, biarkan saja." Balas Dennis tak kalah pelan.
"Oh, ya kalian siapa? Aku Aiden Lee, perkenalkan."
"Uh-oh." Dennis agak tergagap mendengar pertanyaan tiba-tiba Aiden.
"Aku Dennis dan ini Marcus." Dennis memutuskan untuk memberitahu sekalian nama asli mereka. "Dia lebih muda dariku, tapi dia sungguh tidak sopan." Lanjut Dennis memberi informasi tambahan yang menurut Marcus tak perlu.
"Kalian pengembara, ya? Atau prajurit?" Aiden bertanya lagi. Kali ini Dennis tidak bisa asal menjawab.
"Ehm, Aiden, sebaiknya kau tidak bertanya lebih jauh tentang kami."
"Oh, maaf. Aku selalu ingin tahu kalau bertemu orang baru. Maaf."Lagi-lagi Aiden meminta maaf.
Perjalanan mereka selanjutnya hanya diisi keheningan.
"Dennis."
"Ng?"
"Tidakkah kau berpikir orang inilah yang kita cari?"
"Maksudmu Mark?"
"'Orang baik berhati tulus yang tidak ada sedikit pun kelicikan terlintas di pikirannya'. Itulah syarat seseorang yang bisa mencabut pedang Arx dari tempatnya. Begitu yang kubaca di buku kuno The Legend of Arx."
Dennis mengangkat alisnya, masih belum mengerti maksud Marcus. Marcus memutar bola matanya malas, "Yah, kurasa orang sepertinyalah yang kita cari." Marcus mengedikkan kepalanya ke arah Aiden yang berjalan di depan mereka.
"Kau yakin begitu, Mark?"
"Ya. Aku bisa merasakan auranya. Tak ada sedikit pun titik hitam di hatinya. Kau percaya pada kemampuanku, 'kan?"
"Ya, aku percaya, Mark. Tapi… tidakkah kau terlalu cepat menyimpulkan? Kita sudah mencari orang seperti itu berbulan-bulan tapi tetap saja..."
"Tidak, Dennis. Entah kenapa kali ini aku sangat yakin."
"Baiklah, kalau kau yang bilang begitu. Kita bawa orang ini ke tempat itu. Sekarang."
XXX
Aiden tahu dua orang di belakangnya sedang berbisik-bisik mengenai sesuatu. Namun ia merasa bukanlah haknya untuk mengetahui pembicaraan keduanya. Tak terlintas sedikit pun dalam pikirannya kecurigaan pada dua orang itu. Ia hanya berharap bisa cepat-cepat pulang dan memakan masakan ibunya yang menurutnya paling enak di dunia.
"Aiden Lee!" Dennis memanggilnya.
"Ya? Ada apa?"
"Bisa kami minta tolong lagi?"
"Apapun kalau aku bisa membantu."
"Bisakah kau ikut kami? Ke sana!" Tunjuk Dennis pada kedalaman hutan.
Aiden mengernyitkan dahinya. "Kalian mau apa di sana? Kudengar di sana berbahaya karena banyak binatang buasnya. Sebaiknya jangan ke sana." Aiden berusaha memperingatkan.
"Kami tahu. Kami pernah ke dalam sana. Kami menemukan suatu benda yang kami butuhkan, tapi kami tidak bisa mengambilnya. Kau bilang akan membantu kami kalau bisa, dan aku yakin kaulah satu-satunya orang yang bisa membantu kami." Jelas Marcus agar Aiden mengerti.
Aiden tampak menimbang-nimbang. 'Mereka bukan orang jahat, kan? Jadi apa yang perlu kutakutkan? Sepertinya mereka benar-benar butuh bantuan.'
Tak butuh waktu lama sampai Aiden meng-iyakan permintaan mereka. Ia memang paling tak bisa menolak kalau ada yang meminta bantuannya.
"Baiklah. Ayo cepat kita selesaikan dan segera ke rumahku."
Sekarang posisi mereka berganti bukan lagi Dennis dan Marcus yang mengikuti Aiden, melainkan Aiden yang mengikuti mereka berdua.
Mereka berjalan semakin jauh ke dalam hutan. Pepohonan di sini tumbuh lebih rapat dibanding di tempat Aiden biasa mencari kayu bakar.
"Apa tempatnya masih jauh?"Aiden bertanya karena jujur saja dia sudah cukup lelah memanggul beban kayu bakar di punggungnya.
Dennis yang menyadari Aiden mulai terlihat lelah segera menyuruh Marcus untuk membantu Aiden. Marcus? Tentu saja menolak dengan jahatnya.
"Hahaha, tidak apa-apa, aku sudah biasa." Aiden malah tertawa melihat mereka berdua bertengkar mengenai siapa yang harus membantunya.
Marcus dan Dennis terhenyak begitu melihat kebaikan Aiden. Dennis memutuskan untuk membantu Aiden. Tanpa disangka Marcus juga bersedia membantu. Akhirnya mereka membagi tiga beban yang dibawa Aiden.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di tempat yang dimaksud Dennnis dan Marcus. Sebuah tanah lapang yang dikelilingi pepohonan rapat mengitarinya.
Tanah lapang itu berbentuk cekungan ke dalam sedalam satu meter dengan diameter kurang lebih 10 meter, persis seperti bekas tempat terjatuhnya sebuah meteor kecil. Di tengah-tengah cekungan itu terdapat sebuah batu hitam cukup besar, bagian bawahnya berlumut tetapi tidak di atasnya. Karena tepat di atas batu itu menancap sesuatu. Sesuatu yang berupa pedang perak berukiran rumit pada pegangannya, bertahtakan batu permata blue sapphire yang tampak berkilau memantulkan sinar matahari. Itulah pedang legendaris Arx.
Aiden menatap takjub pada keindahan pedang itu. Sekarang ia bertanya-tanya apa yang mesti dilakukannya untuk membantu mereka berdua.
"Kami ingin kau mencabut pedang itu!" Dennis menunjuk pedang yang menancap di batu itu.
"Baiklah." Aiden berjalan memasuki lingkaran cekungan itu sebelum Dennis sempat memperingatkan bahayanya memasuki lingkaran itu sembarangan.
Namun yang terjadi berikutnya malah mengejutkan Marcus dan Dennis. Tak terjadi apapun pada Aiden yang masih berjalan hati-hati mendekati batu hitam itu. Padahal selama mereka mencoba sendiri memasuki lingkaran itu, mereka langsung tersengat sesuatu yang tak kasat mata, seolah ada kubah transparan yang melindungi lingkaran itu.
"Dennis, ini bukan main-main, sungguh, aku bisa merasakan tubuhku merinding. Kekuatan ini… Pedang Arx mulai bereaksi."
Dennis hanya bisa melongo. Tak hentinya ia berdoa di dalam hati. Semoga Aiden tidak bernasib sama seperti orang-orang yang telah mencoba mencabut pedang itu. Harus bertarung melawan ketamakan hati mereka sendiri.
Selangkah lagi dan Aiden akan sampai tepat di depan batu tempat pedang menancap. Aiden mengulurkan tangannya ke arah pegangan pedang, ia menoleh pada Dennis dan Marcus. Marcus mengangguk untuk meyakinkan Aiden. Ditariknya sebuah napas panjang dan ia siap untuk menarik keluar pedang yang tertancap.
Aiden menyentuhkan tangannya pada pegangan pedang, ia merasakan energi aneh megaliri jari-jarinya. Dan seiring ia mengukuhkan pegangannya pada pedang itu, batu blue shapphire penghias pegangan pedang menyala, bersinar, bahkan memancarkan sebuah cahaya vertikal berwarna biru ke langit. Hanya sekejap, kemudian cahaya itu menghilang seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Tanpa menggunakan banyak tenaga, Aiden mencabut pedang yang menancap dalam di batu seperti mencabut pisau yang menancap di kue.
Dennis dan Marcus terperangah saking takjubnya. Marcus bahkan sudah berlutut semenjak cahaya biru Sapphire memancar ke langit.
"Dennis… Sungguh sebuah keajaiban. Pedang itu telah memilihnya."
"Aku tahu, Mark. Aku tahu." Dennis kini merinding memandang Aiden yang berjalan ke arahnya sambil tersenyum mengacungkan pedang Arx. Ia tak bisa menganggap Aiden orang sembarangan lagi.
"Kenapa wajah kalian begitu? Mencabut ini ternyata mudah, ya." Aiden berkata polos sambil memandang kagum pedang yang tergenggam di tangannya. Marcus dan Dennis saling memandang kemudian mengangguk.
"Kau, Aiden." Dennis memegang pundak Aiden dan menatapnya tepat di matanya.
"Kau harus ikut kami ke SM Town."
Aiden terdiam. "Tunggu. Apa maksud semua ini sebenarnya? Kalian tiba-tiba memintaku mencabut pedang, lalu sekarang aku harus ikut kalian ke mana tadi?"
"Dennis, kita harus jelaskan dulu semuanya pada Aiden."
XXX
"Oh, jadi ini adalah pedang Arx yang legendaris itu? Aku belum pernah mendengar mitosnya."
"Harus kukatakan berapa kali? Ini bukan mitos, ini nyata Aiden!" ucap Marcus tak sabar.
Saat ini mereka bertiga, Marcus, Dennis, dan Aiden sedang duduk melingkar di atas rerumputan. Marcus baru saja menjelaskan pada Aiden segala hal yang ia ketahui tentang pedang Arx, kenapa mereka menyuruh Aiden yang mengambilnya, dan untuk apa mereka mencari pedangnya.
"Iya, iya, aku percaya ini nyata. Hanya saja…semuanya terdengar aneh di telingaku. Sihir, membaca aura, pedang legendaris, dan yang terakhir kalian sebut, iblis jahat bernama Sooman-"
"Jangan sembarangan menyebut namanya!" Dennis memotong.
"Maaf."
"Aiden berhentilah menjadi terlalu polos." Dennis menasihati.
"Maaf."
"Berhenti meminta maaf!" Marcus agak kesal juga terus-terusan mendengar Aiden meminta maaf.
"Orang yang terlalu baik kadang-kadang bisa menyebalkan juga, hyung." Marcus menendang rerumputan dengan emosi. Entah kenapa sekarang ia menjadi begitu emosional setelah Aiden berhasil mencabut pedang Arx. Itu bukan tanpa alasan. Nalurinya yang tajam seperti merasakan bahaya yang mendekat.
"Jadi bagaimana menurutmu Aiden? Kau ikut dengan kami, kan?" Dennis bertanya, tepatnya berharap. Aiden tampak ragu menjawab.
"Maaf. Kali ini aku tak bisa membantu. Aku masih punya ibu, aku tak mungkin meninggalkannya. Kalian bilang misi ini berbahaya, kan? Aku mungkin saja kehilangan nyawaku. Maaf, bukannya aku tak mau membantu kalian, tapi ibuku…" Aiden tidak melanjutkan, ia letakkan pedang Arx di tanah. Ia angkat kembali kayu bakarnya dan membawanya di punggungnya.
"Kalian pasti bisa. Selamat berjuang!" Aiden mengacungkan kepalan tangannya pada Marcus dan Dennis yang tampak putus asa.
Dennis mengangkat bahu, sudah untung kini mereka telah memiliki pedang Arx. Bagaimana pun ia tidak bisa memaksa orang baik seperti Aiden terlibat dalam misi berbahaya membunuh Sooman. Membunuh semut saja ia tak tega.
XXX
Aiden berjalan sambil membungkuk menahan beban di punggungnya. Walaupun sudah menolak, ia masih memikirkan permintaan Dennis untuk mengikutinya ke SM Town. Bagaimana pun, sepertinya, orang-orang seperti Dennis dan Marcus di luar sana sedang dalam bahaya. Aiden mengacak-ngacak rambutnya dalam bimbang.
Karena melamun, Aiden tak menyadari bahwa sekelompok prajurit berbaju zirah telah menghadang jalannya. Seorang laki-laki berjubah ungu memimpin pasukan itu. Pasukan itu seperti muncul entah dari mana. Tak ada tanda-tanda kehadiran mereka sebelumnya.
"Oh, ksatria pilihan pedang Arx hanyalah seorang bocah rupanya?" Laki-laki berjubah ungu itu membiarkan sebuah seringai meremehkan menghiasi wajah cantiknya.
Aiden sangat terkejut sampai hanya bisa bergumam, 'siapa kalian?'
"Kau tidak tahu? Baguslah, lebih mudah mengalahkanmu kalau kau tidak tahu apa-apa. Sebelum ada yang terluka cepat serahkan pedang Arx itu padaku!" Jelas sekali laki-laki bernama Casey itu memerintah.
"Aku tidak memilikinya." Jawab Aiden tak gentar.
"Apa?! Bagaimana mungkin? Kau yang mencabutnya, kan? Jangan pikir bisa membohongiku!" Casey mencengkram leher baju Aiden, menariknya hingga Aiden terangkat beberapa senti dari tanah.
Casey menatap nanar mata Aiden mencoba membacanya. Namun, ia tak berhasil mendapat informasi apa pun.
"SIAL! Dimana kau sembunyikan pedang itu?!" Casey membanting tubuh Aiden keras, hingga yang bersangkutan meringis kesakitan.
Sekejap Aiden tahu, ia sedang berhadapan dengan orang jahat yang pasti akan menyalahgunakan pedang itu. Ia memilih bungkam.
"CEPAT KATAKAN!" Casey semakin emosi karena Aiden tak kunjung menjawabnya. Ia menendang wajah Aiden yang masih terbaring di tanah, menyebabkan darah segar mengalir dari ujung bibirnya.
"Aku tidak tahu." Aiden menjawab dengan suara bergetar tapi ia sama sekali tak berniat memberitahukan keberadaan pedang Arx itu. Tendangan bertubi-tubi kembali diterima Aiden. Merasa belum puas, Casey memutuskan menggunakan kekuatan sihirnya untuk memaksa Aiden buka mulut.
"Rasakan ini!" Teriak Casey mengarahkan telapak tangannya pada Aiden.
Aiden merasa heran karena ia tak dapat merasakan apapun. Ia berpikir mungkin sihir itu tak mempan untuknya sama seperti saat ia memasuki lingkaran sihir sebelum mengambil pedang Arx. Namun, pikirannya salah karena sepersekian detik berikutnya ia dapat merasakan rasa sakit yang teramat sangat menjalar dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya dalam satu kedipan mata. Rasa sakit yag menderanya memaksanya berteriak.
"AAAAAAAAARGGHHHH!" sungguh ia tak pernah merasakan rasa sakit yang tak tertahankan seperti itu. Ia merasa lebih baik mati dari pada merasakan rasa sakit itu. Namun, rasa sakit itu tak berlangsung lama, hanya dalam hitungan detik, seperti lindap ditelan bumi, rasa sakit itu menghilang. Sementara Casey heran melihat kenyataan di depan matanya. 'Mustahil.'
Aiden merasakan napasnya yang memburu. Ia tak akan sanggup kalau harus merasakan rasa sakit itu sekali lagi. Tapi… kalau ia buka mulut, bisa jadi Marcus dan Dennis akan mengalami hal yang sama dengannya. 'Tidak, jangan sampai mereka juga…'
"Aiden!"
Aiden mendengar suara yang familiar memanggil namanya. Suara Dennis! Rupanya teriakannya tadi sempat didengar oleh Marcus dan Dennis. Mereka yang khawatir segera berlari ke arah dari mana teriakan Aiden berasal.
'Tidak! Jangan kesini! Mereka menginginkan pedang itu!' teriak Aiden hanya bisa di dalam hati.
"Dennis, mereka mengincar pedang Arx. Mereka pengikut iblis itu. Ayo cepat pergi dari sini! Dennis!" Marcus berhenti di tempat seolah mendengar peringatan Aiden.
"Bodoh, kau Mark. Kalau kita tinggalkan dia, Aiden bisa mati!"
Dennis kini sudah berdiri di antara Aiden dan Casey menghunuskan pedangnya.
"Tapi..."
"Kau berikan pedang itu pada Aiden. Kita akan bertarung."
Marcus segera membantu Aiden berdiri. "Kau sudah pernah menggunakan pedang?" Tanya Marcus. Aiden hanya bisa menggeleng. "Bodoh! Bagaimana mungkin?!" Marcus tampak frustasi.
"Wah, wah, Dennis dan Marcus. Kawan lama…" Casey menyambut kedatangan Dennis dan Marcus.
"Sudah lama tak berjumpa, eh?" Casey menunjukkan seringainya.
"Oh, masih menganggap kami kawan rupanya?" Dennis membalas dengan cibiran.
"Turunkan pedangmu, Dennis. Kita bicara santai saja."
"Kau takut, heh? Terlalu lama hidup tenang dengan tuanmu?" Dennis tertawa meremehkan.
"Jangan bawa-bawa tuanku!" Casey menggeram marah.
"Kenapa? Kau takut dikutuk jadi batu, ya? Cih, Casey yang bebas kini menjadi boneka penakut!"
"Jangan mengomporiku selagi kau berada di pihak yang lemah, Dennis!"
"Pihak lemah? Bicara apa kau? Aku punya pedang Arx. Bahkan sihirmu tak akan mempan padanya."
"Kita lihat saja…" Casey bersiap-siap mengeluarkan sihirnya. Sementara pasukan di belakangnya sudah mengepung Dennis, Marcus, dan Aiden.
"Mark, cepat berikan pedangnya pada Aiden!"
"Tapi dia tak bisa bertarung, Dennis!"
"Berikan saja! Pedang itu yang akan menuntunnya."
Marcus menyuruh Aiden mengambil pedang yang tergantung di punggungnya, pedang Arx.
"Siapkan kuda-kuda kalian, pertarungan dimulai."
Dennis menyerang lebih dulu dan sasarannya jelas adalah Casey. Casey dengan cepat membentuk perisai sihir untuk menghalau serangan Dennis.
Tak jauh di belakang Dennis, Marcus dan Aiden kini berdiri saling memunggungi. Aiden, semenjak bertemu pegang dengan pedang Arx, langsung merasakan energi aneh kembali mengaliri tubuhnya, tapi ia merasa lebih baik karenanya.
"Marcus, kau tak punya pedang, bagaimana kau akan bertarung?"
"Aku juga tak ahli menggunakan pedang." Marcus tampak memperhatikan posisi tiap prajurit dengan seksama.
"Kenapa tadi mengataiku bodoh?"
"Aku jago menghindar…" Marcus melepaskan pungungnya dari Aiden. Lawannya adalah sepasukan prajurit berbaju zirah bersenjatakan pedang.
Dengan gesit Marcus bergerak di antara serangan para prajurit, menghindari setiap serangan dengan pola yang sudah ia pikirkan masak-masak, hingga akhirnya serangan prajurit itu mengenai sesama prajurit lainnya.
"Good job." Marcus tersenyum bangga. Tanpa disadarinya seorang prajurit sudah berdiri di belakangnya, siap menebas punggungnya.
"TRANG" terdengar bunyi logam bersinggungan. Ternyata Aiden sedang menahan serangan prajurit itu dengan pedang Arx-nya.
Di lain pihak pertarungan antara Dennis dan Casey berlangsung sengit. Tak satu pun serangan Dennis sempat mengenai Casey karena perisai sihirnya. Begitu pun Casey tak bisa menyerang Dennis dengan bebas karena pergerakan Dennis yang begitu cepat. Menyadari tak ada gunanya melawan Dennis lebih lama, Casey memutuskan melancarkan serangannya pada Marcus yang sama sekali tanpa perlindungan.
Tertarik oleh pedangnya, Aiden sekali lagi menghalau serangan yang terarah ke Marcus.
"Wow, bagaimana kau bisa menghalau serangan berturut-turut dengan kemampuan yang payah?" heran Marcus.
"Entahlah, pedang ini yang menarikku." Aiden memandang takjub pedang di tangannya.
Serangan Casey yang harusnya mengenai Marcus malah tepat mengenai pedang Arx. Membuat Aiden mundur beberapa langkah. Tapi jelas kekuatan pedang Arx melebihi sihir Casey. Seperti cermin, pedang Arx memantulkan serangan Casey, menjadi berbalik arah menghancurkan perisai sihirnya sendiri.
Inilah kesempatan bagi Dennis menyerang Casey. Casey yang masih terkejut karena perisainya berhasil dihancurkan tak menyadari Dennis yang mendekat dengan pedang terhunus siap menembus dada Casey.
"JLEB"
"Oh, sial!" Dennis mengumpat. Serangannya tidak telak mengenai Casey. Serangannya malah menembus dada seorang prajurit yang tiba-tiba sudah berada di depan Casey. Prajurit itu walaupun sudah dipastikan jantungnya tertusuk masih sempat memegang tangan Dennis dan menahannya.
Casey menatap dingin prajurit yang berusaha melindunginya. Ia merebut pedang dari tangan prajurit itu, memanfaatkan momen di mana pedang Dennis masih menancap di dada sang prajurit. Dan…
"SRET."
Serangannya berhasil melukai lengan kanan Dennis. Darah segar mulai mengalir dari luka goresan cukup dalam di lengan Dennis.
"Sial!"
"Haha! Lihat! Siapa yang terdesak sekarang?"
"Dennis!" Marcus berteriak begitu melihat Dennis terluka. Aiden merasakan sesuatu membakar dadanya. Ia merasa… marah?
Aiden menerjang ke arah Casey, menebaskan pedang Arx ke segala arah. Casey dengan mudah menghindari serangan dangkal Aiden. Aiden dipaksa mundur kembali.
"Jangan gegabah Aiden!"
"Dennis?"
Dennis berhasil melepaskan tangannya dari pegangan prajurit yang sudah jatuh tak bernyawa.
"Bodoh! Kau lindungi Marcus saja."
"Tapi kau terluka."
"Masih ada tangan kiriku."
"Hei, tak ada waktu mengobrol di medan perang."
Dengan refleknya Dennis berhasil menepis serangan Casey.
"Dennis, aku ingin membantumu. Semua prajurit di sana berhasil kami kalahkan."
"Apa?" Dennis sepertinya tak mendengar karena fokus menghadapi Casey dan sekarang ia berhasil menusuk kaki Casey. "Aiden, belakangmu!"
Aiden hendak berbalik tapi terlambat. Dengan cepat prajurit itu menebaskan pedangnya ke punggung Aiden.
"SRAT" Darah memancar dari luka panjang yang berhasil ditorehkan di punggung Aiden. Aiden ambruk seketika.
"Beraninya kau menyerang dari belakang!" Dennis mengayunkan pedangnya ganas ke arah prajurit itu. Namun, tak terkontrol karena ia menggunakan tangan kirinya, serangannya pun dapat dihindari si prajurit. Tak disangka Marcus sudah ada di belakang prajurit itu. Dengan pedang rampasan ia menusuk punggung prajurit itu hingga rubuh.
"Yah, kadang serangan dari belakang itu efektif juga." Marcus tersenyum evil. Mau tak mau Dennis ikut tersenyum. Namun, ia segera menyadari sesuatu. "Mark, apa yang kau lakukan? Lindungi Aiden!"
"Sudah terlambat." Casey kini sudah berada di samping Aiden yang tertelungkup di tanah. Ia menginjak keras tangan Aiden yang masih memegang erat pedang Arx. Terdengar erangan kesakitan Aiden.
"Jangan sentuh dia!" Dennis sudah maju menyerang, saat Casey mengarahkan tangannya pada Dennis.
"Rasakan ini!"
"Apa yang kau-AAAAAAAAAAARRGHH!" Dennis berteriak dalam kesakitan. Itu adalah sihir yang sama yang digunakan Casey pada Aiden sebelumnya.
Dennis yang merasakan siksaan itu tak mampu mempertahankan tubuhnya berdiri. Ia sampai berguling-guling di tanah untuk mengurangi rasa sakitnya yang sayangnya sia-sia.
"Dennis!" Marcus tak sampai hati melihat Dennis tersiksa seperti itu. "Sebenarnya aku tak mau menggunakan ini. Tapi kau yang memaksaku."
"Oh, ternyata kau bocah penyihir juga." Casey merasakan kekuatan yang sejenis dengan miliknya memancar dari tubuh Marcus.
"Yap! Sihir harus dilawan dengan sihir." Kini pertarungan berubah menjadi sihir VS sihir antara Marcus dan Casey. Casey sempat kewalahan mengahadapi kekuatan Marcus yang tak terduga.
Serangan-serangan mereka lakukan dari jarak jauh, rentetan cahaya hasil pertabrakan sihir mereka memenuhi langit di antara keduanya. Aiden bisa melihat itu di antara kesadarannya yang samar-samar.
'Kenapa pedang ini tidak bereaksi sebagaimana saat aku ingin melindungi Marcus sebelumnya? Apa yang salah? Aku juga ingin membantu Dennis. Oh, tidak, sekarang dia pasti sangat kesakitan setelah menerima sihir penyiksaan itu.'
'Pedang itu yang akan menuntunnya' Tiba-tiba Aiden teringat perkataan Dennis sesaat sebelum bertarung.
'Kenapa pedang itu tidak menuntunku?'
'Kau tau kenapa pedang ini bernama Arx? Karena Arx berarti perlindungan. Pedang ini hanya akan mengeluarkan kekuatannya saat pemakainya berniat melindungi, tak ada niatan lain di hatinya.' Kali ini ia teringat perkataan Marcus saat memberi penjelasan mengenai pedang itu.
'Oh, pasti karena tadi aku sempat emosi, makanya pedang ini tak mau…?'
Aiden merasakan matanya memanas, dan setetes cairan bening keluar setelahnya.
'Tapi sekarang lain… Tuhan, aku benar-benar ingin melindungi mereka berdua, Marcus dan Dennis, juga ibu…' Bayangan ibunya tiba-tiba terlintas. Ibunya pasti sangat cemas sekarang. Ia berjanji akan pulang sebelum makan siang, tapi nyatanya sampai senja hampir turun pun ia masih berada di sini, di medan pertempuran yang sudah kacau balau ini.
'Haah… Aku memang payah. Tak adakah yang bisa kulakukan dengan benar? Aku ingin melindungi mereka… Aku perlu melindungi mereka… Aku harus melindungi mereka!'
"WUUUUSH~" Tiba-tiba angin bertiup kencang. Sekali lagi Blue Sapphire pada pegangan pedang Arx bersinar biru terang memancarkan cahaya ke langit. Sekali lagi Aiden merasakan energi aneh mengaliri tubuhnya. Perlahan Aiden bangkit. Merasakan energi yang kini telah meluap-luap di dalam tubuhnya. Energi untuk melindungi…
Tanpa berkata-kata Aiden melesat dengan kecepatan yang tak masuk akal, melancarkan serangan bertubi-tubi pada Casey yang sesaat sebelumnya tengah mendesak Marcus.
"Aiden, kau…" Marcus bisa merasakannya, energi yang begitu meluap-luap dari pedang itu.
Aiden menebaskan pedangnya dari berbagai arah dalam sekejap sehingga Casey tak sempat menghindar. Casey terpelanting berkali-kali karena serangan Aiden. "Si-aaal. Inikah kekuatan asli dari pedang Arx?"
Tidak memberi kesempatan bagi Casey untuk bernapas, Aiden kembali melancarkan serangan bertubi-tubinya yang kedua. Kali ini benar-benar membuat Casey tak berdaya. Serangan terakhir membuat Casey jatuh berlutut di hadapan Aiden sambil terengah-engah. Satu tusukan terakhir maka Aiden akan mengakhiri hidup Casey.
"Lakukan! Aku sudah tak bisa apa-apa lagi." Pinta Casey. Aiden masih menggantung pedangnya di udara, bimbang antara membunuh Casey atau membiarkannya hidup. Membunuh untuk melindungi bukanlah cara yang diinginkannya.
"SRAAAT" Sebuah pedang lain telah lebih dulu menebas Casey, meninggalkan luka yang sama seperti yang ada di punggung Aiden. Casey berhasil dirobohkan sepenuhnya.
"Dennis!" Aiden terkejut begitu tahu siapa yang melakukannya.
"Jangan gunakan pedang Arx untuk membunuh, Aiden. Lagipula kau belum siap untuk itu."
"Dennis, syukurlah kau baik-baik saja." Aiden menghambur ke arah Dennis dan segera memeluknya.
"Hei, lenganku, lenganku! Kau membuatnya tambah parah!"
"Hehe, maaf."
"Ehem! Jangan lupakan aku di sini!" Aiden dan Dennis sontak menoleh.
"Hei, apa yang kau lakukan di situ Mark?" Dennis tak bisa menahan tawanya saat melihat Marcus dalam posisi berbaring miring sebagaimana orang bersantai di pantai.
"Tch, penyihir sialan itu menyihirku sehingga tak dapat bergerak. Sekarang aku harus menunggu sampai efeknya hilang. Huh!" Marcus tampak tak terima ditertawakan.
"Tapi kau tidak terluka, kan?" Tanya Aiden tampak khawatir.
"Cih, berhenti mengkhawatirkan orang lain! Khawatirkan dirimu sendiri, kau itu yang paling lemah di sini." Marcus mencibir.
"Hoo, Aku? Aku tidak apa-apa kok, sung-
"BRUK" 'guh…'
Aiden jatuh tak sadarkan diri.
"He, apa kubilang! Apa dia mati?" Marcus bertanya penasaran.
"Kurasa tidak." Dennis memeriksa nadi Aiden. "Selama pedang Arx itu ada di tangannya, kurasa dia tak akan mati semudah itu." Jawab Dennis dengan ekspresi santai di wajahnya. Benar-benar orang-orang yang tak berperasaan.
To Be Continued
