Draco Malfoy, Hermione Granger, and other it belong it's J.K Rowling. I don't own anything. Happy Reading, and hope you like it..
Tell Me, You Love Me..
Aku terduduk tanpa gairah di bordes menara Gryffindor. Memandang keluar jendela, di mana langit tampak lebih pekat dari pada biasanya. Sesekali aku menunduk, membaca buku rune kuno yang tertidur pulas di pangkuanku tanpa minat.
Milyaran butir air hujan turun mengguyur dan membasahi tanah kering di luar sana. Beberapa butir air memercikkan dirinya ke jendela, memburamkan jarak pandangku.
Aku mendesah pelan. Lagi dan lagi pikiranku terbang melayang dan menepi pada segala hal yang sekarang benar-benar tak ingin aku pikirkan. Aku mencoba untuk menghapus atau setidaknya menyimpan semua pikiran-pikiran itu. Namun aku selalu gagal. Tak pernah bisa. Maka kini aku memilih untuk membiarkannya sesuka hati memporak porandakan benakku. Membiarkannya mengapung di permukaan sel otakku.
Terlalu banyak pertanyaan yang saling berkejaran di otakku, tanpa satu pun dari mereka mencapai garis finish. Terlalu banyak hal yang tak ku mengerti dan menuntut logikaku untuk menjelaskannya. Dan semuanya hanya berporos padanya. Pada dia, pemuda arogan, angkuh, dan dingin. Draco Malfoy.
Banyak hal yang terjadi begitu saja di antara aku dengannya dan tidak dapat ku mengerti. Kebersamaanku dengannya yang membuat hatiku nyaris melompat keluar dari tempatnya. Perasaan yang tiba-tiba muncul dan mekar secara cepat, seperti layaknya kuncup bunga mawar yang mekar dalam satu malam. Dan saat duniaku berjungkir balik, saat ketika ia memintaku untuk menjadi... kekasihnya?
Kekasih, kata yang cukup tabu apabila dipasangkan pada aku dan dia. Kata yang masih terdengar sangat aneh di telingaku, jika kekasihku adalah Draco Malfoy. Mengingat ia adalah musuh terbesarku selama 7 tahun sejak 10 menit pertama aku menginjakkan kakiku di kastil ini.
Sang Pangeran darah murni mencintai Mudblood kecil sepertiku? Jujur saja, semuanya terasa seperti dongeng bagiku. Dan karena itulah, banyak pertanyaan tanpa jawaban yang tercipta di ubun-ubun kepalaku. Nyaris membuat sel-sel kecil otakku meledak karenanya.
Apa Draco serius dengan ucapannya saat itu? Apa Draco benar-benar menyukaiku? Apa Draco benar-benar menginginkanku? Kalu iya, kenapa dia-
Arrgh! Ku mohon, siapapun bantu aku untuk menjawabnya. Aku sudah mulai lelah dengan semua ini.
"Hermione?" seseorang menepuk pundakku dan memanggilku dari dunia fantasi yang sejak tadi ku kunjungi. Aku menoleh ke asal suara, menemukan Ginny yang tersenyum lebar dan manis.
"Hai, Gin," balasku, dan tersenyum lemah padanya.
"Hujannya lebat yaa?" katanya berbasa-basi.
Aku mengangguk dan kembali memandang percikan air hujan di jendela. Hujan semakin lebat membasahi tanah di luar. Memberikan minum bagi tanaman-tanaman di halaman kastil yang mulai kehausan. "Ya, hujannya sangat lebat."
"Kau kenapa? Ku perhatikan dari tadi kau hanya diam." tanyanya sedikit menyentakkanku.
"Aku tidak apa-apa, Gin." jawabku tanpa memandangnya sedikitpun.
Ginny mendesah pelan dan setelah itu ia berkata, "Jelas kau ada apa-apa. Kadang kau harus menyadari bahwa kau tidak pandai berbohong, Hermione."
Kini aku menoleh padanya, menatap dua bola matanya. Satu alisnya terangkat tinggi. Ginny terdiam, menungguku berkata sesuatu. Namun, tak satu katapun dapat ku keluarkan dari tenggorokanku.
"Jadi, what's on your mind? Kau bisa ceritakan semua tentang Malfoy padaku."
Alisku bertaut, "Malfoy?" tanyaku terdengar heran. Darimana Ginny bisa tahu kalau yang sedang kupikirkan adalah Draco?
"Oh, ayolah.. Aku tahu kalau kau sedang memikirkan pangeranmu itu,"
Aku terdiam lagi. Tak berusaha mengelak perkataan Ginny. Hatiku kembali sesak, ketika sekali lagi Draco kembali mengisi pikiranku.
"Apa menurutmu Draco benar-benar mencintaiku?" tanyaku lirih. Dari balik bulu mataku, ku lihat bahu Ginny sedikit menegang. Tapi, sesaat kemudian ia kembali relax dalam posisinya. Ginny tersenyum lebih hangat padaku.
"Tentu saja,"
"Kau yakin?"
"Ya.." Jawabnya yakin. Lagi-lagi aku terdiam. Tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya.
"Kau meragukannya?" tanya Ginny seakan bisa membaca isi pikiranku yang hanya dipenuhi oleh bayang pemuda berambut pirang itu. Ku rasakan darah mengalir lebih deras di wajahku, menyisipkan rasa panas yang menjalar. Entah karena apa. Aku mengangguk kecil dan menunduk, menatap kembali halaman buku yang terbuka.
"Kenapa?"
Ku alihkan perhatianku pada sekelompok teman-teman Gryffindor tingkat 7-ku yang duduk menyebar di sekeliling ruangan. Ku lihat, Harry, Ron, Seamus, Dean dan Neville tampak sedang asyik berbincang, yang topiknya tidak aku ketahui. Apapun itu, kurasa semuanya hanya obrolan seputar cowok.
Di sudut lain, mataku menangkap Lavender dan Parvati yang tampak terkikik di balik telapak tangannya. Aku tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Setelah puas menyapukan pandanganku ke sekeliling, memoriku kembali mengingat pertanyaan Ginny. Gadis yang kini satu tingkat denganku, kekasih dan adik dari dua sahabatku. Aku menghela nafas berat, terlalu berat sehingga mungkin dapat memperkecil rongga paru-paruku. Terlalu banyak alasan kenapa aku meragukannya, dan aku tidak tahu harus memulai mengatakannya dari mana.
Draco tak pernah menggandeng tanganku di saat aku dan dia berjalan bersama; Draco tak pernah menggenggam tanganku ketika aku butuh kekuatan di saat rapuh; Draco tak pernah memelukku, di saat tubuhku dengan sekuat tenaga menahan kebekuan; Draco tak pernah membiarkanku menatapnya, tidak ketika aku berusaha membaca mata kelabu itu; Draco tak pernah banyak bicara, bahkan di saat ia hanya duduk berdua denganku; Draco tidak pernah membelai wajahku, bahkan di saat air mata turun membasahi pipiku; Draco tak pernah tertawa lepas bersamaku, padahal saat ia bersama sahabat-sahabatku atau teman-temannya ia dapat tertawa dengan keras tanpa beban. Sesuatu yang sering kali membuatku iri pada orang lain; Draco tidak pernah memanggil nama depanku, ketika aku mulai membiasakan diri memanggilnya dengan nama depan; Draco tidak pernah marah, bahkan ketika aku dengan susah payah membual untuk membuatnya cemburu; Draco tidak pernah memprotes, ketika dengan kasar aku menolak keinginan dan ajakannya. Seakan tidak peduli, pada apapun tentangku; Dan yang paling parah, Draco tidak pernah sekalipun mengatakan kalau dia mencintaiku. Bahkan hanya untuk menjawab atau membalas ucapanku saja.
Itulah segudang alasan mengapa aku meragukan Draco. Entah apa ada yang terlewatkan atau tidak.
Hubungan kami berdua berjalan terlalu flat, datar. Hanya berdiam diri, mengikuti kemana arus tenang akan membawanya bermuara. Tak ada kejutan-kejutan yang berarti di dalamnya.
Kesenangan. Kebahagian. Rasa bangga, kini aku tahu, semuanya hanya fatamorgana yang tertancap di anganku ketika pertama kali ia mengikrarkan permintaannya padaku. Ketika Draco memintaku menjadi kekasihnya.
"Dia tidak pernah bisa menjadi apa yang aku inginkan, Gin," gumamku pelan, setelah beberapa menit aku tenggelam dalam duniaku sendiri. Ku beranikan menatap Ginny yang duduk di hadapanku. Senyuman hangat masih terstempel jelas di wajah manisnya.
"Mungkin kau salah, Hermione." katanya lembut. "Dengarkan aku, aku tak tahu kenapa kau bisa berasumsi seperti itu. Tapi, apapun alasannya, kurasa kau sudah tahu, kalau setiap orang punya cara berbeda untuk mencintai seseorang. Dan itu berlaku juga untuk seseorang seperti Malfoy."
Ia berhenti sejenak. Menciptakan jeda di antara ucapannya. Menit selanjutnya, Ginny kembali berkata, "Saat Malfoy tak pernah bisa menjadi seperti apa yang kau inginkan, bukan berarti dia tidak pernah mencintaimu. Hanya saja, terkadang, setiap orang punya pilihannya sendiri untuk menentukan kemana arah yang akan ia tuju untuk menjadi seseorang yang mempunyai nilai arti bagi orang-orang yang ia kasihi." Ginny menutup bibirnya rapat, mengakhiri ocehan berkualitasnya. Ia menarik dua ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman simpul.
Aku tak pernah menyangka, kalau Ginny dapat berkata sebijak itu. Ku rasa, pengalamannya yang mencintai Harry selama bertahun tahun, tanpa diketahui oleh yang bersangkutan, membuat Ginny bisa sedewasa sekarang.
Aku tak ingin membantah apa yang dikatakan olehnya. Karena aku tahu, semuanya masuk akal. Tapi, hatiku terus memberontak menolak penjelasan Ginny. Draco Malfoy, dia terlalu meragukan.
Ia seperti racun yang mematikan. Melemahkan denyut nadiku. Melambatkan detak jantungku. Dan, aku hanya perlu menunggu, kapan nadi dan jantungku berhenti berfungsi.
"Kalau kau memang benar-benar meragukannya, ku pikir ada baiknya kau bicarakan semuanya dengan Malfoy. Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa Malfoy punya jawaban yang hebat untukmu, Hermione.." kata Ginny lagi, mengusulkan.
"Entahlah," suaraku tercekat. Tak ada lagi kekuatan yang dapat ku keluarkan untuk menjawab Ginny. Kini, racun itu semakin ganas menggerogoti hatiku. Memaksa air mata keluar sebelum dapat ku cegah.
Arrgh! Sial..
Aku benci menjadi lemah..
"Cobalah.." Ginny kembali menepuk pundakku. Meyakinkanku kalau apa yang dia katakan adalah benar. Ia tersenyum untuk yang terakhir, sebelum percakapan ini berakhir.
-(*.*)- -(*.*)- -(*.*)-
"Jadi, sebenarnya untuk apa kau mengajakku ke sini, Granger?" tanyanya ketika aku dan dia menjejakkan kaki di menara tertinggi Hogwarts. Menara Astronomi.
"Apa perlu alasan untuk sekedar bertemu dengan kekasihku, eh?" aku balik bertanya. Nadaku sedikit kasar ketika menyentaknya.
Ia mengangkat kedua bahunya, "Tidak perlu, ku rasa." katanya dan berjalan mendahuluiku menuju pinggiran menara. "Dan apa persisnya yang ingin kau katakan?"
Aku memandangnya yang berdiri membelakangiku. Tubuhnya tinggi dan tegap. Kokoh. Rambut pirangnya tampak halus di bawah siraman sinar bulan purnama. Mata kelabunya, meskipun tak dapat ku lihat, aku tahu sinarnya melebihi lilin yang hidup di tengah kegelapan.
Kadang aku bertanya sendiri pada diriku, apa mungkin aku dapat melepas keindahan fisik yang ia miliki?
Aku menghela nafas singkat, memejamkan mata sejenak. "Aku lelah," desahku pelan saat mata hazelku terbuka.
Ia berbalik menoleh padaku dan tersenyum. Kakinya mulai melangkah dengan berirama mendekati posisiku berdiri. "Kalau kau lelah, sebaiknya kau istirahat. Kita kembali sekarang," ajaknya dan berjalan melewatiku.
"Aku lelah dengan hubungan kita." seruku tiba-tiba sebelum ia sempat mencapai pintu. Draco berhenti tepat beberapa langkah dariku. Ia berbalik memandangku dengan wajah yang tampak keheranan. "Apa?"
Aku balik memandangnya, membalas tatapan mata kelabunya. "Aku lelah dengan hubungan kita, Draco.." ulangku perlahan. "Aku lelah dengan sikapmu yang tak pernah peduli sedikitpun padaku. Aku lelah dengan sikap angkuh khas Malfoy yang selalu kau perlihatkan di depanku."
Draco masih terpaku memandangku. Tak menunjukkan pergerakan sekecil apapun. Nafasku sedikit memburu, ketika aku berkata.
"Kau tahu, sebenarnya kau bisa saja memilih untuk membuat hubungan kita lebih menyenangkan. Tapi, sayang sekali kau malah memilih untuk membuatnya terasa kosong, hambar dan hampa." aku melanjutkan, "Kau tidak pernah menggengam tanganku. Kau tidak pernah menggandengku ketika berjalan. Kau tidak pernah menghapus air mata di saat aku menangis. Kau tak pernah memelukku di saat aku kedinginan. Kau tak pernah tertawa saat bersamaku, padahal kau selalu bisa tertawa bersama orang lain. Kau bahkan tak pernah memanggilku dengan nama depanku, padahal aku selalu berusaha untuk terus memanggilmu dengan nama depan. Dan itu semua, membuatku meragukanmu.." kataku dalam satu tarikan nafas.
Kini udara dalam ronggaku semakin menipis. Membuatku terengah-engah karenanya. Udara malam yang dingin menekan dadaku. Menyesakkan pernafasanku. Aku benar-benar tak lagi bisa bernafas dengan sempurna.
"Kau tak pernah melakukan semua itu untukku. Tak pernah sekali pun. Padahal semua itu hanyalah sesuatu yang sederhana. Apa aku salah ketika aku menuntut sesuatu yang sederhana itu darimu?"
Ia tetap terdiam. Tak membalas satupun ucapanku. Aku memandangnya lelah. Ia menunduk, memandang lantai dingin yang ada di bawah kakinya. Kaki ku bergerak 2 langkah mendekatinya. Ia masih menolak untuk menatapku. Tanganku terangkat menyentuh dan mengangkat wajahnya, memaksa Draco untuk balik menatapku.
"Ku mohon, katakan padaku kalau kau mencintaiku," pintaku lirih.
Ku mohon, Draco, katakan kalau kau mencintaiku. Pintaku dalam hati. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan keluarnya air mata dari mataku. Draco tak berkata apa-apa, ia hanya terdiam dan memandangku dengan mata kelabunya. Tapi, pandangannya itu hanya bertahan beberapa detik. Setelahnya, ia kembali menoleh ke arah lain. Menolak untuk menatapku lebih lama.
"Jangan paksa aku. Maaf." ujarnya lirih. Aku tertegun, mencerna apa yang dikatakannya.
Tanganku yang semula menyentuh wajahnya kini turun saat pemahaman akan ucapannya melintas di otakku.
Sekarang, aku tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berputar di otakku setiap waktu. Yang menghancurkan waktu tidurku. Yang melenyapkan selera makanku. Yang mengganggu konsentrasiku.
Ku rasa, aku memang benar-benar harus melepaskannya.
Aku melangkahkan kakiku, melewatinya. Tanpa berkata apa-apa lagi. Percuma, karena tak ada lagi yang perlu ku katakan padanya.
Aku mencoba sekuat tenaga menahan air yang menggenangi pelupuk mataku. Aku berusaha menghiraukan rasa panas yang menjalar di seluruh wajahku. Ku coba menahan amarah yang menyiksa bathinku.
"Granger,"
Tanpa berbalik dan tanpa memandang dia yang memanggilku, aku berkata, "Jangan ganggu aku. Tolong, bantu aku sekali ini saja, bantu aku melupakan semua cerita yang pernah terjadi di antara kita, Malfoy."
Aku kembali melanjutkan langkahku yang sempat tertunda, setelahnya. Tak ada lagi suara yang ku dengar dari bibirnya. Ia tetap bisu dalam keangkuhannya. Kearogansiannya benar-benar membuatku gila. Ia tidak memperdulikaku, ia tidak memintaku untuk tetap berada di sana bersamanya. Ya, itu kenyataan. Dia tak pernah menahanku, tidak akan pernah.
-(+,+)-
Aku berjalan dengan cepat membelah kegelapan malam. Langkah-langkahku berteriak melawan kesunyian koridor kosong. Sesekali kuseka dengan kasar air mata yang mengalir deras di pipiku.
Langkahku semakin cepat ketika ingatan tentangnya bertambah jelas tergambar dalam ingatanku.
Lelah menghampiriku, seiring ku berlari menghindari masa lalu yang tertinggal bersama jejak-jejak langkah di belakangku. Aku tak bisa menepis, hingga akhirnya ku putuskan untuk menghentikan pelarianku.
Kakiku lemas, tak dapat menopang beban tubuhku. Membuatku ambruk di depan kelas transfigurasi. Kubiarkan air mata menjadi pemimpin atas sakitku saat ini.
Dapat ku rasakan, saat puluhan pedang yang bermata tajam menusuk jantungku. Menghujam paru-paruku. Beban puluhan ton menekan dadaku, membuatku sesak tak bisa bernafas. Lagi, lagi, lagi dan lagi.
Harusnya aku tahu, semuanya hanyalah kesenangan yang semu. Sangat tak rasional, jika Malfoy benar mencintaiku. Harusnya aku tahu, itu tak akan pernah terjadi. Tak. Akan. Pernah. Terjadi. Realitanya, sampai sekarang ia bahkan tak pernah mengatakan apa yang selalu ingin ku dengar darinya.
Bodoh! Kenapa dulu aku harus mengangguk? Kenapa aku harus mengiyakan permintaannya? Kenapa aku harus menyukainya? Pertanyaan-pertanyaan baru kembali bermunculan. Pertanyaan yang sama sekali tak ingin ku jawab. Pertanyaan retoris yang datang ketika semua pertanyaan lama telah terjawab.
Oh, Merlin.. Tidak bisakah Kau buat hidupku damai tanpa pertanyaan-pertanyaan itu?
Aku dan Draco Malfoy, sangat berbeda. Terlalu kontras, seperti darah yang menodai kain putih bersih.
Aku dan dia berada di dua ujung yang saling berseberangan, timur dan barat. Menetap di dua kutub yang berbeda, selatan dan utara. Nyaris tak ada jalan yang dapat di lewati untuk menutup jarak yang ada.
Aku tak mungkin memperolehnya. Tak mungkin merengkuhnya. Perang besar yang meninggalkan kedamaian di dalamnya, tak lantas mengubah sosok Draco Malfoy. Ia tetap Malfoy, yang tak mungkin mencintaiku.
-(*.*)- -(*.*)- -(*.*)-
Aku terbangun dari dunia mimpi milikku, saat matahari pagi memaksa cahayanya untuk masuk menembus kornea mataku. Hal pertama yang aku lihat adalah kanopi di atas tempat tidur. Jam kecil di meja samping tempat tidurku sudah menunjuk ke angka 6. Hmm, masih banyak waktu untuk memulai semua aktivitas rutin hari ini. Aku menggeliat sebentar sebelum akhirnya ku paksakan tubuhku untuk bangun dari posisi tidurku.
Ku biarkan kakiku menapak lantai dingin yang membeku. Melangkah tanpa alas menuju tepian jendela. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya lewat daun jendela yang terbuka di sana.
Inilah alasan mengapa aku selalu menyukai pagi. Udara yang bersih, belum terkontamisi oleh kotoran apapun. Nyanyian alam yang bersenandung lembut lewat kicauan burung. Tarian anggun Sang Elang yang membelah khatulistiwa. Rumput yang bergoyang pelan tertiup hembusan angin. Embun yang menetes dari kaca-kaca bening.
Mataku bergerak menelusuri lukisan hasil karya Sang Pencipta yang terbentang luas di atas kanvasNya. Aku bersyukur masih dapat hidup dan merasakan kedamaian di antaranya.
Draco Malfoy..
Oh, kenapa aku harus mengingatnya kembali? Lagi. Lagi. Dan Lagi. Terus. Terus. Terus, dan terus.
Ini sudah menginjak hari ke 10, sejak saat aku memutuskan untuk meninggalkannya di sana. Berlari menjauh darinya. Namun tak satupun ingatan tentangnya ikut berlari menjauh dariku.
Hari ini dan seperti beberapa hari sebelumnya, aku benar-benar tak berselera untuk makan, sama sekali. Tak ingin berkunjung ke aula besar. Tapi, paksaan Ginny akhirnya berhasil membuatku mau tidak mau harus pergi ke sana. Tentu dengan alasan aku sudah mulai jarang berkumpul bersama para Gryffindor.
Sebenarnya, aku tak pernah benar-benar ingin menjauh dari mereka semua. Aku hanya tak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan terselip nama Malfoy di satu atau dua pertanyaan. Aku tahu, semua pasti menyadari kerenggangan yang terjadi di antara aku dan dia, setelah selama 2 bulan lebih aku dan Malfoy terlihat 'sedikit' dekat. Semua tahu hubungan kami berdua, dan kerenggangan itu tentu akan menjadi kasak-kusuk di antara para murid Hogwarts. Terutama para perempuan. Tidak heran, Malfoy; Sang Casanova; Pangeran yang digilai hampir oleh seluruh cewek penghuni kastil megah ini. Mustahil jika kabar tentang dirinya hanya akan menjadi sebuah kabar tanpa kebenaran. Aku yakin, pasti banyak yang akan berusaha mengklarifikasi apa yang terjadi di antara kami berdua. Entah itu klarifikasi dariku, atau darinya.
"Hai, Granger, Weasley,"
Aku dan Ginny menoleh ke sumber suara, di sana Blaise Zabini tampak memamerkan senyum lebar pada aku dan Ginny. Aku balas tersenyum padanya. "Hai- Zabini" Senyumku lantas menghilang, ketika mataku menangkap sosok yang berdiri di samping cowok berkulit hitam asal Slytherins itu.
"Hai, Zabini.. Oh, hai, Malfoy," sapa Ginny dengan ramah. Aku masih menatap Malfoy yang tengah berdiri kaku di tempatnya. Segera saja ku alihkan pandanganku ketika ia membalasnya.
"Aku duluan.. Ayo, Gin," ujarku segera menarik Ginny yang tampak keheranan. Sayup-sayup ku dengar Blaise Zabini berkata, "Jangan biarkan dia pergi, kawan..". Suaranya semakin mengecil dan hilang di saat langkahku semakin menjauh dalam keramaian. Dan aku tidak tahu apa jawaban yang Malfoy berikan untuk sahabat terbaiknya.
Aku menjatuhkan diriku di antara Ron dan Harry, berusaha menghiraukan si Pangeran dari Slytherins itu. Merlin, kenapa aku harus bertemu dengannya di waktu sepagi ini? Apa tidak ada cara yang bisa menghindarkan aku dari keeksistensiannya di dunia sihir ini?
"Kau kenapa? Kau tampak tidak sehat, Hermione?" tanya Harry sambil mencoba meraih satu buah roti yang ada di depan Dean.
Aku menggeleng pelan, dan memaksa tersenyum padanya. "Aku tidak apa-apa, Harry.." jawabku mencoba terdengar yakin. Entah apa Harry percaya atau tidak padaku, mengingat aku sendiri mendengar nada kebohongan dalam suaraku.
"Kau tentu tidak sedang tidak apa-apa.. Jangan berbohong," seru Ron setelah ia menengguk sisa minuman yang ada di pialanya.
"Dan kenapa pula kau berpikir kalau aku tidak sedang tidak apa-apa?"
"Sederhana. Kau tidak mengambil makanan apapun,"
Aku menengok piring yang terabaikan di depanku, masih kosong dan bersih. Aku menelan ludah, menyadari apa yang Ron katakan benar. "Aku baru mau mengisinya," ujarku sedikit gugup.
Sebenarnya aku sama sekali tidak memiliki selera makan saat berjalan ke aula besar bersama Ginny, terlebih lagi, saat aku bertemu dengan Malfoy. Selera makanku benar-benar menghilang. Namun, pandangan tajam Ron mengharuskanku untuk mengisi piring di hadapanku dengan makanan.
Aku mencoba memilah-milah mana makanan yang tidak terlalu berat yang bisa aku makan untuk mengisi sedikit perutku. Hanya formalitas di bawah tekanan tatapan Ron Weasley. Setidaknya aku hanya ingin meyakinkannya, aku memang tidak apa-apa.
Ya, karena aku memang tidak apa-apa…
-(*.*)- -(*.*)-
Huuuuuuaaaaaaa… Niatan mau bikin One-Shoot jadinya malah MultiChapter.. Ide tiba-tiba buntu, padahal, tadinya tuh ide ngalir di otak gue.. -_-"
Sumpah, kesel abis gue.. Seperti di fic gue yang lain, gue berusaha menekankan feel dalam cerita gue. Entah berasa atau gak feelnya, hehehe...
Okee, karena udah terlanjur MultiChapter, gue rasa gue bakal bikin nih cerita jauh lebih panjang daripada yang seharusnya. Masih banyak kekurangan yang ada di fic gue, jadi, dengan sangat amat, gue minta partisipasinya buat ngereview fic baru gue ini yaa?
Anyway, thanks for reading…
