Putih, warna yang sering di kaitkan dengan kesucian,

Namun

Putih

Juga berarti

kematian

.

.

HARVEST MOON© NATSUME
KURO TO SHIRO © KAZEYANA FAMI

Requested by Alfred Smitie Montez
.

.

_Shiro_

/Mary's POV/

Hari itu adalah salah satu hari yang paling kutunggu sepanjang hidupku. Sekitar jelang siang, ketukan pintu terdengar dari pintu perpustakaanku. Ia laki-laki yang kusayangi, tokoh novel cintaku yang nyata, Gray masuk ke perpustakaan, menepati janjinya denganku untuk membaca buku sekaligus membantuku dalam pembuatan novel terbaruku.

Namun, dari senyumnya yang kecut itu pertanda makian keras dari kakeknya baru saja terlontar. Yap, aku sudah sangat cukup makan asam garam tentang semua ekspresi lelaki ini. Dan sekarang, moodnya sedang tidak cukup bagus.

Setelah saling bertegur sapa, Gray berjalan ke rak tempat buku-buku favoritnya, mengambil sebuah buku dan duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan aku, mengambil ballpoint dan buku catatan kecil, menghampirinya dan duduk di sampingnya. Maksudku adalah untuk menanyainya saran untuk refrensi novelku, tapi..

"Gray…," aku mencoba menyapanya, namun moodnya benar-benar sedang jelek.

"Hn?" dia menengok dengan dingin padaku.

Sepertinya, ia sedang tidak ingin di tanyai yang macam-macam, tapi, "A—Aku… Mm…"

BRAK

"GRAY!"

"C-Claire?" Gray menengok pada gadis itu dengan antusias, dan menyambutnya dengan hangat, "Ada apa?"

Aku terperangah. Kemana sikap dingin Gray barusan?

Nafas Claire terengah-engah, aku menghampirinya dan menenangkannya, "To-tolong… Sapiku lari ke Mother's Hill! Bisa bantu aku?"

Jantung ini sontak melompat, aku mengerti masalah Claire, tapi tidakah sebaiknya dia melihat keadaan orang yang akan dia mintai tolong dulu? Gray sedang bersamaku! Di perpustakaan MILIKKU.

Aku meraih pundak petani itu, "Sapi itu pasti akan baik-baik saja, Claire… Hewan ternak yang pergi jauh cepat atau lambat akan kembali ke kandangnya sendiri," aku menepuk-nepuk pundak Claire. Tapi pundakku di tarik keras olehnya,

Gray.

"Kau ini bagaimana sih, Mary?" bentaknya, "Kita tidak bisa hanya menunggu! Claire, ayo kita pergi mencari sapimu!"

Mereka pergi. Membiarkan pintu besar perpustakaan terbuka, dengan punggung yang tak kunjung kembali lalu meminta maaf. Mereka pergi berlalu dan berlalu lalu lenyap di telan jarak. Di balik kacamata ini menitirkan air mata sedikit demi sedikit.

Aku meremas rok biru-ku. Menatap dua orang yang di gosipkan telah saling memiliki perasaan yang sama, suka.

SUKA? HANYA SUKA KAN'? SEDANGKAN AKU MENCINTAI GRAY LEBIH DARI APAPUN

Cukup sudah, aku lebih memilih mati daripada di tolak tanpa kata oleh orang yang kucintai sejak zaman apa—entah, itu cerita lama, lama sekali. Jauh sebelum gadis itu datang, mengambil alih peternakan di sana itu, dan menyita perhatian semua orang tak terkecuali Gray.

BLAM

Aku membanting pintu perpustakaan, dan sedikit demi sedikit aku menyeret punggungku di pintu, makin lama makin ke bawah dan duduk menangis. Sedih, kesal, geram, sebal, tumpah semua dalam air mata ini. KEJAM, dunia ini KEJAM. Menyesal rasanya dulu aku menyambutnya hangat dan memperkenalkan Gray padanya.

CEMBURU? YA, AKU MEMANG CEMBURU. DAN AKU BERTANYA-TANYA APA GRAY AKAN CEMBURU JIKALAU AKU BERSAMA LAKI-LAKI LAIN.

.

.

Berapa lama aku menangis? Persetan, aku masih hidup juga. Kulihat buku-buku di sini berantakan di mana-mana. Sebagai bookworm, tentu saja ini tak bisa kubiarkan. Segaralah aku bangun dan membenah segalanya.

Sampai sebuah buku bersampul hijau lumut jatuh dan salah satu halamannya terbuka tanpa sengaja. Aku mengambilnya, dan membacanya sedikit. Tapi aku menjadi-jadi membacanya, memahaminya, sampai aku tersenyum picik setelah aku membaca kalimat; BUATLAH ORANG YANG KAU BENCI TIDUR DALAM KEGELAPAN.

Segera aku meletakan segala buku dan menghentikan kegiatan lalu membaca buku itu sampai habis. Aku tidak pernah menemukan buku ini sebelumnya, aku bahkan tidak percaya kalau ayah pernah menulis yang seperti ini. Buku ini hanya dongeng. Tapi begitu fantastis, brilian, dan fakta—ya, terima kasih ayah, kau adalah ahli tumbuhan.

Buku itu berisi resep, resep ramuan berwarna putih susu yang aromanya manis seperti madu. Yang meneguknya akan terhanyut dalam rasa manisnya sampai kematiannya. Bahan-bahannya sederhana sekali dan dapat kuperoleh disini, di desa ini. Red grass, hari ini musim gugur, bagus. Poisonus mushroom—aku masih punya beberapa, pemberian Gotz yang sering tak sengaja mengambilnya di hutan dan tidak membutuhkannya. Lalu bahan-bahan lain yang membuat senyumku makin lebar. Meski aku sedikit kaget karena ramuan ini meminta darahku sebagai salah satu bahannya. Satu lagi bahan yang membuatku melepas kacamataku, death of YOU.

Aku melotot ngeri.

Kematianku? Untuk apa? Bukankah yang harus mati adalah dia—Claire?

Uh, terserah. Kalaupun mati aku sudah puas dengan kematian Claire!

.

.

/END of Mary's POV/

Gadis berambut hitam yang di kepang itu mulai pergi mengumpulkan bahan-bahan yang belum tersedia. Tatapan matanya nanar dan ambisius, layaknya setan telah menutupi seluruh mata hatinya. Sapaan para tetanggga tidak di sapanya kembali, hanya satu ambisinya sekarang. Bukan, bukan melaris maniskan novelnya, tapi membunuh Claire.

.

.

Di saat yang sama, Gray dan Claire tengah berjalan turun gunung bersama sapi yang sudah di ikat dengan tali di lehernya.

"Terima kasih ya Gray, kau sudah banyak membantuku," kata Claire, lalu tersenyum pada Gray.

Lelaki itu menutupi setengah wajahnya dengan topinya seperti biasa, "…Bukan apa-apa, aku senang membantumu."

"Oh iya, tadi kau sedang bersama Mary kan? Kalian sedang apa? Maaf, tiba-tiba aku mengusik kalian…"

Gray tertegun, "Apa katamu? 'Mengusik'? Memangnya kau pikir—"

"Kupikir kalian sedang bermesraan, hihihi," Claire memotong kata-kata Gray, lalu tertawa kecil. Andai Mary mendengar ini, ia pasti akan membatalkan niatnya mentah-mentah—Ah, tidak, sebaiknya jangan. Karena Gray kini memeluk Claire erat.

Mata gadis berambut pirang itu melotot, pipinya memerah padam, "G-G-Gray…"

Tidak peduli dengan desahan dan keluhan gadis itu, Gray terus memeluknya erat. Bahkan sang sapi pun memutar badannya, tidak mau melihat aksi nekad Gray. Seluruh tubuh Claire kini ada dalam dekapannya, rambut Claire yang halus di belainya pelan, bibir Gray yang berhadapan langsung dengan telinga Claire berbisik,

"Asal kau tahu, dan kalau kau mau, aku hanya ingin bermesraan denganmu."

Tiba-tiba Mineral Town di guncang gempa hebat, yang mana meluluh-lantahkan semua buminya, pohon-pohon bertumbangan, salah satunya menimpa Claire sehingga badannya remuk bersimbah darah. Di lain tempat gelombang besar datang secara kilat dari pantai, menyapu seluruh kota sehingga tak satu pun manusia dan hewan serta mahluk lainnya yang selamat—ini hanya perumpamaan perasaan Mary saja, yang melotot kesetanan melihat kelakukan pria yang di cintainya dan wanita yang di bencinya di gunung, tepat saat Mary memetik beberapa tanaman untuk ramuannya.

'Demi penguasa bumi dan langit,' Mary bersumpah, 'Aku akan membunuhmu.'

.

.

Mary hanya tertawa licik, dan kau akan berpikir dia sangat-sangat Out Of Character jika melihatnya seperti ini. Ramuannya sukses dibuat dalam kurun waktu kurang dari 3 jam. Seperti yang di jelaskan sebelumnya, warnanya putih susu, dan harumnya seperti madu manis para lebah. Sangat menggoda, sampai tiap menit Mary harus mengingatkan dirinya kalau minuman itu adalah racun mematikan.

"Sekarang," katanya, "Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk meminumkan ini padamu, Claire."

Tok Tok

Pintu perpustakaan diketuk. Padahal, Mary sudah memasang tanda 'tutup' di depannya.

"Siapa ya?" tanya Mary, dengan suara yang dilembut-lembutkan seperti biasa seraya menyingkirkan barang-barang mencurigakan dan juga menyembunyikan ramuan itu.

"Ini aku, Ann. Kita diundang ke peternakan Claire!" kata Ann dari luar. Mendengar itu, Mary cepat-cepat membukakan pintu.

"Memangnya ada acara apa?"

Ann sedikit heran melihat Mary yang terlihat sedikit berbeda, "Entahlah, sepertinya semacam perayaan. Katanya sapi-sapi Claire terlalu banyak memproduksi susu jadi sepertinya dia membagikannya pada kita sih," Ann menjelaskan.

Kacamata Mary melorot, 'Itu saja? Dasar Claire, tukang cari perhatian,' batinya, "Jadi, kapan perayaan Claire itu?"

Ann menjawab, "Sekarang."

.

.

Ann, bersama Mary yang menjinjing sebuah botol berisi ramuan racun itu (Mary mengakali Ann dengan bilang kalau itu susu kambing dari kota) sampai di peternakan Claire. Sepertinya yang di undang di acara itu hanya beberapa perjaka dan perawan muda, terbukti dengan tak ada senior yang tampak. Perayaan itu terletak di bawah pohon apel yang rimbun, dekat kolam ikan, dan di sana di letakan meja dan beberapa kursi kayu untuk orang-orang minum susu sepuasnya.

"Mary! Ann!" Claire menyambut mereka berdua, "Ayo duduk, biar kuambilkan segelas."

Claire meraih teko besar di atas meja dan menuangkan isinya ke dua gelas besar jua dan menyodorkannya pada dua tamu tersebut.

Ann menerimanya, "Terima kasih, Claire!" dan dalam sekejap ia sudah berkumpul dengan Karen dan yang lain.

"Mary?"

"Tidak, terima kasih, Claire," Mary menggeleng pelan, "Aku sedang sakit tenggorokan, tidak bisa minum susu dingin." Tentu saja alasan itu bohong belaka.

Claire merunduk sedih, "Sayang sekali… Oh, bagaimana kalau kubuatkan susu jahe hangat? Bagus untuk sakit tenggorokan!" usut Claire, lalu menggandeng Mary masuk rumahnya. Rumahnya tidak dimasuki para undangan, sehingga kosong melompong. Claire mengupas jahe, menyerutnya, menyaringnya, lalu menuangkan susu dingin itu ke dalam panci.

"Akan makan waktu sampai mendidih," ia bergumam, "Ayo kita menunggu di luar dengan yang lain."

Tapi Mary menggeleng, ia merasa inilah saat yang tepat untuk meminumkan ramuan itu pada gadis malang ini, "Oh iya Claire, aku membawakanmu susu kambing dari kota. Rasanya manis sekali, lho."

Claire pun kaget, "Wah, susunya jadi tambah banyak!"

"Hihi, kita tukaran," Mary terkikik manis—sebenarnya tertawa picik, "Dan aku akan sangat senang kalau kau meminumnya sekarang."

"Bagaimana kalau di campurkan dengan susu rebusan ini? Kita jadi bisa meminumnya sama-sama?" tawar Claire, sambil mengangkat panci itu dari kompor. Tanpa menunggu sampai mendidih pun dirasanya sudah cukup panas.

Mary kalap sesaat, dan akhirnya kembali berdusta, "Ti-tidak perlu, aku alergi susu kambing… Makanya aku berikan kepadamu," Claire pun mengangguk dan menanggapinya wajar. Kemudian melanjutkan pekerjaannya di kala Mary menunggu di ruang tengah. Pertama-tama Claire memasukan panci berisi susu sapi panas itu ke dalam mangkuk air es besar, sampai cukup hangat, ia mencampurnya dengan jahe yang tadi, dan disajikan dalam mug putih besar. Susu kambing—ramuan beracun—pemberian Mary juga ia tuangkan dalam mug biru besar. Bau harumnya begitu memesona hidung Claire, tapi juga sempat membuatnya sesak nafas sebentar.

"Sudah jadi~!" gadis itu meletakan dua buah mug di atas meja lalu ikut duduk bersama Mary, "Mau kunyalakan televisi?"

"Tidak perlu," jawab Mary singkat, "Ayo, diminum."

Claire mengangkat mugnya, "Iya, kau juga ya."

Mary menurutinya—sebagai permintaan terakhirnya—ia mendekatkan bibir mug dengan wajahnya, lalu meneguknya sedikit dengan mata yang memperhatikan gerak-gerik Claire lekat. Kini bibir mungil Claire menyentuh bibir mug, tapi mendadak menariknya kembali dan berseru, "Wanginya manis sekali! Aku jadi tidak enak meminumnya sendiri..."

Mary mendengus kesal, "Tapi aku ingin hanya kau yang meminumnya."

Claire mulai heran dengan sikap Mary, tapi ia kembali menanggapinya wajar. Ia lalu mengangkat mug itu lagi dan kali ini benar-benar meneguknya, rasa manis yang dingin langsung menerobos kerongkongannya, mengisi lambungnya, lalu semua berjalan sesuai hukum sistem pencernaan. Claire kembali berseru, "Benar-benar manis! Ini betulan susu kambing?"

Mary mengangguk dengan senyum yang sangat lebar, "Iya, ayah membelinya sewaktu pergi ke kota—"

BRAK

Pintu rumah Claire dibuka—dibanting dari luar, dan Gray-lah pelakunya, "CLAIRE!"

"Gray!" dengus Claire, marah, "Kau kan' bisa mengetuk pintu dulu!"

"Ma-maaf soal itu," Gray menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Kau punya kain lap atau tisue? Teko susu-nya tumpah, tersenggol Popuri tadi..."

Claire sontak bangun dan menjawab, "Kalau tidak salah ada di atas lemari kamarku. Sebentar ya, kuambil dulu." Dalam hitungan detik, di ruang tengah hanya tersisa Gray dan Mary saja. Di saat seperti itulah, mereka saling melirik mata. Dan Gray akhirnya memecah kesunyian, "...Mary, apa kau marah padaku?"

"Marah? Untuk apa?" tanya Mary, meletakan mug-nya di atas meja.

Gray kembali menggaruk kepalanya, "Ya... Soal pagi tadi... Maaf, tiba-tiba saja aku pergi, dan membentakmu. Perasaanku sedang tidak enak tadi—Ya... kau pasti tahu."

Mary tersenyum simpul, "Tidak apa, Gray," jawabnya, 'Toh KEKASIHmu sebentar lagi mati.'

"...Terima kasih..." Gray juga tersenyum, sambil bersandar di daun pintu yang masih terbuka.

Di saat keheningan sesaat itulah, suara benda berat jatuh terdengar jelas. Dari dalam kamar Claire.

GABRUUK

"A—apa itu?" seru Mary dengan akting antusiasnya.

"CLAIRE? Kau baik-baik saja?" Gray pun segera mengambil langkah lebar menuju kamar Claire.

TBC
-To Be Continued-

A/N: O yeah, jadi juga chapter 1 =w= Saya belajar dari salah satu fanfic di fandom kelahiran saya, kalau di daerah timur sana itu warna putih itu artinya kematian~ Maaf Eza-san, ini jauh banget dari tanggal kadaluarsanya(?)

Boleh minta reviewnya, minna? *puppy eyes*