Warning :
Readers!Chara—AU!TeikouHighschool—Maybe a bit OOC demi kepentingan fanservice—typos!—Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi.
.
.
.
.
.
Kuroko no Dating Simulation :
Love Report!
Hanamiya Makoto x Readers!
.
.
.
.
.
Hanamiya Makoto.
Kamu memiringkan kepalamu dengan polos begitu Aida Riko sang ketua klub surat kabar Teikou menyodorkan sebuah data dan foto seorang pemuda yang kau baca kanjinya sebagai Hanamiya Makoto. Melihat tampang bete Riko, kau buru-buru meneliti berkas di tanganmu itu sekali lagi
Hanamiya Makoto, tujuh belas tahun, kelas dua-A—tempat orang-orang jenius!—IQ 180, mantan pemain basket kelas nasional semasa SMP, ketua geng Kirisaki Daichi.
"Hii!" Kau memekik kaget setelah memerhatikan fotonya baik-baik. Pemuda bertampang badass itu memiliki mata yang sedikit sayu dan garis wajah licik yang sedang memeletkan lidahnya yang panjang sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Serius nih, ternyata ada orang bertampang sejahat ini di sekolah—yang katanya—baik-baik ini?
"Kenapa?" Tanya Riko.
Kau menatap Riko dengan pandangan takut-takut. Gadis tomboy itu memang kadang kala bisa lebih menyeramkan dari si ketua psiko Akashi Seijuurou ketika deadline mendekat.
"Maksudnya ngasih aku data-data si ketua geng Kirisaki Daichi ini buat apa ya, senpai?" Tanyamu polos.
Riko menghela nafas berat. Ia tiba-tiba merangkul bahumu sok akrab. "Jadi gini, di awal tahun ajaran baru semester dua ini, kita butuh satu kolom artikel baru."
Kau pun teringat reputasi surat kabar Teikou yang mulai menurun. "Iya, lalu?"
"Selama liburan, aku menyebar kuisioner soal artikel apa yang diinginkan para siswa lewat internet. Dan mayoritasnya meminta kolom tentang kehidupan idola sekolah kita." Lanjut Riko.
"Idola?" Fokus matamu beralih ke foto Hanamiya—yang menurutmu—menyeramkan. "Yang benar saja? Si Orochimaru ini?"
Riko tertawa sinis. "Bukan mauku, tentunya. Tapi, asal kau tahu, si Hanamiya ini ternyata banyak fans terselubungnya."
"Serius? Aku saja cuma tahu kalau dia anak geng Kirisaki Daichi—dan ternyata dia ketuanya—dan ternyata juga dia senpai. Kenapa terselubung?" Tanyamu.
"Karena.. yah tahu sendiri dia badass. Badass kelas tinggi. Kabarnya bahkan dari SMP dia sudah senakal itu. Mana ada yang berani mendekati orang macam itu? Tapi justru karena bertampang begitulah dia jadi punya fans." Jelas Riko.
Kau mengangguk maklum. Yah sebenarnya kau juga punya selera yang tidak jauh dari badass, walau cuma 2D sih. Namanya juga penggila otome game.
"Nah, karena banyak siswa yang menyukai artikel-artikelmu, maka kamu kudaulat jadi reporter kolom baru ini. Selamat." Ucap Riko datar.
"Heeee?! Kok seenaknya sih, senpai! Kan aku biasanya mengisi rubrik untuk acara-acara sekolah!" Protesmu.
Riko tersenyum bisnis. "Kamu kan berbakat menulis, jadi tidak ada salahnya lah kalau mengembangkan bakat dengan menulis berbagai artikel."
Iya juga sih, tapi...
Riko mendorongmu keluar dari kantor klub surat kabar. "Sudah, sudah! Sekarang ayo bergerak! Kamu sudah harus menyelesaikan artikelnya pada tengah bulan Januari, ya!"
Matamu membelalak protes. Gila, berarti kesempatanmu menulis cuma...
"Kutunggu artikelmu tujuh hari lagi ya!" Teriak Riko.
Kau terpaku di depan kantor surat kabar Teikou sambil memeluk data-data Hanamiya Makoto dengan lesu.
.
.
.
.
.
"Hancurlah Januari santaiku..."
.
.
.
.
.
Day 1 report : 5 January 2015
Kata Spongebob : hari baru, dollar baru.
Para siswa di seluruh dunia punya slogan yang sedikit banyak sama dengannya : tahun baru, resolusi baru, aku yang baru.
Kau tertawa depresi di atas mejamu. Kau yang memutuskan tidak ikut-ikutan—kasarnya—munafik seperti mereka, memutuskan untuk bersantai di tahun baru ini. Yah, minimal untuk Januari lah. Selain karena Januari adalah bulan-bulan awal, Januari juga merupakan bulan yang spesial untukmu.
Hari ke tiga belas yang biasanya dianggap sial bagi kebanyakan orang, di bulan ini adalah hari di mana kamu lahir.
Makanya, setidaknya biarkanlah aku santai di bulan yang berbahagia ini, bisik batinmu.
Dan Riko menghancurkan semuanya dengan resolusi kolom barunya. Dan apa pula itu tugas untuk menyelidiki seorang—bos—preman? Apakah kamu harus menulis resolusi tahun barunya untuk tobat berhubung pemuda itu akan memasuki kelas dua belas? Cari mati namanya, kalau menulis berita bohong begitu.
Berhenti mengeluh, (your name). Bisik batinmu. Ayo mulai saja menyelidikinya.
Kau pun mengangkat wajahmu dari meja dan memandang seisi kelas. Ribut tanpa guru, tentu saja. Pelajaran apa sih yang kau harapkan dari hari pertama masuk sekolah? Anak laki-laki sibuk bermain game di ponsel atau bermain lempar penghapus papan tulis. Anak perempuan sibuk ber-social media di ponsel, selfie, atau ada juga yang bergosip di lingkaran siswa di tengah kelas.
Nah, itu dia! Gosip!
Kau pun secepat mungkin menyelinap masuk ke dalam lingkaran gosip kelasmu. Siapa tahu dapat info untuk penyelidikanmu.
"Hai, aku gabung, ya?" Izinmu kelewat sopan.
Perbincangan pun berhenti dan semua mata tertuju padamu.
"INI DIA REPORTER KITA!" Jerit salah seorang gadis yang menjadi pimpinan lingkaran gosip itu. Untung saja gadis itu berada di depanmu, sehingga teriakannya yang melengking itu tidak dapat membunuhmu.
Kau tidak tahu harus bereaksi apa.
"Kita lagi ngomongin pesta ulang tahunnya Akashi Seijuurou-sama! (your name), kamu reporter surat kabar, kan? Kamu pasti dateng ke pesta itu! Gimana rasanya?" Tanyanya beruntun.
Kau pun teringat suatu kenangan yang sedikit tidak menyenangkan. "Yah, aslinya sih aku cuma reporter acara sekolah. Tapi berhubung yang kosong saat liburan itu—tahu sendiri sudah dekat natal—cuma aku, jadi terpaksa aku dan seorang temanku yang meliput ke sana... dan..."
"Dan?" Tanya berpuluh pasang mata yang menatapmu antusias.
"Dan kami ditolak gara-gara tidak punya undangan. Kartu pers ternyata tidak berguna di pesta semahal itu ya, Satsuki." Sindirmu sambil melirik ke arah seorang gadis bersurai merah muda yang sedang bersiul inosen.
Fokus pun langsung beralih ke manajer tim basket Teikou yang didiami Akashi itu. "Eh, iya ya! Momoi pasti ke pesta itu! Cerita cerita ceritaa~!" Desak para gadis.
"Maaf ya, (your name). Iya aku memang ke pesta itu bareng geng Kiseki no Sedai, tapi biasa aja kok!" Ujarnya singkat. "Kami cuma makan-makan bareng, ngobrol-ngobrol, terus pulang."
Serentak para gadis pun mendesah iri. "Enak ya, Satsuki sih sudah biasa dekat-dekat cowok-cowok keren begitu."
Kau tersenyum tipis mendengarnya. Bagimu, lebih baik dikelilingi para pemuda aneh tapi asyik dari klub surat kabar Teikou dari pada pemuda-pemuda kelas tinggi itu.
"Eh, tapi ngomong-ngomong keren, menurutku anak geng Kirisaki Daichi juga nggak kalah keren, kok! Apalagi Hanamiya-san!" Seru seorang gadis ber-ponytail.
Ini dia yang ditunggu-tunggu!
"Eeeeh? Kamu suka Hanamiya-san? Dia kan ketua yang terkenal nakal banget!" Komentar salah seorang gadis.
Gadis itu menampakkan wajah tidak senang. "Ish, gimana sih. Justru karena dia badass dong, makanya keren!"
Beberapa gadis lainnya pun mulai menggumamkan kata setuju. "Iya, ya! Auranya itu lho, bikin penasaran aja!"
"Iya lho, kayaknya nggak ada yang tahu apa kesukannya, tipe ceweknya, mantannya, dimana rumahnya, bahkan beberapa sifatnya aja rasanya misterius banget!" Timpal seorang gadis lagi dengan semangat.
"Oh iya, satu lagi! Ulang tahunnya! Kira-kira kapan ya..?" Tanya sang leader lingkaran gosip.
Mendengar semua keluhan itu, kau merasa bebanmu makin bertambah. Tapi kau jadi tahu apa yang diinginkan pembaca. Yah, setidaknya hari pertama ini cukup menghasilkan!
.
.
.
.
.
Day 2 report : 6 January 2015
Kau mengunyah sandwich kejumu perlahan-lahan. Menikmati setiap gigitannya dengan syahdu. Sesekali kau melirik jam dinding yang menunjukkan waktu empat puluh lima menit sebelum bel masuk berbunyi.
Santai—
sampai ibumu meletakkan beberapa kertas yang berserakan di hadapanmu.
"Ini, kertasnya ketinggalan." Ucap beliau dengan wajar.
Kaget, tak sengaja kau pun menggigit lidahmu pelan. Itu berkas-berkas penyelidikan Hanamiya—yang isinya ya terbatas apa yang diberikan Riko kemarin. Sengaja ditinggalkan dengan cantik di kamar tidur.
Melihat wajah pucatmu, sang ibu tersenyum. Paham akan tugas barumu yang hanya kau ceritakan singkat bahwa kau mendapat jatah menjadi reporter kolom idola. "Deadline-nya kapan? Sempit ya, waktunya?"
Bukan masalah waktunya ituloh, tapi ORANGNYA.
"Tidak juga. Uh, yaa, tenang saja. Aku bisa mengatasi ini." Jawabmu mantap.
Ibumu tertawa kecil lalu menyalakan TV untuk melihat berita pagi. "Kalau kamu mau, Ibu bisa bantu lho. Siapa tahu bisa ibu tanyakan ke jaringan orang tua murid soal si Hanamiya Hanamiya itu."
Horor.
Tanpa ba bi bu lagi, kau pun langsung berdiri dan berlalu dari meja makan. Pergi ke sekolah secepatnya sebelum ibumu mengusulkan ide yang lebih gila lagi. "Aku pergi!"
Terdengar gelak tawa sang ibu yang bercampur dengan suara televisi.
.
.
.
Sebenarnya, sederhana saja hal yang harus dilakukan. Menemui Hanamiya Makoto lalu meminta kesediaannya untuk diwawancarai. Menemukan waktu dan tempat yang pas untuk mewawancarai. Memotretnya dengan izin agar hasilnya lebih bagus—dan legal. Menulis laporan menarik dengan data akurat yang langsung dari orangnya. Artikel dimuat dan begitu terbit terjual banyak dengan para gadis fangirl dimana-mana.
Gampang ya? HAHAHA. Kau menangis dalam hati.
Hari ini kau mencoba mendekati markas Kirisaki Daichi dan menemukan beberapa anggotanya sedang berkumpul. Ada Hanamiya di sana, sedang memainkan catur bersama salah seorang anggotanya. Ada juga yang sedang bergerombol memainkan sesuatu—entah apa yang jelas banyak yang merubunginya, sepertinya seru, atau terlarang. Kau mengintip dari balik tembok dan mulai mengamati Hanamiya. Wajah tampannya tampak malas-malasan hari ini.
Kau mulai menulis dalam notesmu. Mungkin ia suka main catur.
Setelah mantap menggoreskan pena, kau kembali mengamati Hanamiya dan merasakan iris greyish brown-nya bersirobok dengan sepasang bola matamu. Alisnya yang mengkerut serius seketika terangkat dan sedikit terkejut.
Ketahuan!
Jantungmu berdesir. Tanpa perintah ia berdetak semakin cepat. Hormon adrenalin—atau apalah—mengalir cepat di sekujur tubuhmu dan membuat wajahmu memanas. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Sumsum tulang belakangmu pun bekerja cepat dengan menerjemahkan perintah untuk segera pergi dari tempat ini secepatnya.
Alhasil, hari kedua penyelidikan yang berharga pun hanya menghasilkan sebait fakta yang tak pasti.
.
.
.
.
.
Day 3 report : 7 January 2015
Satsuki menyapamu riang pagi ini. "Pagi, (your name)."
Kau tersenyum seadanya. "Pagi."
"Eeh... Kamu kellihatannya lelah sekali, (your name). Pasti habis ngerjain tugas sejarah, ya?" Tanya Satsuki, tanpa maksud apa-apa.
Kau membelalakkan matamu yang mengantuk. "Tugas sejarah? Apa? Tunggu. Yang merangkum materi Bab satu ya? Yang lima puluh halaman itu? DIKUMPUL HARI INI?"
Satsuki hanya bisa tersenyum miris begitu mengetahui pertanyaannya mengena. "I.. iya. Itu kan tugasnya sudah dari libur, (your name). Kupikir kamu kemarin mati-matian mengerjakan bagian akhirnya tapi... kayaknya malah belum sama sekali ya?"
"Aku... sumpah, saat liburan aku benar-benar tidak ingat tugas apapun! Arrrgh!" Kau mengerang kesal. Teringat semalam kau sibuk merencanakan strategi mewawancarai Hanamiya tanpa takut untuk hari ini. Ternyata malah ada satu tugas yang mahadahsyat belum dikerjakan.
Satsuki menepuk bahumu simpatik dan memberimu permen lemon agar tidak mengantuk. Kau pun terpaksa merangkum dari lima puluh halaman bab satu di sela-sela pelajaran hari ini. Untung sejarah adalah pelajaran terakhir.
Berkat keajaiban, rahmat Tuhan, permen lemon Satsuki, dan kekuatan tanganmu, rangkuman yang ditulis dengan cakar ayam itu pun selesai saat waktu makan siang.
"Satsuki, mau temani aku memberikan ini kepada sensei?" Tanyamu lemas.
Gadis bersurai merah muda itu menggeleng pelan. "Maaf, (your name). Aku benar-benar lapar, jadi aku makan dulu ya, hehe."
Bibirmu maju setengah sentimeter, cemberut. Kau pun membawa bukumu dan kotak bekal makan siangmu ke ruang guru untuk diadili. Agak malu, sih. Tapi kau ingin secepatnya tenang dari tugas lalu langsung makan dengan nikmat! Karena itu, biar lelah, kau berlari secepatnya menuju ruang guru.
Karena tidak ada yang namanya kebetulan, maka takdirlah yang menuntun seorang Hanamiya Makoto tiba-tiba muncul di hadapanmu dengan roti yakisoba makan siangnya. Mendukung takdir, hukum newton pun membuatmu tak sengaja menabrak sang kakak kelas dan membuat kalian berdua terjatuh di koridor.
"Oi!" Tegurnya, galak.
Terkejut, kau pun menyingkir takut-takut. Segera mengambil buku yang terlempar dan berusaha meraih kotak bekalmu yang untungnya selamat. Tapi yang kau raih malah sebungkus roti yakisoba yang tidak sengaja kau injak.
Ah.
"Ma—Maaf Hanamiya-senpai! Aku bener-bener nggak sengaja! Aduuh..." Sesalmu dengan sedikit gugup, tanpa melihat wajah Hanamiya yang berani taruhan saat ini pasti sedang sangat murka.
"Hei, angkat wajahmu." Tegurnya lagi. Kamu masih menunduk. Tidak, tidak takut. Hanya saja suaranya barusan terdengar sangat dekat dan... ah... tidak terdefinisikan bagaimana itu bisa membuat wajahmu tiba-tiba memanas.
"Ck." Tangan besarnya pun mengangkat dagumu dan membuat kedua matamu terpaksa melihat wajahnya.
Aneh, kenapa tiba-tiba pemuda ini terlihat tampan?
"Sepertinya tidak apa-apa." Ujarnya setelah matanya menelitimu lebih jauh. "Kau menginjak makan siangku. Ini kotak bekalmu, kan? Kuambil sebagai gantinya."
Pada kondisi biasanya, tanpa ragu kau pasti akan menyemprot orang semacam ini dengan omelan. Tapi...
Hanamiya membantumu berdiri. Ia pun berlalu dari hadapanmu yang sedang dalam masa aftershock sambil membawa bekal makan siangmu. "Kuharap ini enak." Ucapnya.
"Ah, ya. Aku tidak suka orang bodoh yang ujian sejarah saja harus remidi mengerjakan rangkuman dadakan dalam satu hari." Lanjutnya lagi, lalu kali ini ia berlalu dengan cepat dan hilang dari pandanganmu.
Ha.
Ha.
Ha.
Kau menatap setengah roti yakisoba yang penyet itu. Sepaket bento dengan menu kesukaanmu yang susah payah dibuat ibumu pagi ini seenaknya saja diambilnya dan ditukar dengan roti yakisoba murahan tak layak makan ini. Memang sih awalnya ini salahmu karena menabraknya, tapi ia kan bisa memintamu untuk membeli roti baru yang sepadan atau apa. Lalu, apa maksudnya orang bodoh? Menyebalkan. Menyebalkan.
Ini perampokan namanya.
.
.
.
"He? Kamu mau mengumpulkan remidi sejarah?"
"Iya, Sensei. Maaf, agak berantakan."
"Tunggu, tunggu, kamu..."
"Jangan bilang ternyata ngumpulinnya besok ya, Sensei?!"
"Tidak, sih Benar dikumpulkan hari ini... Tapi..."
"Ja.. jangan-jangan salah bab?"
"Bukan. Kamu kan nggak remidi, buat apa ngumpulin tugas ini?"
.
.
.
.
.
Day 4 report : 8 January 2015
Ya Tuhan.
Lupakan kejadian remidi sejarah yang tak ada itu. Sekarang ada kejadian yang lebih gawat. Hanamiya tiba-tiba muncul di pintu kelasnya dengan wajah garang.
Para lelaki memekik ketakutan—di dalam hati—dan menyingkir ke sudut kelas. Para wanita ikut menyingkir pelan-pelan ke sudut berbeda dengan pandangan yang sedikit beda, antara kagum dan takut. Kamu yang tengah menyuap sosis gurita dengan lahap terdiam di tempat. Untung ada Satsuki yang masih duduk di hadapanmu dengan bekalnya juga. Tampaknya gadis ini sudah biasa menangani pemuda-pemuda berandal sampai psiko.
Hanamiya berjalan ke kursimu yang berada di tengah kelas tak sabaran. Diletakkannya sebuah kotak bekal yang sudah tak asing lagi bagimu. Kotak bekalmu yang kemarin dirampok Hanamiya.
"A—ah... Makasih, Senpai." Ucapmu singkat, menahan kesal. Kenapa pula harus dirimu yang berterima kasih, coba?
"Jadi, udah punya bekal, ya." Ucapnya tak jelas. Kau memandangnya heran.
"Iya, terpaksa pakai punya adik yang untungnya sekarang sedang libur HUT sekolahnya." Balasmu sedikit sinis.
Mendengar nada sinis itu, Hanamiya malah menatapmu tajam. "Oh." Tangan besarnya tiba-tiba menggamit tanganmu yang sedang memegang sumpit. "Ikut aku."
Kau membelalak protes tapi genggaman tangan Hanamiya menahanmu bicara. Sorot matanya begitu mutlak. Ikuti perintahnya. Benar-benar seorang pemilik kharisma pemimpin geng Kirisaki Daichi.
Satsuki menggerakkan bibirnya memberi kode. 'Sudah, ikuti saja maunya', katanya.
"Bawa juga kotak itu." Hanamiya menunjuk kedua kotak bekalmu. Kau pun terpaksa membereskan bekalmu yang belum habis dan akhirnya mengikuti Hanamiya—yang sudah tidak menggenggam tanganmu lagi. Membisikkan sebaris kata 'doakan aku' ke arah Satsuki, lalu menghilang dari kelas bersama Hanamiya.
Satu kelas langsung heboh selepas kunjungan mendadak pejabat geng nakal itu.
.
.
.
Rasanya mau nangis.
Kau teringat berkas laporanmu di rumah. Tidak ada suatu berita berarti yang bisa membantu perkembangan artikel barumu. Artikel paksaan sih, tapi yang namanya profesional ya harus bekerja secara profesional. Sesulit apapun, sebaru apapun, semenyebalkan apapun, tetap harus dikerjakan.
Tapi—lagi—terlepas dari segala profesionalisme itu, Hanamiya Makoto benar-benar membuatmu kesal. Lebih kesal dari pada ketika diusir sebelum masuk pesta Akashi. Pemuda yang harusnya menjadi narasumber artikel barumu ini malah berlaku seenaknya—dan berani taruhan, dia bahkan belum tahu namamu!
Kau tersenyum miris. Betapapun kuatnya keinginanmu untuk mencincang ketua geng Kirisaki Daichi ini, kau tetap mengikuti sang pemuda. Dengan takut-takut pula.
Rupanya, Hanamiya membawamu ke atap. Kau melongo. Atap itu tempat yang terlarang bagi para siswa untuk datang—entah karena apa—dan merupakan tempat impianmu untuk makan siang. Iya, seperti di komik-komik. Memang sih ternyata kondisi atap tidak sebagus apa yang digambar para komikus idolamu, tapi tetap saja rasanya berbeda begitu kau memasuki wilayah terlarang itu bersama Hanamiya.
Eh, iya juga. Bagaimana kalau ketahuan?
"Senpai, kita kan nggak boleh ke—"
"Kau lihat taman kecil yang dibentuk di situ? Ayo, makan di sana." Potong Hanamiya cepat. Alih-alih takjub melihat taman kecil dengan sebatang pohon yang menjadi inang sebuah anggrek ungu yang ditunjuk Hanamiya, kau malah lebih takjub mendengar ajakan si ketua geng barusan. Nadanya memang tidak bersahabat sih, tapi tetap saja.
Tak jual mahal, kamu pun mendekati taman kecil di dalam kaca itu dan duduk di tempat yang disediakan. Hanamiya mengambil tempat di sampingmu. Kalian pun duduk berdampingan menghadap pohon dengan bunga anggrek itu.
Kamu menatap Hanamiya tidak percaya. "Jangan bilang senpai yang buat ini semua?"
Hanamiya tergelak. "Yang bener aja. Nggak, ini cuma sepetak kecil tempat istirahat yang menyenangkan." Jelasnya yang tidak menjelaskan.
Senyum pun mengembang dari wajahmu. Kau membuka kain pembungkus yang menyembunyikan dua kotak bekal yang kau bawa. Kini baru kau sadari ternyata kotak yang dikembalikan Hanamiya—yang harusnya kosong—malah terasa berat. "He? Kok... seperti ada isinya?"
Dan... voila! Sepaket bento salmon cantik dengan gizi seimbang tertata rapi di tanganmu. Jawdrop. Wanita mana yang bisa membuat bekal cantik bak seorang Nadeshiko begini?
Sang ketua geng Kirisaki Daichi tersenyum puas melihat reaksimu. Dengan lancang—seperti biasanya—ia mengambil kotak bekalmu yang belum habis lalu seenaknya membuka dan mulai melahap sosis guritamu selama kau takjub melihat isi bekal yang dikembalikannya.
Begitu menyadari bekal aslimu menghilang, kau memprotes. "Hei! Bekalku! Itu belum habis, tahu!"
Tak ambil pusing, pemuda itu mulai melahap onigirimu. "Kemarin buatan ibumu, kan. Yang ini asli buatanmu jadi aku yang habiskan." Perintahnya. "Walau nggak dapet secara utuh."
"Me—memangnya kenapa kalau asli buatanku?" Tanyamu dag dig dug. Kalimat senpai-mu barusan itu benar-benar bahaya buat kokoro!
Hanamiya menyeringai. "Ya, pengen aja. Suka suka lah."
Kontan wajahmu pun memerah mendengarnya. Catat, Hanamiya ternyata bisa ngomong bagus juga.
"Hei, dimakanlah bekalnya. Udah susah-susah dibuat, juga." Satu kejutan lagi dari Hanamiya. Bekal secantik ini dia yang buat?
"Ha.. Hanamiya-senpai yang bikin ini?" Tanyamu tak percaya.
Ia melengos tidak suka. "Dengan—sangat—sedikit bantuan si hati besi itu." Lalu menyeringai. "Salah kalau kamu kira pemimpin Kirisaki Daichi mau-maunya merampok bekal junior hanya karena dia menginjak roti yakisoba lima ratus yen."
Ah, jadi inikah orang yang dari tadi kau maki-maki tidak beradab? Orang yang kau sangka jahat dan nakal hanya karena ia menjadi pemimpin sebuah geng pemberontak?
Kau pun memakan bekal itu. Ya, ada beberapa rasanya terlalu asin. Tapi, namanya juga laki-laki. Mengetahui ini buatan Hanamiya saja sudah sama ajaibnya seperti kantung Doraemon. Kau menikmatinya sambil sesekali melirik sang chef yang menekuni bekal buatanmu seakan itu rare item.
Sumpah, rasanya masih belum percaya ini Hanamiya Makoto.
Tak lama kemudian, di tengah-tengah keheningan syahdu dan suasana hangat rumah kaca itu, keduanya pun selesai memakan bekal. Kau pun menawarkan sebotol ocha yang kau beli di vending machine—walau sudah sempat kau minum sih—dan Hanamiya meminumnya sedikit terlalu antusias.
Kau menatap Hanamiya ragu-ragu. "Umm.. Senpai... Aku mau tanya..."
"Apa?" Tanyanya, masih dalam logat tak bersahabat yang biasanya.
"Hanamiya-senpai tahu namaku tidak?" Tanyamu.
Sang pemuda mengangkat sebelah alisnya. Tidak menyangka pertanyaan yang keluar seperti itu. Lalu seperdetik setelahnya ia tergelak lepas. Puas. Tanpa kelicikan yang biasa menguar dari tubuhnya.
"Kamu pikir IQ-ku berapa, (your name)? Untuk mengetahui siapa yang diam-diam menyelidikiku demi kolom baru surat kabar Teikou, itu mudah lah." Jawabnya angkuh. Yah, dia memang sangat pintar, tapi sebenarnya itu kan tidak ada hubungannya dengan IQ.
Wajahmu memucat. Jadi, berandalan kelas kakap ini tahu kalau kau membuntutinya? Ugh, rasanya malu sekali. Tapi untung saja kau tidak dikira fans berat pemuda ini. Kamu cuma kagum saja, apalagi setelah hari ini.
Iya, kagum.
Ah, jadi tidak tahan kan melihat wajah tampan itu lama-lama. Kau pun segera mengalihkan pandanganmu ke taman kecil di hadapanmu. Aneh, kenapa ada rumah kaca ini di atap yang dilarang dimasuki?
"Tempat ini cantik sekali, sangat tidak disangka." Komentarmu. "Tapi aku lebih suka langit yang luas. Bebas. Banyak yang belum terjamah namun menyimpan kecantikan sendiri. Terutama malam hari yang bersinar. Ah, sayang sekali kita tidak boleh ke atap, sebenarnya."
Hanamiya langsung menyeretmu keluar. Iya, menyeret. Lalu memandangi langit musim dingin yang kelabu. "Ini yang kau suka?" Ejeknya.
"Yah, kita kan tidak bisa berbuat apa-apa pada langitnya. Paling sebentar lagi turun salju." Jawabmu sekenanya. Sedikit kecewa juga sebenarnya.
Pemuda bersurai hitam berantakan itu menyeringai lagi. "Sudah sampai mana penyelidikannya, Nona reporter? Kelabu kah seperti langit yang kau cintai?"
Kau tersentak dibuatnya. Pemuda bermulut tajam itu seketika kembali merusak mood-mu.
"Ya, maaf saja ya kalau aku tidak sebagus yang diharapkan. Tapi, lihat saja, aku pasti akan membuat artikel yang memuaskan untuk para pembacaku." Jawabmu penuh semangat, menepis nada sinis Hanamiya yang selalu terdengar menyebalkan.
"Kayaknya sudah cukup membiarkan Akashi Seijuurou terkenal sendirian." Gumam Hanamiya sambil melihatmu. "Bawa saja bekal buatanmu lagi—ah kali ini pastikan ada cokelat. Satu bonus buatmu, Nona reporter. Kau bisa menanyakan apapun padaku."
Mata obdisianmu berbinar tak percaya. "Se.. serius? Tadinya aku sempat khawatir kalau Senpai tidak suka dibuat artikelnya, atau artikel itu akan membuat Senpai marah atau apa, atau..."
"Makanya, kau buatlah itu di bawah arahanku, Baka." Ejeknya lagi.
Wajahmu memerah kesal. "Ih! Mentang-mentang IQ jenius."
Hanamiya tergelak lagi. Tangan besarnya mengacak rambutmu dengan gemas. "Makan siang berikutnya, aku tidak peduli kau buat apa, tapi cokelatnya jangan lupa."
Wajahmu memanas. Hatimu berdesir. Jantungmu berdetak cepat. Senyummu tanpa sadar terkulum indah.
Dan bel masuk pun berbunyi tepat pada waktunya.
.
.
.
.
.
Day 5, 6 and 7 report : 9, 10, and 11 January 2015.
Setelah mengalami satu hari yang terasa bak mimpi minum air keran di padang pasir, kau tidak bertemu Hanamiya barang sedetik pun. Pemuda itu—secara implisit—berjanji untuk diwawancarai saat makan siang lagi. Tapi, pada hari kelima kau tidak menemukannya di atap—setelah susah payah menyelinap masuk tanpa koneksi Hanamiya—maupun di markas Kirisaki Daichi, walau cuma sebatas mengintip.
Esoknya, kau memberanikan diri ke kelasnya dan menanyakan soal Hanamiya. Namun, para senpai mengatakan bahwa hari ini ia tidak ke sekolah. Tidak izin, seenaknya seperti biasa. Tidak ada pilihan lain untukmu selain pergi ke markas Kirisaki Daichi dan mencoba menanyai salah seorangnya. Toh, ia benar-benar punya keperluan dengan bos mereka. Sayang, ketika kau hampiri, markas itu kosong.
Terdesak deadline yang tinggal dua hari lagi, kau pun kembali menanyai para senpai di kelas Hanamiya, bahkan sejak pagi. Juga mengecek keadaan markas Kirisaki Daichi yang rupanya masih kosong. Apa mereka semua mendadak pergi liburan, gitu? Ngaco. Tapi kalau benar enak juga sih. Kau menyesal kenapa tidak sejak awal saja kau minta nomor teleponnya—atau minimal alamat emailnya. Demi wawancara saja kok!
"Eh, dia nggak ke atap?" Celetuk salah seorang siswa di kelas Hanamiya ketika kamu menghampiri mereka untuk menanyai keberadaan Hanamiya.
"Ah, iya juga ya! Bisa jadi tuh dia ke atap, dia kan selalu ke sana sejak saat itu." Timpal salah seorang lagi.
"Iya, padahal udah dilarang. Padahal kejadiannya udah lama juga, sih." Komentar yang lain lagi.
Kau tertegun mendengar pembicaraan yang tak kau mengerti ini. "Maksudnya apa, ya?"
Salah seorang gadis berbando biru pun mengambil sikap bercerita. "Ah, kamu nggak tahu ya. Sebelum kamu masuk, ada kejadian tewasnya murid perempuan di atap. Kabarnya sih bunuh diri. Makanya atap ditutup, padahal sebelumnya cakep banget lho, banyak taman-taman kecil. "
"Taman kecil? Rumah kaca maksudnya?" Tanyamu memastikan.
"Iya. Dulu ada banyak dan luas banget. Tapi sekarang katanya cuma tinggal satu, di tempat si anak yang meninggal itu sering dateng. Makanya nggak ada yang berani menyingkirkan taman itu dari atap. Terpaksa deh atap ditutup, selain untuk alasan keselamatan siswa juga." Jelasnya panjang lebar.
"Nah," seorang gadis berambut bob pun melanjutkan. "Gadis itu pacarnya Hanamiya."
.
.
.
Kau tersenyum seraya memeluk notesmu erat-erat. Setengah mati menahan ekspresi syok yang harusnya terlihat.
.
.
.
Day 8 report : 12 January 2015
Hanamiya kembali tidak masuk dan besok deadline pengumpulan artikel. Kau menelungkup di atas mejamu. Satsuki menghiburmu dengan chupa cups stroberi.
Satu-satunya berita yang bisa kau sampaikan yang sangat tidak terdengar seperti bohong hanya tentang sang pacarnya Hanamiya. Iya, pacar, karena matinya sebelum putus jadinya statusnya tetap pacar, gerutumu di dalam hati. Tidak rela saja rasanya.
Pantang menyerah, kau kembali menghampiri kelasnya dan lagi-lagi tidak menemukan apapun yang berarti. Markas Kirisaki Daichi juga kosong. Berarti tidak ada pilihan lain selain atap, yang sebenarnya kemungkinan besar juga takkan ada di sana, sih. Tapi lumayanlah untuk sedikit memeriksa keadaan soal kevalidan data soal kisah tragis pacarnya Hanamiya.
Kau mendesah. Ini salah. Kolom yang akan kau kerjakan bukan kolom yang memuat gosip-gosip soal idola yang akan dibahas.
Tanpa sadar, ternyata kakimu sudah melangkah ke pintu atap. Padahal seharusnya kamu berkoalisi dulu dengan pak penjaga kuncinya agar bisa masuk. Kamu baru saja akan berbalik sampai angin musim dingin meniup pintu sampai sedikit terbuka. Pintu tidak dikunci. Jangan-jangan... Hanamiya memang ada di atap?
Kau membuka pintu atap dengan semangat hanya untuk menemui kesendirian yang sama seperti tiga hari terakhir. Senyummu melengkung ke bawah. Kau berjalan gundah ke arah rumah kaca yang masih dirawat itu, memutuskan untuk menyelidiki saja soal pacar si narasumber artikelmu ini, sampai sebuah kertas yang menempel di pohon kau temukan. Ada tulisan jelas Hanamiya di sana.
'Suka warna hijau?'
Hanya itu.
Kau mengerutkan keningmu. Bingung. Tapi karena bel masuk hampir berbunyi, kau memutuskan untuk pergi dan makan siang.
.
.
.
Malam ini spesial, sekaligus menggelisahkan. Besok, tepatnya empat jam lagi, kamu berulang tahun. Besok, tepatnya saat masuk sekolah, Riko akan memborbardir kelasmu menagih artikel tanpa ampun. Tidak punya waktu istirahat sama sekali. Apalagi kau terpaksa menulis dengan bahan yang sedikit dan tidak memuaskan.
Aku gagal sebagai reporter, batinmu sendu.
Tok tok tok
Tiga ketukan pintu menyadarkanmu dari setengah tidurmu. Matamu berdaya tinggal lima watt. Pikiranmu sudah tak fokus kemana-mana. Hanya satu terbayang, kasur.
"(your name), ini ada temen kamu dateng! Ayo turun!" Tegur sebuah sopran dari ibumu. Seketika kau membelalak kaget. Jangan bilang teman itu maksudnya Riko yang pernah nekat mendatangi rumahmu malam-malam untuk menagih artikel yang deadline-nya dipercepat.
Namun yang kau temui adalah seorang Hanamiya dalam balutan jaket dan kaus santai serta celana cargo yang modis. "Hai." Sapanya.
Kau menatap baju tidurmu yang bergambar panda. Ah, kebanting sekali.
"Tante," Hanamiya mulai merayu. "Saya bawa (your name) ya. Tenang saja, dia akan menginap di rumah saya dengan aman kok."
Melihat charming Hanamiya, ibumu tak berkutik dan mengangguk genit. "Tidak aman juga tidak apa kok, sama kamu saja tapi."
Kau melotot mendengar perkataan ibumu yang memperbolehkan sesuatu yang ambigu.
Hanamiya tersenyum bisnis—akting. "Baik, terima kasih, Tante. Ayo, (your name)." Ia menyodorkan tangannya ke arahmu.
"Eh—eh! Tapi... mau ngapain? Ini udah malem dan aku ada deadline!" Protesmu yang tidak terlalu suka sesuatu yang dadakan.
"Ck, katanya mau wawancara. Memangnya kamu mau tulis apa, hah?" Tanyanya menantang. Kau terdiam. Benar.
Tanpa banyak omong lagi kau pun mengangguk setuju. Hanamiya berdecak kesal setelah melihat jam tangannya lagi. "Hampir telat! Sudah, tidak usah ganti baju atau ambil laptop segala! Ayo pergi!"
"Lho! Tu—tunggu!" Hanamiya menarikmu keluar rumah lalu memberikan jaket dan helmnya.
"Naik. Cepat." Perintahnya. Kau otomatis mematuhinya.
Lalu kalian pun menuju rumah Hanamiya tanpa kau tahu apa yang sebenarnya akan kalian lakukan.
.
.
.
Hanamiya menutup matamu begitu sampai di rumahnya dan membukanya ketika kedua kakimu menginjak lantai kayu loteng rumahnya. Bukan loteng biasa, karena dilengkapi berbagai benda menakjubkan yang berhubungan dengan astronomi, terutama teleskop dan teropong. Kau hanya bisa terkagum-kagum melihatnya.
"Kita akan wawancara di atap." Jelasnya. "Ayo buat cokelat panas dulu!" Ajaknya sedikit terdengar antusias. Kamu tertawa pelan, lagi-lagi mendapati sisi lain Hanamiya yang terkenal berandal.
Setelah cokelat panas dan snack cokelat siap—jika sehabis ini gendut salahkan penyakit chocolate freak Hanamiya—kalian pun memanjat ke atap dengan hati-hati lalu mengambil posisi yang enak untuk memandangi langit. Tak ketinggalan pula notesmu untuk wawancara. "Jadi... siap untuk wawancara?" Tanyamu.
Hanamiya melihat jam tangannya. Jam sepuluh lewat lima menit. Ia pun berbaring di atap yang sepertinya memang di desain untuk mengamati langit itu. "Santai sajalah. Coba sekarang kamu lihat langit."
Kau mendongakkan kepalamu, melihat banyak bintang bertebaran di langit yang cerah sekali malam ini. "Cantik sekali! Untunglah malam ini cerah." Kau pun ikut berbaring di sebelah Hanamiya.
Pemuda itu menyeringai. "Belum apa-apa... coba ambil binokuler di sampingmu dan lihat ke arah dua bintang yang bersinar paling terang itu."
Kau ikuti instruksinya dan mendapati bintang tersebut berpendar kemerahan di binokulermu. "Ah, aku lihat! Warnanya merah, "
"Yang paling terang satu itu namanya Sirius, lalu di dekatnya Belgeuse. Nah sekarang lihat sedikit ke arah tenggara." Perintahnya lagi. Kau pun menggeser binokulermu dan mendapati sebuah bola berpendar kehijauan.
"Whoa—Aku tidak tahu kalau bintang bisa berwarna hijau juga lho, Senpai!" Ungkapmu kaget. "Cantiknya!"
"Duh—" Alih-alih memuji, Hanamiya malah mengeluh. "Atur lagi binokulermu, seperti ini, dan sekarang lihat lagi bola hijau itu."
Sekarang kau benar-benar terkesima. Berkat kekuatan binokuler Hanamiya, terlihatlah sebuah objek langit berekor berwana hijau yang tampak melesat di langit tenggara. "Hanamiya! Itu komet! Komet kan? Itu ada ekornya! Warnanya hijau! Wah~! Keren!"
Hanamiya pun melihat dari binokuler yang dipegangnya. "Ya, itu komet Lovejoy. Komet yang hanya muncul ribuan tahun sekali, sekarang sedang melintas di depan matamu dengan anggun." Deskripsinya sedikit puitis. Sedikit banyak Hanamiya pun takjub melihatnya.
"Komet ini hanya akan sangat terlihat pada awal-awal malam saja, jadi paling sebentar lagi tidak akan terlalu kelihatan. Nah, sekarang sudah tidak terlalu terlihat." Ia pun menaruh kembali binokulernya lalu menyeruput cokelat hangatnya. Menyesapnya nikmat seraya menikmati objek langit yang lain sementara kau masih asyik dengan binokulermu.
Setengah jam kemudian, kau tidak lagi dapat menikmati keindahannya dari balik binokulermu dan kau menyerah. Harum cokelat panas Hanamiya begitu menggoda. Kau pun ikut memandangi bintang lainnya sambil menyesap cokelat panasmu. "Indah sekali, Hanamiya-senpai! Terima kasih sudah menunjukkan ini padaku!"
"Keceplosan manggilnya tadi nggak diterusin aja?" Sindirnya jenaka.
Tersadarlah tadi kau sempat memanggilnya tanpa suffix senpai. "Maaf, Senpai."
"Terusin aja." Izinnya dengan acuh. "Nggak apa-apa."
Mendengar persetujuan itu, kau menyiapkan notes dan pensil mekanikmu. "Oke, kita mulai ya. Apa makanan favoritmu?"
Hanamiya memandangmu lelah. "Dasar bodoh, sudah dikasih tau petunjuk tentang cokelat masih juga bertanya."
"Oh iya! Hehe... Baik, kalau gitu, katanya saat SMP main basket ya, Hanamiya? Lalu sekarang gimana?" Tanyamu.
"Aku sial, selalu dapat orang-orang sampah yang susah kupimpin. Sekarang aku bukan penyiksa lagi namanya, kalau sejak awal yang lain sudah jatuh duluan. Aku tidak berminat main basket lagi. Tapi mungkin saja suatu saat nanti." Jawabnya cukup panjang.
Kau tersenyum jahil. "Hee... Berarti sedikit banyak sebenarnya cinta juga sama basket kan..."
"Sudah! Lanjut saja!" Protesnya.
"Baik. Aku dengar soal rumor kalau gadis yang meninggal di atap itu pacarmu ya, Hanamiya?" Tanyamu sedikit harap-harap cemas.
Ia tampak mengingat sesuatu yang sedikit emosional. "Yah, bukan. Hanya saja..." Hanamiya menatapmu dengan seringai jahil. "Dia mirip denganmu. Makanya aku sengaja bawa kamu ke tempat kesukaannya di atap, siapa tahu arwahnya bisa pindah ke tubuhmu dan dia hidup lagi."
Wajahmu berubah horor. "Ish! Jangan bercanda ah!"
"Yaah..." Hanamiya tampak menyelami masa lalu. "Aku suka gadis itu. Suka aja. Sayangnya dia terlalu putus asa pada penyakit kankernya sampai memutuskan untuk mengakhirinya lebih cepat dengan terjun ke bawah."
Reflek, pandanganmu jadi melihat ke bawah juga. Mendadak, bulu kudukmu berdiri dan jadi takut jatuh.
Hanamiya tertawa mengejek. "Nanti kalau jatuh bakal kutangkap. Aku tidak akan membiarkan seseorang jatuh seperti itu lagi."
Kau tersenyum mendengarnya. "Aku nggak nyangka lho, ternyata Hanamiya yang selama ini... umm... maaf ya... kukira begitu menyeramkan dan nakal itu baik. Baik sekali. Padahal kita kan baru kenal—secara tidak resmi pula. Apalagi Hanamiya mau membantuku menulis artikel juga."
"Setiap orang punya sisi baik dan jahat, tapi kamu bodoh sekali ya, (your name). Mana mungkin ada orang yang baru kenal langsung sebaik ini? Penjahat, mungkin saja. Kau ini benar-benar mengkhawatirkan..." Komentarnya sambil menggelengkan kepalanya.
"Hah? Ja.. jadi maksudnya.. Hanamiya sebenarnya penjahat... TERUS AKU MAU DIAPAIN?" Pekikmu panik. Kau pasti sudah heboh kalau tidak ingat sedang di atap. "Jangan-jangan yang dikatakan ibu... Hanamiya... mau..."
Hanamiya tertawa jahat. "Jangan mimpi kamu. Seks sama anak kecil begini, apa menariknya."
Kau tersenggol mendengar kata anak kecil itu. "Maaf aja deh kalau menurutmu aku masih anak kecil. Tapi!" Kau menunjuk jarum jam dua belas di tangan Hanamiya. "Lihat, ternyata sudah jam dua belas kurang satu menit! Satu menit lagi aku akan seumur denganmu lho, tujuh belas!"
Senyum terlihat di wajah tampan ketua geng Kirisaki Daichi itu. "Kamu kalah, tepat hari ini aku sudah delapan belas." Pamernya.
"Eeeeh? Jadi ulang tahunmu hari ini? Dua belas Januari? Wah, selamat ulang tahun, Hanamiya~!" Ucapmu riang.
Jam tangan sport milik Hanamiya dilepas sang pemilik dari tangannya. Ditunjukkannya jam tersebut di depan wajahmu. "Sekarang, pukul dua belas tepat. Kamu hampir terlambat."
Tepat setelah kau melihat jam tersebut, wajah Hanamiya tiba-tiba mendekat lalu mencium bibirmu pelan.
"Selamat ulang tahun, (your name)."
.
.
.
.
.
Epilog
.
.
.
.
.
Lusa paginya, kau yang masuk kelas dengan wajah ceria mendapati seisi kelas sedang berkumpul di depan kelas. Tampaknya sedang berebut sesuatu.
"Sedang lihat apa sih?" Tanyamu penasaran.
Salah seorang teman menjawab tanpa melihatmu. "Surat kabar Teikou edisi terbaru!"
Kau pun tegang mendengarnya. Seingatmu kau bahkan belum mengirimkan artikelmu.
"I.. isi kolom idolanya gimana?" Tanyamu lagi.
Anak tersebut menjawab tanpa melihat lagi. "Hanamiya Makoto jadian! Sama si (your name)!"
"WHAT?!" Jeritmu kaget. Semua pun hening dan sama kagetnya melihat orang yang mereka bicarakan tiba-tiba ada.
"Coba lihat!" Kau pun menyambar surat kabar Teikou yang dipegang si ketua kelas. Benar, ada banyak fakta tentang Hanamiya dan terutamanya adalah dia dan dirimu saat malam itu! Penulisnya... Penulisnya...
Aida Riko.
.
.
.
"Ah, ternyata aku sudah dikerjai sejak awal!"
.
.
.
End~
.
.
.
a/n Schnee: Happy birthday Hanamiya~ Aish maaf telat berapa menit hihi kan sekalian biar kita ngerayain ultah bareng pas 00.00 :3 :3 #digampar readers#
Oh iya, Kuroko no Dating Simulation ini bakalan memuat readers x cowok2 ganteng kurobas hihi dan di sini ada dua author, Tsukkika Fleur dan Schnee-Neige. Untuk chapter satu ini Schnee yang bikin (panggil Yuki aja :3) dan chapter selanjutnya ada Tsukkika Fleur! Pairingnya masih rahasia ya, hihi.
Tapi, mohon maklum ya karena kedua author akan menghadapi Ujian Nasional tahun ini, jadi update mungkin akan lama banget, nih.
Yah, pokoknya selamat menikmati dan happy birthday Hanamiyaaaan~!
