.

.

.

Aku ingin dewasa.

Itu adalah keinginanku dulu. Keinginan serta janji yang kubuat bersamanya. Tapi kalau ia tak ada, maka lebih baik aku tidak dewasa. Karena aku hanya akan bertumbuh dewasa bersamanya. In the first place. Apakah dia membenciku? Hingga meninggalkanku sendiri seperti ini? Meninggalkanku dengan janji untuk tumbuh dewasa bersama. Meninggalkanku dengan luka mendalam. Nyaris saja menghapus kesempatanku untuk tersenyum. Tapi, sesuai janji kita. Apapun itu, aku tak akan mengoyakkan janji ini.

Sekarang, aku tak mau dewasa.

.

.

.

###

Disclaimer : Hetalia © Hidekaz Himaruya

Peterpan © J.M Barrie

Warning : OOC, OC, AU, Shonen-ai, garing, typo(s)

###

.

.

.

"Alfred! Harusnya kesebelah sini!" protes sebuah suara kecil.

Orang yang dipanggil hanya menyengir. Sambil tentunya menoleh-noleh mencari asal suara. Sejujurnya ia tak mau lagi diomeli sang pemilik suara karena lagi-lagi kehilangan jejak, namun apa daya. Biarpun dengan kacamata khusus untuk melihat peripun, Alfred masih kesulitan mencari sang teman itu. Mungkin karena teman kecilnya itu memang punya bakat invisible. Sabarlah.

"Matt? Kau dimana?" tanya Alfred pada akhirnya.

Menyerah mencari temannya yang memang agak (sangat) invisible itu. Entah takdir apa yang membuat teman kecilnya memiliki 'kemampuan' seperti itu. Yang pasti, menurut temannya sekalipun, itu adalah kemampuan yang sangat tidak ia inginkan. Lebih baik ia belajar sim-salabim lalu menghilang dengan sparkly bertebaran daripada otomatis invisible begini. Namun apa daya nasib berkat lain. Salahkan penciptamu.

"Ugh. Dipundakmu." bisik temannya itu nampak kesal. Alfred langsung menoleh kearah pundaknya.

Tampak sang teman kecil bernama lain peri itu agak cemberut. Alfred hanya tertawa-tawa kecil tanpa dosa. "Maaf Matt! Aku tadi kehilangan jejak lagi. Jadi, sekarang ini kita kemana?"

Matthew sang peri itu hanya menghela nafas. Entah bagaimana cara ia memberi tahu agar lokasi yang dituju mereka dapat diingat Alfred. Ya, mengingat otak sahabatnya itu hanya dipenuhi oleh hal-hal favoritnya yang tak usah kita sebutkan karena anda pasti tahu sendiri. Yang pasti bukan situs bokep kok! Karena menurut perhitungan waktu, jaman seperti itu tak ada situs-situs porno. Karena sepertinya komputerpun belum ada.

"Aku bilang kita ke rumah bercat putih dengan pohon beringin besar yang jendela kamar atasnya terkena langsung pancaran cahaya purnama. Aku yakin bayanganmu bersembunyi disitu." jawab Matthew berusaha untuk tetap lembut. Tuntutan peran, authornya gak mau Mattie tersayang jadi OOC.

Alfred hanya menoleh-noleh kecil. "Matt! Rumah bercat putih itu banyak! Rumah si Kiku juga catnya putih kok. Dan jendela kamarnya pasti bisa kena cahaya purnama." protes Alfred.

"Karena itu ikuti aku bodoh. Kan sudah kubilang soal bayanganmu itu bisa dideteksi menggunakan kompas pemberian Kiku ini! Jadi tidak perlu keliling pasar tujuh hari tujuh malam sambi teriak-teriak pake toa." omel Matthew.

Alfred hanya meringis kecil. Keberapa kalinya ya Matthew mengomelinya malam itu. Walaupun itu sama sekali tidak bisa disebut mengomel karena suara Matthew terlalu halus dan lembut. Mengingat sizenya seberapa kecil, ya… kalaupun sizenya normal Matthew tetap tak disadari kok.

Akhirnya, setelah muter-muter kota tujuh kali karena sepertinya kompas Kiku agak ngehang, Alfred dan Matthew menemukan rumah yang dimaksud. Ah, sepertinya informasi kompas itu kurang. Harusnya disana ada informasi tentang betapa indah dan mewah rumah itu, tapi entah kenapa ada hawa-hawa makhluk halus. Bahkan bulu kuduk dan insting saya-anti-hantu Alfred bekerja dengan baik. Mungkin sang kompas kurang canggih.

"Matthew, kau yakin bayanganku bersembunyi disini?" tanya Alfred sambil menatap serius kearah mansion angker itu. Menatap dengan pandangan ilfeel dan ogah masuk.

Matthew hanya mengangguk. "1000 %. Ayo masuk." ajak Matthew sambil melayang-layang masuk duluan. Tepatnya itu disebut menyelinap karena melalui jendela dan tanpa izin. Alfred tak punya piluhan lain selain mengikuti Matthew. Karena dia sangat ogah ditinggalkan didepan mansion seram macam itu.

Alfred membantu Matthew menggeser jendala itu secara pelan-pelan. Akhirnya, tanpa merusak dan mengeluarkah suara besar, dua sekawan itu berhasil lolos dengnan selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun. Alfred nyaris saja mau sungkur mencium lantai karena tak ada mantra jampi-jampi apapun di jendela kamar itu (Karena image mansion itu sangat mendukung.) kalau saja ia tidak melihat sebuah bayangan kecil tampak kabur darinya.

"BERHENTI!" jerit Alfred memerintah.

Sontak Matthew langsung bertindak. Mereka berdua langsung melakukan kejar-kejaran dramastis dengan perasaan campur antara kangen, sebal, dan ingin membunuh. Jangan bayangkan kejar-kejaran romantis ala pinggir pantai.

Bayangan Alfred tampak cukup gesit menghindar. Namun Alfred tak mau kalah. Dikejarnya bayangan itu dengan semangat penuh. Bahkan, entah karena semangatnya yang over atau memang takdir ia kelebihan tenaga, ia sukses besar membuat menara kubus yang dibangun disekitar situ terjatuh. Oh no no no.

BRAK

"Alfred aku berhasil menangkapnya!" panggil Matthew.

"SSST!" Alfred meletakkan telunjuknya didepan mulut. Ia menoleh kana-kiri berharap orang yang tidur dikamar itu tidak terbangun. Ia hanya menarik nafas lega karena tidak merasakan ada gerakan terbangun. Setidaknya itu yang dirasakan sampai ia mendengar suara pintu dibuka. Alfred cepat-cepat membalikkan badannya mencari siapa yang membuka pintu. Sejujurnya ia tak perlu takut ketahuan, toh tidak ada yang bisa melihatnya.

Sesosok anak-laki-laki dengan mata hijau dan rambut kuning keemasan tampak masuk. Ia tampak membawa sekotak mainan kecil. Itu sebenarnya cukup mengejutkan melihat dari kira-kira berapa umur anak itu. Namun lebih mengejutkan lagi saat mengetahui anak itu dapat melihatnya (dan Matthew) dengan jelas. Lebih-lebih kalau sang anak tahu namanya.

"Alfred?" tanya anak itu dengan ekspresi terkejut.

"… Ka-.. kau bisa melihatku?" tanya Alfred balik dengan nada ketakutan. Siapa yang tak takut coba mengetahui dirinya yang semustinya invisible dimata orang awam bisa terlihat. Dan orang awam itu tahu siapa namanya.

"Impossible…" Anak itu menjatuhkan kotak mainan yang digenggamnya. Ada boneka, mobil-mobilan, robot, ahh.. robot belum ada pada jaman itu. Bayangkan saja mainan anak kecil punya.

Alfred menyerngitkan dahi. Apa maksud anak itu dengan mengatakan 'mustahil'. Mengingat kalau ia tidak sedang melayang-layang maka ia tampak seperti anak biasa. (Ya kalau soal Matthew sih sepertinya sang anak juga gak menyadari keberadaan peri kecil itu. Nasib.)

"Is that you?"

Alfred mulai terlihat bingung dengan kata-kata yang keluar dari mulut anak itu. Apalagi kalau anak yang tak dikenalnya itu mulai meneteskan air mata. Apa yang dilakukannya? Eh, sebagai seorang lelaki sejati tentunya tidak baik untuk membuat perempuan menangis. Maaf, anak yang dihadapannya itu bukan perempuan.

"Ah, maaf! Aku tidak bermaksud menyusup atau apa… arr.. Maafkan aku! Jangan laporkan aku pada siapapun, please." pinta Alfred gelagapan. Walau matanya juga menyinarkan cahaya kebingungan melihat anak didepannya itu, menangis.

"Alfred! I miss you!" tangisan anak itu makin meledak. Alfred yang tak tahu apa-apa tampak kebingungan melihat anak yang menerjangnya. Meminta tolong pada Matthew'pun percuma. Toh Matthew sibuk menyengir dan berehem-ehem ria. Dasar teman tak setia.

Alfred meletakkan tangannya ke pundak anak itu. Dilihatnya sang anak masih terisak-isak. Alfred hanya bisa agak mematung. Menunggu hingga tangisan anak itu berhenti.

.

"Arr.. Bisa jelaskan. Kenapa kau bisa melihatku? Oh iya! Dan kenapa kau tahu namaku?" tanya Alfred memulai pembicaraan setelah anak itu berhenti menangis. Namun bukan jawaban yang didapatkan, melainkan ekspresi shock.

"… Apa? Te..-tentu saja aku tahu namamu. Kau kan… Alfred F. Jones." ujar anak itu kebingungan sambil memiringkan kepalanya. Kalau Kiku ada disitu maka ia pasti akan mengatakan, ehem, 'moe!~'.

"Iya itu memang namaku. Tapi, kenapa kau dapat mengetahuinya dan melihatku tentunya. Karena harusnya sekarang aku invisible." terang Alfred. Dan lagi-lagi dibalas dengan ekspresi shock.

"…. Apakah kau hantu Alfred? Kenapa kau lupa padaku?" tanya anak itu balik.

"Eh? Hantu? Aku memang invisible dan sebagainya. Tapi aku bukan hantu! Dan aku tak merasa pernah bertemu denganmu…" protes Alfred.

Kini ekspresi bingung yang terpancar dari wajah manis anak itu. Sekilas wajah Alfred cukup memerah. Ya siapa sih seme atau cewek yang gak memerah kalau seorang anak bertampang uke manis memeluk dirimu dengan tiba-tiba lalu menangis dihadapanmu. Kita beri pengecualian untuk yang normal. (Eh, author tak mengatakan Alfred tak normal! Cuma ya… )

"Mustahil. Namamu, wajahmu, suaramu, sikapmu. Semuanya seperti Alfred. Tapi karena Alfred sudah… Dan kau bukan hantunya. siapa kamu?" Anak itu kembali menyerang Alfred dengan pertanyaan membingungakan.

Alfred tampak agak kesulitan menjawab pertanyaan itu. Ia melirik ke arah Matthew. (Entah kenapa kali ini ia bisa mengetahui dimana Matthew, mungkin karena sudah di kesempitan.) Matthew hanya tersenyum kecil, seperti mengijinkan Alfred.

"Aku dari Neverland. Sebuah tanah jauh dimana seseorang tak akan pernah dewasa. Aku kesini untuk mengambil bayanganku yang kabur." ujar Alfred singkat agak terbata-bata.

"… tak akan pernah dewasa?"

"Eh iya. By the way, aku mau cari bayanganku dulu." ujar Alfred sambil tertawa kecil berusaha mencairkan suasana.

"Bayanganmu sudah kutangkap." desah Matthew kesal. Sepertinya lagi-lagi Alfred tak mendengarkannya. Atau lebih tepat untuk dikatakan, melupakannya.

"Baguslah, tinggal dijahit maka beres!" sambut Alfred bersemangat dengan muka cluelessnya. "Oh iya… Aku lupa bawa jarum sama benangnya." Alfred menyengir gaje sebelum jitakan dari Matthew melayang kekepalanya. Oh ya, itu tak sakit btw.

"… Aku punya jarum dan benang. Mungkin aku bisa membantumu." sela anak itu tiba-tiba sambil bertampang gugup.

"Ah, benarkah? TERIMA KASIH!" sambut Alfred girang layaknya anak kecil sambil mengenggam tangan anak itu dan menggoyangkannya berkali-kali. Ya kali ini giliran anak itu yang memerah. Tak adil kalau hanya anak itu yang membuat Alfred memerah.

"Oh ya, namamu siapa? Kan kau sudah tahu namaku."

"Aku Arthur Kirkland. Panggil saja Arthur." jawab Arthur.

"Salam kenal Arthur. Oh iya, nyaris lupa. Peri ini bernama Matthew William."

Arthur hanya tersenyum kecil pada sang peri. Arthur memang bisa melihat peri, namun entah kenapa peri yang satu ini agak… invisible. Matthew balas melemparkan senyum pada Arthur.

"Biar aku mengambil benang dan jarumnya dulu." ujar Arthur memecahkan keheningan yang secara otomatis terpasang tadi.

Arthur berjalan kearah sebuah laci. Ia mengambil beberapa benang dan jarum didalamnya. Dari air mukanya masih terpancar perasaan bingung. Arthur berusaha menenangkan diri dari dalam hatinya. 'Relax Arthur. Itu bukan Alfred.' ujarnya meyakinkan diri.

"So, kau bisa melihat ehm.. Matthew?" tanya Alfred pada Arthur yang tampak sedang menjahit bayangannya sambil menunjuk ke peri kecil sahabatnya itu. Sebenarnya Alfred juga ingin tahu kenapa Arthur terlihat menikmati menjahit. Well, bukannya itu biasa dilakukan oleh anak perempuan? Apalagi benangnya berwarna pink.

Arthur menghentikan aktifitas menjahitnya. Ia berpandangan sejenak. "Ehm, karena sebenarnya aku punya beberapa teman seperti itu." jawab Arthur lalu kembali ke aktifitasnya.

Tak lama untuk muncul beberapa peri-peri kecil lainnya. Ada yang tampak malu-malu untuk keluar. Ada juga yang langsung berterbangan kepundak Arthur. Alfred senyum-senyum sendiri melihat peri-peri kecil itu. Dulu sebelum bertemu Matthew ia memang tidak percaya dengan keberadaan mereka, biarpun ia tinggal di Neverland yang apapun bisa terjadi. Alfred tertawa kecil mengenangnya. Walau matanya langsung tertuju ke seorang, eng, sesuatu makhluk yang bukan peri, buan, orang kerdil, bukan makhluk-makhluk ajaib lainnya. Melainkan Alfred number one fear. Sebuah, eh seekor, eh sesuatu makhluk yang bisa kita sebut hantu

"Ha..-HANTUU!" Alfred mulai histeris. Arthur yang sedang menjahit langsung terkejut begitu melihat reaksi Alfred yang agak over. Sepertinya ekspresi Alfred sekarang sudah siap untuk mengompol dicelana.

"For God sake… Maaf Arthur. Tapi bisakah kau suruh teman, err hantumu itu untuk tidak muncul saat Alfred disini. You see, Alfred punya ketakutan khusus pada hantu." ujar Matthew berusaha mewakili Alfred yang sudah duluan menutup mata dengan kedua tangannya, lady like. "Oh iya, sebaiknya cepat. Ia bisa mulai menangis seperti bayi. Kau harus tahu bagaimana Alfred menjerit histris saat pertama kali teman kami, Kiku memperlihatkan gambar-gambar hantu miliknya." bisik Matthew usil. Arthur tertawa kecil membayangkan Alfred yang menangis meraung-raung layak seorang bayi.

Sementara Alfred yang tampak gemetar sendiri bersembunyi dibalik Arthur. 'Pantas aura rumah ini gak enak banget.' batinnya.

Arthur lagi-lagi tertawa . Terlintas diotaknya memori saat Alfrednya menjerit histeris dan berhamburan padanya saat pesta Halloween. Ya walaupun juga karena kejadian itu, satu sekolah menobatkan mereka menjadi couplenya pesta tersebut. Kenangan lama.

"Finish." ujar Arthur tampak tersenyum senang melihat hasil pekerjaannya. Saat ini bayangan Alfred telah selesai menyatu. Sebenarnya Arthur bingung juga bagaimana caranya bayangan bisa berpisah, dan terjahit kembali.

Alfred mencoba berjalan-jalan kearah jendela agar dapat melihat hasil jahitan bayangan itu. "Rapi." puji Alfred sambil menyengir nista.

"Oh ya, sekarang kan bayangan Alfred sudah tersambung. Kita harus pulang Al." ujar Matthew. "Thank you Arthur atas pertolongannya. Saat ini kita harus pulang dulu." pamit Matthew. Peri kecil itu kembali berterbangan ke pundak Alfred sambil menaburkan beberapa bubuk emas keseliling tubuh Alfred. Dan Alfred, mulai kembali melayang-layang.

"Done! Ayo pulang." ajak Alfred membuka jendela kamar Arthur. Angin berebutan masuk sepoi-sepoi.

Arthur terdiam. Kedua orang itu akan pergi? Berarti, malam ini tak ubah hanya mimpi? Oh no way! Arthur Kirkland, kau tak boleh membiarkan itu terjadi.

"Alfred! Matthew!" panggil Arthur tepat sebelum dua sekawan itu hendak terbang pergi dari jendela kamarnya.

"Ada apa?" tanya Alfred sambil memiringkan kepalanya.

Arthur agak ragu untuk mengutarakan keinginan hatinya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Jelas ia tak mau kehilangan kesempatan untuk melihat Alfred lagi. Biarpun yang didepannya mungkin berbeda dengan Alfred yang dulu. Setidaknya, ia harus dapat mengikuti Alfred yang ini. Lagipula, Neverland mungkin tempat yang cocok untuk orang yang tak ingin dan tak akan mau dewasa sepertinya.

"Aku ikut." pinta Arthur dengan tatapan serius.

.

.

.

## TBC? ##

.

.

.

Awful.

Seriously, saya buat ini gak karu-karuan, gak ahli buat yang suasananya serius dikit T^T. Aslinya kupikir mungkin Arthur lebih cocok jadi sang tuan PeterPan, tapi ujung-ujungnya pake Alfred juga. Soalnya Alfred cocok dengan image buat Fujoshi Independence Day, da?

Oh iya…. USUK lagi… *kabur dari rajaman readers*

I'm so sorry, OTP gue. Jadi yang muncul ya USUK lagi dan USUK lagi Q_Q, saya janji lain kali coba buat pair lain (entah kapan #ditampol).

Phew, mind to RnR? (Sekalian kasih tau ini cerita nyampah dan pantas dilanjutkan gak.)