Title : SHADOW
Author : Kazuki Fernandes
Genre : Crime, Mystery, Romance
Pairing : JeRzaGray
Slight : GrUvia
Rating : M
Summary : Sosok nyatanya tak pernah terlihat, namun puluhan nyawa melayang ditangannya. Dia cepat. Dia cerdik. Dia lincah. Dia licik dan juga berbahaya. Tak ada yang mengenalnya, tak ada yang memberinya perintah. Ia bekerja untuk dirinya sendiri. Memilih target dengan keputusannya sendiri. Sosoknya tersembunyi di dalam kegelapan malam, melepaskan tembakan dengan seringai terpatri diwajahnya. Menghilangkan nyawa setiap penghalang dijalannya. Karena itulah dia disebut sebagai... SHADOW!
Disclaimer :- Fairy Tail belong to Hiro Mashima
- SHADOW belong to Kazuki Fernandes
Warning : Abal, Typo, OOC, AU, Newbie, etc
Chapter 1
Prangg!
Cratt!
"Akh!"
Brukk!
"Pak Direktur! Apa yang terjadi? Telepon polisi dan ambulans sekarang!" Teriak salah satu karyawan yang berada diruang rapat, tempat sang pimpinan tewas tertembak didepan mata mereka sendiri. Peluru yang berasal dari senapan sniper itu muncul begitu saja, menembus kaca tebal itu hingga tepat dijantung sang pimpinan. Entah bagaimana caranya sang pelaku bisa melakukan hal tersebut.
…
Ditempat lain, tepatnya di atap sebuah gedung yang berjarak sekitar 2000 meter dari lokasi korban penembakan, seseorang dengan jubah hitam tampak menyeringai dibalik topeng berwarna serupa yang menutupi seluruh wajah dengan hanya menunjukkan sepasang mata hitamnya yang berkilat dalam gelap. Menyembunyikan jati diri sesungguhnya dalam kegelapan malam.
"First target, mission…. completed!" dan seringainya pun semakin melebar.
-K-A-Y-
Ruang rapat itu tampak penuh dengan petugas forensik yang berlalu-lalang, memeriksa segala hal yang mencurigakan ditempat itu. Mulai dari bekas luka dan peluru yang baru saja dikeluarkan dari jantung korban, bekas lubang dikaca, dan masih banyak hal-hal lain yang diperiksa tanpa melewatkan hal kecil sekalipun. Para saksi yang berada disanapun telah dibawa untuk diperiksa satu per satu. Seorang pemuda berambut biru juga tampak sibuk, bergerak kesana kemari, memeriksa laporan dari para petugas. Sepasang netra kecoklatan itu menyipit saat menatap lubang kaca didepannya. Lubang itu tak terlalu kecil, namun tak mampu memecahkan keseluruhan kaca, hanya membuat retakan-retakan kecil disekitarnya. Tangan kanan pria itu menelusup kedalam saku celananya, mengambil sebuah ponsel merah disana.
"Periksa gedung-gedung disekitar sini dengan tinggi sebatas ruangan TKP, atau lebih tinggi. Cari tahu apa ada orang mencurigakan yang masuk membawa sebuah tas panjang. Periksa juga tempat-tempat tinggi yang mencurigakan. Cari bekas penyangga senapan sniper pada jendela ruangan-ruangan atau pinggiran atap yang kira-kira sejajar dengan TKP. Dan laporkan hasil pemeriksaan kalian secepatnya!" Perintahnya tegas, kemudian mengembalikan ponselnya kedalam saku.
Cklek!
Suara pintu terbuka itu sedikit mengusiknya, membuat sang pria biru mengarahkan perhatiannya pada pintu masuk. Dan senyum samar muncul dari bibirnya saat melihat siapa yang baru saja memasuki ruangan itu dengan langkah hati-hati.
"Erza.." Gumamnya.
Gadis itu tersenyum, dan berjalan semakin mendekat kearahnya,"Apa sudah ada kemajuan?" tanya gadis yang disebut Erza tersebut setelah jaraknya hanya terpisah setengah meter dari sang pria, kedua netranya yang serupa seperti sang kekasih diedarkan kesegala arah.
Sang pemuda hanya menggeleng. "Pelaku kali ini bukan pembunuh biasa. Dia pasti seorang professional." Ucapnya datar, "Tapi aku masih menunggu laporan dari petugas yang memeriksa gedung-gedung tinggi disekitar sini." Lanjutnya kemudian.
"Kurasa kata 'kita' akan lebih tepat, Jellal-kun." Sahut Erza dengan seringai kecil diwajahnya.
Pemuda bernama Jellal tersebut menoleh, sebelah alisnya sedikit terangkat, "Kau ikut kasus ini?" tanyanya tanpa sempat menyembunyikan kekagetannya.
"Memangnya kenapa? Tak bolehkah? Aku juga detektif, Jellal-kun. Dan aku partnermu. Kekasihmu pula." ucap gadis itu seraya mengalihkan pandangannya, membuat pemuda dihadapannya tak mampu menahan senyum gelinya. Gadisnya masih sama, tampak mengerikan diluar, tapi saat bersamanya akan berubah seratus delapan puluh derajat. Meski sangat jarang ia tunjukkan dimuka publik.
"Baiklah, maaf. Aku senang kau ikut kasus ini. Tapi… apa kasus pembunuhan berantai yang kau kerjakan sudah selesai?"
"Tentu saja! Jangan meragukan seorang Erza Scarlet!"
"Hn. Aku tau, kau yang terbaik." godanya, membuat sang gadis mau tak mau sedikit merona.
"Ehm!" sebuah suara feminin berhasil mengalihkan perhatian mereka, "Ini TKP, Jellal-san, Erza-san. Jangan anggap dunia milik kalian berdua jika sedang dalam tugas!" seru gadis berambut biru dengan jas putih itu.
"Gomenasai." sahut Erza dengan ekspresi datar seketika. Ia benci momennya bersama sang kekasih diganggu. Yah, meski ia sadar, kalau momen mereka benar-benar salah tempat dan waktu. Sedangkan Jellal hanya mengedikkan bahu, lalu menatap gadis biru itu dengan serius.
"Bagaimana hasil pemeriksaan korban sementara, Juvia?"
Gadis itu menoleh sekilas kearah mayat yang masih belum berpindah posisi itu,"Tak salah lagi, korban dibunuh menggunakan senapan sniper –yang masih diselidiki jenisnya, oleh seorang profesional. Posisi peluru tepat mengenai tengah jantung korban, membuatnya meninggal seketika. Kami tak menemukan luka lain ditubuh korban selain lubang peluru dan sedikit memar dibelakang kepala akibat terbentur. Kemungkinan memar itu didapat saat korban terjatuh." Ia menjelaskan panjang lebar.
Jellal dan Erza yang mendengarkan dengan serius hanya mengangguk mengerti.
"Menurutmu darimana kemungkinan pelaku menembak?" tanya Erza yang kini kembali berbalik kearah Jellal.
"Entahlah. Kurasa dari suatu tempat disalah satu gedung disana." Jellal berbalik kearah kaca berlubang itu, begitupun sang detektif wanita.
-K-A-Y-
Beberapa hari telah berlalu, kasus terbunuhnya sang direktur perusahaan pun belum bisa terungkap. Polisi maupun detektif telah dikerahkan oleh kepolisian Tokyo, namun petunjuk yang didapat begitu minim. Tak ada serat rambut, tak ada sidik jari, bahkan jejak penopang senapan sniper pun tak ditemukan digedung-gedung yang telah diperiksa. Pelaku kali ini benar-benar seorang perfeksionis. Tapi beruntung tak ada-
"Fernandes-san! Ada korban baru!"
-korban baru.
Ups! Sepertinya kita bicara terlalu cepat.
"Apa? Siapa?" Tanya pemuda berambut bitu itu pada bawahannya.
"Heartfillia Konzern. Direktur utama diperusahaan Heartfillia, beliau terbunuh tadi malam dirumahnya."
"Kenapa aku baru diberitahu sekarang!" seru sang pemuda seraya berlari keluar setelah menyambar kunci mobilnya.
"Jellal-kun, kau mau kemana?" tanya Erza yang heran melihat kekasihnya berlari terburu-buru.
"Ada korban baru! Cepat ikut kalau kau masih ingin menangani kasus ini!" serunya.
Sang gadis Scarlet yang masih sedikit terkejut pun bergegas berlari mengikutinya, "Tunggu aku!"
…
"Jadi, bagaimana hasil pemeriksaannya?" tanya Erza pada dua orang petugas forensik yang tengah bertugas.
"Belum ada perkembangan, Scarlet-san. Tapi bisa dipastikan, pelaku adalah satu orang yang sama."
"Apa?"
"Ya. Menurut hasil pemeriksaan sementara pada tubuh korban, peluru yang digunakan dan bagian tubuh yang tertembak, tepat seperti korban sebelumnya."
Erza hanya mengangguk-angguk, kemudian melangkah menuju direksi lain. Ketempat dimana lubang peluru berada. Lagi-lagi sebuah jendela kaca. Diperiksanya lubang tersebut, mencari sisa-sisa bubuk mesiu yang tersisa disana.
"Bagaimana?"
Gadis itu sedikit tersentak saat mendengar suara datar yang bertanya padanya. Ia menoleh dan mendapati sang partner sekaligus kekasihnya berdiri dengan kedua tangan terlipat didepan dadanya.
"Jellal-kun, kau mengagetkanku!" serunya dengan nada yang sengaja dilembutkan.
"Jadi… apa yang kau lihat dari lubang itu?" tanya Jellal tanpa memandangnya.
"Tidak ada. Hanya melihat bekas dan perkiraan arah tembakan." Ia tersenyum, lalu meninggalkan sang pemuda untuk memeriksa ditempat lain lagi.
-K-A-Y-
"Gray-sama?" gumam gadis berambut biru itu saat melihat pemuda jabrik tak jauh didepannya. Sang pemuda yang dipanggil Gray yang tampaknya belum sadar akan kehadiran sang gadis masih terfokus pada pemandangan didepannya, sebuah rumah yang dikelilingi oleh police line berwarna kuning.
"Apa yang kau lakukan disini, Gray-sama?" tanya gadis itu setelah mendekat kearah sang pemuda.
Yang ditanya masih saja tak bergeming. Entah tak mendengar, atau memang tak mempedulikannya.
Puk! Tangan kanan gadis itu kini menepuk bahu kiri sang pemuda yang otomatis membuatnya tersentak kaget.
"Juvia? Apa yang kau lakukan disini?" tanya Gray dengan wajah kembali datar.
"Seharusnya Juvia yang bertanya begitu, Gray-sama. Juvia dokter forensik, wajar jika Juvia berada disini. Bagaimana dengan Gray-sama sendiri?"
"Seharusnya aku bertemu pemilik rumah itu hari ini. Tapi aku urung saat melihat itu." Ia menunjuk kearah rumah mewah tersebut menggunakan dagunya.
"Hm.. Juvia mengerti."
"Jadi?"
"Yang jelas… pemilik rumah tersebut, Hearfillia Konzern, terbunuh tadi malam. Tapi maaf, Juvia tak bisa memberitahu lebih detail."
"Hm..."
"Etto, bagaimana kabarmu sekarang, Gray-sama? Juvia hampir tak pernah mendengar kabar Gray-sama semenjak kita berpisah."
"Hm…"
"Harusnya Gray-sama menjawab Juvia!"
"Hm..."
"Arrghhh…! Gray-sama memang tak pernah berubah! Ya sudahlah, senang bertemu lagi denganmu, Gray-sama. Juvia harus pergi sekarang." pamit Juvia sambil tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkah pergi, setengah berharap Gray akan memanggilnya kembali.
Satu langkah…
Dua langkah…
Tiga langkah…
'Panggil Juvia, Gray-sama!'
Empat langkah…
'Apa Gray-sama benar-benar sudah melupakan Juvia?'
Lima langkah-
"Ah, Juvia!"
'Dia memanggil Juvia! Dia memanggil Juvia!' batinnya girang.
"Ya?" tanyanya tanpa berbalik, menyembunyikan senyum dan rona merah diwajahnya.
"Apa Erza… masih bersama Jellal?"
Deg!
Dan kini senyum itu luntur. Rona merah diwajahnya semakin bertambah, namun bukan karena malu, melainkan….. marah.
"Kenapa Gray-sama….. menanyakan tentangnya?" tanya Juvia lirih.
"Aku… menyukai Erza, Juvia."
DEG!
"A-apa?" Kini gadis itu berbalik, menampakkan wajah terkejutnya sekaligus ingin mengetahui ekspresi pemuda itu saat bertanya mengenai salah satu temannya, Erza.
"Aku menyukainya. Sejak dulu. Maaf, aku menerimamu dulu juga… karena ingin terus berada didekatnya."
Jantung Juvia sekarang benar-benar terkoyak! Seolah ada lubang besar disana, bersiap untuk menghisap seluruh kebahagiaannya.
"Jadi… selama ini… kau hanya memperalat Juvia, Gray-sama?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Gomenasai." dan hanya itulah kata terakhir yang keluar dari mulut pemuda itu sebelum beranjak pergi meninggalkan sang gadis yang masih syok.
'Ke-kenapa?'
-K-A-Y-
Pemuda berambut biru itu masih duduk termenung, menghadap sebuah komputer berisi foto-foto pada TKP pembunuhan pertama dan kedua. Luka tepat dijantung, lubang pada kaca, peluru, tanpa jejak, malam hari. Apa itu ciri khas pelaku? Pemuda itu menggeser kursi berodanya, menghadap setumpuk dokumen yang berisi data lengkap mengenai kedua korban.
'Korban pertama, Yamada Takeshi, 52, direktur utama Yamada Electronic. Korban kedua, Heartfillia Konzern, 50, direktur utama perusahaan Heartfillia. Perusahaan mereka tak berhubungan. Usia merekapun terpaut 2 tahun. Kesamaannya hanya fakta bahwa mereka berdua sama-sama direktur utama dari suatu perusahaan. Apa hanya itu polanya? Tidak! Tidak mungkin! Jika polanya hanya berdasarkan jabatan, maka seharusnya korban terlalu banyak. Pasti ada pola lainnya. Ya! Pasti! Aku harus segera mencari tahu!'
Tik! tik! tik! tik!
Jemari panjang itu dengan cepat mengetik sesuatu dilaptopnya setelah membuka \ situs web resmi kepolisian Tokyo. Kini ia mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja dengan tak sabar. 'Cepatlah!' batinnya gusar.
"Bagus!"
Layar komputer kini menampilkan layanan internet dengan search engine yang tertulis nama kedua perusahaan yang pemiliknya menjadi korban pembunuhan sebelumnya. Sepasang iris kecoklatan itu bergerak cepat membaca setiap info yang bisa ia dapatkan disana.
'Kedua perusahaan itu berada dibawah naungan perusahaan keluarga Fullbuster? Apa kasus ini berhubungan dengan mereka?' Deg! 'Gray? Tidak mungkin!'
Pemuda bertato diwajahnya tersebut memijat kedua pelipisnya. Mungkin kasus ini memang berhubungan dengan perusahaan Fullbuster. Mungkin mereka adalah target utamanya. Atau mungkin…. justru mereka pelakunya? Tidak! Pemuda itu menggelengkan kepalanya, kini ia teringat pada sahabat lamanya. Sahabatnya dan Erza sejak junior high, Gray Fullbuster.
….
Cklek!
"Jellal-kun?" sebuah kepala merah muncul perlahan, mengamati kesekitar ruangan yang diduga kuat merupakan kamar sang pemuda Fernandes, sepasang mata teduh tersebut akhirnya menemukan targetnya. Perlahan tapi pasti…
Satu…
Dua…
Ti~
"Aku tak terkejut, Erza."
ga..
"Tck! Kau menyebalkan!" sadis cantik itu sedikit mengurucutkan bibirnya kesal, namun tetap saja tak diacuhkannya. Kekasihnya kini masih sibuk didepan komputer.
Baru saja gadis bernama Erza itu akan meninju pelan bahu Jellal andai ia tak melihat dengan matanya sendiri apa yang tengah sang kekasih lihat saat ini. Daftar perusahaan yang terkait dengan Fullbuster group, dan disana tertera jelas nama perusahaan dari kedua korban yang terbunuh baru-baru ini. Oh tidak! Mungkinkah…
"Katakan padaku! Itu… bohong, 'kan?"
"Menurutmu?"
-K-A-Y-
Seminggu telah berlalu sejak kasus pembunuhan yang terakhir, tapi selain fakta bahwa kedua perusahaan yang dipimpin para korban memiliki hubungan dengan perusahaan Fullbuster, yang lain masih begitu kabur. Sebenarnya beberapa detektif termasuk Erza dan Jellal sendiri berpikir mengenai kemungkinan adanya keterlibatan orang dalam di kasus ini. Tapi untuk membuktikan dugaan tersebut, mereka memerlukan bukti kuat yang sayangnya belum bisa mereka dapatkan. Lagipula itu juga baru dugaan. Sekedar hipotesa dari kasus yang terlihat sederhana namun rumit ini.
"Seandainya ada petunjuk…" gumam sang detektif muda pada dirinya sendiri dengan sedikit putus asa. Kedua tangannya masih sibuk mengotak-atik komputernya, meneliti lebih detail bukti-bukti dan segala petunjuk yang ada. Nihil. Tak ada yang ganjil, berapa kalipun ia mencarinya.
Drrrtt…! Drrrtt…!
Ponsel biru dengan fasilitas layar sentuh itu bergerak-gerak menyenggol lengan sang empu yang berada disampingnya. Sang pemilik tampak terlalu fokus pada komputernya hingga tak menyadari getaran pelan dilengannya yang berlapis kemeja tipis berlengan panjang. Namun getaran yang semakin lama semakin menguat, menandakan bahwa yang masuk bukan sekedar pesan singkat atau email, membuat sang empu akhirnya menyadari gerakan tersebut.
Diliriknya layar monitor ponsel tersebut, sebuah panggilan masuk dari nomor tersembunyi. 'Siapa…'
"Moshi-moshi?"
"Menyerah saja. Percuma menghabiskan waktumu untuk mencariku." terdengar suara aneh yang Jellal yakini menggunakan alat pengubah suara, suara tersebut tengah mengejeknya.
"Siapa kau sebenarnya? Bukankah akan lebih mudah jika kau sendiri yang menyerahkan diri pada kami? Mungkin aku akan membantumu mengurangi masa hukuman." sahut pemuda yang memiliki tato di matanya tersebut dengan tenang meski tetap waspada.
"Hahahaha…." bukannya menjawab, orang tak dikenal tersebut justru menertawakannya, "untuk apa menyerahkan diri jika kau bahkan tak akan pernah bisa menangkapku?"
Rahang sang pemuda Fernandes mengeras,"Kau menantangku?"
"Jika menurutmu begitu…"
"Aku pasti akan menangkapmu!" seru Jellal dengan tegas. Namun sang penelepon misterius justru kembali tertawa.
"Sayang sekali, kau tak bisa menangkap hantu, Tuan Fernandes." dan ia melanjutkan tawanya. Tawa mengejek dan meremehkan. Tawa yang begitu mengesalkan bagi telinga Jellal.
"Hantu tak bisa membunuh orang. Dan jika pun memang bisa, bukankah akan lebih mudah mencekik atau menusuknya dengan pisau dapur ketika mereka dirumah daripada menembak dengan senapan dari gedung yang tinggi?" rasanya kali ini Jellal juga ingin tertawa atau perkataannya sendiri. Menggelikan.
"Aku tahu kau orang yang cukup pintar untuk mengartikan ucapanku, Fernandes-san. Hentikan penyelidikanmu yang percuma ini. Aku…. selalu berada selangkah didepanmu." dan bertepatan dengan berakhirnya peringatan tersebut, panggilan telah terputus begitu saja tanpa sempat Jellal sadari.
"Sial!" geramnya kesal seraya melempar ponsel tersebut ketempat tidur tak jauh dari tempatnya duduk.
…..
Ditempat lain, sesosok misterius tengah menyeringai dalam kegelapan, menatap kekesalan sang detektif di monitor laptopnya. Ah, baginya ini cukup menyenangkan. Sedikit bermain-main sebelum menghabisi target selanjutnya, tak ada salahnya, bukan?
"The game… is just begin!" dan seringaiannya makin melebar.
To be continued….
A/N:
Jadi, sebenarnya ff ini udah sempat di upload ulang beberapa waktu yang lalu karena banyaknya kesalahan. Tapi… setelah Kay baca lagi, ternyata masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki ulang. Jadi inilah dia, re-upload lagi~
Writen on September 5, 2017
Upload on
Mind to RnR? :D
