Bola oranye digiring ke tengah lapangan, tepat di garis horizontal putih Hayama Kotarou melompat, bola basket dilempar menuju ring.

Membentur lingkaran besi.

Kotarou meringis, "Sekali lagi."

Pagi itu tim basket Rakuzan sedang bersiap-siap, sebagai tuan rumah di ajang latih tanding bersama Akademi Touou. Mibuchi Reo, sebagai wakil kapten kini berkeliling mengecek persiapan dan kebersihan lapangan. Sekali lagi ia berang melihat rekannya masih asik berkeringat di tengah arena pertandingan.

Reo menyahut, "Kotarou, lapangan ini sudah dibersihkan. Sudah kubilang pakai gym sebelah."

Kotarou melompat, melakukan dunk sambil tertawa, "Maaf, maaf, Reo-nee! Sebentar lagi!"

Reo mendengus, melipat tangan di dada. "Kau daritadi bilang sebentar lagi terus."

Kotarou terkekeh, beranjak seraya mendribel bola, "Ya, ya, ini aku selesai."

Reo merengut, lalu berbalik memimpin jalan. "Kita harus briefing sekarang, Akademi Touou sebentar lagi sampai."

Kotarou beringsut maju, menyamakan langkah dengan Reo, "Aku sudah tidak sabar melawan acenya Kiseki no Sedai!"

Reo hanya mendengus pelan. Tidak ada yang salah dengan tekad Kotarou, hanya saja ia khawatir kalau rekannya terlalu antusias nanti malah berlebihan.

Keduanya keluar dari lapangan basket khusus lapis satu—yang nantinya akan digunakan sebagai arena latih tanding Rakuzan versus Akademi Touou. Di luar gym seluruh anggota tim basket sudah berkumpul, kaptennya memimpin di depan. Reo dan Kotarou ikut bergabung ke barisan.

Akashi Seijuuro mengomando. Berpetuah mengenai persiapan latih tanding, meminta laporan dari para anggota kepercayaan.

"Anggota dari lapis tiga sudah membersihkan lapangan, tadi aku dan anggota lapis dua juga sudah mengelap bola-bolanya. Terakhir aku baru saja menjemput Kotarou yang seenaknya memakai lapangan." Reo melaporkan.

Seorang anggota dari lapis tiga beranjak, "Ka-kalau begitu, a-aku izin untuk mengecek lapangan lagi, kapten!"

Akashi mengangguk setuju.

Kotarou tertawa ringan, "Kalau begitu tolong, ya!"

Reo menyikut, Kotarou nyengir tak berdosa.

Akashi berdehem, "Aku dapat laporan dari manajernya, mereka sudah berangkat dari penginapan ke mari. Tidak ada perubahan, semuanya masih sama dengan apa yang kita rapatkan kemarin. Sebelum pertandingan dimulai, kalian bisa menyapa tim lawan. Jaga sikap, sopan kepada mereka, kita adalah tuan rumah. Tunjukkan etika dan kelakuan baik."

"Siap!" seru anggota tim serempak.

"Lapis tiga, sambut Akademi Touou di depan gerbang sekolah, lapis dua membantu lapis satu bersiap-siap di lapangan. Orang-orang yang sudah kutunjuk bermain lekas lah bersiap. Kalau tak ada pertanyaan, bubar."

Para anggota tim basket mulai tercerai, berpencar memenuhi tugas masing-masing. Karena lawan mereka adalah sekolah dengan tim basket terbaik di Tokyo—juga terpilih sebagai juara nasional, tim reguler lah yang turun, ditambah beberapa pemain cadangan yang diambil dari lapis dua. Akashi, Reo, Kotarou, Nebuya dan anggota tim reguler bergegas menuju ruang ganti untuk berganti pakaian.

Jersey tim dikenakan, tim inti lekas kembali ke lapangan. Melakukan pemanasan dan peregangan.

Kotarou sekali lagi berlatih. Setelah rehat sebentar kini ia tidak lagi meleset. Tembakannya menjebol ring semua. Tertawa puas, ia kini menantang rekannya one on one. Nebuya yang sedang menganggur langsung mengiyakan. Reo mengingatkan agar mereka tidak bertengkar karena harus jaga sikap saat tamu undangan sudah di hadapan.

Seorang anggota tim dari lapis tiga menyahut dari pintu, lalu bergegas menghampiri Akashi yang sedang mengecek ulang kekokohan ring bersama anggota jangkung. Menerima informasi dari penyambut tamu, Akashi meminta agar perwakilan Akademi Touou boleh masuk karena ia sendiri mengenalnya.

Si anggota lapis tiga menurut canggung, lalu berbalik membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berseragam tampak, membuat seisi ruang gym terpana.

Manajer tim basket Akademi Touou, Momoi Satsuki salah tingkah. Tidak biasa jadi pusat perhatian, ia menggeleng cepat atas tawaran langsung menemui kapten Rakuzan. Anggota lapis tiga sedikit memaksa, akhirnya Momoi takluk juga.

Akashi menyambut dengan uluran tangan, "Lama tak jumpa. Bagaimana kabarmu, Momoi?"

Momoi berusaha mengabaikan tatap beringas dari para laki-laki di dalam gym, lalu membalas uluran tangan Akashi dengan gagap gempita. "A-a-ah... ya, ba-baik. A-aku ingin menyapa, ka-kami sudah sampai dan tim sedang menunggu di luar..." Momoi berkeringat, ia tahu sebabnya bukan karena ketakutan pada Akashi (lagipula Akashi tidak lagi menakutkan), tapi pada sorot ganas tim basket Rakuzan.

Sadar akan ketidaknyamanan rekannya semasa SMP dulu, Akashi melirik tajam pada seisi ruangan. Sontak seluruh anggota kembali melakukan aktivitasnya, pura-pura pemanasan dan peregangan.

Momoi lega sesaat.

Kotarou termasuk yang diintimidasi Akashi. Betapa ia sempat tergugu akan kehadiran seorang gadis asing di kandangnya. Malah sampai tidak sempat menghalau gerakan Nebuya ketika pertahanannya diterobos.

Eikichi Nebuya tertawa, ia baru saja melewati Hayama Kotarou dengan mudah. Berkata, butuh seratus tahun bagi Kotarou untuk bisa mengalahkannya. Tapi gurauan itu tidak digubris. Setelah gadis berambut pink berbalik dari hadapan Akashi, Kotarou langsung berlari secepat kilat ke arahnya.

Mencegat, memburu napas, lalu menyahut riang, "Minta nomor hapenya, dong!"

'Buk!'

Reo langsung melempar bola basket ke kepala Kotarou.

.

.

.

kenapa begitu sulit

an original fanfiction written by siucchi

kuroko no basuke (c) Tadatoshi Fujimaki

i gain no profit

.

.

.

Momoi Satsuki merasa gelisah, Aomine Daiki tahu tetapi tidak peduli. Lagian, siapa suruh mau-maunya menyapa Akashi sendirian.

"Mau bagaimana lagi! Siapa suruh Dai-chan menghilang sampai membuat Wakamatsu-senpai ikut mencari kemana-mana! Sakurai-kun juga tidak berani ikut ke dalam, tak kusangka juga Akashi-kun akan menyuruh masuk ke dalam..."

Aomine menguap, "Aku cuma cari minuman."

"Alasan," dengus Momoi keras.

"Yaudah, jangan ngintil di belakangku."

"Bi-biarin!"

Sejak kepulangan Momoi dari gym Rakuzan, Aomine tahu ada yang terjadi di sana. Tapi bukan masalah serius, paling cuma Momoi yang butuh perlindungan.

"Emang kenapa sih?" tanya Aomine setelah mendengus malas.

"Ti-tidak," Momoi mengalih pandang, semakin mengeratkan pegangan di jaket Aomine, "Ra-Rakuzan mengerikan..."

"Tentu saja, mereka juara Inter High."

"Bu-bukan itu maksudku," dengus Momoi melipat dahi.

Tim Basket Akademi Touou tiba di depan pintu gym SMA Rakuzan, disambut langsung oleh kapten mereka dengan senyum akrab. "Selamat datang di Rakuzan, tim basket Akademi Touou."

Wakamatsu Kousuke, sebagai kapten tim basket Touou langsung menegapkan tubuh, menjauhi panik dan menyambut uluran tangan Akashi Seijuurou, "Y-ya, terima kasih sudah mengundang kami."

Akashi masih menahan senyum, memersilakan tamunya masuk, "Kami sudah menunggu, kita akan bertanding satu jam lagi."

Tim basket Akademi Touou melenggang masuk ke dalam gym. Tidak banyak terpukau, sebab kemewahan gedung olahraga mereka kurang lebih setara dengan Rakuzan. Para pemain bergegas mengganti pakaian di ruang yang sudah ditunjukkan, Momoi mengintil di belakang.

Wakamatsu menoleh, "Katanya mau nunggu di lapangan?"

Momoi meringis, "Ti-tidak jadi, hehehe." benar, mana mungkin Momoi tahan ditatap oleh para lelaki beringas.

Sang kapten mengernyit, "Ya sudah, err... kau tidak bawa perasan lemon atau makanan dalam bentuk apa pun untuk kami, kan?"

Senyum mengembang, latar bunga-bunga menghias aura Momoi, "Tentu saja aku bawa, kapten!"

"Wa-waaa!" Wakamatsu spontan mundur, "e-eh, maksudku, kau harus menunggu di lapangan!"

"Hah? Kenapa?"

"Bu-bukan itu! Ah, benar, kau harus menyapa kapten Rakuzan. Dia temanmu, kan?"

Momoi mengerutkan dahi, "Iya, sih, tapi kan tadi sudah."

Wakamatsu gelagapan, bingung mencari alasan, "Ka-kalau begitu kau harus mempelajari tim Rakuzan!"

"Sudah, kan."

"Be-belum pasti, kan!"

Momoi menatap, menyelidik, "Kenapa kapten terlihat mengusirku?"

"Bu-bukan itu... masa' iya kau mau berada di ruang ganti laki-laki?!"

Momoi semakin mengerutkan dahi, "Kan memang itu tempatku juga sebagai manajer, kapten."

Wakamatsu bersumpah ia tidak mau frontal. Masakan Momoi sama dengan senjata biologis yang mampu memusnahkan umat manusia. Pertandingan dengan Rakuzan belum mulai, masa hidup Wakamatsu masih panjang, mana rela ia berakhir dengan icip-icip resep spesial manajernya.

Mengeraskan rahang, memandang garang, Wakamatsu berucap tegas, "Tunggu di lapangan, kubilang."

Momoi sontak terkejut, lalu tergagap, "Ba-baik..."

Pintu ruang ganti ditutup, menyisakan sang manajer sendirian.

Momoi enggan kembali, tatapan anak-anak Rakuzan sungguh bengis. Mengerikan sekali. Momoi khawatir, jangan-jangan data-data yang ia kumpulkan dan prediksinya mengenai tim basket Rakuzan meleset.

"Ah, mana mungkin," katanya bicara sendiri. "Paling juga itu hanya perasaanku..."

Menarik napas dalam-dalam, Momoi Satsuki meneguhkan niat. Bergerak satu langkah, lalu berhenti, berpikir lagi.

Sarat cemas dihempas jauh-jauh. Momoi mengukuhkan nyali, berjalan tegap menyusuri lorong hingga berhenti di depan pintu gym yang terbuka. Melihat Akashi di sana, juga seluruh anggota reguler sedang melakukan pemanasan.

"Benar juga, tunggu di luar saja," Momoi tertawa miris. Pandangnya mengelilingi bangunan sekolah, sangat elit dan berkelas. Tapi juga Akademi Touou tidak kalah dalam hal fasilitas.

Seorang anggota yang tidak Momoi kenal memanggil dari ambang pintu, "Kapten meminta anda untuk masuk," katanya seraya mengalih pandang.

Momoi lantas menggeleng cepat, "Ti-tidak apa, aku di luar saja..."

"Eh, tapi..."

Momoi tahu lelaki ini begitu segan pada kaptennya, sehingga takut jika titah yang diberikan tidak terlaksana. Untuk keselematan orang ini juga, Momoi melangkah masuk, melawan gentar.

Tatap mata langsung mengarah padanya, Momoi sontak bergetar. Kenapa, kenapa, kenapa mereka begitu menakutkan?! Apa yang mereka lihat?! Ada apa di wajahku?! Batinnya nelangsa.

Akashi menjeda giringan bola, menunggu Momoi menghampirinya, "Kenapa tidak bersama timmu?"

"Kapten menyuruhku tunggu di sini..." ujar Momoi pelan, tubuhnya berusaha menutup diri dari kisruh lapangan.

Sudut bibir terangkat naik, Akashi menekuk lutut, lalu melompat seraya melempar bola, masuk ke ring. "Tentu saja, dia mau kau mempelajari kami."

"E-eh?" Momoi salah tingkah, bingung, bukan karena ia takut Akashi tahu rencananya, tapi memang Momoi tahu pasti mantan kaptennya itu tahu.

"Pelajari saja semampumu, Momoi, kami tak akan kalah."

Sarat tantangan.

Entah kenapa pandangan ganas di belakang tidak lagi mengganggu Momoi Satsuki. Sang manajer jelas berjuang keras untuk timnya. Mereka datang bukan untuk kalah.

.


.

"Reo-nee, kita harus bicara serius."

Reo mendengus, memutar bola di atas jari telunjuknya, "Apa lagi?"

Alis Kotarou bertaut, menukik tajam, serius berlebihan. "Kita butuh manajer."

"Kita punya dua manajer, Kotarou, dua-duanya perempuan."

"Yang montok."

Reo menoleh ke arah bench, "Apa yang kurang dari mereka?" tatap matanya menunjuk ke arah dua gadis yang sibuk menyiapkan handuk dan minuman isotonik, juga mencatat entah apa di papan jalannya.

"Kenapa sekolah seperti Akademi Touou punya manajer seperti itu, Reo-nee?! Kenapa kita tidak?" sekarang Kotarou merengek.

"Diamlah," Reo mendecih, "ingat apa yang Sei-chan bilang? Jaga sikap, jangan sembarangan, apalagi seperti tadi. Kau sungguh memalukan. Kita ini tuan rumah, Kotarou."

"Aku tahu...!" kini Kotarou terlihat uring-uringan, ia mendaratkan tubuh di bangku besi sambil menyahut malas, "tadi aku kelepasan."

Reo tidak peduli lagi. Ia kembali melakukan peregangan sambil sesekali melirik ke arah rekannya. Betapa kesal dirinya, Kotarou bukannya pemanasan malah menatap jauh ke bench di seberang.

Pria feminim menoleh ke arah yang disorot Kotarou, melihat manajer tim Touou terlihat resah dan gelisah. Jelas tidak nyaman berada di tempatnya. Bagaimana tenang, para lelaki saja menatapnya lamat-lamat—mungkin juga disertai hasrat pribadi.

Reo menghela napas berat, "Kotarou."

Yang dipanggil tidak menyahut.

"Kotarou."

Kotarou masih asik menyorot Momoi.

"Kotarou!"

Langsung Kotarou menoleh, "Ya, Reo-nee?"

"Astaga, kau ini," simpang tiga di pelipis Reo begitu kentara.

"Ahahaha, maaf, maaf." Kotarou nyengir tak berdosa.

Napas dihela, Reo menatap malas, "Kalau kau mau mendapat perhatiannya, bermain dengan serius lah hari ini. Aku jamin si manajer akan terus melihatmu."

Lengang sesaat.

Kilau jernih menghinggap di mata Hayama Kotarou, dengan semangat ia meninju udara, "Benar juga! Yooosh! Aku akan serius hari ini!"

Reo tersenyum lega. Tidak jauh dari tempat mereka, Nebuya melirik apatis. Akashi yang sejak tadi memerhatikan kini tersenyum puas.

Kalau timnya sudah serius, peluang menang akan jatuh ke tangannya.

.


.

Latih tanding basket antara tim Rakuzan dan Akademi Touou berjalan sebagaimana mestinya. Skor sementara Rakuzan unggul dua poin di atas Akademi Touou. Masing-masing pemain sudah mengerahkan kemampuan maksimal dan kini istirahat sepuluh menit sebelum memasuki babak dua.

Pelatih Rakuzan, Shirogane Eiji berpetuah, berkata penyerangan harus tetap kuat di kuarter ketiga. Untuk selebihnya, biar Akashi yang mengambil alih komando.

Kalau disuruh memperkuat penyerangan, tentu saja kemampuan dribel cepat Hayama Kotarou dibutuhkan. Itu artinya... ia bisa mengambil perhatian manajer Akademi Touou sekali lagi!

Reo yang sadar akan fantasi liar rekannya langsung menyikut, Kotarou nyengir minta maaf.

Peluit ditiup, kuarter tiga, babak dua dimulai.

.


.

Momoi Satsuki seorang profesional. Ia yakin sekali tidak salah perhitungan. Pelatih juga tidak memprotes. Lantas perasaan apa yang mengguncang batinnya ini?

Rasa-rasanya ia salah kalau memerhatikan lapangan, menyelidik jalannya pertandingan. Laki-laki yang tadi asal minta nomor ponselnya tiada henti melirik ke arahnya. Astaga, bukankah dia sedang fokus mengalahkan lawan?

Dengan kemampuan pengamatannya, Momoi dapat menyimpulkan satu hal. Kalau tatap mereka bertemu, Hayama Kotarou itu tidak bisa dilewati. Kalau Momoi mengalih pandang, pendribel cepat itu mudah dilewati—sekalipun sudah menggunakan empat jari untuk mempercepat gerak bolanya.

Dan kalau Kotarou dilewati, rekan-rekannya terlihat menenangkan, namun ada juga yang memarahi. Momoi tidak peduli.

Yang penting ia memerhatikan, menganalisa, menyimpulkan, dan melaporkan ke pelatih. Lagipula Dai-chan selalu bisa melewati si penggiring bola bernomor punggung tujuh, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.

.


.

Memasuki kuarter empat, istirahat dua menit, Kotarou masih tidak meloloskan tatapannya ke bench di sebelah kiri. Terlihat salah satu anggota tim mereka meminta maaf ke arah Kotarou, mungkin terganggu karena terus-terusan dipandang. Kotarou ingat, itu shooting guard Touou, three pointnya tidak pernah meleset, tapi entah apa salahnya ia berkali-kali minta maaf.

Akashi menoleh, "Kotarou, kau mendengarkan?"

Sontak Kotarou mengangguk cepat, "Ya, ya! Tentu saja!"

"Jangan menahan diri, kami membutuhkanmu."

Menyeringai penuh arti, titah kapten siap dilaksanakannya.

.


.

Latih tanding telah usai. Kedua tim membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Sebelum Akademi Touou keluar dari gym, Kotarou bergegas menghampiri bench dan mengoprek tas olahraganya. Mengeluarkan deodoran, menyemprot tubuhnya dan langsung berlari menuju pintu gym. Sesekali mengendus tubuh, yakin aroma keringat sudah tersamarkan.

Ia bersiul-siul ketika Momoi dan tim Touou akan melintas. Sadar akan marabahaya, Momoi langsung menggeser posisi dan berlindung di besarnya tubuh Aomine. Sang manajer pura-pura tidak melihat, meski tahu indera auralnya menyesap aroma sengat di antara keringat.

Karena harus menjaga etika dan sopan santun, Kotarou meratapi kepergian Akademi Touou-tidak, ia menyesali keputusannya karena tidak segera mengejar si manajer sebelum berpindah posisi-sebelum menghindarinya.

Alih-alih merengek, Hayama Kotarou justru menyimpul senyum penuh arti.

"Kotarou, apa yang kau lakukan di sana? Bantu kami membersihkan lapangan!" sahut Reo.

Kotarou tertawa, "Baik, Reo-nee! Aku datang!"

Bagi pemain inti yang sudah mengusai lelahnya, diwajibkan membantu lapis dua dan lapis tiga membersihkan lapangan. Kotarou belum melaksanakan tugas, ia berlari menghampiri Akashi yang sedang mengelap bola oranye.

"Akashi!" panggilnya antusias.

Sang kapten menoleh, "Ada apa, Hayama?"

"Cewek yang jadi manajer Touou itu siapa namanya?"

Akashi mengembuskan napas, sudah diduga ocehan Kotarou pasti tidak ada pentingnya. "Momoi," sahutnya pendek.

"Minta nomornya dong!" sahut Kotarou antusias.

Langsung mengerutkan dahi, namun Akashi dengan cepat menguasai keadaan. "Nanti, kutanya dulu ke orangnya."

"Ah, ayolah, Akashi, hanya nomor ponsel!"

"Kau mau mengganggunya?"

"Tidak, tidak, hahaha," Kotarou mengekeh, "aku mau kenalan, hehehe."

"Ponselku di tas, nanti kuberi."

Kotarou ingin sekali memeluk Akashi, tapi takut diserang. Akhirnya ia membungkuk terima kasih dengan semangat dan antusias kelewatan.

.


.

Hari itu kelas berlangsung kondusif di Akademi Touou. Memasuki jam istirahat, Aomine Daiki langsung menghampiri Momoi Satsuki yang duduk tiga meja di depannya. Si gadis peach kaget, tidak biasanya Aomine menyapa duluan.

Layar ponsel Aomine ditampilkan, pemiliknya mendengus sebal, "Apa maksudnya ini?"

Momoi mengernyit, "Apa sih?" ia baru saja mau makan, tapi nada bicara Aomine malah ngajak tengkar.

"Ini, baca. Kau jangan sembarangan memberi nomorku ke orang asing."

Momoi menatap lamat-lamat, mendapati nomor tak dikenal menyerang kotak pesan ponsel Aomine. Isinya tidak jauh dari kalimat-kalimat seperti;

Ini Momoi, yah? Kenalan yuk!

Malam ini langitnya gelap, tapi kalau ada kamu, pasti jadi ada bintang-bintangnya! Eh, langit malam memang gelap, ya.

Ah, jadi kepikiran manajer tim basket Touou terus, nih.

Maaf nih lupa ngenalin diri, aku Hayama Kotarou, itu yang nomor tujuh! Hehehe, kau kan sering menatapku kemarin, pasti tau!

Selamat malam Momoi-san, mimpiin aku ya~ nggak deh, mimpi indah ya~

Selamat pagi Momoi-san, semangat sekolahnya, ya! Hari ini aku banyak PR, sedih :(

Momoi merutuk dalam hati, "Caper banget!" rutuknya pelan. Pantas saja Aomine marah berat, rupanya itu pesan nyasar yang isinya tidak penting sama sekali.

Momoi merinding, "Wa-wah, Dai-chan diteror..."

Aomine mendengus sebal, "Itu anak Rakuzan itu bisa-bisanya mengotori kotak pesanku."

"Aku tidak tahu, sumpah, Dai-chan! Aku juga ngeri sama itu orang..." teringat akan insiden nomor ponsel di pintu dan satu-satunya lelaki berparfum di luar gym.

Aomine mengangkat alis, "Kau tidak di-sms?"

Momoi menggeleng, "Tidak, kuharap juga jangan sampai..."

"Lalu, siapa yang memberi nomorku ke pengganggu itu?!" sekarang Aomine berang, dengan cepat ia menarik slide hijau di layar dan merapatkan ponsel ke telinga, menunggu sambungan.

Momoi berpikir sejenak, "Di Rakuzan yang tahu nomorku kan cuma-"

"HEI, BERHENTI MENGIRIMKU SMS, SIALAN. INI BUKAN NOMOR SATSUKI, INI NOMORKU, AOMINE DAIKI! SEKALI LAGI KAU MENGGANGGU, KUTONJOK MUKAMU!"

Momoi terlonjak, pun dengan teman-teman sekelas. Seisi ruangan menatap heran ke arah Aomine, Momoi langsung menguasai keadaan dengan berkata tidak apa-apa. Aomine sontak mematikan ponsel dan mendengus keras.

.


.

"Hmm, di waktu istirahat gini enaknya bilang apa, ya..." gumam Kotarou seraya berpangku tangan. Matanya langsung menangkap tujuh potong roti dengan berbagai rasa di meja, baru saja ia buru di kantin yang menyediakan stok makanan terbatas. Sebelum mengetik pesan, ia melirik ke arah Nebuya yang makan dengan rakus di mejanya, pun Reo yang melarangnya dengan mimik enggan.

"Hmm... selamat siang, Momoi-san, hari ini aku makan roti yang kubeli di kantin, lho! Kamu makan apa?" gumam Kotarou seraya mengetik pesan.

Reo menyahut, "Aku yakin perempuan itu illfeel padamu, Kotarou."

"Aku mencoba perhatian, Reo-nee!" bantah Kotarou cepat, "Yosh, kirim-eh? Ditelepon? Momoi-san menelepon!"

Seketika Reo melotot, Nebuya apatis dan tetap melanjutkan makan.

"Aduh, deg-degan, nih," tampak ibu jari Kotarou bergetar, "kira-kira, Momoi-san mau bilang apa, ya..."

Reo menghela napas, "Speaker, aku mau dengar."

Kotarou mengangguk, kemudian menjawab panggilan.

Yang keluar bukan suara lembut mendayu, tapi teriakan garang dari seorang pria yang mampu membekukan seisi kelas. Bahkan Nebuya sampai rela menjeda acara kunyahnya.

'Pip'

Kotarou langsung menekan ikon merah, jantungan.

"Gila, apa itu tadi, Reo-nee," katanya sambil menahan napas.

"Kau salah sambung," sahut Reo, sama kagetnya.

Nebuya sendawa, "Kau ngapain, Kotarou?"

Kotarou sampai tidak terpikir untuk merespon kawannya, ia kembali memaku ponsel sambil bertanya-tanya dalam hati.

Aomine Daiki? Ini nomor Aomine Daiki?

JADI SELAMA INI AKU NGEMODUSIN AOMINE?

Sialan Akashi, batinnya.

Reo tertawa anggun, "Ih, Sei-chan jahil juga, ya."

Kotarou panas, "Pantas saja! Aku heran kenapa Akashi semudah itu memberiku nomor, ternyata memang menipu! Sial, lah!"

Reo tertawa, Nebuya sedang memproses keadaan sambil menatap bergantian.

"Ada yang menyebut namaku."

Tiga orang yang duduk mengeliling satu meja persegi lantas menegang. Dengan gerak patah-patah ketiganya menoleh.

"Aku tidak marah atas penghinaanmu kepadaku, Hayama. Aku datang untuk membicarakan tim dengan Mibuchi."

"A-ah, tentu saja, ayo kita bicarakan, Sei-chan." Sang wakil kapten beranjak berdiri, bergegas mendorong punggung Akashi agar keluar dari ruang kelas.

Kotarou dan Nebuya bernapas lega. Meski Akashi bukan yang dulu, tetap saja mereka trauma akan serangan intimidasi baik langsung mau pun tidak langsung. Siapa tahu kaptennya kumat dan mereka dipaksa takluk dengan tidak elitnya.

"Sial sekali aku hari ini," ujar Kotarou memandangi langit lewat jendela, melankolis seketika.

"Tadi aku makan satu rotimu, Kotarou."

"Hah? Ya... apa?! Sialan kau, Gorila!"

"Terima kasih, hehe."

"Aku tidak memujimu!"

.

.

.

tbc

.

.

.

a/n : setting Canon, kurang lebih 1 tahun setelah Winter Cup

makasih udah baca xDDD