Disclaimer:

Naruto selamanya milik Kishimoto-sensei.

Warning:

AU. OOC. Typo(s). Drama. Crack pair. Multichap. Gaje(s). Pendek..

.

.

.

.

Please, be My Girlfriend!

Sequel of Rainy Day

A Naruto Fanfiction

By UchihaMaya

.

.

.

.

.

Apa usaha Sasuke untuk mengejar cinta Hinata? Sanggupkah ia merendahkan harga dirinya sebagai Uchiha demi gadis manis dari klan Hyuuga itu?

.

.

.

.

.

Duk.. duk...

'Klang'

Kuseka keringat yang membanjiri wajahku. Sedikit tersenyum puas melihat Naruto yang terkapar dilapangan. Hanya orang gila yang mau bermain basket disiang bolong dimusim panas seperti ini, kecuali kami tentunya. Aku seorang Uchiha, jadi mustahil aku gila. Tapi, kalau untuk si Dobe itu aku ragu.

Sinar matahari menyengat kulit putih pucatku. Lelah juga. Sudah lama tidak bermain segila ini. Ingat bukan, aku siswa tingkat akhir di Senior High School. Artinya tidak ada lagi waktu untuk main-main.

Biar kuperkenalkan diriku. Aku Uchiha Sasuke. Siswa tingkat akhir di SHS. Statusku kali ini dalam tahap pengejaran terhadap kouhai-ku, Hyuuga Hinata.

Sudah sebulan berlalu sejak peristiwa hujan-yang-menyenangkan itu berlalu. Dan setiap pulang sekolah, aku selalu pulang bersamanya. Kemajuan bukan?

"Kau payah, Teme!" Ucap Naruto, sambil mengatur nafasnya yang senin-kamis.

Aku mengernyit mendengarnya. Heh? Bukannya ia baru kalah telak dariku? Lalu, dia bilang apa? Aku payah?

"Kau mengigau, Usuratonkachi?"

Kulihat Naruto malah tertawa. Ia menggumam sesuatu sebelum duduk ditengah lapangan. Kemeja putihnya tampak basah oleh keringat, tak jauh beda denganku.

"Bukan basket, Teme, tapi gadis!" Ucapnya. Ia memainkan bola basket yang menggelinding didekatnya.

"Apa maksudmu?" Dia bicara apa sih?

"Kau itu cepat dalam berebut bola, sangat cepat malah seperti shinkansen. Tapi kalau masalah gadis, kau lebih lambat dari siput. Masa sebulan jalan kau tidak berani memegang tangannya, kau payah!"

Dahiku berkedut, dia, Uzumaki Dobe berani menghinaku?

"Jangan mengatakan seolah kau lebih baik dariku," ucapku sinis.

Look! Dia malah tertawa lagi, kurasa ia memang mulai gila.

"Aku memang lebih baik darimu, Teme," jawabnya disela tawa.

Aku nyaris tersedak ludahku sendiri ketika mendengarnya. "Pardon?"

Si Dobe menyeringai senang. "Aku lebih baik darimu, Teme. Buktinya aku berhasil mendapatkan hati Sakura-chan awal semester ini," ucapnya dengan bangga.

Aku terdiam. Benar juga. Orang idiot macam Naruto bisa mendapatkan hati seorang Haruno Sakura dengan mudah. Bahkan, si pemalas Nara Shikamaru saja bisa menggaet gadis cantik dari perguruan tinggi. Tapi aku, orang yang nyaris sempurna di SHS malah sangat sulit untuk menyatakan perasaannya, pada kouhai-nya pula? Hell!

"Kau mengakuinya 'kan, Teme?"

Eh? Aku payah? Mimpi saja!

Seorang Uchiha mana mungkin kalah dari seorang Dobe.

"Aku tidak payah, idiot! Tinggal masalah waktu hingga Hinata jatuh kepelukanku." Ucapku percaya diri.

Ya, benar. Hanya masalah waktu sampai gadis Hyuuga itu menjadi kekasihku.

"He? Benarkah?" Si Dobe malah mencibir.

Aku mendengus kesal.

"Kau sudah tertarik padanya sejak awal tahun kedua dan setelah satu setengah tahun menyukainya kau hanya bisa pulang bersamanya. Kau benar-benar payah, Teme!"

Aku tertohok mendengarnya. Jika aku bukan seorang Uchiha, aku sudah meneriakinya detik ini juga.

"Lalu apa masalahmu?"

Ia berdiri lalu mendekatiku. "Aku hanya khawatir, jika kau terlalu lama ada orang yang mendahuluimu,"

Aku tertegun. Masuk akal juga ucapan Dobe. Aku tidak pernah berpikir bagaimana jika ada orang lain yang berhasil mendapatkan Hinata?

Itu nightmare!

Aku melirik Dobe sebentar.

Huh baiklah!

Aku berbalik membelakangi Naruto. Menatap satu direksi dimana ada seorang gadis berambut indigo yang berjalan dengan tenang.

Segera kuraih tasku yang tadi kuletakkan sembarangan dipinggir lapangan, kemudian berlari menghampiri gadi itu.

Aku berhenti didepannya. Ia menatapku tanpa berkedip dengan iris peraknya yang teduh. Oh, yeah! Hyuuga Hinata memang bisa mempesonaku dengan ekspresi apapun.

"Belum pu…lang, Uchiha-senpai?" Tanyanya dengan gugup.

"Hn!"

Hh~ Entah sampai kapan aku akan mempertahankan trade-mark jawaban satu kata dua huruf khas Uchiha ini akan kupertahankan.

Ia kemudian tersenyum sangat manis. Kurasa pipiku mulai terasa hangat. Gosh, jangan bilang aku sedang merona seperti remaja labil(?) yang tengah jatuh cinta?

"Mau pulang bersama?"

Harusnya aku tak perlu bertanya. Toh, selama 29 hari terakhir-jangan menatapku begitu! Masalah jika aku menghitung hari yang kuhabiskan bersamanya?- kami selalu pulang bersama. Ingat, garis bawahi kata SELALU.

"Ayo!" Dengan kepedean tingkat dewa aku menyambar tangan Hinata dan menggenggam tangan mungilnya.

"A…ano…itu, Uchiha-senpai…"

Aku yang hendak menarik tangannya supaya berjalan berdampingan denganku tentu mengurungkan niatku.

"Hn?"

Sebelah alisku terangkat.

Ia tengah menggigit bibir bawahnya. Matanya menatap tak focus, sesekali ia melirik ujung sepatunya.

Hh~ Entah kenapa ia belum bisa berhenti bersikap gugup seperti ini.

Kurasa ia menarik tangannya pelan, lepas dari genggaman tanganku. Aku mengernyit heran. Apa ada yang salah? Jangan bilang ia alergi terhadap sentuhan?

"I…itu, a_ku_"

"Hinata?"

Heh? Siapa itu? Pemuda bermata panda datang menghampiri kami, bukan, tapi menghampiri Hinata. Aku tak pernah kenal dengan orang aneh bermata panda sepertinya.

"Maaf aku terlambat," Ucapnya datar. Sedatar ekspresi yang terpatri diwajahnya.

Cih. Wajahnya tak begitu asing, tapi aku tak ingat pernah melihatnya dimana.

"Ah, Gaa-ra-kun, tidak a…pa-apa,"

Terselip rasa marah didadaku. Tak terima rasanya Hinata memanggil cowok merah itu dengan nama kecil.

Tanpa basa-basi, tiba-tiba ia menarik Hinata dalam pelukannya.

UAPAAA?

Mataku nyaris copot melihatnya.

Cukup Neji yang boleh memperlakukan Hinata dengan akrab. Tidak perlu tambahan orang aneh bermata panda dengan tato kanji ai dijidatnya ini.

Uchiha Sasuke murka!

Aku segera menarik Hinata dari pelukan pemuda itu.

"Ah!" Hinata terpekik pelan, nampak terkejut.

"Apa yang kau lakukan, bastard?" Desisku berbahaya.

Kutarik Hinata hingga ia berdiri dibelakangku.

Death-glare turun-temurun khas Uchiha kulayangkan padanya. Oke, mungkin aku akan meletakkan nama Uchiha-ku sebentar untuk menjauhkan Hinata dari racoon sialan ini.

"Apa masalahmu, Tuan pantat ayam?" Balasnya dengan seringai aneh tertempel diwajahnya.

Eh? Tunggu, barusan dia memanggilku apa?

"A…ano, Uchiha-sen..pai…"

Tak kuhiraukan gumaman tak jelas Hinata.

"Apa hakmu memeluk Hinata?"

Ini pertama kalinya aku mengucapkan nama gadis dibelakangku ini secara gambling.

Ia menyeringai, maju mendekatiku hingga jarak yang memisahkan kami hanya tinggal beberapa centi.

"Salah jika aku memeluk gadis yang kusukai?" Ucapnya sambil menarik Hinata menjauh.

Aku membeku. Ini telingaku yang salah atau memang setan merah itu ingin mengklaim Hinata. Dan itu sama saja mendeklarasikan perang padaku.

"Wah!"

Aku tersentak. Kulihat Hinata dan racoon itu sudah menghilang dari pandanganku.

"Teme, gadismu direbut orang tuh!"

Gumaman Naruto membuatku sadar.

Argh~. Kenapa aku membiarkan dia mengambil Hinata?

Kueratkan genggaman tanganku, pandanganku menajam bak elang yang mengintai mangsanya. Tak kuhiraukan Dobe yang menatap ngeri padaku.

"DASAR RACOON SIALAN!"

.

.

.

.

.

To Be Continue

.

.

.

.

.

A/N: Sebelumnya saya sampaikan terima kasih untuk review fic saya yang sebelumnya, Rainy Day. Saya terharu ternyata ada yang mau membaca fic saya. Mungkin sequel ini tidak sesuai harapan reader-san, saya mohon maaf.

Tapi bolehkah saya berharap ada beberapa pesan dikotak review?