"Tidak ada yang namanya takdir. Itu hanyalah sekadar kombinasi antar satu situasi dengan yang lainnya." –Hey, kawan. Yakin kah kau pada pernyataan ini? Hey ... akan kuantarkan suatu kisah kepadamu–bahwa takdir itu benar adanya.
Tokyo Ghoul & Tokyo Ghoul:re | Ishida Sui
An Alternate Reality Fan Fiction
Fan fiksi ini tidak menghasilkan bentuk keuntungan semacam finansial, tetapi hanya berupa kepuasan pribadi semata
Direkomendasikan untuk sambil mendengarkan Tokyo Ghoul Soundtrack [Insert Song]; On My Own dan Glassy Sky
Dari penggemar untuk penggemar
–Anata wa watashi no ichibu ni naru.
Kotak-kotak kardus besar berserakan seperti remah-remah biskuit. Terbuka sebagian. Ketika ditarik lepas, pita perekat membuat polusi suara beberapa waktu. Jejak-jejak air yang menggelap nampak di muka kardus. Hampir terdapat di seluruh kubus kardus.
Kaca-kaca jendela buram di sertai bintil-bintil air yang meliuk turun. Sedangkan kulit beningnya sedingin es balok, jika tersentuh sudut telunjuk.
Desahan nafas meluncur. Entah tafsirannya adalah keluhan atau rasa syukur.
Merogoh ponsel pintar di saku jaket, ia menghubungi seseorang. Sambungan telepon, terangkat.
"Itori-san! Kemana kau pergi? Setidaknya bantu aku berbenah–ini juga termasuk salahmu."
"Aah ... maaf Kanekicchi!" lawan bicara di seberang sana memekik. "kau tahu kan hujan sedang gila-gilanya saat ini? Aku dalam perjalanan ke tempatmu, lagipula."
Menepuk pelan puncak kepala, ia membalas sedikit gusar, "harta berhargaku hampir jadi tumbal hujan gila ini–sudah sampai mana?"
Suara-suara tak jelas dari seberang telepon mengudara. Sambungan seluler diputus sepihak.
Kaneki Ken. Sembilan belas tahun. Mahasiswa tahun kedua jurusan literatur klasik. Figur dengan tinggi satu koma tujuh meter. Angka timbangan berhenti pada limapuluh delapan. Status saat ini; bersih-bersih apartemen–yang semestinya tidak perlu juga ia kerjakan.
Semestinya, detik ini ia; menenggelamkan mata di muara majas-majas cantik Takatsuki Sen-sensei, mengetuk tempurung imaji, menggaruk puas diri hingga wajah bersepuh pias.
Atau kembali menggurat lembar kerja Ms. Word. Walaupun 'hari mati' terhitung belasan hari lagi. Kaneki Ken tidak suka menunda. Tidak bisa.
Keadaan berubah sedari seminggu ke belakang. Penyebab hal ini hanyalah remeh. Itori menyulap dapur rumah menjadi alas perang dunia ke sekian. Ingin membuat sestoples kukis dan secangkir kopi, katanya. Fakta membenarkan bahwa wanita kelewat berisik itu tak lebih dari sekadar tukang kacau. Kemampuan memasak nol kelewat besar.
Kaneki Ken tidak pernah mengerti wanita. Ia pun juga tak ingin mengerti akan hal itu. Tapi ia tahu benar bahwa Itori hanya menyalurkan perhatian serta keprihatinan. Ketika ia bertatap muka dengan berlembar-lembar kertas penuh kata artifisial tanpa mencuri waktu dari empatpuluh delapan jam penuh di ruang kerja, Itori akan menepuk kepala Kaneki dengan gulungan tabloid fesyen, secara brutal.
"Kalau kau ingin mati muda, pakailah cara yang elit! Para keremi di perutmu sudah menyalak galak, kau tahu?!"
Atau,
"demi Tuhan Yaoi, Sasaki-sensei! Istirahatkan tubuh cekingmu itu! Kau mau aku besok membakar dupa dan menggali kuburmu?!"
Biasanya Kaneki hanya menggosok kepala belakang sembari merajuk, "tapi deadline di depan mata. Akira-san bisa meninjuku kalau naskah belum rampung lebih dari hari mati."
Dan seperti biasa pula, kursi putar Kaneki tertarik hingga tempurung lutut menonjok serat sofa.
Desahan nafas, lagi.
Tumpukan cerita rekaan Takatsuki Sen Yang Terhormat, mulai mendingin digerogoti hawa hujan. Nyaris tersiram guyuran air yang merembes dari pori-pori kardus. Beberapa perkakas rumah belum pada tempatnya. Aroma asing hunian baru membuat sangsi. Tak nyaman. Ia ingin pulang. Ke tempat ia bisa berpulang. Tetapi lebih dari enampuluh persen rumah lama bermetamorfosis menjadi tak layak huni. Hanya dalam waktu kurang dari duapuluh empat jam. Hari-hari yang kelewat berat. Sungguh ironis ketimbang miris. Tapi, walau bagaimana pun juga, Itori adalah partner yang–
BRAK!
"Konnichiwa, Sasaki-sensei!"
–merepotkan, mungkin?
"Editormu, Itori-sama, datang untuk membantu!"
Karena Itori memilihkan hunian yang duakali lebih luas dari rumah lama, maka kucuran anggaran pun lumayan fantastis nyerempet bombastis. Kaneki yakin kalau semua aset apartemen ini–bahkan mungkin titik-titik debu–memiliki kualitas terbaik. Dan ia seratus persen percaya kalau pintu depan apartemen baik-baik saja. Tidak lecet apalagi berubah pesek. Fakta tak mengejutkan adalah Itori sendiri yang menyeret Kaneki pada apartemen semi-eksklusif ini.
" ... Mohon bantuannya, Itori-san."
Hujan yang merimbun masih mengucur. Kubus-kubus kardus hilang ditelan waktu. Totol-totol debu tergerus mesin vakum.
Denting kaca terdengar dari konter dapur. Itori di sana. Membuang isi perut botol anggur pada gelas langsing berkaki.
"Aah, kau penghuni apartemen seberang yang baru, 'kan?"
Kaneki Ken. Penghuni baru. Sedang membagikan oleh-oleh. Berupa sekantung kopi bubuk. Satu, dua, tiga, pintu yang sudah terketuk dan menyambut ramah. Dan pria baruh baya di depan hidung saat ini adalah pintu kedua dari yang terakhir.
Intuisi menggeliat gelisah. Tingkah tubuh dimonitori. Pria tua ini bukanlah sekadar tua renta.
Ia harus gerak cepat.
Bungkusan cokelat dengan tempelan gambar patahan biji kopi tersodor dengan sopan, " Kaneki Ken. Etto ... ini dari saya. Silahkan."
"Terima kasih ... terima kasih," hidung peyot itu kembang-kempis. "ini kopi dari kedai Anteiku, bukan? Kukuku."
Tengkuk terasa diantup tawon. "Kau tak ingin masuk?" kata si pria tua. "aku masih punya dua stoples kukis kering."
Kaneki bukan tidak suka kukis kering. Itu adalah kudapan utama bila ia sedang memukul-mukul papan ketik. Tetapi sorot pria tua ini seperti menguliti tubuh. Terkandung intimidasi dari sebelah mata yang menyipit. Intinya, itu tatapan seram. Kaneki yakin anak tetangga di rumah lama–Hinami akan langsung meraung takut dan bersembunyi dibalik rok panjang Fueguchi-san.
" ... "
"Mado-san, tatapan Anda membuat ia takut."
Interupsi kecil. Leher berputar. Dagu terangkat. Setidaknya ada pengalihan arah pandang–
"Ooh? Mungkin kau benar, Arima-kun."
–dan biji mata menciut karena perangah.
"Kau pasti penghuni apartemen sebelah," bingkai kacamata pria itu sedikit berkilat. "Mado-san memang seperti itu, tidak perlu takut."
Mata kelabu gelap tidak berkedip. Status Kaneki statis.
"Arima Kishou. Salam kenal ... "
Apa ini? Figur pria itu hampir mirip dengan ia. Warna rambut, lensa, kulit, hanya berbeda tinggi sepuluh sentimeter–walaupun pria renta di belakang juga memiliki warna serupa–tetapi pria tinggi ini pastilah Pangeran yang keluar dari buku. Atau mungkin dahulu ia adalah seorang Kesatria.
"Kaneki-kun?" pria tua di belakang sana membuat rasa sadar terperanjat.
Tidak mengerti. Kaneki Ken betul-betul tidak mengerti. Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi di dunia?
"A-ah ... Kaneki Ken–"
Apa ini bukan kebetulan? Kalau bukan, apa namanya?
"–Salam kenal juga, Arima-san."
Apa ini yang dikatakan sebagai ... takdir?
"Ya, Kaneki Ken."
–Hey, takdir itu benar-benar ada ... dan terjadi
Bersambung.
*Anata wa watashi no ichibu ni naru : you will be part of me
