MILKY


Selama ini, aku selalu menganggap keistimewaanku sebagai petaka, kutukan, dan semacamnya. Maksudku, kalau memang aku punya rahim dan dari payudara mungilku bisa keluar susu layaknya perempuan, kenapa aku harus terlahir sebagai pria? Kenapa bukan wanita saja sekalian?

Dan itu baru dua dari seribu satu masalah yang kumiliki.

"Milky, aku mau susuku. Sekarang."

Yang barusan mengirim pesan ke ponsel ketinggalan jaman milikku adalah masalahku yang lain, Oh Sehun. Kalau dia sudah bilang begitu, artinya aku harus tiba di tempat yang ia tentukan paling lambat lima menit dari sekarang.

Atau—semua orang akan tahu tentang ketidak-normalanku dan aku akan menerima hujatan seumur hidup. Oh tidak, dua menit berlalu begitu saja karena aku terlalu sibuk menatap layar ponselku tanpa melakukan apapun.

Ck, benar-benar menyebalkan. Selalu saja seperti ini tiap hari.

"Mau ke perpustakaan, Baek?"

Aku mengangguk lemah saat mulai memasukkan seluruh buku pelajaranku ke dalam tas—menyisakan sebuah novel terjemahan yang isinya belum kubaca sedikitpun sejak dipinjam. Aku bahkan tidak tahu judulnya apa. Seperti aku punya waktu saja membaca dengan santai padahal untuk mengurus diriku sendiri rasanya 24 jam dalam sehari itu masih sangat kurang.

"Hm, aku harus mengembalikan ini," ujarku sambil tersenyum paksa. Kyungsoo, anak yang duduk dikursi sebelahku balas tersenyum, "Kau suka sekali novel terjemahan, iya kan?"

"Ya, begitulah," balasku tanpa bahkan tidak mengerti kenapa dia bisa berkesimpulan seperti itu.

"Aku juga suka! Bagaimana kalau kita pergi ke perpustakaan kota kapan-kapan? Kudengar mereka punya banyak sekali koleksi novel mancanegara dan—"

"Kyungsoo ssi, maaf. Waktu istirahatnya tinggal setengah jam lagi dan aku harus cepat-cepat pergi kesana sekarang juga kalau tidak ingin—"

Kalimatku terhenti begitu kulihat seseorang dengan wajah datar tapi penuh ancaman sudah berdiri di ambang pintu kelas. Matanya menatapku tajam-tajam seolah ingin menelanjangiku sekarang juga. Sialan.

"—terlambat mengikuti pelajaran selanjutnya."

"Eh? Ah—baiklah." Dia menggaruk tengkuk dengan gerakan canggung setelah ikut-ikutan menoleh ke arah tampak sedikit kecewa entah karena apa. Mungkin karena nada bicaraku yang terdengar tak bersahabat sama sekali atau karena menyadari pria yang paling diminati di sekolah ini sedang menungguku di sana—entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku sempat melihat Sehun dan Kyungsoo bertukar pandang sekilas.

"Aku pergi dulu. Dah."

Aku cepat-cepat berlalu dari kursiku sambil menenteng novel sebelum Kyungsoo sempat berkata apapun lagi. Anak itu—dia terus saja mencoba menemukan topik pembicaraan yang bisa membuat kami lebih dekat, padahal semua usahanya akan sia-sia karena akrab dengan seseorang bukanlah gayaku.

Well, kecuali pada satu orang. Itupun akrab karena terpaksa.

"Kenapa kau datang ke sini?" Aku tak bisa menyembunyikan ekspresi kesal tiap kali berhadapan dengan pria yang berdiri menjulang di hadapanku itu. Selain karena dia ini selalu mengancam akan memberitahu orang-orang tentang kondisiku yang spesial, dia juga terlalu sempurna. Bad boy kelas sebelah yang populer dengan ketampanan, harta, dan sifatnya yang dingin—dia punya semuanya. Aku benci itu.

"Karena kau sudah mulai berani mengabaikan pesanku dan tak cepat-cepat datang menemuiku."

Ini dia, Oh tadi selalu berhasil mengintimidasiku hanya dengan suara dan ekspresi yang sama datarnya itu.

Aku memutar mata dan mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku dengan gusar. "Baiklah, aku minta maaf."

Cih. Padahal baru lewat beberapa detik dari lima menit sejak aku menerima pesannya—bisakah kalian pahami kalau dia ini benar-benar keterlaluan? Terkadang aku merasa kalau makin ke sini dia bertambah posesif—padahal kami tidak sedang berpacaran atau semacamnya. Tapi tak ada gunanya berkilah, Oh Sehun akan selalu menang melawan siapa saja.

"Kita lihat saja nanti apa aku memaafkanmu atau tidak."

Dia menaikkan sebelah alis dan menurunkan pandangan ke daerah dadaku. "Wow, kau sudah basah di bagian itu."

Aku menggeram kesal ketika menyadari yang ia katakan memang benar. Ada bulatan basah tercetak di seragamku tepat di bagian tonjolan dadanya.

Menyebalkan sekali. Kalau bukan karena hubungan kami yang tercipta atas dasar kesepakatan bersama, aku pasti sudah menghajar pria ini habis-habisan dan membuang mayatnya di jalanan. Pasti.

"Sstt, pelankan suaramu! Bagaimana kalau ada yang dengar?" Aku melirik sekeliling dengan gelisah. Kehadiran lelaki ini di depan kelasku saja sudah menarik perhatian beberapa siswa yang lewat, bagaimana lagi kalau seandainya mereka tahu tentang apa yang terjadi di antara kami? Ah, seharusnya aku tak perlu khawatir. Mereka sudah tahu kalau antara aku dan Sehun telah terjadi sesuatu, tapi mereka hanya pura-pura tidak tahu saja. Memangnya siapa yang mau berurusan dengan Oh Sehun?

"Ayo, cepatlah! Aku masih harus mengembalikan novel ini sebelum belnya berbunyi."

Novel sialan. Aku terpaksa meminjamnya karena penjaga perpustakaan nyaris memergoki kami seminggu lalu. Waktu itu, Sehun melakukannya dengan agak kasar—membuatku berulang kali memekik kesakitan dan akhirnya suaraku menarik perhatian si penjaga. Untung saja kami selesai sebelum tertangkap basah. Sehun dengan cepat menyelinap ke balik rak buku dan aku pura-pura sibuk membaca novel sambil berdiri—mati-matian menyembunyikan bagian depan seragamku yang belum sempat dikancing.

Aku berjanji dalam hati tidak mau melakukannya lagi di tempat umum.

"Tanganku—" Sehun mengulurkan tangan kanannya ke arahku, "—pegang yang erat."

Aku kembali memutar mata malas tapi dengan cepat meraih tangan besar lelaki itu, menggenggamnya di sisi tubuhku sesuai yang ia instruksikan. Dia tersenyum tipis dan balas menggenggam tanganku lebih kuat lagi, seakan ingin membuat jari-jariku remuk saat itu juga.

"Good boy. Aku suka kalau kau penurut seperti ini."

Sehun membawaku pergi dari sana tanpa memperdulikan tatapan penasaran yang orang-orang berikan pada kami. Bahkan ada yang secara terang-terangan memekik iri—berharap yang sedang bergenggaman tangan dengan Oh Sehun adalah mereka.

Haruskah aku berbangga diri karena itu?


THIRSTY


Kami sudah pernah melakukannya di gudang alat olahraga, UKS, lorong perpustakaan yang sepi, di kelas, atau dimana saja. Tapi kali ini, Sehun lebih suka kami melakukannya di dalam mobil—di jok belakang, di parkiran sekolah sebelah timur.

"Akh, pelan sedikit!"

Dia hanya terkekeh ketika menurunkan bra putih ber-cup A yang kupakai di balik kaos. Yah, ini memang memalukan. Tapi apa boleh buat lagi? Aku sudah memakai benda itu sejak kelas satu SMA—sejak dadaku tumbuh sedikit lebih besar dari pria pada umumnya dan susuku mulai keluar dengan lancar.

Sehun terpaku sebentar pada payudara mungilku yang terpampang bebas di depan matanya. Meski yang seperti ini sudah sering terjadi, tetap saja aku belum terbiasa dengan sorot bergairah yang kedua mata itu pancarkan. Untungnya dia masih menepati janji untuk tidak melakukan hal-hal lain diluar batas kesepakatan kami.

"Yak! Berhenti menatapinya seperti itu, cepat hisap atau aku kembali ke kelas sekarang juga!"

Sehun mengalihkan pandangan ke wajahku yang cemberut, "Apa sakit?"

"Apanya yang sakit?"

"Ini—" Aku merinding ketika jemari panjangnya perlahan mengelus bukit dadaku yang agak memerah. Dia menekan lembut tempat itu dan aku langsung meringis kesakitan begitu saja. Meski sekilas, aku sempat melihat dahinya berkerut dan sorot matanya berubah khawatir.

"—sudah bengkak dan mengeras. Kau tidak memerasnya tadi malam?"

Hal lain yang membuatku tidak terbiasa akan Oh Sehun adalah—dia bisa berubah perhatian dan lembut saat kami sedang berdua saja. Sesuatu yang jarang ia perlihatkan pada orang lain.

Aku menggeleng pelan, "Tadi malam shift-ku berakhir jam satu dinihari, aku langsung tertidur begitu sampai di rumah. Lagipula aku tidak suka kalau air susuku terbuang sia-sia."

"Jadi kau lebih suka susumu kuminum, begitu?"

Sialan.

Aku menyingkirkan jemarinya dan berniat memakai kembali pakaianku yang sudah acak-acakan. "Lupakan saja, aku mau kembali ke kelas!"

"Ck, kau ini mudah sekali merajuknya."

Tanpa kuduga, Sehun menarik tubuhku dan memaksaku duduk di atas pangkuannya. Aku sempat berontak karena posisi seperti ini membuatku tidak nyaman, tapi dia langsung menahan tubuhku kuat-kuat ketika aku mencoba membuka pintu.

"Seperti ini saja, supaya aku bisa minum lebih mudah."

Sehun mengelus sedikit daerah areola-ku dan memajukan tubuh agar dia bisa lebih mudah mencapai putingku.

Lagi-lagi aku malu mengatakannya, tapi—kata 'melakukan' yang kumaksud di atas adalah ini. Menyusui Oh Sehun. Sudah kulakukan selama tiga bulan belakangan.

Seluruh pori-poriku merinding ketika puting sebelah kananku masuk ke dalam mulut hangat lelaki itu. Dia memang sudah sepakat untuk tidak melakukan rangsangan-rangsangan berlebih yang bisa menjerumuskan kami ke hal yang tidak diinginkan—murni hanya menyedot susu yang keluar dari nipple-ku—tapi tetap saja, rasanya tubuhku hampir mau meledak setiap dia melakukannya.

Aku merundukkan kepala untuk melihat lebih jelas bagaimana cara pria ini menghisap susuku. Kalau diperhatikan lebih jelas lagi, dia ini persis bayi. Mulutnya menempel di dadaku seperti seekor lintah, pipinya kembang-kempis ketika dia dengan lahap menyedot setiap tetes cairan yang keluar seolah tak rela ada yang tercecer sedikitpun dan sesekali dia menengadah untuk melakukan kontak mata denganku. Dia terlihat menggemaskan, mau tak mau aku menjulurkan tangan untuk mengelus rambutnya dengan lembut. Yang seperti ini masih diperbolehkan dalam perjanjian kami.

Awalnya aku memang merasa jengah, ketakutan, sedih, dan terhina karena ada orang yang menyentuh dadaku seperti ini—terlebih dia adalah seorang pria sama sepertiku. Tapi aku tak bisa mengingkari kalau yang kami lakukan ini membuat tubuhku lebih rileks dan rasa sakit yang terus menghinggapi kedua payudara mungilku menghilang. Aku terpaksa—setidaknya ini jauh lebih baik daripada membiarkan air susuku mengendap dan aku merasakan sakit seharian karena kedua dadaku bengkak.

"Apakah rasanya enak?" bisikku ketika merasakan sedotan Sehun makin lama semakin kencang. Mungkin karena sudah terbiasa, dia tahu pasti bagaimana caranya menyusu tanpa membuatku merasa sakit. Meski di awal-awal dulu aku sering menangis tiap kami melakukannya. Dan jangan lupakan fakta bahwa dulu aku juga belum bisa mengendalikan desahan memalukan setiap puncak dadaku dihisap. Kalau sekarang, semuanya sudah lebih terkendali.

"Sangat. Susumu bahkan lebih enak dari apapun yang pernah kuminum." Sehun tersenyum manis sekali dan bersiap menyusu di nipple-ku yang sebelah kiri. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menyembunyikan senyumanku yang terkembang. Aneh. Aku juga tidak tahu kenapa aku malah menyukai pengakuannya itu.

"Milky?"

"Hm?"

Sehun melepaskan putingku, membuat setetes cairan putih menempel di bibir merahnya. "Hari ini kita membolos saja. Aku masih haus, ingin menyusu sampai besok pagi."

"Tapi, Sehun—"

"Sst, aku akan bilang pada wali kelasmu kalau kau sakit—tenang saja."

Yang seperti ini sudah sering keuntungannya kalau orangtuamu punya pengaruh yang besar di sekolah.

"Di rumahku, oke?" Sehun menelengkan kepala dan menatapku dengan senyum tipis di bibirnya. Aku tahu dia berharap aku menerima ajakannya kali ini, tapi tidak—aku tidak bisa jamin dia bisa terus memegang teguh perjanjian kami. Peluang untuk kelepasan itu selalu terbuka lebar.

Aku menggeleng dan turun dari pangkuannya sambil memasang kembali bra konyol yang bagian depannya lembab oleh bekas tetesan ASI-ku itu. "Di rumahku saja. Tapi jangan sampai besok, aku tak mau kedua putingku copot gara-gara kau."

"Baiklah, di rumahmu. Aku janji tidak akan copot. Jadi, kita akan tetap melakukannya sampai besok. Kali ini tidak ada penolakan."

Dia tersenyum miring penuh kemenangan dan lagi-lagi aku terpaksa mengalah. Membayangkan kami akan tidur seranjang semalaman dengan mulutnya yang menempel di dadaku saja sudah berhasil membuat jantungku berdebar tak karuan. Terakhir kali Sehun melakukannya, aku terpaksa pergi ke sekolah dengan kedua puting yang ditempeli plester dan berubah jadi sangat sensitif hanya dengan gerakan sekecil apapun. Sial.

Tapi apa boleh buat? Kami terikat dalam sebuah perjanjian dan aku tak bisa mengelak karena perjanjian itu juga menguntungkan buatku. Entahlah.

Hidupku benar-benar menyebalkan.


THE BEGINNING


Aku berbeda bahkan sejak lahir.

Kalau anak lain terlahir dengan cinta orangtua, aku tidak. Buktinya saja, mereka meninggalkanku di rumah sakit sehari setelah aku dilahirkan. Bukankah itu sudah cukup untuk menjelaskan kalau mereka tidak mencintaiku sedikitpun? Dasar orangtua tak bertanggung-jawab. Setidaknya kalau kalian ingin kabur, tinggalkan juga sekoper uang untuk membiayai hidupku—ck, menyebalkan.

Singkatnya, seorang perawat baik hati yang juga bekerja di rumah sakit tersebut terenyuh dan memutuskan untuk mengadopsiku saat itu juga. Namanya Yeon Seo—kabar baiknya, dia punya anak lelaki berusia dua tahun bernama Kai dan baru saja resmi menyandang status janda sejak sebulan sebelumnya.

Hidupnya juga susah, gaji seorang perawat tidaklah besar. Seharusnya dia tidak perlu repot-repot merawatku segala macam karena dia juga punya anak kandung yang perlu diurus—tapi wanita berhati malaikat itu tetap saja melakukannya. Dia membawaku pulang, menyusuiku bergantian dengan Kai dan bagian terbaiknya adalah—dia mencintaiku seperti putranya sendiri. Dia menjadi ibuku sejak saat itu.

Hal lain yang membuatku berbeda adalah keadaanku yang spesial. Rasanya seperti memiliki dua gender sekaligus dalam satu tubuh—dan ini mulai tampak ketika aku memasuki usia sekolah dasar. Di fase inilah hidupku mulai tambah menyebalkan. Apalagi Kai juga satu sekolah denganku, ck.

Kalau dilihat sekilas dari luar, siapapun pasti setuju kalau aku adalah anak perempuan.

Wajahku imut-imut menggemaskan dengan kedua pipi gembul yang membuat siapa saja tak bisa menahan diri untuk tidak mencubitku dengan gemas. Rambutku tumbuh dengan cepat, membuat ibuku harus sering-sering meluangkan waktu untuk memotongnya. Terkadang dia lupa karena terlalu sibuk dan akhirnya membiarkan rambutku tumbuh hingga nyaris mencapai leher. Kalau sudah begitu, aku akan pergi ke sekolah dengan rambut diikat atau dipasangi jepitan warna-warni berbagai bentuk. Tak jarang juga Kai akan mengerjaiku saat ibu kami pergi bekerja—mengambil gunting lalu menjadikan rambutku sebagai bahan eksperimennya.

Belum lagi kulitku yang kelewat mulus untuk ukuran anak laki-laki. Ibu memang merawat kami dengan telaten, mengoleskan lotion sehabis mandi dan memakaikan bedak bayi di wajah. Tapi bedanya, Kai akan kembali main panas-panasan di luar sana bersama gerombolannya sedangkan aku hanya bisa menatapnya iri dari balik jendela. Tak heran, dia itu dekil sekali dan aku kebalikannya.

Ditambah lagi, Kai itu tumbuh jadi kakak yang jahil dan selalu suka mencari gara-gara. Menyembunyikan kotak makan siangku, menukar sepatuku dengan sepatu murid perempuan—dan masih banyak lagi. Tapi aku tak mau kalah, aku menemukan cara untuk bertahan dari kejahilannya dan membuat Ibu selalu berada di pihakku. Aku akan menangis keras-keras tiap kali diusili dan akhirnya Ibu akan mencubit pantatnya kuat-kuat. Tapi bukan Kai namanya kalau jera—dia malah semakin gencar mengusiliku dan yah, akhirnya aku juga jadi semakin cengeng dan suaraku berubah melengking seperti anak perempuan. Efeknya bertahan sampai sekarang, suaraku tidak ada bass-bassnya sedikitpun.

Mungkin satu-satunya hal yang membuat orang percaya aku ini laki-laki adalah saat aku buang air kecil. Tapi lagi-lagi, Kai selalu mengejek kelamin imutku yang katanya mirip karet penghapus di ujung pensil. Ada sebutan lain yang lebih menyakitkan, penis ikan teri. Ck, padahal miliknya juga tidak begitu besar. Sebenarnya masih banyak lagi cerita tentang masa kecilku, tapi karena menyebalkan untuk diingat, aku tidak usah menceritakannya saja.

Puncaknya adalah saat aku kelas satu SMA. Sebulan setelah masa orientasi siswa berakhir. Awalnya aku merasakan nyeri di kedua dadaku, tapi lama-kelamaan, muncul bulatan agak keras yang menyakitkan di bagian pangkalnya. Sepanjang hari, aku selalu tersiksa oleh rasa sakit dan tidak nyaman ketika dadaku tergesek baju atau tanpa sengaja tersentuh sesuatu. Itu berlangsung selama berminggu-minggu. Kupikir itu hanya nyeri biasa, jadi aku memilih untuk tidak memberitahu siapapun. Meski aku merasa janggal ketika melihat pantulan tubuhku di cermin—dadaku tampak lebih besar dan berisi dibandingkan milik Kai.

Lalu keadaannya malah semakin memburuk ketika suatu hari aku merasakan kedua dadaku luar biasa sakit dan tubuhku terserang demam tinggi secara tiba-tiba. Sakitnya benar-benar tak tertahankan, obat pereda nyeri yang selama ini kukonsumsi bahkan tak lagi bisa membantu. Kai mendapati aku berguling-guling di ranjang sambil menangis kesakitan—dia nyaris saja terkena serangan jantung ketika menyingkap bajuku dan melihat tetes-tetes cairan berwarna putih keluar dari putingku.

Begitulah. Aku dirawat di rumah sakit selama beberapa hari dan kata dokter aku mengalami galaktorea dan hiperlaktasi. Sebenarnya mereka juga masih belum tahu pasti apa penyebabnya, tapi kemungkinan besar adalah karena terjadi ketidak-seimbangan hormon dalam tubuhku. Entahlah.

Tapi bagian terburuknya bukan itu.

Setelah menjalani berbagai macam pemeriksaan, ada fakta lain yang terungkap. Aku dinyatakan memiliki rahim. Sehat dan dapat berfungsi dengan baik seperti layaknya pada wanita.

Inilah bagian terburuknya. Waktu itu, satu-satunya hal yang kuinginkan adalah mati saja. Aku tak sanggup menatap wajah ibuku, menatap wajah Kai yang pastinya akan memperolokku lebih dahsyat dari biasanya—aku tak sanggup hidup sebagai lelaki tapi memiliki fungsi tubuh seperti wanita sekaligus. Bagaimana kalau suatu hari nanti aku menikah dan istriku tahu kalau aku tidak normal?

Aku sempat mengalami stress—tidak mau makan, tidak mau pergi ke sekolah, tidak melakukan apapun selain merenungi nasib di dalam kamar. Memangnya aku bisa santai-santai saja ketika kedua putingku mengucurkan susu seperti wanita yang sedang menyusui? Dokter bilang keadaanku ini langka dan hanya terjadi pada sepersekian-ratus ribu kasus pada lelaki. Bahkan menurut data seluruh rumah sakit di Korea, baru sebelas orang yang tercatat punya nasib sama sepertiku. Aku orang ke-12. Sebenarnya aku bisa menjalani operasi pengangkatan rahim, berulang kali terapi hormon dan semacamnya—tapi itu butuh biaya yang besar dan aku masih sangat tahu diri untuk tidak membebani ibuku.

"Eomma akan bekerja lebih keras, Baekhyuna. Eomma bisa mengajukan pinjaman ke bank atau apa saja demi kesembuhanmu."

"Hyung juga akan mencari uang untukmu, Baek. Kalau perlu, hyung akan menunda masuk kuliah agar uangnya bisa dipakai untuk biaya operasimu. Janganmengkhawatirkan apapun, asal kau berjanji tidak terus-terusan muram seperti ini."

Itulah yang mereka katakan waktu itu. Diluar dugaan, Kai sama sekali tidak mengejekku setelah tahu kalau tubuhku mengalami kelainan. Malah dia yang paling gencar memberikan dukungan agar aku bisa bangkit kembali. Dia yang waktu itu duduk di kelas tiga bahkan rela membolos hanya untuk menemaniku di rumah. Memasakkan makanan kesukaanku, menghiburku dengan lelucon garing yang anehnya bisa membuatku tertawa, menemaniku tidur sambil mengelus rambutku sepanjang malam—bahkan tak sungkan mengompreskan dadaku pakai air hangat tiap kali aku mulai merintih kesakitan. Aku tak pernah tahu kalau dibalik sifat usilnya, ternyata Kai adalah seorang lelaki yang bisa diandalkan.

Yah, apa boleh buat? Mau tak mau aku harus menerima keadaanku yang kata mereka spesial ini. Aku kembali bersekolah setelah absen beberapa saat dan mencoba untuk terlihat normal. Meski aku sendiri sadar kalau aku mulai menjaga jarak dengan orang lain dan jadi kurang suka bergaul. Terlebih lagi setelah Kai lulus dan aku naik ke kelas dua. Bisa dikatakan, aku semakin menutup diri dari lingkungan di luar keluargaku.

Sampai akhirnya aku mengenal Oh Sehun. Di mata pelajaran PE gabungan yang kelas kami lakukan—dalam situasi yang sama sekali tidak menyenangkan. Mungkin inilah yang dinamakan takdir.

"Hei? Kau baik-baik saja?"

Tentu tidak, sialan. Memangnya kau tidak lihat aku hampir mati?

Guru PE menyuruhku jadi kiper untuk kelas kami meski seluruh dunia tahu aku tidak suka sepak bola dan inilah akibatnya—Oh Sehun menendang bola ke gawangku sekuat tenaga tapi aku tak bisa menangkapnya. Bola itu mengenai dadaku yang sebelah kiri dengan telak sebelum akhirnya bergulir mulus menembus gawangku—tim kelas mereka menang dan aku terbaring di rumput dengan keadaan kacau. Tidak perlu dijabarkan bagaimana sakitnya yang kurasakan. Aku sampai kesulitan bernafas selama bermenit-menit, rasanya seperti kiamat.

Mereka mengerumuniku dengan wajah penasaran bercampur khawatir dan akhirnya Sehun bergerak maju—menerobos keramaian dan tahu-tahu aku sudah berada di gendongannya. Dia mengangkatku di antara kedua lengan dan membawaku ke rumah sakit pakai mobilnya. Aku akhirnya pingsan sebelum kami tiba di tujuan dan saat aku terbangun—senyum miring penuh ancaman dari seorang Oh Sehun adalah hal pertama yang menyambutku. Kontras dengan ekspresi yang ia berikan sebelum aku hilang kesadaran—ketakutan dan tampak seperti akan menangis.

Oh Sehun sudah tahu rahasiaku.

Dia tahu tentang tubuhku yang berbeda.

Dia tahu tentang pakaian dalam milik wanita yang kupakai di balik kaosku.

Dia tahu kalau kedua dadaku akan selalu membengkak dan terasa sakit ketika ASI-ku tidak dikeluarkan secara rutin. Dia tahu semuanya.

Aku sempat menghindar selama seminggu setelah kejadian itu. Bersembunyi di kelas setiap jam istirahat dan pulang ketika gerbang akan ditutup. Aku bingung. Sebelumnya kami tidak pernah terlibat pembicaraan apapun, bahkan aku tidak yakin dia tahu namaku. Tapi sejak kejadian itu, rasanya Oh Sehun selalu muncul dimana-mana.

Keadaan semakin gawat ketika dia mendapatkan nomor ponselku entah dari siapa dan mulai menerorku siang-malam. Dia mengancam akan memberitahu semua orang tentang rahasiaku kalau aku tidak mau diajak makan siang dengannya, dia juga mengancam akan mencetak foto topless-ku yang diambilnya di rumah sakit dan menempelkannya di mading kalau aku tidak mau ikut dia pulang sekolah naik mobilnya—dan masih banyak lagi. Aku ketakutan. Rasanya seperti diincar oleh seorang maniak dan hidupku jadi taruhannya.

"Katakan apa maumu sebenarnya, Oh Sehun!"

Karena sudah tidak tahan dengan perlakuannya, akhirnya aku mengajak dia bertemu di belakang sekolah saat jam istirahat.

Sehun hanya tersenyum miring tapi tatapannya tertuju pada daerah dadaku yang ditutupi seragam.

"Aku mau susumu."

"Kau gila!"

"Itu bukan gila, Milky. Itu ide yang jenius."

"Namaku bukan Milky! Jangan sembarangan kau!"

Dia terkekeh dan bergerak maju menghimpitku di tembok. "Milky, bagaimana kalau kita buat perjanjian saja?"

"Aku tidak akan membuat perjanjian apapun denganmu, Oh Sehun!"

Tapi dia tidak menghiraukanku sama sekali.

"Aku dapat susumu dan kau akan aman dibawah perlindunganku. Adil, bukan?"

Karena aku tak bereaksi, dia kembali melanjutkan ucapannya.

"Selain itu, kau juga tak perlu capek-capek memompa susumu di toilet tiap jam istirahat—aku akan meminum semua persediaan ASI yang kau punya dan dada montokmu ini akan terbebas dari rasa sakit selamanya."

Lelaki itu dengan kurang ajarnya meremas payudara kananku sambil tersenyum mengejek. Apa kubilang? Dia ini benar-benar seorang maniak. Aku bahkan tidak tahu kalau dia suka memata-matai kegiatan rahasia yang kulakukan di toilet tiap harinya. Oh Sehun ternyata tahu lebih banyak daripada yang kupikir.

Waktu itu, aku menamparnya sekuat tenaga sampai telapak tanganku sakit sendiri. Anehnya, dia tidak mengatakan apapun, mungkin masih terkejut dengan perlakuanku yang tiba-tiba.

"Aku membencimu, Oh Sehun!"

Diantara semua kata-kata makian yang tersusun di otakku, hanya kalimat itulah yang berhasil kuucapkan. Sambil menahan tangis, aku berbalik meninggalkannya, mengambil tasku di kelas lalu membolos.

Kupikir masalahku dengan lelaki itu sudah usai, ternyata tidak. Dia semakin gencar mengancamku, bahkan tak segan-segan membuntuti sampai ke rumah dan nyaris membuat keluargaku curiga. Yah, pada akhirnya aku memang menerima perjanjian itu. Setelah dipikir-pikir, mengizinkan Sehun menyusu padaku jauh lebih baik daripada aku memeras susuku sendiri. Itu menyakitkan, sungguh. Dia juga berjanji rahasiaku akan aman dan tak akan ada seorangpun yang berani menggangguku di sekolah. Hm, terserah dia saja.

Tapi lama-kelamaan, Sehun semakin ketagihan dan tidak bisa tidak meminum susuku sehari saja. Aku tidak tahu dia ketergantungan atau terobsesi, entahlah. Tepat dua bulan lalu, Sehun memintaku pindah ke sebuah rumah kecil di dekat sekolah. Ah, sebenarnya bukan meminta—memaksa lebih tepatnya. Alasannya apa lagi kalau bukan agar bisa menyusu padaku dengan bebas tanpa perlu takut dipergoki oleh Ibuku dan Kai?

Meski berat, keluargaku akhirnya mengizinkan. Tentu saja mereka tidak tahu alasanku yang sesungguhnya, waktu itu aku bilang ingin belajar hidup mandiri dan mendapat tawaran bekerja part-time di sebuah minimarket. Seandainya saja mereka tahu, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Oke, begitulah takdirku dengan lelaki yang ada di sebelahku ini bermula.

"Milky?"

"Hm?"

Sehun sudah selesai menyusu sejak sepuluh menit lalu. Untung saja dia tidak jadi melakukannya sampai besok pagi setelah melihat wajahku yang diliputi kantuk luar biasa, mungkin dia kasihan.

"Besok kelasmu dapat jadwal PE, iya kan?"

Aku hanya mengangguk dengan mata terpejam rapat.

"Kau membolos saja. Guru Shim akan menyuruh kalian berenang besok, aku tidak ingin ada seorangpun yang melihatmu tidak memakai baju."

"Kenapa?" Aku membuka mataku sedikit dan mendongak menatap wajahnya. Ternyata dia juga sedang menatapku—dan sialnya, dia yang seperti ini terlihat benar-benar tampan. Ah, mungkin aku berpikir begitu karena sedang mengantuk saja.

"Kau tanya kenapa? Bukankah itu sudah jelas? Aku tak ingin ada orang lain yang tahu kalau kau ini spesial."

"Ck, bilang saja kau tak mau berbagi susuku dengan orang lain."

"Kau benar, aku tidak rela kalau harus membagimu dengan siapapun."

Terkadang—Oh Sehun bisa membuatku salah tingkah. Padahal kami bukanlah kekasih atau semacamnya.

"Dan kau juga jangan coba-coba mengizinkan siapapun menyusu padamu selain aku. Ah, jangankan menyusu—kau juga dilarang memperbolehkan siapapun menyentuh dadamu kecuali aku. Mengerti?"

Meski bukan pacar, Oh Sehun itu lumayan posesif terhadapku. Aku tidak tahu harus membenci sifatnya yang satu itu atau tidak.

"Kau bicara omong-kosong, Sehun."

"Mengerti atau tidak?" Dia mengulangi pertanyaannya dengan nada menuntut.

"Ya, ya. Terserah kau saja. Memangnya aku bisa apa lagi?" Aku tidak sungguh-sungguh tentang yang satu ini. Aku bilang begitu agar dia berhenti menuntutku saja.

"Bagus. Sekarang tidurlah."

Dia memperbaiki posisi kami dan menarikku lebih dalam ke pelukannya. Seharusnya yang seperti ini dilarang dalam perjanjian, tapi entah kenapa, aku tidak bisa menolaknya sedikitpun. Selagi Sehun tidak meraba-raba tubuhku, kupikir tidak ada masalah hanya dengan tidur bersama. Aku kembali memejamkan mata dan membiarkan kantuk mengambil alih kesadaranku.

Rasanya hampir sama ketika aku tidur di pelukan Kai. Apalagi ketika dia juga mengusap rambutku dengan lembut seperti yang kakakku lakukan.

"Milky, aku…mu."

"A-pa?"

"Lupakan. Tidurlah."


Hai. Setelah edit sana edit sini, akhirnya kuputuskan untuk publish disini aja.

Lupakan sejenak tentang Lifemate, karna sejujurnya aku lagi jenuh. Mohon maaf yang sebesar2nya karena ffku yang lain dihapus. Alasannya adalah-aku gak suka sama apa yang kutulis. Rasanya nggak enjoy waktu ngerjainnya, i dunno why. Mungkin karena ceritanya belum mateng haha. Tapi kalo nanti aku ada waktu, pasti dilanjutin kok.

Dan, yah, I cant help it. Kayaknya memang udah tabiatku bikin ff baru setelah nelantarin ff yang lama. Maaf juga atas itu. #deepbow. Aku salut banget sama author2 hebat yang bisa apdet cepet dan konstan, serius.

Dan tentang LTE ini, hm... bisa dibilang upgraded version of equally sama percampuran dari seri Mates yang lain (emang ada yang masih ingat? haha). Jalan ceritanya udah bisa ditebaklah, iya kan? Mencintai secara seimbangnya Equally, rape scene-nya SeatMate, trio bangsat-nya HouseMates, perjanjiannya BedMate, depresi-nya RoomMate-ya, semacam itulah.

Setelah kupikir2, keknya ini bakalan jadi ff paling hurt yang pernah kutulis. Kadang aku sedih sendiri tiap bayangin adegannya. Tapi masalahnya ya itu tadi, aku sering males2an kalo ngetik. Ngetik itu capek, serius. Lebih enak bayanginnya sambil merem sebelum tidur wkwkw. Dan satu lagi, kalo kalian gak suka crack pair, mending gausah baca deh. Soalnya bakal banyak interaksi selain ChanBaek disini. Hiks.

Karena keberangkatanku tinggal sebulan lagi, aku pasti bakal sibuk luar biasa. Mohon maaf kalo misalnya apdetannya telat. Aku gak bisa ngejanjiin apapun. Semoga kalian suka. Oke, akhir kata-see ya next time.

Medan.

4 Agustus 2017.