Aku di sini hanya akan menjelaskan yang aku ketahui tentang Chanyeol atau sikap manisnya dan segala hal yang aku tahu tentangnya.
Chanyeol adalah manusia, dia kumpulan dari daging dengan tulang yang dijadikan satu beserta sel dan sendi juga organ dalam. Wajahnya bersih, tidak ada masalah seperti jerawat atau komedo. Telapak tangannya besar, mungkin karena tubuhnya yang juga menjulang tinggi. Lalu suaranya berat, dia cukup pandai bernyanyi dan sangat multitalenta, dia bisa sangat cepat belajar dan itu kenapa banyak yang suka padanya. Tapi Chanyeol malah memilihku.
Bukan, aku bukan barang yang harus di pilih-pilih. Aku hanya manusia biasa yang selalu memilih duduk dipojokan sambil memandangi dosen dengan serius. Tidak ada yang berani mengajakku berbicara karena aku termasuk orang yang tertutup. Aku juga tidak banyak bicara, menurutku itu tidak ada gunanya karena tidak ada yang akan mengajakku berbicara kecuali Chanyeol. Laki-laki itu keras kepala padahal aku tidak pernah menanggapinya, dia setiap hari berusaha agar aku mengeluarkan suara untuk ia dengar. Kukira dulu dia adalah orang yang diciptakan untuk menerima umpatanku tentang semua binatang, tapi itu hanya sebentar.
Sekitar satu minggu dia berusaha, aku menanggapinya karena aku juga lelah mendengarnya berceloteh macam ini itu. Berisik. Kukira juga dulu dia cocok jadi pemandu wisata atau MC.
"... banyak yang bilang tempat itu ang—"
"Aku tahu." Kupotong kalimatnya dan dia menatapku tidak percaya. Kelopak matanya bergerak perlahan untuk sekedar berkedip, dia sedang tidak percaya karena aku menanggapi omongannya.
"Kau bisa bicara?" tanyanya dengan mata berbinar. Aku seperti orang bodoh, "Sialan!" kujawab begitu, tapi Chanyeol langsung berdiri dari kursinya.
"Kau bisa bicara!" serunya. Telunjuknya menunjuk tepat wajahku dan aku juga segera bangkit setelah selesai dengan buku tebal yang sudah kumasukkan dalam tas.
"Dasar idiot." gumamku kecil.
Kalau kau bertanya tentang Chanyeol, aku akan menjawab dengan mengatakan kau bisa baca tulisan ini. Tapi kalau kau bertanya kenapa aku menulis ini karena Chanyeol adalah seseorang yang menarik. Laki-laki itu walau konyol dan banyak tingkah, entah kenapa banyak yang menyukainya. Dia banyak menerima perhatian serta coklat di kolong bangku biasa ia duduk. Sampai suatu hari, aku masih ingat, dia pindah duduk di depan dan yang duduk di bangku biasanya adalah Sehun. Sehun saat itu tidak mengerti kenapa banyak coklat di kolong meja dan karena tidak ada yang mengaku jadi dia ambil saja semua coklat itu tanpa peduli hembusan napas kecewa dari penggemar Chanyeol.
"Kau mau jajan?" tanyanya, dia mendekatiku setelah hari sebelumnya kembali kuabaikan. Kalau dilihat-lihat matanya sayu dan tidak bersemangat, jalannya juga lemas.
"Jajan apa?" kujawab dengan nada tidak minat. Chanyeol tersenyum seperti aku adalah sumber dari setiap kesenangannya. Saat itu aku menyadari kenapa banyak orang yang menyukainya.
"Kutraktir!" Nadanya semangat, matanya berbinar senang dan ia segera menyeretku keluar kelas. Aku tidak menolak karena kupikir kalau kutolak dia akan berubah loyo dan jelek seperti tadi.
Chanyeol mengajakku duduk direrumputan di belakang kampus, di dekat pohon maple satu-satunya yang sudah tua serta daunnya yang gugur satu persatu. Angin mengacaukan rambutnya yang tidak diolesi gel, serta wajahku dan wajahnya. Ia terlihat menerawang jauh, matanya berubah sendu seperti seluruh kesedihannya terkumpul di sana. Ingin kutanya tapi dikira mencampuri urusan orang lain.
"Orang tuaku akan berpisah." katanya. Aku langsung menolehnya, mengernyit karena dia memilihku jadi teman bercerita.
"Aku lebih suka bicara di depanmu karena kau tidak akan menyuruhku bersabar, kau mungkin akan mengumpatiku dalam hati. Tapi demi apapun, Soo, kau sudah kutraktir, jadi dengarkan saja." Suaranya terdengar bergetar. Aku benci mengatakan ini, tapi aku tidak suka suaranya yang seperti ini.
"Kukira mereka bahagia bersama, tidak terpisahkan dan akan selalu bersama."
"Orang tuamu memilih jalan ini karena menurut mereka ini adalah pilihan yang terbaik." ucapku. Aku juga ikut menerawang jauh ke depan, sejenak terbang dalam khayalan karena Chanyeol tidak kunjung bicara. Kulihat alang-alang yang sudah panjang bergerak mengikuti angin sore itu.
"Mereka selalu mengajarkanku untuk tidak ingkar janji, tapi mereka sendiri sudah melakukan itu. Aku merasa tertipu," Mataku beralih untuk melihat wajahnya dari samping, walau tidak bisa melihat matanya dengan jelas, aku yakin pandangannya kosong.
"Orang dewasa tidak seharusnya melakukan itu'kan, Soo?" Dia menatapku dan pandangan kami bertubrukan. Saat itu aku tertegun karena wajahnya sudah dipenuhi air mata, kupikir itu adalah reaksi yang normal karena merasa tertekan.
"Ya..., orang dewasa tidak seharusnya melakukan itu." jawabku lirih. Chanyeol mengusap air matanya sendiri dengan punggung tangannya, gerakannya kasar dan dia langsung tertawa keras.
"Kau bisa pergi sekarang." katanya setelah tertawa tapi aku tidak mau pergi dari sana. Kupandangi dia dengan tatapan tidak mengerti dan Chanyeol tersenyum.
"Kenapa aku harus pergi?" tanyaku dan Chanyeol malah meluruskan tatapannya pada mataku, masih ada sisa tawa di sana.
"Kau suka di sini?" Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah melontarkan pertanyaan lain. Mengalihkan pembicaraan, dia berpikir aku harus melupakan kalau dirinya menangis di depanku walau dia tidak bicara secara langsung tapi aku tahu.
"Di sini indah." Aku menyisir rambutku ke belakang dengan jari-jariku, anginnya berubah sedikit kencang saat jam menunjukkan pukul empat sore dan aku sadar aku harus menemani Ibuku pergi ke penjahit karena bajunya sobek karena paku di kusen pintu. Semua orang tidak tahu kalau ada paku di sana karena sebelumnya memang tidak ada.
"Aku ada janji dengan Ibuku." Aku melihat matanya menatapku penuh arti, ia tersenyum lalu aku beranjak karena kupikir dia juga butuh waktu sendiri untuk menangis atau mempelajari tentang apa yang sudah terjadi. Aku akan memilih opsi kedua kalau aku jadi Chanyeol.
Malamnya Chanyeol menghubungiku lewat whatsapp, dia menelponku karena rumahnya sepi dan dia sedang bosan. Entah darimana ia mendapatkan nomorku tapi aku tidak terlalu peduli karena Chanyeol seperti anak kecil ketika berbicara, omongannya melantur kemana-mana dan aku sedang tersenyum di dalam kamar.
"Kyungsoo?" panggilnya. Kujawab deheman untuk menanggapinya.
"Kau jangan manis-manis." aku mengangkat alisku, omongannya melantur lagi.
"Kenapa?" jawabku mengikuti permainannya. Dia tidak langsung menjawab, kudengar malah tawanya yang menyenangkan.
"Nanti banyak semut yang menggerumbulmu."
"Kenapa?" kutanya sekali lagi.
"Nanti aku banyak saingannya."
Aku tersenyum. Sebenarnya aku tidak suka dibeginikan, tapi entahlah, Chanyeol seperti orang yang membuat semuanya menarik. Laki-laki itu benar-benar tidak terbaca, sulit untukku karena dia bukan buku yang terbuka lebar. Dia seperti peti harta karun, didalamnya menyimpan banyak yang saat itu belum kuketahui tentangnya dan aku tergerak untuk tahu lebih banyak tentangnya.
Malam itu kuakhiri dengan alasan aku ingin tidur. Kupikir-pikir lagi tentang Chanyeol, lalu tentangku sendiri menanggapi Chanyeol dengan nada yang datar walaupun sebenarnya aku tersenyum di sini. Lalu aku benar-benar tidur ditemani lagu yang dibawakan Twenty One Pilots, Can't Help Falling In Love mengcover lagu dari Elvis Presley.
Aku ingat saat itu hari Rabu di bulan November dan Chanyeol berdiri di depan pintu rumahku, badannya basah kuyup dan langsung kutarik dia ke dalam untuk kuberi handuk dan baju adikku yang tubuhnya sama besar sepertinya. Aku hendak marah karena tindakan bodohnya tapi tidak kusuarakan karena aku bukan Ibunya yang bisa seenaknya memarahinya. Aku diam dulu, melihatnya nyengir lebar setelah berganti pakaian milik Mingyu.
"Siapa namamu, anak muda?" Ibuku bertanya dengan senyuman jenaka khasnya, ia duduk di meja makan dengan keluargaku yang lain karena ini sudah masuk jam makan malam kami.
"Chanyeol." kuyakin nadanya dibuat lebih sopan dengan aksen yang berlebihan. Aku meliriknya dan dia tersenyum lebih lebar saat menyadari itu.
Kami makan bersama termasuk Chanyeol. Obrolan yang biasanya terjadi adalah bagaimana hari yang aku jalani atau Mingyu jalani, tapi saat ini ada Chanyeol.
"Bagaimana harimu, Chanyeol?" tanya Ibuku. Kulihat Chanyeol diam sejenak setelah menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Semua orang yang ada di sini menunggunya membuka suara termasuk Ayahku yang kelihatannya juga penasaran. Diam-diam Chanyeol melirikku, tidak ada yang menyadari tapi aku tahu.
"Baik," katanya lalu Ibuku tertawa, tawa Ibuku selalu terdengar menyenangkan.
"Apa kau sudah punya kekasih, Chanyeol?" Entah kenapa aku merasa kalau Ibuku saat ini sedang mengorek kehidupan Chanyeol dengan berbagai pertanyaan aneh yang biasanya ia ajukan pada anaknya sendiri.
"Belum, hanya saja sudah dekat." Chanyeol tersenyum, ia melirikku lagi dan aku seperti kehilangan napasku sebentar untuk menatapnya balik dengan berani. Ibuku tertawa lagi dan aku kembali mendapatkan napasku lalu makan dengan buru-buru, saat itu aku tiba-tiba kehilangan moodku dan ingin cepat pergi dari meja makan.
"Masa muda memang menyenangkan." kata Ibuku. Lalu Ayahku bicara tentang rekannya yang menyebalkan dan anak gadis dari rekannya yang katanya cantik. Kalau tidak salah namanya Irene.
"Ayah akan kenalkan kepadamu kalau sempat." Ayahku menatapku diikuti senyuman jenaka seperti di dalam otaknya sudah tersusun sebuah rencana.
Makan malam selesai pukul setengah delapan malam, Chanyeol ikut membereskan meja makan dan mengelapi piring bersama Ibu di sana. Dia pintar mengambil hati Ibuku dan aku sedikit senang karena baru kali ini aku membawa teman ke rumah—bukan aku yang membawanya tapi Chanyeol sendiri yang datang dan di sambut baik oleh keluargaku.
Malam makin larut tapi kurasa Chanyeol tidak akan kunjung pulang. Ia malah sibuk bertanding bersama Mingyu di depan teve dengan stick playstation dan yang kalah akan dicoreti lipstick di wajah. Aku bisa melihat ada dua coretan di pipi kanan dan dahi Chanyeol dan satu coretan di hidung Mingyu. Mereka tertawa saat salah satunya kalah dan aku lebih memilih menyibukkan diri dengan novel yang baru kupinjam tadi.
"Hey,"
Aku meliriknya sebentar lalu kembali pada bukuku.
"Aku boleh menginap di sini?" Suaranya lirih. Aku lebih suka mendengar suaranya yang lantang atau berani daripada berbisik seperti ini.
"Kau ada masalah di rumah?" Langsung kutanya balik dan Chanyeol duduk di depanku untuk bertatapan langsung denganku. Ia mengambil buku di depanku dan meletakkannya di lantai.
"Ya." jawabnya santai. Senyum kecil yang kelihatan kecut terpajang diwajahnya. Disitu aku berpikir kemana Chanyeol yang riang dan pantang dengan kesedihan? Kukira orang seperti Chanyeol tidak akan merasakan sesuatu yang menyedihkan seperti semua yang ada dihidupnya akan baik-baik saja.
"Ayahku bertengkar dengan Ibuku karena rumah," Awalnya kulihat raut wajah Chanyeol yang datar tapi saat menatap matanya aku tahu dia tersakiti.
"Kau bisa minta izin kepada Ibuku kalau mau menginap di sini. Kau bisa pakai kamar tamunya." Aku tidak tahu harus apa karena aku sedang malas mendengarkan cerita sedih, jadi kuambil lagi buku yang Chanyeol letakkan di lantai dan kubaca lagi setelah ia bangkit dari kursi di depanku.
"Aku mau di kamarmu." bisiknya dan aku merinding, suaranya serak dan menuntut.
Aku diam. Buku yang sudah kubuka tidak kubaca dan aku menatapnya yang berdiri di sampingku.
"Aku bisa tidur di kamar tamu kalau kau mau di kamarku." kataku dan alis Chanyeol menukik tajam, ia menahan amarahnya yang entah kenapa sedikit membuatku takut.
"Aku mau kau menemaniku tidur, Kyungsoo..." dan nadanya melembut, ia tidak semarah tadi walau tidak menunjukkannya tapi aku tahu kalau Chanyeol sedang ingin berteman.
Kami masuk kamar jam sebelas malam, sudah cukup larut dan Chanyeol langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Mataku sudah berat dan aku tidak masalah kalau harus tidur dengan orang lain karena benar-benar mengantuk.
"Aku jatuh cinta padamu, Soo..."
Kalau kalian ada diposisiku, kalian akan merasakan apa? Senangkah? Terkejutkah? Bahagiakah? Atau sedih? Saat itu aku mengerjapkan mataku perlahan untuk mencerna lagi kalimatnya. Chanyeol tidur menghadapku dan aku juga tergerak untuk menghadapnya dengan wajah tidak mengerti.
"Sejak kapan?" kutanya sambil merebahkan kepalaku bertumpu pada lenganku yang kulipat. Rasanya perutku melilit saat dia tersenyum, entahlah, aku merasa kalau bisa hal ini tidak usah ada akhirnya.
"Sejak kau berbicara padaku." itu sudah empat bulan yang lalu dan aku tersenyum tipis penuh rahasia. Moodku kembali baik dan aku tidak keberatan jika harus terus tersenyum kalau Chanyeol ada di sini. Aku juga ingat kalau saat itu aku berusaha menahan senyum yang akan muncul dalam waktu yang lama.
"Banyak yang mau denganmu." kata Chanyeol lagi dan ia masih setia memandangiku. Aku tidak bisa berhenti menatapnya saat ia tersenyum kepadaku dan aku juga sedang berusaha menahan senyumanku.
"Jongin, Sehun, Chen... tapi mereka tidak berani berbicara padamu, mereka pikir kau terlalu pendiam dan tertutup sehingga mereka menyerah begitu saja. Mereka laki-laki payah."
"Tapi kau tidak menyerah." kutanggapi dengan mata yang berat.
"Aku laki-laki tangguh, mana bisa menyerah." katanya dan dia tertawa pelan ketika menyadari bahwa malam sudah larut.
Paginya Chanyeol sudah tidak ada di sampingku, dia hilang entah kemana dan aku tidak ambil pusing untuk memikirkannya pergi kemana. Kepalaku pening dan aku butuh air setelah mengingat kembali pernyataan cinta yang Chanyeol lakukan. Aku berniat bangkit untuk pergi ke dapur tapi aku menemukan Chanyeol sudah duduk rapi di meja makan dan tersenyum lebar sampai-sampai matanya menyipit.
Untuk sebuah alasan aku berusaha menutupi rona merah muda yang ada di pipiku. Kau pasti melakukan itu kalau jadi aku.
"Sudah sarapan?" tanyaku dan Chanyeol langsung menggeleng.
Setiap pagi Ibuku memang tidak pernah memasak, dia hanya menyediakan sereal dan susu untuk anak-anaknya dan roti isi untuk suaminya—Ayahku.
Aku berjalan menuju kulkas dan mengambil susu lalu mengambil sereal di sebelah kompor tak lupa dua mangkok dan sendok.
"Kyungsoo..."
Aku menoleh untuk menanggapinya.
"Aku baru menyadari tadi malam kalau aku mencintaimu." kata Chanyeol dan aku tidak bisa untuk tidak menatapnya.
"Kau tidak perlu menjawabnya karena aku tahu kau juga mencintaiku."
Aku diam tapi masih menatapnya, lalu memakan serealku sambil bergumam, "Kata siapa?"
"Aku bisa mendengar hatimu."
Sarapan kali ini ditemani ocehan tidak jelas Chanyeol yang kutanggapi dengan singkat dan tidak minat serta jantung yang berdebar. Untung saja aku termasuk orang yang bisa menyembunyikan perasaanku dengan raut wajah datar, aku lebih suka begini daripada harus blak-blakan dengan mengatakan aku juga menyukaimu, Chanyeol, tolong cium aku! Tidak. Aku bukan orang macam itu dan aku lebih suka jadi diriku sendiri.
Siangnya aku di ajak mengunjungi rumah Chanyeol di daerah dekat kampus, aku setuju karena Chanyeol juga yang mengijinkanku pada Ibuku. Saat itu Chanyeol bilang, "Bu, aku pinjam anakmu sebentar." dengan nada yang lucu dan menggenggam pergelangan tanganku setelah Ibuku tertawa.
"Aku bukan barang." kataku setelah memasang sabuk pengaman di dalam mobil Chanyeol.
Aku berpikir kenapa Chanyeol bisa basah kuyup padahal dia bawa mobil.
"Kau bukan, tapi aku mencintaimu." katanya begitu. Aku membuang muka ke jendela untuk tersenyum.
Bersambung...
Maaf kalau membosankan dan tidak nyambung soalnya ini murni buat menghilangkan jenuh:v apalagi aku lagi kesemsem ama Dilannya Pidi Baiq:v jangan loepa review yeaaa
