Rintik hujan yang turun sebegitu derasnya belum juga berhenti dari awan mendung. Seolah sedang berbetah diri menemani kerisauan seorang pemuda dengan surai cokelat yang tampak belum bosan merenung, menatap ke arah luar jendela kafe dengan pandangan kosong dan bingung.

Hilang. Ada sesuatu yang hilang. Bukan barang, ataupun uang. Tapi seseorang yang masih ia kenang. Seseorang yang sempat ia jadikan prioritas dan dijadikan yang tersayang.

Senyum getir terlukis pada paras tampan sang pemuda. Hatinya kembali berdenyut nyeri akibat luka. Seiring dengan kenangan-kenangan yang kembali terbuka. Ingin rasanya ia menghantam kepalanya ke tembok hingga lupa. Namun apa daya, hidup memanglah tak seindah terenovela.

"Kita sudah tak bisa bersama." Sebuah kata yang erat melekat hingga kini difikiran sang pemuda. Ketika yang terkasih memutus jalinan yang telah lama mereka bina. Ingin menangis, tapi tak bisa. Karena predikatnya sebagai seorang pria.

"Kenapa harus dia...?" Gumaman kacau terlontar, meluncur sempurna walau dengan nada yang sedikit bergetar. Arah pandangnya lama-lama buram dan memudar. Beriringan dengan meluapnya emosi yang selama ini bak dikurung dalam sangkar.

Masih tersimpan dengan baik di kepalanya seluruh memori indah dari sang terkasih. Sang terkasih yang menjauh begitu saja walau cintanya terasa masih.

Sampai kapan ia akan terus bermuram sendu? Terus mengikuti hatinya yang bak langit berawan kelabu. Ntahlah, iapun tak tahu.

"Hoi, kau masih disini?" Fokusnya kembali kala indra pendengarnya menangkap suara yang amat sangat ia kenali. Sebuah senyum kini dipatrinya kembali.

"Hujan masih berhenti. Aku tak ingin sakit hanya karena menembus hujan seperti orang bodoh." Jawaban yang merangkap seperti pembelaan. Antisipasi dari calon pertanyaan-pertanyaan lain yang sebelumnya sudah dapat ia bayangkan.

"Kau harus bergerak. Ia bukanlah pelabuhanmu." Miris, dan sedikit tragis. Ketika cinta yang sudah dengan payah ia tata dan bina harus terkikis. Terlebih dengan suatu alasan yang tidak bisa ia bilang logis.

"Aku tengah berusaha. Setidaknya, hujan ini perlahan mengembalikan perasaanku yang kemarin seolah sedang mati rasa." Ujarnya dengan tampang meyakinkan. Fokusnya masih berbetah dengan derai hujan yang terus saja datang. Seolah yakin hujan bisa menghapus sisa masa lalu yang terkenang.

"Baiklah. Aku hanya ingin mengingatkanmu. Semoga berhasil." Sebuah anggukan dijadikan penyahut dari tepukan yang di dapat sang teruna di bajunya. Biarlah ia terus menggunakan topengnya. Biarkanlah ia berkata 'tak apa' disetiap pertanyaan yang berisikan ke khawatiran tentangnya.

"Mungkin mereka benar. Mungkin, ini hanyalah sebuah cerita yang tak bisa dimengerti nalar. Namun mengapa bayangmu sulit menghilang? Tak kah kau jua merindukan diri ini, sayang?" Biarkan si adam bermonolog ria. Biarkan ia tetap berenang dalam semua kenangan yang masih ada.

"Aku tahu, Tuhan menyayangiku. Itulah penyebab Dia memisahkanku dan dirimu. Mungkin, kau bukan yang terbaik untukku. Tapi setidaknya, biarkan aku sejenak tetap menyimpanmu dalam memoriku."

Fin.

Halo. Maaf lho ini tulisan gaje muncul. Cuma lagi kepingin nulis tapi gak ada ide panjang. Jadilah tulisan ini. Mungkin ini bisa dijadiin spoiler ff selanjutnya. Mungkin saran cast yang cocok buat ff angst? Kkk.

Terima kasih yang udah mau baca. See you!