Summary: Inaho adalah dosen yang selalu merasa tidak puas melihat kelakuan wanita-wanita yang terus menggodanya jatuh cinta kepada Slaine yang trauma kepada pria. Bagimana perjuangan Inaho menaklukan hati Slaine? Akankah Inaho bisa membebaskan Slaine dari traumanya?

Disclaimer: Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama

Genre: Romance, YAOI ALLERT

Rate: T

Pairing: Inaho x Slaine

Warning: OOC, typo eperiwer~~~~ , BL, Yaoi, Absurd, gak nyambung dengan summary, bahasa berantakan

DON'T READ , IF YOU DON'T LIKE STORIES ABOUT BL~~

CAUSE ITS YOU

(chap 1)

'our destiny'

Inaho kembali meneguk minuman keras di gelas kecil yang dipegangnya. Dua orang wanita dengan pakaian serba minim mengapit di sisi kiri dan kanannya, salah satu wanita itu dengan leluasa meletakkan tangannya merabah bagian bawah tubuh Inaho, sementara yang satunya lagi sibuk menyibak kancing baju Inaho yang masih terpasang. Inaho tidak bereaksi, tidak juga menolak dibiarkannya wanita-wanita itu melakukan tugasnya, toh memang itulah niatnya ke tempat hiburan seperti ini untuk memuaskan nafsunya. Inaho mendongakkan wajah ke atas tepat menghadap seorang lagi wanita berambut kuning panjang yang baru saja datang dan memeluk Inaho dari belakang.

"Kau tidak terlihat senang sayang, apakah dua orang ini masih belum bisa memuaskanmu?" Tanya wanita itu yang juga dikenal bernama Asseylum lalu dengan santainya menciumi bibir Inaho yang masih saja memasang wajah datar.

"Aku bosan dengan permainan mereka"

"Kau datang di hari yang tepat sayang, kami punya barang baru hari ini. hanya saja…." Asseylum menggantung kalimatnya, membuat Inaho sedikit penasaran, lalu memberikan tanda kepada dua wanita yang sedari tadi asik menggerayangi tubuh Inaho agar mereka berhenti.

"Hanya saja..?"

"Mereka pria" Asseylum berbisik tepat di telinga Inaho, sedikit menjilat daun telinga itu berharap Inaho akan bereaksi dengan apa yang telah dilakukannya.

"Kau gila" Inaho memandang datar ke depan, sekali lagi meneguk minuman keras kali ini tidak dari gelas seperti tadi tapi langsung dari mulut botol.

"Aku hanya memberi tahu sayang, kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa, kami masih punya banyak persediaan wanita di sini!" Asseylum meninggalkan Inaho, sembari memberi tanda kepada kedua anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaannya tadi bersama Inaho.

Mungkin pengaruh minuman keras yang diminumnya, membuat Inaho memikirkan kata-kata Asseylum sepuluh menit yang lalu. 'Pria' bagaimana rasanya jika bersama seorang pria? Akankah sama yang dia rasakan jika dengan wanita? Inaho menggeleng, dirinya pasti sudah gila jika membayangkan dirinya dan seorang pria. Perhatian Inaho kembali teralihkan saat Asseylum kembali memasuki ruang besar itu, di belakangnya tampak beberapa pria yang terlihat tidak mengenakan pakaian pada tubuh bagian atasnya, hanya menggunakan celana berbahan kain untuk menutup tubuh bagian bawah mereka. Dari sudut ruangan lain, tampak beberapa wanita setengah menjerit saat Asseylum masuk bersama anak buahnya.

Seperti ditarik sebuah magnet, mata Inaho tertuju pada salah seorang berambut kuning pucat, matanya memancarkan sorot sendu. Pria itu tidak terlihat memamerkan senyum menggoda seperti teman-temannya yang lain, dia terlihat ingin menangis setidaknya begitulah yang ditangkap Inaho. Dengan teliti Inaho memandang pria yang kini berjarak sekitar 10 meter darinya itu. Tubuhnya penuh dengan bekas luka berbagai ukuran, tubuhnya terlihat kurus makin terlihat ringkih dengan dukungan kulitnya yang terlihat sangat pucat. Tanpa sadar Inaho berdiri, membuat dua orang wanita yang sedari tadi sibuk berusaha menggoda Inaho sedikit terkejut. Inaho berjalan mendekati pemuda itu, menggenggam tangan si blonde. Beberapa orang yang ada di sana tampak penasaran dengan apa yang dilakukan seorang Inaho Kaizuka.

"Aku ingin dia"

"Maaf sayang, yang ini sudah ada yang pesan."

"Akan kubayar 5 kali lipat dengan yang dibayar orang itu, asalkan dia ikut bersamaku"

Asseylum hanya mengangkat bahunya, sementara itu dengan kasar Inaho menarik tangan Slaine menuju tempat duduknya tadi, mengambil jasnya yang tersampir di sofa lalu memakaikannya kepada Slaine. Membawa Slaine keluar dari ruangan itu, dari bangunan itu.

~O~O~O~O~O~O~O~

"Di mana kau tinggal? Akan ku antar" Tanya Inaho memecah kesunyian di antara mereka.

"Turunkan saja aku di sini" Slaine tertunduk dalam, dirinya benar- benar tidak ingin melihat pria di sampingnya. Dan lagi apa yang di fikirkan pria yang sedang menyetir di sampingnya itu? Rela membayar 5 kali lipat hanya agar Slaine ikut bersamanya? Orang kaya memang tau bagaiana caranya menghamburkan uang dengan mudah. Tidak seperti dirinya yang untuk makan dan melanjutkan pendidikan harus melakukan pekerjaan kotor seperti sekarang ini.

"Dengan pakaianmu yang seperti itu?" Inaho tetap menatap lurus ke arah jalan, sekalipun tidak menoleh ke arah Slaine, menunggu si blonde menjawab pertanyaannya. Namun, si blonde tetap tidak menjawab "Baiklah jika kau tidak ingin memberitahu kediamanmu, akan kubawah kau ke rumahku!"

Inaho menginjak pedal gas mobilnya, membuat mobil itu melaju semakin kencang, membelah sunyinya jalan di jam malam seperti sekarang ini. Sementara itu Slaine, hanya bisa memegang erat jas milik Inaho yang sejak tadi menutupi tubuhnya. Setiap sendi tulangnya terasa ngilu, terasa panas seperti mendapat lucutan cambuk, memori-memori masa kecilnya dalam sekejap memenuhi fikirannya. Menangis saat menyadari betapa kotornya dirinya. Menjadikan hal yang paling dibencinya sebagai penopang kehidupannya.

Sejam berlalu, Inaho menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah bergaya Eropa. Berlagak layaknya seorang supir, Inaho membukakan pintu tepat di samping Slaine mengulurkan tangannya kepada Slaine untuk membantunya keluar. Dengan tangan gemetar Slaine menerima uluran tangan Inaho. bagi Slaine berada berdua bersama seorang pria selalu membuatnya takut. Membuatnya mengingat semua kenangan pahitnya saat masih kecil, saat di mana seharusnya dia merasakan kasih sayang orang tua harus dilaluinya sebagai pemuas nafsu ayah angkatnya. Belum lagi semua perilaku kasar yang diterimanya yang menghasilkan banyak lukisan abstrak di tubuhnya.

"jangan memaksakan dirimu" Inaho melepaskan tangannya saat menyadari kelakuan aneh Slaine, menjaga jarak dengan si blonde agar dia bisa merasa nyaman. "Masuklah, kau bisa masuk angin" ajak Inaho setelah membuka pintu rumahnya. "Aku tidak akan bertindak aneh"

Slaine melangkah takut mengikuti Inaho. ini bukanlah kali pertama Slaine mengalami hal seperti ini. entah sudah berapa banyak pria yang berlaku sopan kepadanya di awal. Namun, begitu merasa mendapat kesempatan mereka malah menyerang Slaine.

"Duduklah di manapun kau mau, anggap saja rumah sendiri" Inaho melepas kancing teratas bajunya, melonggarkan dasi yang terpasang di lehernya. Matanya sibuk mengamati Slaine yang masih belum beranjak dari pintu. Slaine bahkan belum bergerak seinchipun dari tempatnya berdiri, membuat Inaho kehabisan kesabaran. Dengan kasarnya Inaho malah menarik tangan Slaine, mendorongnya ke sofa terpanjang di ruang itu. Menindih tubuh Slaine dengan tubuhnya sendiri. Membuat jarak wajah di antara mereka tidak kurang dari 5 sentimeter. Slaine sudah gemetar, fikirannya mendadak kosong, berusaha mendorong tubuh Inaho yang tepat berada di atasnya.

"He…hentikan.. kumohon hentikan semua ini" Slaine mulai menangis

"Aku bahkan tidak melakukan apa-apa. Aku hanya menyuruhmu duduk" Inaho merubah posisinya, duduk tepat di samping Slaine yang masih dalam posis tidurnya karna shock. "Kau kira aku mau menyentuhmu? Aku masih waras untuk tidak jatuh cinta kepada seorang pria" Inaho menyulut rokok miliknya. Di belakangnya Slaine masih berusaha menghentikan gemetarannya.

"La..lalu untuk apa kau mau membayarku 5 kali lipat?"

"Entahlah, mungkin itu cara orang kaya membuang uangnya. Aku hanya asal menarik orang. Dan kebetulan kau ada di tempat paling dekat denganku tadi!" jelas Inaho kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya, menyebabkan Slaine sedikit terbatuk karna asap itu.

"Kau bahkan tidak tahan asap rokok, kenapa kau bisa bekerja di tempat Asseylum?"

"Bukan urusanmu!"

Inaho mematikan rokoknya, lalu berdiri meninggalkan Slaine di ruang keluarga itu. "Oh iya, menginaplah malam ini di sini, pakailah kamar manapun di lantai 2"

~O~O~O~O~O~O~O~

Inaho memukul dinding kamar mandinya, tubuhnya yang masih terbalut kemeja seperti tadi namun tanpa dasi dibiarkan basah terkena guyuran shower. Wangi tubuh Slaine yang tadi berada tepat di bawahnya masih bisa dia rasakan. Sekali lagi dia memukul dinding kamar mandinya, tidak percaya dengan apa yang beberapa saat lalu berputar-putar di fantasinya. Sesaat lalu, dia benar- benar hampir kehilangan kendali diri. Namun, sekali lagi mata sendu milik Slaine menyadarkannya. 'Aku sudah gila' fikirnya.

Sementara itu tepat di kamar sebelahnya, Slaine terduduk tepat di balik pintu. Merengkuh kedua lututnya dalam. Isak tangisnya tenggelam dalam kesunyian kamar itu. Beberapa saat lalu dirinya sudah sangat pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Untung saja, Inaho bukanlah seperti pria yang selama ini dia temui. Inaho lah yang pertama yang tidak menyerangnya saat mereka hanya berdua. Ada perasaan senang dan bersyukur, namun ada bagian di dirinya yang merasa tertantang dengan sikap Inaho itu. 'Tidak cukupkah daya tarik yang dia miliki?' fikirnya.

~O~O~O~O~O~O~O~

Inaho memegang kepalanya yang masih sakit, kurang tidur dan efek minuman keras yang diminumnya membuatnya sedikit mual. Dengan sedikit usaha agak keras, Inaho berjalan ke kamar mandi. Membasuh wajahnya berharap pening di kepalanya sedikit hilang. Melihat sosoknya yang terlihat sangat kusut di depan kaca wastafel. Masih dengan pakaian yang sama dengan semalam 'Oh, jadi semalam aku bahkan tidak sadar untuk mengganti pakaian basahku?' bisiknya kepada bayangannya yang terpantul di cermin. Beberapa detik memandang wajahnya, Inaho sadar akan sesuatu dengan langkah setengah berlari Inaho menelusuri semua ruangan di lantai 2 mencari Slaine. Namun, Slaine tidak terlihat di manapun. Inaho mencari di lantai 1 namun Slaine juga tidak ada di sana. Dengan gontai dan perasaan sangat haus, Inaho berjalan ke dapurnya. Sarapan yang masih hangat sudah terhidang di meja makannya, di dekatnya terdapat sebuah memo dengan tulisan yang sangat rapih.

Terima kasih Tuan atas kebaikanmu mengijinkanku menginap di sini. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu aku harap sarapan ini sesuai dengan seleramu. Aku tau ini tidak sepadan dengan biaya 5kali lipat yang kau keluarkan untukku semalam. Suatu saat akan kubalas kebaikanmu.

Inaho mengambil sebuah gulungan telur dadar, menyuapkannya masuk ke dalam mulutnya. Wajahnya yang selama ini terlihat datar, menampakkan sedikit senyum saat memakan sarapan buatan Slaine.

"Telur dadar manis, seperti kesukaanku"

Sementara itu, tidak jauh dari rumah Inaho tepatnya di pesimpangan jalan Slaine melipat kedua tangannya memandang langit tepat di atas rumah milik Inaho. Udara musim gugur berhembus, mempermainkan rambut-rambut kecil Slaine yang sudah semakin panjang.

~O~O~O~O~O~O~O~

"Slaine pasti belum sarapan kan? Ini untukmu, aku tidak bisa menghabiskannya" Harklight meberikan sepotong roti, meletakkan tepat di mulut Slaine yang saat itu tengah menguap. Tidak satupun bahan kuliahnya yang pagi ini masuk ke otaknya. Otaknya terlalu lelah untuk menerima pelajaran, seharusnya hari ini dia tidak usah masuk kuliah saja, harusnya hari ini dia tidur seharian sebagai pembalasan dendam karna semalaman dia tidak tidur. Tapi dia tidak ingin membuat Harklight khawatir jika dirinya tidak masuk kuliah

"Harklight fikir aku tempat sampah?" katanya manyun, sambil mengunyah roti pemberian Harklight

"Keliatannya Slaine sangat lelah. Jangan terlalu memaksakan diri belajar sampai larut malam Slaine" kata Harklight mengusap kepala Slaine. Seketika, tubuh Slaine kembali gemetar.. "Ma..Maaf Slaine, Aku tidak bermaksud" kata Harklight sangat menyesal

"Ti..tidak apa-apa Harklight-kun. Aku hanya tidak terbiasa" jawab Slaine berusaha bersikap setenang mungkin.

"Na.. nah Slaine, tadi Slaine pasti tidak mencatatkan? Bagaimana? Mau meminjam catatanku?" Tanya Harklight mencoba mengalihkan pembicaraan, berharap ketakutan Slaine cepat menghilang.

"A… iya, jika tidak merepotkan"

"Oh iya, apa Slaine sudah dengar? Katanya hari ini akan ada dosen baru yang mengajar. Aku harap dia wanita muda"

"Harklight-kun" Slaine tersenyum mendengar ucapan Harklight, gemeratannya sedikit demi sedikit mulai menghilang.

~O~O~O~O~O~O~O~

Inaho memasuki ruang perkuliahan itu, semua mata tertuju kepadanya. Beberapa mahasiswi terlihat asik dengan fantasi liar mereka saat mengetahui dosen baru mereka adalah dosen muda yang sangat tampan. Wajahnya yang terkesan dingin karna selalu memasang tampang datar membuat kharismanya makin menguar. Beberapa Mahasiswa terlihat tidak senang melihat mahasiswi yang mungkin saja pacar mereka ikut memandang kagum kepada Inaho. Inaho bahkan tidak peduli hal itu, yah dirinya sudah biasa menjadi bahan perhatian orang. Dengan tatapan tidak peduli Inaho menatap satu persatu muridnya, matanya terpaku saat melihat mata bermanik hijau dengan rambut kuning pucat yang juga tengah menatapnya tidak percaya.

Dengan usaha amat sangat keras, Inaho membawa kembali dirinya kepada kenyataan. Mengabsen satu persatu murid-muridnya. "Slaine Saazbaum Troyard", senyum tersembunyi di balik wajah datarnya saat orang yang ditemuinya semalam mengangkat tangannya. 'Oh, jadi itukah namamu?' Inaho kembali melanjutkan mengabsen murid-muridnya.

Slaine rasanya ingin menendang sesuatu untuk melampiaskan amarahnya. Ternyata dosen baru itu tidak seperti yang ada di fikiran Slaine semalam tadi. Dia bukanlah orang yang baik. Dari 5 pertanyaan yang dilontarkannya selama jam perkuliahan 3 di antaranya di tujukan untuk Slaine, dan hanya dengan Slaine dosen itu beradu argument. Slaine memegang perutnya yang terasa lapar, pandangannya tertuju kepada lantai koridor.

"Gunakan matamu saat berjalan!" seru seseorang yang baru saja di tabrak Slaine. Dengan perasaan takut Slaine mendongakkan kepalanya berniat minta maaaf kepada orang yang baru saja di tabraknya karna kelalaiannya. Namun niatnya menguap seketika saat melihat siapa sebenarnya orang itu

"Maaf pak, saya hanya tau berjalan dengan kaki. Saya tidak tau berjalan dengan menggunakan mata!" jawabnya mengejek

"Bagaimana jika kau berjalan dengan kaki dan gunakan matamu untuk melihat agar tidak menabrak?"

"Saya sudah menggunakan mata untuk melihat pak, melihat jejeran ubin di bawah sana!"

"Oh, atau kau memang sengaja menabrakku…." Inaho menghentikan ucapannya, mendekatkan bibirnya di telinga Slaine lalu melanjutkan kalimatnya "Hanya untuk menyapaku, Karna menyesal menolak melakukannya semalam?" Inaho tersenyum sinis. Berbeda dengan Inaho, Slaine kembali gemetar. Mebuatnya mundur 3 langkah menjauh dari Inaho.

Dengan gontai Slaine meninggalkan Inaho, tidak lagi melanjutkan adu argument mereka. Namun, baru beberapa langkah semua buku yang dipegang Slaine terjatuh ke lantai, diikuti rubuhnya tubuh Slaine menimpa buku-bukunya.

~TBC~

OWARI

Kyaaaaa akhirnya buat multichap yang baru. Terus terang, masih gak tau cerita ini mau di bawah kemana. Tapi kemungkinan besar ke arah drama lagi seperti yang sudah-sudah. Semoga cerita yanng ini bisa berkenan dan bisa kalian nikmati.. hahahaha