Night 1, Kenangan di malam musim semi.
Drap . . Drap . . Drap . . .
Dunia tidak pernah sepi oleh derap langkah kaki. Membahana, merengkuh kota dalam satu pelukan irama yang sama. Sudah semestinya senandung yang berbunyi itu dihayati, sebab dalam setiap buku harian para pejalan kaki mencatat, bahwa dunia ini indah dan lembut. Di mana pun senyum merekah tulus, di mana pun matahari begitu hangat dan mesra akrab. Dan tidak seorang pun secara serius tergugah, bahwa setiap jengkal harapan dinyatakan oleh musik yang dimainkan alam untuk ratusan bahkan ribuan kehidupan.
Deg . . Deg . . Deg . . .
Dunia tidak pernah sunyi oleh irama debar jantung manusia. Sebuah melodi yang tidak terdeteksi indera pendengaran. Lepas dari susunan nada alam. Kadang begitu cepat, kemudian melambat. Tidak beraturan. Dan setiap manusia memiliki ritme debaran yang berbeda. Hanya saja mudah robek tercabik oleh begitu banyak jenis arus yang hebat.
"Dunia dan Manusia . . ."
Yuki terdiam di depan jendela kamarnya, memandangi jalan dengan tatapan mata yang tumpul tanpa ekspresi. Hampir seluruh hari-harinya ia habiskan dengan membaca buku di kamar. Hal ini masih lebih baik daripada sebelumnya,- pasrah terkulai lemah, menahan sakit yang tak tidak terperi di dada. Penyakit jantung yang ia derita semenjak lahir telah merenggut keceriaan dalam hidupnya. Usianya baru menginjak sepuluh tahun, tapi ia telah dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Entah sampai kapan jantungnya mampu bertahan. Bisa melewati sisa musim semi tahun ini pun ia ragu.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya Yuki menyelinap keluar rumah. Gadis kecil dengan rambut panjang berwarna coklat, serta mata bulat sebesar kelereng itu ingin melihat dunia sebelum jantungnya berhenti berdetak. Untuk kali pertama ia memijakan kedua kaki mungilnya di atas tanah yang keras. Menghirup udara pertama yang semerbak melegakan nafas. Raut wajahnya nampak berseri ketika angin semilir sejuk membelai pori wajahnya, dan bibirnya melengkung gembira tatkala meresapi sinar matahari yang hangat. Tidak disangka dunia diluar jendela kamarnya lebih dari sekedar yang ia bayangkan, dan betapa buku-buku yang dibacanya tidak bisa memuaskan hasratnya akan gambaran dunia yang sebenarnya.
Yuki menempatkan diri duduk di bawah pohon Sakura yang tumbuh rimbun di tepi sungai. Wajahnya menengadah menatap langit sore. Tidak lama lagi senja menjelang, Menghapus rona kebiruan di atas sana dengan warna keemasan yang cemerlang. Di salah satu buku favoritnya, ia menemukan satu kutipan bagus, sebuah pendapat yang melodius bahwa kita lahir dan besar dalam lembaran cerita yang belum seluruhnya usai terbaca. Mulanya ia tidak mengerti apa makna dari untaian kata tersebut, namun sepertinya ia mulai mengerti meskipun sedikit . .
"Aku harus segera pulang. otou-san dan oka-san pasti tengah mencariku sekarang." Gumam Yuki. Hari sudah beranjak gelap. Awan hitam perlahan menyebar, merapalkan manteranya. Tiupan angin semakin kencang, dingin menjalari tubuh. Sebelum kegelapan merajai, ia harus secepat mungkin sampai di rumah. Karena ketika malam mengambil alih, dan dunia jatuh ke lelap maya sang mimpi, saat itulah makhluk mengerikan yang tersembunyi di balik kabut hitam pekat menunggumu masuk ke dalam perangkapnya.
Tsuki~Haku
Rumah berukuran sedang itu tampak gelap. Lampu-lampu yang mengitari pekarangan di sekitarnya tampak tidak menyala. Cahaya yang biasanya menyeruak dari dalam rumah pun kini padam. Yuki merasa ada sesuatu yang ganjil disini. Ayah dan ibunya tidak mungkin membiarkan rumah gelap tanpa penerangan, apalagi mereka tahu kalau ia benci berada di kegelapan. Tepat di depan pintu, ayunan langkah kecilnya terhenti. Sesaat ia ragu untuk membukanya, tangannya gemetar tidak karuan ketika menggapai tuas pintu.
"Bau apa ini?" Yuki mencium bau amis yang menyengat berasal dari dalam rumah. Refleks ia pun menutup hidung. Sekelebat bayangan tidak menyenangkan menyambangi pikirannya, mengikis habis sisa keberaniannya yang kian menipis.
"otuo-san . . Oka-san!" Berulang kali Yuki berteriak, memanggil ayah dan ibunya. Namun, tidak satu pun dari mereka yang menyahut. Ia kemudian berjalan memasuki ruang depan sambil mulut terus beratikulasi.
Takut . .
Aku takut . .
Poros keseimbangannya hampir terganggu akibat terantuk sesuatu. Sesuatu seperti tubuh seseorang . .
Temaram sinar keperakan rembulan menerobos masuk melalui jendela, menimbulkan efek bias pada ruangan. Yuki mengarahkan pandangannya ke lantai. Meskipun tersamarkan redup cahaya, namun matanya dengan jelas menangkap dua tubuh tergeletak tak bernyawa. Darah segar menggenangi tempat dimana dua tubuh itu tergolek malang. Yang lebih menyentak kesadarannya adalah kenyataan bahwa kedua tubuh bersimbah darah tersebut tidak lain adalah tubuh orang tuanya sendiri.
Merah . .
Darah . .
Deg
Deg
Deg
Sakit!
Yuki merasa jantungnya seolah dililit ular berbisa. Denyutannya melemah, terbelenggu oleh belitan yang makin kuat membebat. Mengucap sepatah kata pun rasanya begitu sulit. Tenggorokannya tercekat. Dan semua rasa sakit yang ingin ditumpahkannya seakan tertahan di pangkal lidah.
Seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dari sudut ruangan yang terkubur kegelapan. Kedua bola matanya yang berwarna merah, menyala terang. Tawa ringkih tersela diantara rintihan yang menyayat sukma tatkala pria itu mendekati Yuki dengan senyum kebengisan tersungging di bibirnya.
"Gadis kecil, biarkan aku menghisap darahmu." Ucapnya. Liur lapar mengalir antara sudut celah bibirnya. Menyeringai, ia memampangkan dua taring tajamnya yang mengkilat terkena pantulan cahaya rembulan.
Vampire.
Yuki harus berlari dari vampire yang hendak mengancam nyawanya, atau mengulang nasib tragis seperti kedua orang tuanya. Aneh sekali, kakinya tidak bisa digerakkan, dan hal ini berlaku pula untuk semua elemen tubuhnya yang lain. Mati rasa. Dalam situasi kritis seperti ini, kendali pikirannya mulai hilang arah. Racauan tak ayal terlontar dari bibir mungil nan tipis miliknya.
Mati . .
Mati . .
Zlassshhh! Kepala Vampire menakutkan yang tengah kelaparan itu terlempar keras menghempas lantai. Mati seketika, menjadi serpihan abu.
"Ini hukuman yang pantas untukmu."
Yuki meringis, menahan perih. Pandangan matanya mengabur seiring kesadarannya yang perlahan menghilang. Meski begitu, ia masih sempat mengabadikan sosok pemuda yang berdiri membelakanginya. Tangan pemuda tersebut berlumur darah sang vampire. Tak lama kemudian, ia pun jatuh tak sadarkan diri.
"Mou daijoubu Yuki . ."
Tsuki~Haku
"Apa ini? Kerongkonganku rasanya panas, tubuhku seperti terbakar dari dalam." Yuki mengerjap, tangannya mengenggap erat seprai linen sampai kusut. Dengan satu kali sentakan ia terenggut dari alam mimpi. Padahal sudah hampir tujuh tahun berlalu, namun kenangan berdarah di malam musim semi itu enggan meninggalkannya dalam damai. Walau sekeras apapun ia berusaha menghapus ingatan tersebut dari memorinya, ingatan buruk lainnya menghampiri. Kondisi ini telah mencapai klimaksnya hingga membuat Yuki terpuruk dalam keputusasaan.
Beruntung Yuki memiliki Kaname-senpai yang senantiasa menemaninya. Penyelamat hidupnya ketika nyaris terbunuh vampire. Sungguh mengejutkan baginya mengetahui bahwa di sisi lain dunia ini benar terdapat sebuah kehidupan yang sejak lama hanya tercatat sebagai mitos belaka. Kehidupan para mahluk penghisap darah yang hadir di balik sibakan kabut malam. Vampire.
Yuki beringsut dari ranjang, melangkahkan kakinya menuju jendela kamar. Lalu membukanya agar udara pagi yang segar menggantikan udara pengap di kamarnya. Membiarkan sinar matahari menyentuh kulitnya yang dingin oleh tetesan peluh.
"Ohayou Mr. Sunshine!" Ujarnya, meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku.
Sejak tragedy mengerikan yang menimpa orang tuanya tujuh tahun silam, Yuki tinggal bersama ayah angkatnya bernama Kaien Kurosu yang dimintai tolong oleh Kaname untuk menjaganya. Pada awalnya ia sulit beradaptasi dan membuka hati pada orang yang baru dikenalnya. Namun lambat laun ia bisa menerima kehadiran Kaien sebagai orang tua angkatnya.
"Ohayou Yuki-chan. Duduklah, otou-san telah menyiapkan sarapan pagi untukmu."
"Nanti saja sarapannya, aku pergi keluar sebentar."
"Demo, Yuki-chan . . otou-san wa," belum sempat Kaien menyelesaikan perkataannya Yuki sudah melesat pergi keluar. Berikutnya, ia akan mendramatisir keadaan dan menangis tanpa sebab.
"Yuki-chan, apa dia tidak suka sarapan yang kubuatkan." Isaknya.
Pagi yang cerah dan langit bersih membentang indah. Yuki melangkahkan kakinya dengan antusias. Penyakit jantung yang menggerogoti setiap detik hidupnya, entah sejak kapan sembuh begitu saja. Belakangan ini ia tidak pernah merasakan sakit di dadanya lagi. Tidak jauh dari rumahnya, sebuah rumah besar nan mewah berdiri kokoh dengan tembok setinggi tiga meter melingkupinya seperti benteng. Rumah mewah itu adalah kediaman keluarga Kuran yang terhormat. Keluarga dari Kaname, penyelamatnya.
"Apa Kaname-senpai sudah kembali dari perjalananya?" Gumam Yuki, memandangi rumah. Untuk beberapa saat rumah tersebut kelihatan menyeramkan selayaknya kastil-kastil tua zaman eropa. Namun, itu sangatlah masuk akal mengingat yang tinggal disana adalah keluarga Vampire. Dan Kaname adalah pemimpi daripada semua ras vampire.
Tsuki~Haku
"Hosh . . Hosh . . ." Nafas Yuki terengah-engah karena kelelahan berlatih bela diri. Ia tidak bisa selalu mengandalkan orang lain untuk menyelamatkannya dari masalah. Paling tidak ia mampu melindungi dirinya sendiri dengan mempelajari dasar-dasar ilmu bela diri. Setiap pagi Yuki melatih pukulan tangan serta tendangan kakinya, dan dari waktu ke waktu mengalami perkembangan berarti.
Seluruh konsentrasinya terpusat pada latihan sehingga ia tidak menyadari kehadiran seseorang disampingnya. Tetapi ketika orang tersebut menyampirkan tangannya di bahu Yuki, refleks ia pun menangkap tangan itu dan tanpa ragu ia akan membanting tubuh orang dalam tangkapannya. Sayang, reaksi semacam ini telah diprediksi sebelumnya, keadaan jadi berbalik tidak menguntungkan di pihak Yuki.
"Dare desu ka?" Tanya Yuki, berusaha melepaskan diri.
"Kuran Kaname . ." Bisik Kaname, lirih di telinganya. Yuki terhenyak mendengar suara merdu pemuda yang teramat dikenalnya itu. Jantungnya berdegup kencang, rona kemerahan menyembul di pipinya. Berada sedekat ini dengan Kaname, efeknya benar-benar destruktif terhadap aliran darah yang memompa bagian vital tubuhnya. Sebaliknya ia juga tidak bisa memungkiri perasaannya terhadap Kaname selama ini bukanlah perasaan yang mudah diungkap dengan untaian kata biasa.
"Ka, kaname-senpai." Yuki berbalik, menatap Kaname. Pemuda tampan dengan rambut coklat yang sama sepertinya, mata merah yang gelap ditunjang postur tubuh yang tinggi, menyempurnakan sosoknya sebagai vampire. Setiap vampire memiliki aroma yang berbeda. Aroma yang dimiliki Kaname adalah aroma Mawar. Siapa pun yang memandangnya serta mencium wangi tubuhnya akan jatuh dalam sihir pesonanya yang membuatmu terbius.
"Apa kabar Yuki?" Tanya Kaname, mengelus rambut panjang Yuki yang lembut. Gadis itu tidak lantas menjawabnya, ia terpaku menatap Kaname. Lalu detik berikutnya mengambil jarak beberapa langkah darinya.
"Sumimasen Kaname-senpai. Aku baik-baik saja." Jawab Yuki, salah tingkah. Kaname berdesah panjang, ada gurat kekecewaan di raut wajahnya.
"Yuki, kau membuatku merasa sedih." Kaname menatap lekat gadis kecil yang kini telah beranjak dewasa di hadapannya. Tatapan yang membuat Yuki membeku hingga tak mampu bergerak dari tempatnya berdiri ketika Kaname mendekat padanya. Digenggamnya helaian rambut Yuki kemudian diciumnya seraya berkata.
"Jangan pernah berubah padaku. Tetaplah menjadi Yuki yang kukenal." Ungkapnya tersenyum.
Kaname berbeda dengan vampire lainnya. Dia tidak pernah menyakiti Yuki, bahkan selalu ada untuknya. Perasaan yang tengah dirasakannya sungguh paradoks, mencintai seorang vampire itu terlarang. Dunia yang mereka lihat jauh berbeda dengan dunia dalam pandangan manusia. Di mata mereka hanya ada warna merah, warna yang melambangkan darah. Terlahir sebagai makhluk kegelapan berwujud indah yang abadi, eksistensi mereka seharusnya dianggap tabu. Disamping itu manusia dan vampire dalam sejarah mana pun mustahil hidup bersama. Seperti dua dimensi semesta yang berbeda. Di satu sisi terjaga dalam keabadian sampai beberapa decade mendatang, sementara di sisi yang berlainan rapuh oleh proses penuaan waktu.
"Kaname-senpai. Maafkan aku . ." Lirih Yuki, memandang punggung lebar Kaname yang semakin jauh, kemudian hilang dibalik pintu gerbang yang tinggi.
