1.
"Hei, Akutagawa. Kenapa mukamu kecut amat?" sapa Chuuya saat dia kebetulan berpapasan dengan bawahannya itu dalam perjalanan ke markas utama Port Mafia.
"Saya hanya masih kesal dengan peristiwa kemarin." Akutagawa menjawab dengan ekspresi gelap.
"Hee, bukannya kemarin kamu salah satu yang terlibat dalam pertarungan utama melawan si Shibuzawa? Trus apa masalahnya?" Chuuya mengerutkan dahinya, gagal paham.
"Ya, benar sekali. Sepanjang hari kemarin si Jinko itu selalu saja berisik tentang Dazai-san tiap 5 menit. Dazai-san gak mungkin ini lah, gak mungkin itu lah, kayak bocah aja." Akutagawa menyampaikan keluhannya dengan nada ketidaksukaan yang kentara.
"Hoo ..." Chuuya bingung mau berkomentar apa.
"Baiklah, saya permisi," Akutagawa dengan kesopanan rata-rata berlalu dari hadapan Chuuya, belok ke arah yang berbeda.
"Hmm," Chuuya masih setengah bengong.
"Akutagawa itu gak nyadar kalau selama ini dia juga begitu ya?" gumamnya pelan. "Ah, ya sudahlah. Si bodoh Dazai itu, apa sih yang dikagumi anak-anak itu darinya? Aku jadi kasihan sendiri melihat mereka." Pusing memikirkannya, Chuuya hanya bisa geleng-geleng kepala.
2.
"Ranpo-san, apa yang terjadi pada Anda tadi malam?" Sekadar iseng, Tanizaki bertanya. Sebagaimana fakta bahwa Dazai adalah mantan anggota Port Mafia, Ranpo yang sebenarnya bukan pengguna kemampuan juga merupakan hal yang sulit dipercaya.
"Hmm? Tentu saja melawan kemampuanku. Tapi aku lebih pintar jadi dia tidak bisa menemukan persembunyianku." Ranpo menjawab tak acuh, sibuk dengan bungkus snack.
"Waah... "
Para anggota agensi yang sudah melewatkan malam yang cukup sulit dengan bertarung melawan kemampuan mereka, hanya bisa takjub pada seberapa mudahnya itu bagi seorang Edogawa Ranpo. Seberapa mudahnya dia mengarang cerita, maksudnya.
"Kalau Dazai-san bagaimana?" Atsushi menoleh penasaran pada seniornya yang punya kemampuan menetralkan semua kemampuan lain itu.
"Hee ~ Aku tidak menyangka Atsushi-kun akan bertanya." Dazai dengan malas mengangkat kepalanya dari buku yang sejak dulu ingin dilempar Kunikida jauh-jauh karena sering kali jadi sumber masalah.
"Sebenarnya aku agak penasaran. Apa Dazai-san ditangkap oleh musuh?" Atsushi kembali bertanya dengan lebih spesifik.
"Aku berusaha menjelaskannya pagi itu tapi Atsushi-kun sendiri yang memotong kata-kataku, jadi tidak ada pengulangan ~" Terlalu repot untuk menceritakan posisinya sebagai salah satu dari tiga dalang, Dazai dengan sengaja menggunakan tindakan Atsushi sebagai bumerang.
"Eeh?! Tapi ... " Atsushi tentu saja kelabakan ketika beberapa pasang mata di ruangan itu mendadak menatapnya dengan dingin. "Ini jadi salahkuu?!" erangnya panik.
3.
"Ada yang terpikirkan olehmu?" tanya Dazai.
"Cinderella?" Odasaku menyebutkan gagasan yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
Dazai mengetuk-ngetuk dahinya, berusaha mencari keterkaitan antara kasus bunuh diri apel dengan kisah Cinderella. "Mungkin yang kau maksud adalah Putri Salju?"
"Begitukah? Aku tidak terlalu ingat kebanyakan cerita dongeng." Odasaku tidak terlalu ambil pusing.
"Menarik." Dazai mendadak tersenyum ceria. "Apa yang Odasaku tahu tentang kisah Putri Salju?"
Odasaku berkedip heran dengan pertanyaan itu. "Seorang tukang kayu bernama Gapeto membuat boneka salju ..."
"Putri Tidur?" Potong Dazai melihat awalnya saja sudah kacau.
"Seorang putri yang hanya boleh pergi ke pesta sampai jam sepuluh malam."
"Kenapa?"
"Karena lewat dari itu adalah jam tidurnya ...?" Odasaku heran mengapa Dazai perlu bertanya.
Dazai mengangguk-angguk, berkomentar dengan geli setelahnya. "Odasaku bukan pembaca yang baik, tapi pasti bisa jadi penulis yang hebat."
4.
"Chuuya, bangun gih," Dazai baru sadar kakinya kesemutan setelah beberapa jam jadi bantal dadakan mantan rekannya.
"... Hmm," Chuuya menatap linglung ketika Dazai menyandarkannya salah satu runtuhan dinding yang datar. "Oh!" Kayaknya dia baru ingat apa yang terjadi semalam.
"Kau terlihat lebih konyol dari biasanya, Dazai," komentar Chuuya spontan. Serius, dia hampir tidak pernah melihat Dazai mengenakan pakaian serba putih sebelumnya. Dazai selalu identik dengan mantel hitamnya yang menyamarkan warna darah, atau baru-baru ini dia menggantinya dengan mantel sewarna pasir yang terlihat murah. Tapi yang jelas bukan putih.
"Iyaa, ini juga aku mau ganti." Bukannya membalas kata-kata Chuuya, Dazai secara aneh menyetujuinya.
Beberapa menit kemudian Chuuya baru sadar bahwa alasannya adalah noda darah yang mewarnai bagian belakang baju tersebut. Dan hal yang benar-benar membuatnya aneh ketika melihat Dazai adalah gaya rambutnya.
"Kau baru pertama nyisir rambut dengan minyak kah?" Chuuya tidak tahan untuk tidak bertanya.
5.
Kaji berlari di antara gudang-gudang penyimpanan senjata Port Mafia. Bom-bom lemon dilempar terus-terusan ke arahnya oleh sosok mirip dia yang tanpa henti tertawa sinting.
"Apa-apaan makhluk itu? Bom lemon gak mempan padanya!" gumam Kaji sambil meringkuk di balik tempat sampah. "Gak mempan? Aha, begitu rupanya." Tukang bom itu menyeringai.
Beberapa menit kemudian Kaji berhasil memancing kemampuannya untuk membuat lubang di salah satu dinding gudang senjata. Lalu dengan granat tangan, Kaji menghancurkan permata di kening lawannya dengan melempar tepat ke kepala.
"Oh, ayolah, kuharap Bos tidak menyuruhku ganti rugi." Kaji garuk-garuk kepala melihat kekacauan yang dibuatnya.
6.
Chuuya berdecak saat dering panggilan berbunyi ketika dia sedang menghadap Bos. Pria yang belum menjelaskan alasan kenapa menyuruhnya datang pada jam larut ini memberinya isyarat untuk mengangkatnya.
["Bayar hutangmu pada dokter berkacamata."]
Chuuya membanting tangannya ke meja. Dia langsung tahu maksud pesan tersebut adalah panggilan dari Sakaguchi Ango. Mori tersenyum misterius, seolah tahu apa yang terjadi.
"Chuuya-kun, pergilah."
"Hah? Tapi Anda belum memberitahuku apa perintahnya ..." protes Chuuya spontan.
"Hmm, benar juga," kata Mori lambat. Jika Dazai yang berhadapan dengannya, dia pasti sudah menampilkan ekspresi bosan. Tapi rasa hormat Chuuya pada si Bos memberinya kekuatan untuk menahan diri. "Kamu turuti saja perintah dari telepon tadi. Paham?"
Chuuya menghela napas. "Baik, lalu ujungnya apa?"
Mori tertegun-tegun, kelihatan seperti sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk disampaikan. Seolah ini sedikit sensitif untuk didengar Chuuya. Kemudian dia tersenyum lagi. "Selamatkan kota ini."
Chuuya menggerutu dalam hati. 'Selamatkan si bodoh Dazai itu maksudnya?' pikirnya sambil membalikkan badan. "Baik, Bos."
7.
"Tolong ingat ini baik-baik. Dazai-kun adalah salah satu dalangnya!" seru Ango sebelum jaringan benar-benar terputus.
"Dazai?" gumam Kunikida setengah percaya setengah tidak. Dia tahu dengan sangat baik bagaimana kadang-kadang Dazai sengaja menari di tangan musuh, tapi dalam peristiwa ini?
"Apa Dazai-san ditangkap?" Atsushi berspekulasi dengan lirih. Dia selalu memandang Dazai sebagai penyelamatnya, jadi mendengar hal-hal buruk tentang orang itu agaknya sangat mengguncang bagi si bocah harimau.
Sementara itu di ruangannya, Ango berteriak frustrasi mengingatkan beberapa bawahannya untuk tidak memainkan game online agar tidak mengganggu jaringan. Sayangnya tidak banyak yang percaya bahwa itu berpengaruh.
8.
Dazai menatap email yang baru masuk ke komputernya dengan ekspresi malas. "Harus pakai baju putih katanya? Siapa memang yang punya?" keluhnya entah pada siapa.
Intinya, Shibuzawa menetapkan bahwa code dress pesta mereka adalah kostum serba putih. Dan Dazai sedang mengingat-ingat siapa kenalannya yang agaknya punya. Raut wajahnya seketika semakin mengerut ketika Mori dan seragam dokternya singgah di memori. "Tidak, tidak, mana mungkin aku pinjam ke orang itu."
Sebenarnya beberapa orang anggota agensi biasa memakai baju putih. Misalnya saja Atsushi atau Tanizaki. Tapi Dazai tentu tidak bisa tiba-tiba pinjam ke mereka tanpa memberikan alasan yang masuk akal.
Untuk membeli pakaian baru, Dazai yakin uangnya tidak akan cukup. Hutangnya ke kafe Uzumaki saja sudah enam bulan menumpuk. Tempat lain yang tidak kenal dengannya mana mau mengambil resiko seperti itu. Terpaksalah detektif itu membongkar kamarnya untuk mencari-cari sesuatu yang cukup layak dibawa ke pegadaian.
Di bagian paling bawah tumpukan pakaiannya, Dazai menemukan sehelai kertas yang lumayan berharga. Silver oracle, dia lupa mengembalikannya. Dengan setengah hati, dia pergi ke toko pakaian yang memiliki relasi perlindungan dari Port Mafia. Keuntungannya, silver oracle meniadakan harga. Sisi negatifnya, Mori pasti akan mendapat laporan pergerakannya.
9.
"Bahkan kabut itu gak bakal bisa masuk ke sini," kata Akutagawa ketika dia bersama Atsushi dan Kyouka sedang berada di dalam lift.
"Wah, kalau gitu kenapa kita gak ngumpet aja di sini sampai besok pagi?" Atsushi mencetuskan idenya yang setelah dipikir-pikir lumayan cemerlang.
"Gak, aku gak mau membuang waktu dengan menunggu bersama musuh." Akutagawa menolak idenya dengan datar. Atsushi dalam hati membenarkan bahwa dia juga tidak berminat untuk melihat wajah kusut Akutagawa semalaman.
Kyouka terlihat seperti berpikir. "Sebenarnya itu ide bagus, tapi aku juga harus cepat keluar dari sini." Lagi-lagi ide Atsushi mengalami penolakan.
"Eh, ada urusan apa, Kyouka-chan?" tanya Atsushi. Berharap ada yang bisa dilakukannya untuk membantu.
Kyouka memperlihatkan handphonenya. "Baterai hampir habis."
Oke, alasannya cukup untuk membuat Akutagawa pura-pura batuk untuk menyembunyikan tawanya dan Atsushi memasang ekspresi tak kalah aneh.
"Kyouka, lain kali bawalah power bank."
"Tapi aku tidak punya."
"Mungkin salah satu anggota agensi memilikinya. Kita tanyakan saja besok."
Mereka tidak tahu bahwa di lain kesempatan, Kyouka tidak lagi membutuhkan perantara untuk mengendalikan kemampuannya.
10.
Mori Ougai mengerutkan dahinya ketika Dazai dan Chuuya melapor setelah misi semalam dengan tampilan berantakan.
"Chuuya mengaktifkan corrupt." Dazai membaca keheranannya dan memberikan penjelasan singkat.
"Begitukah?" gumam sang bos maklum. "Lalu kenapa kamu juga memiliki banyak cedera baru, Dazai-kun?"
Dazai mengangkat bahu. "Ketika sedang ngamuk, Chuuya cenderung menghancurkan sekitar termasuk bangunan."
Chuuya cemberut. "Bukan salahku kalau Dazai tertimpa bangunan. Harusnya dia menghentikanku sebelum gudang penyimpanan berlian itu runtuh."
Dazai menoleh pada rekannya dengan sinis. "Bagaimana aku menghentikanmu kalau kau bukan hanya mengubur musuh tapi juga menindih kakiku dengan reruntuhan?"
Mori sedikit memperoleh gambaran mengapa Dazai kembali menggunakan tongkat untuk berjalan. "Lalu bagaimana akhirnya?" Dia mencoba menjaga suaranya agar tetap serius tetapi senyum geli yang muncul bertolak belalang.
Kedua remaja itu memasang ekspresi masam. "Aku pada akhirnya berhasil menetralkan kemampuan Chuuya, tapi itu sudah menghabiskan terlalu banyak energinya." Dazai menuturkan.
"Cih, dan si maniak bunuh diri itu dalam kondisi tidak bisa banyak membantu." Chuuya melanjutkan. Dia teringat bagaimana mereka berdua sama-sama terluka dan lelah lalu sepakat untuk istirahat di sekitar puing-puing bangunan selama setengah jam sebelum balik ke markas.
"Oh, tapi untungnya orang bernama Ango lewat sana dan kami bisa nebeng mobilnya," celetuk Dazai.
"Aku tidak menyangka harus memiliki hutang budi pada orang tak dikenal sepertinya, aah!" Chuuya melanjutkan keluhannya dengan lebih ekspresif.
"Chuuya! Lain kali kau cuma boleh menggunakan corrupt di lapangan terbuka!" seru Dazai dengan jari telunjuk dinaik turunkan di depan wajah rekannya yang kontan bertambah kesal.
"Terserahku! Kayak aku pengen sering-sering pakai itu aja!" Chuuya berkacak pinggang.
"Sudah, sudah," Mori mengangkat tangannya. Bahkan jika pertunjukan di hadapannya itu bagus untuk hiburan, dia masih punya agenda panjang seharian ini. "Segera bikin laporan kalian." Kedua bawahannya itu mendadak bungkam.
11.
"Kau sengaja naruh penawar racun di mulutmu supaya hancur pas kutonjok ya?" Chuuya memastikan dugaannya.
"Iya." Ungkapan pembenaran yang kelewat polos dari Dazai.
"Gimana kalau kekuatan pukulanku malah membuat obatnya keluar dari mulutmu? Yang ada malah mati." Chuuya tidak habis pikir dengan cara-cara Dazai yang menurutnya kelewat nekat.
Dazai menghela napas, "Yaah, kalau kejadiannya begitu, Chuuya juga bakal mati." Dia menyebutkan kemungkinan terburuk dengan santai. "Tapi aku juga sudah memperkirakan kalau Chuuya butuh waktu cukup lama sampai menemukanku. Dan itu berarti tenagamu juga sudah di ambang batas."
Chuuya angkat tangan, merasa berdebat dengan Dazai adalah hal sia-sia. Partnernya itu tidak berubah sama sekali, selalu memiliki ide dengan kemungkinan bunuh diri yang tinggi.
12.
"Bunuh diri apel, huh ... " Ranpo bergumam bosan setelah menonton video yang ditampilkan Kunikida. Dia yang dalam hati tahu bahwa dirinya bukan pengguna kemampuan merasa kasus ini tidak akan membutuhkan campur tangannya.
"Ngomong-ngomong soal bunuh diri, mana si maniak Dazai?!" Kunikida berseru frustrasi menyadari kouhai nya itu lagi-lagi melewatkan rapat agensi. Yang lainnya tidak repot-repot bereaksi, sudah hafal dengan kebiasaan pihak terkait.
Atsushi yang ditugaskan menjemput Dazai menunjukkan tampang bersalah. "Katanya ada metode bunuh diri baru yang ingin dicobanya ..."
Ranpo memproses informasi ini sementara Kunikida berteriak emosi. Cara bunuh diri baru? Metode paling baru yang mereka ketahui berkaitan dengan kasus bunuh diri apel para pengguna kemampuan ... Dazai nyaris selalu berakting bahwa kepalanya kosong tapi di beberapa kesempatan nama baik agensi terjaga karena dia turun tangan.
Oh, jadi Dazai pergi menyelidiki kasus itu sendiri ya? Sepertinya bakal lumayan gawat. Ranpo menyimpulkan. Karena bukankah setiap pria itu pergi sendiri maka secara ajaib dia melakukan kontak langsung dengan musuh dan kembali dengan informasi yang dibutuhkan (dengan bayaran cedera yang setimpal).
"Apa yang kau lakukan, Ranpo-san?" tanya Kenji melihatnya mulai memasukkan satu per satu bungkus snack ke dalam kotak khusus.
"Rahasia ~"
13.
Itu pagi yang sangat cerah setelah kekacauan kabut semalam. Para detektif agensi berjalan bersama menyusuri pinggiran pelabuhan Yokohama bukanlah pemandangan yang sering terpampang.
"Hei, aku perlu daftar cedera kalian," Yosano mengatakan hal tersebut saat masing-masing mulai sibuk dengan obrolan pribadi.
"Tidak ada cedera berarti." Fukuzawa yang pertama kali menanggapi.
"Begitu juga denganku." Kunikida mengikuti. Dia sedikit terkena ledakan di sana sini, tapi itu bukan situasi yang mengancam jiwa.
"Oh, Tanizaki?" Yosano beralih ke pemuda yang kelihatan paling trauma dengan metode pengobatannya, sedikit menyeringai sebagai caranya menambah tekanan pada pertanyaan barusan.
"Badanku rasanya remuk," Tanizaki memijit-mijit lehernya yang entah berapa kali dicekik oleh kemampuan sendiri. "Tapi itu tidak akan membunuhku untuk saat ini ..." sambungnya takut-takut.
"Melelahkan tapi tidak ada masalaah!" Kenji berteriak lepas. "Bagaimana dengan Atsushi-san?"
"Aku juga ... Beres semua," Sekali lagi Atsushi merasa bersyukur dengan kemampuan pemulihan otomatisnya. Kyouka menganggukkan kepala ketika bertemu mata dengan sang dokter, isyarat bahwa dia juga baik-baik saja.
"Cih," Yosano terlihat kecewa. "Trus bagaimana denganmu, Dazai?" lanjutnya iseng, tahu bahwa kemampuannya tidak akan berefek pada pihak yang ditanya.
Dazai tertawa kecil menanggapinya. "Tumben Yosano-sensei bertanya padaku?"
Yosano memiringkan kepalanya, "Kau selalu secara aneh terluka." Mendengar jawaban itu, Dazai terlihat bingung. Seingatnya yang paling sering terluka itu para petarung garis depan. "Ketika kau menemui Divisi Khusus, tiba-tiba saja terjadi kecelakaan. Dalam misi ke pulau buatan, seseorang menikammu tepat di jantung. Lalu ketika konflik dengan Port Mafia yang nyaris jadi perang, kau juga di awal terkena tembakan sniper." Yosano menguraikan catatan di kepalanya.
Dazai lagi-lagi hanya bisa menampilkan senyuman biasa dengan bibir terkatup rapat. Bagaimana dia menjelaskan bahwa kecelakaan mobil adalah bagian dari rencana ujian masuk Kyouka? Juga apakah lebih baik dia melaporkan kalau semalam dia ditikam pisau beracun? Mantan eksekutif Port Mafia itu merasa tidak yakin itu keputusan yang tepat.
Sebenarnya ada 16 semuanya, tapi kalau kupikir-pikir 3 di antaranya terlalu aneh. Iyaa, yang ini juga aneh sih, tapi yah, maaf karena sudah membuang waktumu untuk membaca tulisan gak mutu ini.
