Hanya dengan satu suaramu, aku dapat berubah seperti ini

sudah kuduga itu pasti kau, tidak bisa jika bukan dirimu


"kau masuk kelas berapa?"

Jihoon menengadah menatap pemuda yang lebih tinggi darinya itu.

Si pemuda tampan yang berdiri di samping Jihoon yang mana juga tengah menenelusuri daftar kelas di papan pengumuman bergumam

"di kelas yang sama denganmu? Dimanapun tidak masalah"

Aku tahu, Jihoon membatin dalam hati

Pemuda manis berpipi gembil itu sudah lebih dulu menemukan nama Guanlin yang nomor absensinya berbeda beberapa angka dengan Jihoon. Keduanya berada dikelas yang sama tahun ini dan si manis lagi lagi hanya bisa bersikap pura pura tidak tahu.

Tidak dengan Guanlin yang sejauh ini juga bersikap sama tidak pekanya dengan dirinya

"bukankah lebih baik jika bersama?" Jihoon bertanya jahil. Menyenggol lengan pemuda akselerasi disampingnya yang tentu saja berusia lebih muda.

Sementara yang disenggol pun hanya tertawa kecil "sekelas kok! Kita jadi kakak kelas ya?"

Keduanya tertawa bersama dan melangkah beriringan menuju kelas mereka yang berada di lantai empat.

Jihoon yang memang pada dasarnya banyak bicara, memiliki segudang cerita untuk menjadi bahan obrolannya dengan Guanlin sepanjang perjalanan mereka menuju kelas. Sepertinya tahun tahun di sekolah menengah atas tidak akan banyak berbeda dari masa sekolah pertamanya yang penuh dengan kepura puraan.

Guanlin dan Jihoon sudah menjadi teman dekat sejak kecil.

Mereka bertetangga, itu merupakan satu dari sekian alasan klise bagaimana mereka bisa menjadi dekat. Selain itu, karena di daerah tempat tinggal mereka anak yang seumuran itu jarang, tanpa diminta keduanya pun menjadi lengket dan sulit terpisahkan.

Guanlin yang pemalu dan selalu bersembunyi dibelakang Jihoon beberapa tahun silam, kini telah tumbuh menjadi pemuda dengan tinggi menjulang melebihi Jihoon sendiri. Ditambah paras tampan nya yang begitu mempesona, warisan dari sang ayah.

Guanlin juga menjalani dua kali program akselerasi. Pemuda yang seharusnya menjadi adik tingkat Jihoon itu sekarang justru langganan peringkat pararel di sekolanya selama tiga tahun sekolah menengah pertama.

Guanlin cerdas, tampan, beretika, dan kaya

Siapa yang merasa tidak beruntung memiliki kawan seperti Guanlin?

Banyak yang iri pada Jihoon karena pemuda manis itu bisa menghabiskan banyak waktu dengan Guanlin. Hanya dengan label teman masa kecil yang akrab. Sebuah ikatan sederhana namun bagi banyak orang, itu akan terasa sangat berarti jika bersama dengan Lai Guanlin.

Jihoon hanya bisa tersenyum tipis ketika wali kelas mereka menyatakan kalau selama satu tahun kedepan Guanlin lah yang akan menjadi ketua murid. Disambut dengan sorakan gembira, pemuda tampan itu membungkuk sopan kepada wali kelas mereka dan kembali ke tempat duduknya disebelah Jihoon masi dengan senyum menawan yang tidak luntur di wajah tampannya yang seperti porselen.

"selamat!" Jihoon berbisik senang. Memberikan jempol pada Guanlin yang lagi lagi tertawa menanggapi Jihoon.


'Waktu berlalu dengan cepat tanpa Jihoon sadari'

Mereka sudah duduk di tahun terakhir sekolah menengah atas dan debaran aneh yang kerap menghampiri Jihoon tatkala Guanlin berada disisinya semakin sulit untuk ditenangkan.

Dada Jihoon terasa sesak ketika tanpa sengaja kulitnya bersentuhan dengan Guanlin. Jutaan kupu kupu berterbangan didalam perut Jihoon ketika pemuda tampan itu memberikan perhatian perhatian kecil yang dimata Jihoon begitu manis.

Sekalipun status mereka hanya sebatas teman

Terkadang Jihoon semakin tidak dapat menahan dirinya ketika Guanlin dikelilingi oleh penggemar penggemar nya yang sialnya sebagian besar diantara mereka sama populernya dengan Guanlin.

Jihoon hanya mampu menatap Guanlin dari jauh ketika pemuda tampan yang biasanya duduk disampingnya ketika istirahat makan siang, kini duduk bersama dengan teman teman nya di meja yang jaraknya tak terlalu jauh dari Jihoon.

Lihat bagaimana kasualnya si tampan yang kini menjelma menjadi pangeran idaman semua rakyat sekolah.

Menggelikan?

Kenyataannya demikian?

Dua tahun berlalu dan Guanlin semakin mempesona

Sementara Jihoon

Banyak hal yang terjadi dalam dua tahun dan salah satunya adalah pernikahan antara ayahnya dan seorang wanita yang kini harus ia panggil Bunda.

Katakanlah Jihoon mendramatisir, tetapi pernikahan itu tak lantas membuatnya bahagia. Sama sekali tidak.

Tidak dengan ayahnya yang kini lebih memusatkan perhatiannya pada Woojin -adik kembarnya- dan Hyunjin -saudara tirinya-. Tidak dengan dirinya yang semakin terpojokkan ketika tidak bisa memberikan sesuatu yang dapat membuat ayah dan bundanya bangga sementara kedua adiknya seolah olah berlari mendahului dirinya.

Meninggalkan dirinya di belakang tanpa ada niat untuk sekedar menoleh.

Guanlin berubah

Jihoon juga

Jihoon mengaduk makan siangnya asal. Tidak berniat menyantapnya.

Sesekali pemuda manis itu melirik Guanlin yang tampak tertawa lepas bersama dengan para bangsawan yang lain.

Nafsu makan Jihoon lenyap sudah.

Jihoon memutuskan untuk menyudahi acara makan siangnya -yang sebenarnya dia tidak menyentuh makan siangnya sama sekali-, dan kembali kekelas untuk tidur atau mengerjakan tugas jika tidak malas.

Itu lebih baik daripada harus menyaksikan si sempurna Guanlin hidup bahagia dengan teman baru yang lebih menyenangkan dibandingkan dirinya yang sekarang sedang berada di titik terlemah. Titik dimana Jihoon merasa seperti tikus jalanan yang tidak pantas bersanding dengan seorang putra mahkota.

Jihoon tahu, tak seharusnya ia merasa sakit hati melihat Guanlin bersama dengan orang orang yang sama sempurnanya dengan dirinya karena rasa suka dan takut jika saja si tampan itu jatuh hati pada orang yang sederajat dengan pemuda bermarga Lai itu. jihoon tahu, seharusnya ia tak merasa tersakiti karena perasaan cinta sepihak yang tidak berani ia sampaikan.

Jihoon juga tak seharusnya merasa kecewa karena terlalu berharap Guanlin akan menjadi orang pertama kali menghampirinya ketika tidak ada seorang pun menyadari kalau dirinya tengah memendam sesak dan jenuh karena terlalu lama mengahdapi dirinya sendiri yang begitu munafik.

Itu tidak sepenuhnya salah Guanlin

Tidak mungkin juga Jihoon menyalahkan Guanlin atas permasalahan apa yang sekarang tengah ia hadapi seorang diri.

Jihoon tahu seharusnya ia kecewa pada dirinya sendiri yang terlalu lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan situasi

Tidak punya kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan yang ia landasi pemikiran negatif

Jihoon tahu itu buruk

Semuanya buruk

Dimulai dari jatuh cinta pada teman masa kecil nya yang sekarang menjelma menjadi pangeran negri dongeng-

-dan dilanjutkan oleh ketidakmampuannya menjadi seorang kakak sekaligus seorang anak untuk menjaga hubungan baiknya dengan kehidupan sosial dan keluarga yang sejujurnya sangat ia cintai.

Jihoon melengang pergi meninggalkan kantin tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengikuti langkahnya dalam diam, dan berfikir berulang kali untuk berlari menghampiri Jihoon yang melangkah menjauh dengan kepala yang senantiasa tertunduk.


"hei"

Panggilan itu membuat Jihoon yang tengah melamun tersentak kaget.

Pemuda bermarga Park yang tengah duduk di ayunan seorang diri itu menahan nafasnya ketika menyadari seseorang yang memanggilnya itu adalah Lai Guanlin.

Teman masa kecilnya yang kini telah menjelma menjadi pangeran dari negeri dongeng

Yang kini tengah memegang rantai ayunan yang tengah ia duduki. Mencegah ayunan itu untuk kembali bergerak dan menghantam tungkai kakinya yang berdiri tepat di samping belakang Jihoon.

Guanlin mengulas senyum lembut ketika menyaksikan mata Jihoon lari kesana kemari. Menghindari tatapan si tampan. Kemanapun. Asal jangan dua bola mata yang semakin membuat Jihoon tenggelam.

Jika Jihoon tenggelam dan ada yang mau menolongnya itu bagus

Tapi jika tidak?

Sudah dikatakan kalau Jihoon sedang berada di titik terlemahnya saat ini. pemuda manis itu tidak akan bisa berenang mencapai permukaan alam sadar jika dirinya kembali tenggelam dalam manik seseorang yang menjadi cahaya sekaligus penjahat dalam kehidupannya karena secara tidak langsung, pemuda tampan berstatus teman masa kecil nya itu membuatnya tersakiti dengan cara pemuda itu hidup bahagia tanpa dirinya.

Guanlin bisa bahagian tanpa Jihoon

Lalu Jihoon?

Jihoon menggigit bibir bawahnya ketika pemikiran negatif itu bermuncula dikepalanya dan membuatnya hampir meledak karena risau.

Pemuda manis itu tersenyum tipis sebagai jawaban dari sapaan Guanlin tadi

Guanlin memilih untuk duduk di ayunan yang berada tepat di sisi kanan Jihoon

Pemuda tampan itu tidak mengayunkannya dan mengikuti arah pandang Jihoon yang kini tengah menatap dua orang bocah yang bermain bersama di taman tempat mereka menikmati suasana senja. Agaknya kedua bocah itu mengingatkan Guanlin pada sosok dirinya dan Jihoon saat masih kecil.

Begitu naif

Begitu naluriah

Begitu blak blakan

Dan begitu jujur

"ada yang ingin kau ceritakan?"

Jihoon menoleh begitu pertanyaan Guanlin terucap dari bibir tebalnya yang sering membuat Jihoon gagal fokus

"eung?"

Guanlin nampak menghela nafas sebelum akhirnya mengusak rambutnya kebelakang kemudian beradu pandang dengan Jihoon yang kini juga tengan menatapnya.

"aku tahu ada yang ingin kau ceritakan padaku, aku minta maaf karena tidak sempat menemanimu akhir akhir ini" Guanlin menjilat bibir bawahnya yang terasa kering "kegiatan klub dan organisasi yang kuikuti menja-"

"aku tahu"

Demi Tuhan, ihoon bahkan hafal jadwal Guanlin setiap harinya

Jihoon tahu kegiatan apa saja yang Guanlin lakukan dari hari senin sampai minggu

Termasuk pergi kencan buta

"tidak perlu merasa bersalah Guanlin-ah, aku mengerti kau sibuk" Jihoon berusaha tersenyum tulus

"dan lagi, aku tidak pernah memaksamu untuk selalu berada di sisiku bukan?"

"kita hanya teman masa kecil yang kebetulan satu sekolah dan satu kelas untuk periode yang bisa dibilang lama"

Jihoon yang tadinya menunduk kini menatap Guanlin tepat di mata si pemuda tampan

"karena itu, jangan merasa bersalah untuk hal konyol seperti itu Guanlin-ah"

Jihoon tertawa kecil dan mengusak rambut Guanlin yang lebih tinggi darinya

Kapan terakhir kali Jihoon mengusak rambut Guanlin seperti ini?

Biasanya yang mengusak rambut Guanlin adalah teman teman barunya yang sering mengajak anak bungsu keluarga Lai itu clubbing. Jihoon tahu betul.

Hati Jihoon teriris begitu kalimat kalimat memuakkan itu lolos dari mulutnya sendiri

Katakanlah Jihoon munafik

Dia memang pembohong yang teramat jeli

Semua orang sudah dia bohongi

Semuanya

Tanpa terkecuali

Termasuk dirinya sendiri

Jihoon tidak pernah jujur dalam hal apapun semenjak dirinya sadar kalau ia sudah tertinggal sangat jauh dari kedua adiknya dan Guanlin

Guanlin sudah menjadi seseorang sekarang

Apalagi nanti?

Rasanya Jihoon ingin menghilang karena semakin Jihon sadar dirinya bukan siapa siapa, semakin kegelapan itu menelannya hingga tidak ada satupun dari diri Jihoon yang asli tersisa

Awalnya Jihoon berusaha percaya kalau Guanlin adalah pahlawannya kelak

Yang akan selalu mengulurkan tangan ketika dirinya berada di ambang keputusasaaan dan kata binasa

Tapi tidak

Jihoon tahu titel teman masa kecilakan selalu tersemat diantara keduanya

Benang takdir Jihoon sudah terlalu rumit dan tidak seharusnya Jihoon menyeret Guanlin ikut serta

Jihoon terenyum, kemudian bangkit.

Pemuda manis itu merapatkan muffler merah yang membungkus leher nya yang putih, menarik ujung sweater di lengannya hingga jemari gemuknya yang seperti bayi tenggelam.

Jihoon berdiri tepat dihadapan Guanlin yang masih duduk di ayunan. Tersenyum jenaka seperti biasa, padahal ini adalah obrolan pertama keduanya setelah dua bulan terakhir Guanlin benar benar tidak berada disisinya dan hanya bertukar kabar lewat pesan singkat.

Ini obrolan intens keduanya setelah dua tahun terakhir jarak diantara keduanya perlahan laha merenggang tanpa disadari oleh Guanlin

Tapi Jihoon tetap mengulas senyum manisnya seolah olah mereka sudah sering melakukan ini padahal tidak

Ah, entah kenapa sekarang Guanlin merasa sangat bersalah

Jihoon menangkup kedua pipi Guanlin yang sekarang sudah tidak lagi chubby dan menariknya ke arah yang berlawanan. Menimbulkan ringisan dari yang bersangkutan.

Jihoon kembali tertawa dengan manis

Tawanya begitu lepas, tulus, dan bebas

Guanlin berfikir, apa sejak dulu mendengar Jihoon tertawa rasanya semenyenangkan ini?

Kenapa aku tidak pernah ingat?

Ini pertama kalinya Jihoon tertawa dengan tulus semenjak menyaksikan bibir Guanlin dikecup oleh Jiheon, adik kelas mereka yang senyumannya begitu manis seperti kue muffin. Pacar Guanlin setahun terakhir.

Jihoon bahkan mengetahui Guanlin berpacaran dengan Jiheon dari orang lain

"ututututu~ lucunya adikku~" Jihoon tertawa menggoda Guanlin yang nampak menggerutu dan berusaha menjauhkan tangan Jihoon dari pipinya

Ah, tidak apa apa

Ini yang pertama dan terakhir kalinya

Mungkin Guanlin dan Jiheon akan membencinya setelah ini tapi... - tak apa kan?

Memiliki Guanlin selama beberapa detik tidak masalah kan?

Tanpa menghiraukan erangan kesal Guanlin, Jihoon memajukan kepalanya mendekati Guanlin dengan mata yang tertutup rapat. Yang mana, membuat Guanlin mematung seketika

Ketika bibir keduanya menyatu

Bersentuhan dengan lembut

Guanlin merasa ada yang salah

Sesuai dengan janji Jihoon pada dirinya sendiri, hanya beberapa detik. Tidak lebih.

Jihoon menjauhkan wajahnya dari Guanlin dengan seulas senyum yang terpatri di wajah manisnya yang terkena bias sinar matahari sore.

Kenapa Guanlin baru menyadari kalau wajah dapat menjadi begitu indah ketika sunset?

Jihoon kembali tertawa kecil ketika mendapati Guanlin tidak bergeming dari tempatnya duduk. Pemuda tampan itu masih terlihat blank. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi sementara pemuda manis dihadapannya, yang semula gugup dan takut setengah mati, kini mengambil beberapa langkah mundur dan kembali menatap kedua bocah yang kini beranjak pulang sambil bergenggaman tangan.

Benar benar mengingatkan Jihoon pada kenangan masa lalunya dengan Guanlin

Jihoon menyimpan kedua tangan nya dibelakang punggung. Beralih menatap Guanlin yang sekarang sudah berdiri sejajar dengan dirinya dengan sorot mata yang tidak bisa Jihoon tebak.

Toh, itu tidak penting

Jihoon lega keinginannya bisa terwujud selama beberapa detik

Jihoon sudah memutuskan kalau ia akan meluruskan benang takdir yang simpulnya ia buat rumit.

Dengan caranya sendiri

Sekalipun terdengar tidak masuk akal

Sekalipun tidak adil untuk dirinya sendiri

Tapi Jihoon itu terlalu keras kepala sehingga apa yang tadinya tidak mungkin baginya menjadi mungkin beberapa detik kemudian

Senyum itu masih terpatri. Jihoon sedikit merapikan muffler nya yang ikut menari bersama dengan hembusan angin sore yang entah kenapa terasa lebih dingin dari biasanya.

Kedua manik sepasang teman masa kecil itu saling beradu. Yang satunya nampak menuntut penjelasan, sementara yang satunya nampak teralalu lelah untuk sekedar menjelaskan

"Guanlin-"

Alis Guanlin terangkat. Dahi pemuda tampan itu berkerut ketika melihat Jihoon kembali mengambil langkah mundur.

Pemuda manis itu berbalik dan membelakangi si anak bungsu keluarga Lai-

"aku mencintaimu-"

Guanlin terbelalak. Terkejut. Sungguh.

Sementara Jihoon menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Guanlin tepat di matanya dengan iris indah yang nampak berair

"-dan maafkan aku"

Itu adalah pembicaraan terakhir mereka berdua

Setelahnya Guanlin tidak mengejar Jihoon untuk meminta penjelasan pada yang lebih tua karena ia tidak paham apa maksud pemuda manis itu mengatakan kalimat sesakral itu pada Guanlin.

Guanlin juga tidak berusaha menghentikan langkah Jihoon yang pergi meninggalkan taman itu entah kemana.

Guanlin berasumsi pemuda manis itu barangkali pulang kerumahnya

Padahal tidak

Siapa yang tahu kalau esoknya Guanlin tidak bertemu dengan Jihoon

Dan esoknya

Dan esoknya lagi

Guanlin masih sama naifnya seperti dulu hingga tidak berani membuat perkiraan bodoh kalau Jihoon baru saja melakukan salam perpisahan dan mereka tidak akan pernah bertemu lagi


Dibalik airmata yang terjatuh dengan ringan seperti butiran salju yang pucat

ada keabadian yang seharusnya kulihat bersamamu

meski musim dingin yang kedua kali datang dan menjauh,

kenangan yang membakar hati ini

bukan sebuah epilog yang turun dan menumpuk

seperti yang selama ini dengan riang kau ceritakan padaku

Lai Guanlin


A few years later


Semuanya tak lagi sama seperti dulu.

Semuanya berubah menjadi sesuatu yang tidak Guanlin kenali. Yang Guanlin tidak mengerti. Terasa salah hingga rasanya tidak ada satupun kebenaran didunia ini.

Jiheon yang duduk dihadapan Guanlin hanya bisa memasang tatapan sendu pada kekasihnya yang menjadi semakin pendiam semenjak mengetahui kabar akan teman masa kecilnya bertahun tahun silam.

Sejujurnya Jiheon heran, sepenting itukah? Bahkan setelah kejadian itu berlalu begitu lama Guanlin masih tidak bisa berhenti menganggap dirinya bersalah karena tak ikut andil menolong Jihoon yang mentalnya tersakiti. Guanlin terus saja merasa bersalah. banyak kata seharusnya berdengung di telinga Guanlin.

Seharusnya Guanlin tidak sibuk dengan kehidupannya sendiri

Seharusnya Guanlin lebih memperhatikan Jihoon

Seharusnya Guanlin tidak secepat itu menggantikan posisi Jihoon dengan kawan kawannya yang baru

Seharusnya Guanlin lebih cepat menyadari kalau sesungguhnya Jihoon itu rapuh

Terlalu banyak 'seharusnya' hingga Guanlin tidak bisa hidup dengan tenang karena perasaan berdosa itu menghantuinya dari hari ke hari. seolah olah tak mengenal kata berhenti.

Tangan Jiheon terkepal. Kepalanya menunduk menatap cincin emas yang melingkari jari manisnya. Hadiah anniversary pertamanya dengan Guanlin empat yang lalu. Mereka genap berpacaran enam tahun.

Namun pada akhir tahun kedua mereka berpacaran, Jiheon merasa Guanlin seperti kehilangan sesuatu yang amat berharga.

Sejujurnya Jiheon tidak mengerti-

-sepenting apa sosok Jihoon bagi Guanlin

"kak Guanlin"

Pemuda bermarga Lai itu tersentak dari lamunannya. Mata bulatnya teralihkan dari cangkir kopi, membalas iris hitam Jiheon yang menatapnya khawatir. padahal hari ini mereka berencana untuk menghabiskan waktu bersama hingga petang menjemput, namun sepertinya Guanlin kembali mengecewakan kekasih cantiknya lagi.

Guanlin tersenyum tipis. Jemari panjang nya meraih tangan kiri Jiheon yang berada diatas meja. Memberikan usapan lembut, mencoba menghibur kekasih manis yang begitu dicintainya.

Tunggu dulu-

Benarkah?

"maaf aku melamun" Guanlin berucap lirih

Jiheon tidak menjawab, namun jemari kurusnya yang ramping membalas genggaman Guanlin. Memberikan gestur kalau permintaan maaf pemuda Lai itu diterima. Jiheon berusaha mengulas senyum untuk menenangkan Guanlin. Namun rasanya tetap ganjil, memberikan senyum menghibur disaat seperti ini sulit. Jiheon tidak mengerti apa yang Guanlin pikirkan. Tidak lagi. Guanlin menjadi pribadi yang rumit dan sulit dimengerti. Guanlin tertutup pada semua orang, bahkan pada Jiheon. Entah kemana perginya Guanlin yang terbuka dan dengan semangat bercerita ini itu. membuatnya menjadi orang yang dikenal tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.

Akhirnya setelah dilanda kebimbangan sesaat, gadis cantik itu menatap mata Guanlin dengan iris hitam yang mampu mempesona Guanlin, membuat pemuda Lai itu jatuh cinta. Meskipun jauh didalam lubuk hatinya, entah bagaimana Guanlin selalu mendengar ada suara yang berteriak kalau mata gadis cantik dihadapannya, tidak jauh lebih indah dari seseorang yang sekarang lenyap, hilang, dan tak pernah ditemukan.

Guanlin tertegun sesaat ketika menemukan sorot mata Jiheon yang terlihat begitu sarat dengan rasa kasihan.

Gadis cantik itu membawa telapak tangannya untuk membelai pipi Guanlin dengan lembut

"bukan salah kak Guanlin" Jiheon berujar dengan suara lirih

Guanlin hanya diam. tidak memberikan tanggapan. Membiarkan Jiheon menyelesaikan kalimatnya, meskipun Guanlin tahu kearah mana pembicaraan ini akan berlanjut.

"kepergian Kak Jihoon bukan salah Kak Guanlin" Jiheon kembali berbisik dengan setetes air mata yang mengalir melewati pipi putihnya yang samar samar terdapat rona merah muda. Jiheon tidak suka. Melihat Guanlin menyiksa dirinya sendiri seperti ini. jiheon tidak sanggup menyaksikannya terus menerus.

Lagi. Guanlin hanya diam. menyaksikan kekasihnya terisak kecil tanpa menjauhkan telapak tangannya dari wajah Guanlin hanya untuk sekedar menyeka air matanya yang mengalir semakin deras.

Berbagai spekulasi kembali bermunculan di benak Guanlin.

Jiheon begitu menyayanginya. Gadis itu berusaha sebaik mungkin untuk mengerti apa yang Guanlin pikir atau inginkan. Terkadang Guanlin tidak pernah mengerti mengapa Jiheon bisa bertahan mencintainya seperti ini, disamping fakta kalau Guanlin memang seseorang yang begitu memukau, layaknya pangeran yang keluar dari negeri dongeng.

Tapi Guanlin lebih tidak mengerti dengan Jihoon yang tiba tiba pergi, menghilang tanpa mengabari siapapun, tanpa ada seorang pun yang tahu, atau dapat menemukan keberadaannya. Lenyap begitu saja. Tidak bisa ditemukan. Bahkan setelah dua tahun berlalu. Jihoon pergi meninggalkan segudang rasa bersalah dalam hati mereka yang dulu selalu diperlakukan Jihoon sebagai permata paling berharga yang selalu ia jaga dengan sepenuh hati. Jika Jihoon selalu menganggap mereka sedemikian rupa, lantas mengapa dengan kurang ajarnya mereka melupakan keberadaan Jihoon segitu mudahnya?

Perasaan berdosa dan bersalah itu tak kunjung habis. Terus datang silih berganti tiap mereka -terutama Guanlin- merenungkan kembali waktu bersama Jihoon yang tidak dapat mereka putar kembali.

Guanlin meraih tangan Jiheon yang ada di pipinya. Memejamkan mata. Menikmati usapan lembut Jiheon pada pipinya, mengundang senyum manis dari si gadis yang masih setia berlinang air mata. Tangan Guanlin perlahan terulur untuk menyeka air mata yang mengalir dari mata Jiheon.

"jangan menangis" Guanlin berkata lirih

"aku tidak ingin ada yang menangis karena aku lagi"


Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Jihoon. Bahkan setelah enam tahun berlalu.

Bukan berarti keluarga Jihoon tidak mencari cari keberadaannya. Semua orang kalang kabut. Woojin adalah salah satu yang paling terpukul karena hal kembar Jihoon itu mengatakan kalau rasanya seperti ditinggal mati oleh sang kakak.

Terakhir kali Guanlin bertemu dengan Woojin, adik kembar Jihoon yang hanya terpaut beberapa menit dari sang kakak itu hampir memberikannya pukulan pada ayahnya sendiri jika tidak ditahan oleh Hyunjin. Guanlin ingat betul kalau Woojin begitu kacau. Matanya membengkak karena terlalu banyak menangis, iris nya juga terlihat merah, pemuda park itu memberontak dalam kungkungan saudara tirinya, bersikeras ingin memberikan ayahnya pelajaran meski saat itu Guanlin tidak mengerti duduk perkaranya apa.

Guanlin hanya mendengar kalau Jihoon tiba tiba menghilang, pergi dari rumah. Keluarga Guanlin pun langsung buru buru datang ke kediaman si teman masa kecil yang berada tepat disebelah rumahnya sendiri.

Guanlin sungguh tidak mengerti apa yang membuat Woojin berteriak, meraung ingin memberi kedua orang tuanya pelajaran. Hyunjin yang menahan Woojin, berusaha memberikan kata kata penenang. Berharap perkataannya dapat meredakan emosi saudara tirinya. Sekalipun Hyunjin tahu, satu satunya orang yang dapat menjadi obat penenang untuk Woojin adalah saudara kembarnya yang kini menghilang. Tidak diketahui keberadaannya dimana. Kamarnya kelewat rapih. Bodoh sekali mereka berdua yang dididik untuk menjadi seorang tentara kelak, figur yang dilatih untuk mengabdikan hidupnya untuk melindungi nyawa sekian ribu orang, bahkan tidak menyadari gelagat aneh apapun dari Jihoon, tidak mampu melindungi orang yang menghabiskan waktunya bersama mereka dari hari ke hari, seorang kakak yang memiliki banyak peran untuk membangkitkan mereka berdua dari keterpurukan, ketika bahkan orang tua mereka tidak mampu melakukan hal sesederhana itu.

Dari situ Guanlin sadar ia dan yang lain sudah terlambat

Seberharga itu mereka untuk Jihoon, dan seberharap itu Jihoon pada mereka, namun entah karena bodoh atau apa

mereka menyia nyiakan seseorang yang tidak mengharapkan bantuan dari orang lain selain mereka yang bagi Jihoon adalah orang terdekat yang ia miliki.

Bahkan ayah Jihoon yang selama ini dikenal oleh lingkungan sekitarnya sebagai orang yang bijaksana dan perhatian pada orang lain, tidak peka akan keadaan anaknya sendiri. Suara amukan Woojin memenuhi gendang telinga sepanjang dirinya berdiri di ambang pintu ruang keluarga bersama kedua orang tuanya selaku orang terdekat keluarga Park. Menyaksikan amarah Woojin yang menggebu gebu dan tak terlampiaskan.

Guanlin hanya diam tak bergeming. Ketika Ibunya melangkah untuk menenangkan Bunda Jihoon yang tengah menangis tersedu sedu, pemuda tampan itu tak bersuara. ketika Ayahnya meraih bahu Ayah Jihoon, meminta pria paruh baya itu untuk duduk. Guanlin juga tidak beranjak mendekat untuk melakukan hal yang sama.

Ketika Woojin akhirnya jatuh terduduk dengan tangan yang terkepal dan nafas yang tersendat tak beraturan, barulah Guanlin memfokuskan atensinya pada saudara kembar Jihoon yang dulu juga merupakan salah satu teman bermainnya semasa kecil. Lain dengan Hyunjin yang baru dikenalnya ketika duduk di tahun kedua sekolah menengah atas.

Woojin berteriak dengan suara sengau. Terdengar begitu menyedihkan bagi Guanlin ketika suara serak Woojin menyapa indera pendengarannya lagi.

"kenapa Ayah bahkan tidak tahu kemana kakak pergi!? Kenapa Bunda tidak sadar apa yang terjadi pada Kakak selama ini!? kenapa kita semua begitu egois!? Kenapa aku bodoh sampai tidak menyadari kalau kakak sudah lama kita lupakan"

Begitu.

Suara raungan Woojin yang Guanlin bersumpah, tidak akan pernah ia lupakan.

"kenapa aku harus menjadi tentara kalau aku bahkan tidak bisa melindungi Kakak!? Kenapa Ayah menjaga semua orang tapi Ayah tidak menjaga Kakak!? Kenapa Bunda perhatian padaku dan Hyunjin tapi tidak perhatian pada Kakak!? Kenapa kita semua baru sadar setelah Kakak meninggalkan kita!?"

Kemudian Woojin kembali menangis meraung raung menyedihkan berdua dengan Hyunjin yang sejak tadi sudah terisak tanpa suara, membenarkan semua ucapan saudara tirinya yang nampak paling terluka dibanding yang lain. Ayah Jihoon hanya menatap datar kedua putranya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hening menyapa insan yang berada di ruangan itu, ditengah tengah tegangnya situasi yang bersahut sahutan dengan emosi setiap manusia yang merasa kehilangan. Terus seperti itu hingga tiba tiba Ayah Jihoon bersuara

"kita akan mencarinya"

Namun isakan Hyunjin dan Woojin tidak berhenti

"tapi jika kita tidak menemukannya, kita harus melupakan Jihoon"

Tuan Park menarik nafas panjang

"untuk kebaikan kita semua, dan untuk Jihoon"

Suara pria paruh baya itu serak. Matanya berkantung, meskipun tidak separah Woojin. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kalau pria yang usianya sudah menginjak kepala lima itu sama kacaunya.

"yang berharap agar kehadirannya benar benar dilupakan"

Lagi lagi Guanlin tidak bersuara. Hanya menyimak dengan perasaan campur aduk ketika baru menyadari kalau hilangnya Jihoon adalah masalah serius. Ayah Jihoon boleh saja berkata demikian, tetapi Guanlin yang menjadi kawan bermain Jihon sejak kecil tahu betul, kalau Ayah Jihoon adalah orang pertama yang menjadi tempat Jihoon berkeluh kesah sebelum Guanlin sendiri. Guanlin bisa melihat mata pria paruh baya yang berusaha untuk tetap terlihat tegar dan berwibawa itu berkaca kaca, sebelum akhirnya beliau melewati Guanlin dan melangkah menuju ruang kerjanya kemudian menutup pintu.


Enam tahun berlalu.

Sejauh yang Guanlin saksikan, keluarga Park berjuang untuk sembuh dari luka lama kehilangan putra sulung mereka, yang seperti perkataan tuan Park, berusaha mereka lupakan kepergiannya sekalipun terdengar mustahil di telinga, dan menyakitkan untuk dilakukan di kehidupan nyata. Bunda Jihoon masih berusaha terlihat baik baik saja setelah melahirkan adik Jihoon yang paling kecil. Ayah Jihoon yang tampak tidak ingin mengulangi kesalahan kedua, mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya kepada keluarga kecilnya setelah ia merasakan pahitnya kehilangan seorang anak. Sementara Woojin dan Hyunjin, keduanya melanjutkan sekolah di akademi militer milik negara sebagai satu dari sekian murid yang diterima dengan usia yang masih begitu muda. Nampak berusaha menjadikan detik detik ketika mereka bersedih karena kehilangan sang kakak, sebagai sebuah tekad agar mereka tak lagi melakukan kesalahan bodoh yang serupa.

Mereka sadar begitu banyak cinta yang tak terucapkan, dan hanya akan mereka sadari setelah ia yang mereka cintai pergi, menghilang, lenyap dan tidak kembali.

Guanlin sendiri melanjutkan kuliah nya dengan baik. Beberapa kali putra keluarga Lai itu ditunjuk untuk menjadi asisten dosen yang kabarnya untuk mendapatkan perhatian beliau saja sulit. Lagi, Guanlin menjadi sosok yang begitu populer di lingkungannya yang baru.

Guanlin kembali menjadi jelmaan pangeran negeri dongeng, dan kali ini dengan Jiheon yang setia berada di sisinya sebagai sang tuan puteri.

Memang, tidak banyak yang merasa kehilangan Jihoon. Guanlin sendiri merasa miris ketika menyaksikan keluarga Jihoon berjuang sangat keras untuk melupakan Jihoon, menjalani hidup sama seperti dirinya yang terus dihantui perasaan berdosa dan rasa bersalah.

Sampai saat ini penyesalan itu masih ada didalam hati masing masing orang yang ditinggalkan Jihoon, seperti sulit untuk dilenyapkan. Bayangan Jihoon sebelum dirinya pergi selalu mebekas didalam benak keluarga nya maupun Guanlin.

Pertanyaan pertanyaan akan kenapa Jihoon pergi pun, sedikit demi sedikit mulai mereka cari sendiri jawabannya. Nampak, terlintas didalam mereka, ketika hal hal sederhana yang seharusnya mereka lakukan bersama Jihoon, terasa kosong karena ketidak hadiran sosok itu dalam kehidupan mereka.

"Tidak ada yang sadar sejak kapan Jihoon menjadi semakin pendiam"

Padahal Jihoon senang bercerita. Berbicara sudah menjadi keahlian pemuda manis itu sejak kecil. Apa saja yang ada di pikirannya akan ia katakan tanpa pikir panjang, terlebih jika itu bersama dengan orang orang terdekatnya. Mereka tidak mengenal Jihoon yang tidak banyak bicara.

Guanlin masih ingat bagaimana raut wajah Woojin ketika mendengar cerita dari kawan kawan sekelas kakak nya di sekolah, kalau Jihoon bahkan tidak akan berbicara jika mereka tidak mengawali percakapan. Itupun hanya akan dijawab sekenanya. Jelas sekali Jihoon berhati hati ketika menyuarakan sesuatu yang ia pikirkan.

Barangkali, pemuda manis itu menyesali dirinya yang terlalu cerewet. Berspekulasi kalau perlahan lahan orang orang terdekatnya mulai menjauh karena ia yang terlalu banyak membicarakan sesuatu yang tidak penting. Jihoon berusaha mengoreksi kepribadian cerahnya yang menurut pemuda manis itu buruk, dan membuatnya semakin jauh dari yang lain.

"Tidak ada yang sadar sejak kapan porsi makan Jihoon semakin sendikit"

Jihoon memang sering dimarahi karena tidak bersyukur. Apalagi ketika uangnya habis untuk membeli makanan dalam porsi banyak yang bagi Ayahnya itu tidak perlu. Beberapa kali Jihoon ditegur oleh Guanlin karena berlebihan. Kalian pikir tubuh berisi Jihoon ia dapat darimana? Mereka tidak mengenal Jihoon yang tidak sanggup makan dua porsi ramyeon ketika sedang bersantai.

Guanlin ingat Hyunjin termenung ketika bercerita padanya jika ia baru menyadari, kakak tirinya itu sering mengambil makanan dengan porsi sedikit, juga kulkas yang tak lagi penuh dengan camilan, makanan ringan, atau apapun itu yang selalu menjadi kesukaan Jihoon, Woojin dan dirinya. Sekalipun baru sebentar menghabiskan waktu dengan Jihoon, bagi Hyunjin, Jihoon adalah buku penuh gambar yang terbuka dan mudah dipahami.

Siapapun tidak akan bernafsu jika ketika makan bersama, dirinya tidak terlibat dalam topik pembicaraan yang diadakan di sela sela mereka menyantap makanan yang terhidang diatas meja. Sesederhana itu. namun kesalahan sekecil apapun yang dilakukan tanpa sadar, terus menerus, dapat membuat prasangka negatif perlahan tumbuh dalam benak Jihoon yang kebingungan harus berbagi dengan siapa. Tidakkah Jihoon begitu kasihan? Jihoon bahkan tidak dapat memilih untuk bercerita pada siapa.

"Tidak ada yang sadar sejak kapan Jihoon selalu mengenakan baju berlengan panjang"

Jihoon tidak kuat panas. Pemuda manis itu juga tidak suka mengenakan lengan panjang jika tidak benar benar terpaksa. Nyonya Park tak habis pikir ketika bercerita pada Ibu Guanlin. Wanita paruh baya itu tersedu saat mengatakan kalau beberapa kali pernah melihat ada bercak merah di lengan baju Jihoon ketika ia mencucinya. Namun Ibu tiri Jihoon yang satu itu selalu beranggapan positif kalau barangkali itu hanya noda saus atau apapun itu. jika dipikir kembali, sangat mungkin jika Jihoon menyalurkan rasa frustasinya melalui menyakiti diri sendiri. Satu dari sekian ketakutan wanita paruh baya itu yang sudah terbukti, namun sejujurnya ia terus menyangkal keyakinan tersebut.

Guanlin yang kala itu tak sengaja mendengar percakapan kedua wanita yang ia hormati pun membenarkan dalam hati. Jika Jihoon memang tidak terluka, ketika berganti pakaian pun pemuda manis itu tidak akan menghindari kawan kawan sekelasnya. Seperti datang paling terakhir, dan lain sebagainya. Bahkan di musim panas pun Jihoon mengenakan baju lengan panjang. Guanlin tercenung, "sudah berapa lama Jihoon berusaha bertahan untuk tetap berfikir waras dengan menyiksa dirinya sendiri?"

Jihoon benar benar tidak memiliki siapapun yang dapat diajaknya untuk bercerita. Sekalipun ia adalah anak yang banyak bicara, sudah menjadi rahasia umum bagi mereka yang dekat dengan Jihoon jika pemuda manis itu kesulitan bergaul. Kemampuan bersosialisasinya semakin memburuk setelah perceraian kedua orang tua mereka sepuluh tahun silam. Jihoon terbiasa memendam sakit yang terlalu berat sendiri dan menolak untuk bercerita jika tidak diapaksa. Bodohnya mereka adalah tidak menyadari kesalahan sekecil dan sesederhana itu dapat berubah menjadi fatal jika mereka tak lekas tersadar. Bodohnya lagi, rasa sadar mereka juga percuma karena Jihoon sudah pergi dengan tangan penuh luka sayat. Sebegitu pandainya Jihoon membohongi banyak orang...

"Tidak ada yang sadar sejak kapan Jihoon semakin sering menggunakan muffler"

'aku menemukan tali tambang yang sudah diikat simpulnya di bawah ranjang kakak'

Guanlin masih ingat Woojin bercerita padanya dengan wajah murung dan sorot mata yang suram. Telapak tangan Woojin lecet. Entah apa yang pemuda tampan itu lakukan ketika spekulasi negatif bermunculan di kepalanya.

'beberapa hari setelah Kak Jihoon menghilang, aku membersihkan gudang untuk merapikan barang barang kakak. Kami tidak sanggup hidup dengan bayang bayang samar seolah kakak masih ada disana'

Woojin menarik nafas dengan berat

'apa yang aku temukan tidak membuatku baik baik saja'

Guanlin mengusap punggung Woojin, berusaha menenangkan sebisanya

'aku tidak berani bercerita pada Bunda atau Ayah karena mereka berdua kacau sekali. Hanya aku dan Hyunjin yang mengetahuinya.'

Lagi, Woojin menarik nafas dalam dalam. Berusaha mengumpulkan kesadaran untuk berkeluh kesah pada Guanlin sejelas jelasnya. Menahan diri untuk tidak lepas kendali, dan membuat keributan karena menangis tak jelas di taman pada siang hari.

'tali itu sepertinya sering digunakan, tapi karena Kak Jihoon masih hidup, aku yakin setelah dia hampir menjatuhkan diri dari kursi agar urat nafas nya tertarik, dia terburu buru menghentikan tindakan bodohnya'

Woojin mulai terisak kecil

'mungkin lehernya lecet'

Adik kembar Park Jihoon itu mengusap air yang masih menggenang di pelupuk matanya dengan kasar. Menengadahkan kepalanya ke langit untuk mencegah air mata yang memalukan itu lolos. Mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Guanlin karena Guanlin cukup mengerti Woojin tidak sanggup bercerita lebih banyak.

Ada hal hal kecil yang tidak dapat dirubah dengan instan. Salah satunya adalah kecerobohan dan sifat pelupa Park Jihoon yang menjadi semakin buruk semenjak perceraian sepihak itu mengguncang mentalnya yang masih berusia sembilan tahun. tampaknya Tuhan juga tidak ingin mengurangi rasa bersalah keluarga Park dan Guanlin.


Guanlin mengulas senyum tipis pada Jiheon yang melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar pada Guanlin yang hanya melambai sekilas, meminta si gadis untuk segera masuk kedalam rumah dan menghangatkan diri didepan perapian.

Musim dingin datang lebih cepat dari sebelumnya. Hujan salju turun sejak kemarin. Tidak terlalu deras memang, namun cukup untuk membuat gumpalan kapas dari air dan terasa dingin itu menumpuk di kanan kiri jalan, meningkatkan suhu minus hanya dalam hitungan jam.

Rasanya baru kemarin Guanlin menyaksikan daun coklat, oranye, dan emas berguguran.

Jihoon menghilang, di hari pertama musim dingin bukan?

Pemuda manis itu menggunakan muffler berwarna merah yang menyembunyikan bibir tipis dan hidungnya ketika ia menunduk. Tubuhnya dibalut oleh sweater rajut berwarna abu abu yang terlihat kebesaran, untuk menyembunyikan berat badannya yang semakin berkurang dan membuat tubuhnya semakin mengkerut.

Pembicaraan terakhir mereka berlangsung beberapa menit, di senja terakhir musim gugur. Hanya beberapa jam setelahya, salju mulai berjatuhan dari langit, udara dingin menyeruak masuk melalui sela jendela mobil Guanlin yang kala itu tengah bercumbu dengan Jiheon didalam mobil. Untuk meluapkan keresahan tanpa arti yang mengganggunya setelah punggung Jihoon semaki menjauh dan hilang dari pandangan.

Rasanya Guanlin ingin menangis

Sejak di hari dimana Guanlin dicium sepihak oleh Jihoon –

– bayang bayang pemuda manis itu tidak pernah lenyap dari benak Guanlin.

Tidak pernah sekalipun. Tawa tulus Jihoon yang terakhir dia lihat, mata Jihoon yang berkaca kaca, semuanya.

Tuhan seolah olah ingin menghukum Guanlin untuk sesuatu yang Guanlin sendiri menolak untuk menyadari dimana letak kesalahan nya hanya untuk hidup dalam penyesalan tak lama kemudian.


"kak Guanlin harus makan dengan teratur"

Tawa Guanlin mengalun dengan lembut mendengar Jiheon yang masih sempat berkata seketus itu padanya padahal beberapa menit lagi mereka tidak akan bertemu hingga empat tahun kedepan. Pesawat yang bertujuan ke jepang akan lepas landas dalam sepuluh menit. Mereka hanya memiliki waktu lima menit tersisa untuk memeta wajah masing masing didalam hati agar tidak saling melupa.

"jangan tidur terlalu larut, minum vitamin mu, jangan terlalu banyak minum kopi, tidak bagus untuk pencernaan- hei! Jangan tertawa!" Jiheon berseru jengkel pada Guanlin yang lagi lagi menanggapi ucapan seriusnya dengan tawa. Rasanya seperti sia sia mengucapkan sekian banyak petuah hingga mulutnya berbusa, jika pada akhirnya Guanlin akan menganggapnya bercanda seperti sekarang.

Tawa Guanlin semakin keras.

Ini yang Guanlin butuhkan. Tidak dengan ungkapan ungkapan romantis yang cheesy, mendengar kekasihnya berbicara semenyebalkan ini rasanya menyenangkan. Setidaknya Guanlin dapat lupa untuk beberapa saat kalau mereka tak lama lagi mereka akan terpisah oleh jarak.

Guanlin tersenyum menatap Jiheon yang mengerucutkan bibirnya kesal. Tangannya terangkat untuk memberikan usapan lembut dihelai rambut Jiheon yang lembut. Menyingkap poni kekasihnya sebelum akhirnya memberikan kecupan di kening Jiheon. Kecupan terakhir sebelum Guanlin berangkat ke Jepang, melanjutkan studinya disana, karena di Korea terlalu banyak kenangan akan Jihoon yang membuatnya semakin merasa mustahil untuk melupakan teman masa kecilnya itu. bahkan setelah sekian tahun berlalu dengan begitu lambat dan penuh dengan penyesalan yang menemui jalan buntu.

Sekalipun Guanlin sendiri tidak mengerti mengapa hanya melupakan Jihoon bisa se sulit ini.

"jaga dirimu baik baik" Guanlin berucap pelan ketika menjauhkan wajanya dari kening Jiheon yang dibalas anggukan pelan oleh si gadis.

Mereka saling melambaikan tangan sembari Guanlin berlari kecil untuk segera masuk kedalam pesawat.

Tak lama setelah Guanlin menghilang dari pandangannya, kepala Jiheon tertunduk dengan lemas.

Gadis cantik itu mengepalkan tangan dengan erat. pandangan nya tetap tertuju pada lantai. Giginya bergemeletuk;

"apa aku boleh egois?"

Jiheon menengadahkan kepalanya, menghalau air matanya yang nyaris terjatuh. Jiheon tidak ingin Guanlin melihatnya menangis. Apalagi menangis bukan karena Guanlin akan pergi, tetapi karena ketakutan tanpa sebab yang memunculkan beragam kemungkinan negatif yang dapat meretakkan hubungan nya dengan Guanlin. Jiheon tahu seharusnya ia tidak perlu merasa setakut itu. namun apa daya, tidak ada yang tidak akan terjadi jika Tuhan yang menghendaki, dan Jiheon sendiri juga sudah mneyaksikan betapa hancurnya Woojin, Hyunjin, paman dan bibi Park, terlebih Guanlin. Hanya karena Park Jihoon, seseorang yang tak ia kenal, seseorang yang memutuskan untuk lenyap dari kehidupan orang orang yang sejujurnya berharga bagi dirinya sendiri.

Jiheon yang peka juga sudah menyadari – jdn

cinta Guanlin padanya sudah berkurang

Apakah Guanlin jahat jika hanya Jiheon yang menyadarinya diantara mereka berdua?

Guanlin terlalu sibuk memikirkan dia yang sudah pergi hingga mengambil keputusan egois untuk pergi meninggalkan korea. Tanpa memikirkan Jiheon yang selama ini setia mendampingi nya dalam segala keterpurukan, suka dan duka, menyimpan rasa gusar seorang diri.


notifikasi di telefon genggam, tak peduli dari siapapun itu, yang terbayang adalah wajahmu yang berusaha untuk tegar dan tidak pernah sekalipun menampakkan keterpurukan

bagaimanapun aku berusaha mengingat sisi burukmu, kesalahamu, kebodohanmu, dan aku sangat ingin membencimu meski hanya beberapa detik

namun tetap saja

aku tak bisa menyembunyikan kenangan yang sekeras apapun aku menolak, akan tetap aku kucintai dan mustail aku lupakan

Lai Guanlin


Hari itu adalah satu dari sekian hari yang Guanlin ingat adalah liburan musim panas. Guanlin kecil yang dekat sekali dengan si kembar teman barunya semenjak ia pindah rumah ke korea, menghabiskan pagi nya bermain layang layang dengan Park Jihoon dan Park Woojin di dekat sungai. Beberapa menit yang lalu mereka sedang tertawa riang menerbangkan layang layang milik saudara kembar Jihoon sebelum kemudian layang layang itu terbang terlalu tinggi, terbawa angin, kemudian tersangkut disalah satu pohon.

Woojin yang berlari paling depan, kini si bungsu keluarga Park tengah memanjat pohon tempat layang layangnya tersangkut, berusaha menggapai gapai layang layang yang tersangkut disalah satu dahan pohon.

Guanlin mendengar Woojin beberapa kali mengomel sendiri karena kesal tidak ada yang berniat untuk membantunya, sementara Jihoon kecil sibuk memperhatikan Woojin dan beberapa kali mengingatkan saudara kembarnya untuk berhati hati.

Saat itu tentu saja Guanlin belum lebih tinggi dari Jihoon ataupun Woojin. Tinggi badannya saja hanya sampai bahu Jihoon. Karena merasa tak dapat membantu apapun, Guanlin memilih untuk memperhatikan ikan ikan yang berenang di sungai daripada merecoki Kak Woojin nya yang hiperaktif hingga membuat layang layang nya sendiri tersangkut di pohon.

"Woojin!"

Guanlin kecil tersentak ketika mendengar pekikan Jihoon, bocah kecil itu membalikkan tubuhnya dan mendapati Jihoon menjadikan tubuhnya sebagai alas agar Woojin tidak langsung menimpa tanah dan terluka, Woojin pun terjatuh menimpa Jihoon dengan layang layang dalam pelukannya.

Guanlin sontak berlari mendekati keduanya. Jihoon hanya meringis pelan sementara Woojin terlihat kalang kabut karena merasa sudah bertindak ceroboh.

"kakak maafkan aku" si bungsu Park hampir menangis, apalagi ketika mendapati kaki kakaknya membiru dan lecet dibeberapa bagian, sedangkan dirinya hanya mendapatkan sedikit luka kecil di betis karena tergesek tanah. Siku Jihoon juga bengkak karena tertekan ketika sedang menahan berat badan Woojin dengan tubuhnya yang -meskipun gempal- namun tetap saja kecil jika dibandingkan dengan anak anak seusianya yang lain. Kepala Jihoon juga terantuk tanah, sepertinya akan ada benjol disana, minimal kepalanya akan sakit jika ditekan.

Jihoon bangkit dari posisi berbaringnya kemudian menggelengkan kepalanya pelan, tersenyum, menyampaikan pada Woojin dan Guanlin kalau dirinya baik baik saja. Tidak ada yang perlu khawatirkan. Semuanya aman terkendali seperti biasanya.

Padahal ketika ayah dan ibu Jihoon mendapati Jihoon sampai di rumah dengan tubuh luka sana sini dalam gendongan Woojin, ayahnya marah besar dan menganggap Jihoon begitu ceroboh dan bodoh.

"Mana ada anak usia sembilan tahun terjatuh dari sepeda!? Apalagi namanya kalau bukan bodoh!"

Namun, alasan sebenarnya dari kemarahan ayah mereka adalah; jika Jihoon seperti itu, bagaimana dia sebagai anak tertua dapat melindungi Woojin dan Guanlin ketika bermain?

Jihoon meminta Woojin dan Guanlin untuk tidak mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kalau Woojin lah yang terjatuh, Jihoon tahu ayah mereka akan marah jika mereka pulang kerumah dalam keadaan terluka, terlebih dengan alasan yang tidak dewasa seperti mengambil layangan diatas pohon. Ayah Woojin dan Jihoon akan melarang mereka bermain keluar rumah sampai mereka sadar dimana letak kesalahan mereka, kemudian berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Tentunya Guanlin sendiri tidak ingin kehilangan teman bermain, meski akhirnya Jihoon dihukum tidak boleh keluar rumah selama dua hari. setidaknya itu lebih baik daripada menyaksikan Woojin dihukum tidak boleh keluar rumah seminggu penuh. Sebegitunya Jihoon menyayangi Woojin yang terpaut beberapa menit darinya.

Dihari ketika Jihoon diperbolehkan untuk keluar rumah adalah hari terakhir musim gugur. Kali ini Guanlin terpana bukan karena melihat ikan ikan di sungai berenang kesana kemari, tetapi karena untuk pertama kalinya dalam hidup Guanlin, ia melihat begitu jernihnya mata bening Jihoon ketika mengatakan pada Woojin untuk lebih berhati hati setelah dirinya dimarahi habis habisan oleh sang ayah. jihoon mengatakannya sembari tersenyum. Sama sekali tidak tersirat amarah dalam setiap kata yang ia ucapkan.

Jika Guanlin tidak mengeraskan terus menerus mengeraskan hatinya dengan segala kebodohan yang ia miliki, seketika mungkin ia akan paham jika rasa kagum yang ia lihat pada Jihoon kala itu adalah cikal bakal dari tumbuhnya sebuah perasaan suci yang terus menerus ia sangkal hingga ia tumbuh dewasa.


Sepintas kilasan masa lalu itu seolah tersaji nyata dihadapan Guanlin, ketika menyaksikan tiga orang bocah yang berlarian dihadapannya sembari menenteng sebuah layang layang sederhana.

Anak anak jepang dididik untuk hidup realistis. Disamping gaya hidup mereka yang dikelilingi oleh teknologi canggih untuk meringankan kegiatan mereka sehari hari, mereka tetap diajari untuk menjadi pekerja keras yang memprioritaskan sesuatu yang penting disamping hal yang membuang waktu dan merugikan. Yang bagi Guanlin mengagumkan adalah, mereka masih mampu untuk menjalani kehidupan sebagaimana anak anak dibelahan bumi yang lain. Anak anak korea yang tertipu oleh gemerlap kehidupan sebagai public figure, jelas berbeda dengan anak anak jepang yang mayoritas sudah bisa melakukan hal hal luar biasa di usia mereka yang masih belia.

Sama seperti sosok Jihoon, mereka tidak tergiur dengan fantasi dan kebohongan dunia seperti yang ditampilkan di TV.

Itu juga merupakan Satu dari sekian alasan mengapa Guanlin memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Jepang, sekalipun di Korea dia sudah diterima di universitas negeri yang bahkan orang lain berebut agar dapat diterima disana.

Helaan nafas itu kembali lolos dari belah bibir Guanlin.

Sudah yang kelima kalinya hari ini, ketika pemuda Lai itu tak kunjung menemukan alamat rumah yang akan menampungnya selama seminggu kedepan.

Ini adalah tahun keduanya melanjutkan kuliah di jepang. seminggu ini Guanlin berencana untuk melakukan penelitian sejarah di kota Hiroshima, untuk memenuhi salah satu tugas yang diterimanya dari dosen. Teman teman Guanlin yang lain terlalu malas untuk melakukan penelitian keluar kota sehingga berakhir dengan Guanlin yang terluntang lanting seorang diri di salah satu sudut kota.

"permisi, apa anda tahu dimana alamat ini?"

Wanita lansia yang tengah meyiram bunga dihalaman rumahnya itu menganggukkan kepala dengan senyum ramah. Beliau menjelaskan pada Guanlin arah menuju rumah yang dengan baik hati bersedia menampung seorang mahasiswa seperti Guanlin. Bukan Guanlin tidak bisa membayar uang penginapan, namun ini merupakan salah satu bagian dari studi yang sedang ia lakukan. Karena rumah tersebut merupakan warisan turun temurun dari keluarga hibakusha yang sempat selamat dari tragedi pengeboman bertahun tahun silam.

Guanlin mendapati sebuah rumah khas jepang yang terawat dengan tanaman yang begitu rimbun, membuat hawa rumah tersebut terasa sejuk dan teduh. Tepat disebelah rumah tersebut terdapat sebuah gereja yang nampak sudah termakan usia namun tetap kokoh. Bila diperhatikan, dibelakang gereja tersebut masih terdapat bangunan bertingkat lain yang sepertinya menyatu dengan gereja.

Seorang remaja laki laki yang kelihatannya berusia dibawah Guanlin lah yang membuka pintu rumah ketika si pemuda Lai beberapa kali menekan bel.

Surai coklat nya yang terlihat lembut membingkai kepala mungil laki laki itu dengan sempurna. Wajahnya terlihat begitu manis meski tatapan matanya terkesan malu malu.

Guanlin baru saja akan bertanya pada remaja laki laki dihadapannya ketika suara lain yang lebih berat dan lebih dewas menginterupsi kegiatan saling tatap menatap diantara keduanya.

"siapa Jinyoungie? Kau seharusnya membiarkan tamu masuk"

Ah

Namanya Jinyoung – bisik Guanlin dalam hati

Remaja laki laki tadi sontak membalikkan tubuhnnya dan Guanlin mendengar pemuda manis itu nampak mengatakan sesuatu dengan suara pelan, namun sepertinya cukup keras untuk didengar oleh orang yang tengah melangkah ke pintu depan, menghampiri Guanlin.

Pemuda berbahu lebar yang diketahui Guanlin juga sesama seorang mahasiswa, mengenakan jas almamater dengan name tag yang bertuliskan 'Kang Daniel' .

Guanlin hanya menatap pemuda dihadapannya yang nampak terperanjat ketika menyadari kalau Guanlin mengenakan almamater universitas ternama di jepang yang berada di ibu kota. Daniel berlari terburu, meraih koper dan tas yang tadi dibawa Guanlin sementara Jinyoung hanya menatap keduanya dengan tatapan teduh dan mata mengantuk. Tidak berniat untuk membantu Daniel.

"maafkan aku, aku tahu kalau kau akan datang hari ini tapi aku tidak menyangka kalau kau akan datang sepagi ini" Daniel memberikan cengiran lucunya pada Guanlin yang hanya mengulas senyum tipis.

"seharusnya kau memberitahuku kalau sudah sampai di Hiroshima, Aku akan menjemputmu di stasiun, ngomong ngomong kau naik apa kemari?"

Tanya Daniel yang terus mengoceh sembari menyeret koper ke kamar yang nantinya akan ditempati Guanlin.

"aku berjalan kaki. Lagipula jarak dari stasiun ke sini cukup dekat"

Daniel tersedak, nyaris menjatuhkan tas Guanlin yang di panggul nya diatas bahu "dekat!? Kau berjalan sejauh itu?! ah, pak tua itu akan membunuhku"

Guanlin tertawa kecil "jangan khawatir, aku sudah terbiasa, aku tidak akan mengatakan apapun pada Paman Sanggyun nanti"

Daniel tertawa "aku akan sangat berterimakasih, istirahatlah, Jinyoung akan memanggilmu untuk makan malam nanti" ucap Daniel sebelum menutup pintu, meninggalkan Guanlin seorang diri di kamar yang terawat dan tertata rapih. Bermaksud memberikan Guanlin waktu untuk istirahat.

"ngomong ngomong, kau tidak seperti anak orang kaya manja seperti yang Paman Sanggyun ceritakan" canda Daniel.

Seulas senyum simpul terukir di wajah tampan Guanlin. Matanya tak lepas mengobservasi kamar yang akan ditempatinya seminggu kedepan. Sederhana namun suasana hangat yang khas terasa menyeruak dari setiap sudut kamar.

Guanlin melangkahkan kaki ke jendela kamar yang tertutup rapat. Menghalau hawa dingin musim gugur yang semakin menusuk dari hari ke hari.

Halaman belakang gereja yang dibatasi oleh pagar kayu yang dihiasi oleh sulur sulur tanaman rambat menyapa iris gelap Guanlin. Tepat dibelakang gereja terdapat sebuah bangunan yang menyerupai losmen yang terlihat sama tuanya dengan gereja. sepertinya itu adalah panti asuhan yang dikelola oleh pihak gereja.

Beberapa anak yang lebih besar -nampaknya sesusia Jinyoung- tengah menyapu daun daun yang berguguran sembari bercengkrama ria. Melontarkan candaan dan obrolan ringan, sementara anak anak yang lebih muda berlarian kesana kemari membawa seember cucian kering untuk dibawa masuk kedalam panti.

"Kak Samuel! Jemurannya tinggi!" pekik salah seorang bocah yang postur tubuhnya paling kecil diantara yang lain.

Seorang pemuda tinggi dengan wajah yang terlihat kebarat baratan tertawa renyah, berjalan menghampiri bocah kecil yang tengah merengut. Teman temannya yang lain sudah menyelesaikan bagian piket mereka, sepertinya bocah kecil itu takut tertinggal.

Seperti Jihoon

"makanya, jangan makan mi instan terus atau kau akan semakin membengkak Euiwoong"

"aku tidak bengkak! Kak Samuel saja yang kurus seperti gagang sapu!" Euiwoong memeletkan lidahnya kemudian berlari meninggalkan Samuel yang menggerutu tidak terima padahal dia sudah berbaik hati membantu saudara satu rumahnya itu tanpa pamrih.

Tapi wajah konyolnya meragukan

"Kim Samuel! Disebelah sana masih banyak sampah!"

"itu bagian Gunhee! Lee Daehwi! berhenti berteriak padaku!"

"kau belum mandi, belum membersihkan kamar, belum selesai menyapu juga, mau jadi apa kau setelah lulus SMA?"

"kak Yongguk sampahmu juga masih banyak! Jangan mengajariku dengan wajah mabuk seperti itu!"

"Kim Samuel jangan berteriak!"

"kau juga berteriak Daehwi Bodoh!"

"panggil aku kakak dasar bayi penyihir!"

"Daehwi, jangan memaki samuel seperti itu"

"Kak Shihyun! Aku mencintaimu!"

"langkahi dulu mayatku bocah"

Brak!

Kemudian perdebatan kecil keempat remaja panti yang sejak tadi di perhatikan oleh Guanlin diakhiri dengan pemuda yang terlihat paling tua diantara yang lain memukul kepala pemuda yang wajahnya bule dengan gagang sapu.

Guanlin meringis ketika pemuda manis yang bertubuh paling mungil menoyor kepala pemuda bule itu sembari menggerutu

"sudah tahu Kak Yongguk ganas, masih saja menggoda Kak Shihyun, lain kali kepalamu akan pecah kalau kak Yongguk memukulmu lagi dasar gagang sapu"


"kau tinggal disini?"

Daniel menggeleng "aku tinggal disebelah"

"ah, di panti asuhan itu"

Kali ini Daniel mengangguk. Matanya terus megikuti Jinyoung yang nampak berbicara dengan nyonya pemilik toko bunga dengan ekspresi datar nya seperti biasa. Daniel menghela nafas lelah;

"kau terlihat putus asa" Guanlin menyikut perut Daniel pelan.

Tidak seperti Daniel yang hanya memperhatikan Jinyoung, Guanlin lebih tertarik dengan bunga bunga cantik yang terawat dan terpampang dihadapannya dengan tertata rapi.

"memang"

"hng, tembak dia"

"dia akan mati"

"aku tidak tahu kau sebodoh ini"

"hei! aku tidak bodoh!"

Daniel menggerung kesal kemudian merosot jatuh terduduk dengan kabut abu abu kehitaman imajiner yang mengelilingi kepalanya yang menunduk.

Guanlin mendengus "aku terkejut kalian tidak berpacaran"

"Jinyoung hanya mau berbicara padaku, karena itu mendiang orang tua nya ingin aku selalu menemani Jinyoung. Bagaimana bisa aku mengencani seseorang yang dipasrahkan untuk aku jaga" Daniel menggerutu kesal

Guanlin mengangguk kan kepalanya takzim. Membenarkan perkataan Daniel karena memang sejak kemarin Guanlin hanya mendengar Jinyoung berbicara sedikit, itupun hanya bisikan bisikan kecil. Jika Guanlin tidak memasang telinganya lebar lebar suara Jinyoung pasti tidak akan terdengar. Seolah, tidak semua orang diizinkan untuk mendengar suara Jinyoung.

"apa dia sudah seperti itu sejak kecil?" tanya Guanlin, menatap punggung Jinyoung yang berjalan tujuh langkah didepan mendahului dirinya dan Daniel. Mengenggam sebucket bunga perpaduan antara bunga mawar merah dan lili putih.

Daniel menggendikkan bahu "entah, apa harus kita membicarakan ini?" suara Daniel terdengar menginterogasi, agaknya Daniel sedikit merasa terganggu karena Guanlin menyinggung pertanyaan pribadi. Mata pemuda berbahu lebar itu memicing curiga.

"ini bagian dari penelitianku, keluarganya adalah satu satunya keturunan hibakusha yang masih tersisa, dan tanpa mengalami kondisi tertentu yang menghambatnya beraktifitas" Guanlin menjelaskan.

"mereka yang selamat dari pengeboman dengan luka bakar yang mengubah sel genetik mereka karena radiasi atom, hidup terkucilkan, anak anak yang terlahir sebagai keturunan mereka pun menderita penyakit bawaan yang cukup serius, aku terkejut dia terlahir tanpa cacat -bukan, aku tidak mendoakannya, sungguh- maksudku, orang tuanya... juga meninggal karena penyakit keturunan bukan?" Guanlin mengambil jarak dari Daniel, ketika pemuda berbahu lebar itu hampir melayangkan tinju kepadanya karena berbicara terlalu jauh.

Guanlin mengatakan semuanya dengan jujur, tanpa ada yang ditambah tambahkan. Guanlin sendiri juga terkejut keluarga Jinyoung menerima dirinya untuk menginap ditempat mereka yang mana itu berarti mereka juga setuju untuk menjadi narasumber Guanlin.

Hidung Daniel kembang kempis menahan amarah karena merasa tersinggung, namun emosi pemuda Kang itu mereda ketika mendengar perkataan Guanlin. Guanlin tidak terlihat risih dengan Jinyoung sepanjang Daniel memperhatikan pemuda berwarga negara Taiwan itu. Selain itu, kelihatannya Guanlin juga bukan tipe orang yang peduli dengan masalah pribadi orang lain;

Entah kenapa Daniel merasa kalau tidak ada salahnya bercerita sedikit pada Guanlin

Daniel beralih menatap Jinyoung yang kini sudah membalikkan tubuhnya untuk melihat keadaan dua mahasiswa yang sejak tadi cekcok dibelakangnya. Ah, Daniel baru sadar kalau mereka tertinggal beberapa langkah cukup jauh dari Jinyoung. Daniel mengulas senyum manis pada Jinyoung yang tidak memberinya tanggapan yang berarti, pemuda manis itu membalikkan tubuhnya untuk kembali berjalan setelah memastikan kalau Daniel dan Guanlin tidak melakukan sesuatu yang memalukan. Lagipula Daniel yang notabene nya lahir dan besar di Hiroshima, pasti hafal betul tempat yang mereka tuju sekarang. Jika ia tinggalkan sejauh apapun, Daniel dapat menemukan jalannya sendiri.

Interaksi antara Daniel dan Jinyoung pun tidak luput dari mata Guanlin. Pemuda bermarga Lai itu hanya memperhatikan keduanya sesaat sebelum kemudian menendang tungkai kaki Daniel hingga membuat si empu mengaduh kesakitan dan menghadiahi Guanlin dengan tatapan membunuh. Guanlin yang ditatap seperti itu oleh Daniel hanya menatap pemuda berbahu lebar dihadapannya.

"mau cerita atau tidak"

Daniel mendengus "kalau aku tidak mau menjawab pun kau pasti akan bertanya pada pendeta Jonghyun bukan?"

Guanlin memasang cengiran bodoh yang terlihat amat tolol dimata Daniel. Sayangnya wajah tampan Guanlin membuat beberapa wanita yang berlalu lalang disekitar mereka memekik girang kurang belaian. Kalau mereka sedang tidak berada di tempat umum, Daniel pastikan sepatu nya sudah melayang dan membuat wajah Guanlin buruk rupa. Daniel heran bagaimana bisa Guanlin dapat terlihat bodoh, tolol, aneh, tampan dan cerdas disaat yang bersamaan.

Daniel mendengus -lagi-, meregangkan bahunya sesaat kemudian memutuskan untuk kembali melangkah namun tetap menjaga jarak dari Jinyoung yang terus berjalan tanpa menoleh kebelakang.

"sepertinya kau tahu kalau yang membalas surat yang dikirim oleh universitasmu adalah pendeta Jonghyun"

"dari profil keluarga Jinyoung yang aku terima, orang terakhir yang meninggal dalam keluarga Jinyoung adalah bibinya, lima tahun yang lalu" ujar Guanlin seraya memberikan gestur nonverbal pada Daniel untuk melanjutkan ceritanya "orang mati tidak bisa menulis tanda tangan"

"tidak ada satupun keluarga Jinyoung yang tersisa. Hanya dia. semuanya sudah meninggal-

"-hibakusha seperti Kakek buyut Jinyoung memang cukup dihormati. 70 tahun yang lalu, meskipun beliau sendiri tengah berada di ambang kematian, beliau tetap mendedikasikan dirinya untuk orang orang Hiroshima yang kekurangan bala bantuan -begitu yang aku dengar dari Pendeta-, mereka menderita penyakit turunan karena radiasi bom yang cukup kuat. Bibi Jinyoung yang meninggal lima tahun yang lalu juga terlahir buta. Bisa dibilang hanya Jinyoung yang fisiknya paling sehat diantara anggota keluarganya yang lain.-

-tapi..., sepertinya Jinyoung merasa terganggu akan hal itu"

"mungkin, dia merasa tidak adil ditinggalkan sendirian disini dengan umur yang panjang, sedangkan orang orang yang dicintainya tidak. Sampai sembilan tahun yang lalu, Jinyoung menjalani hidup sekenanya, tidak memperhatikan dirinya sendiri, selalu mengurung diri di rumah, dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain-

"-sampai dia hadir dalam kehidupan Jinyoung dan sedikit demi sedikit membuat Jinyoung berubah. Aku dan keluarga panti yang banyak mendapat bantuan dari keluarga Jinyoung, melihat dia sebagai malaikat. Kau harus bertemu dengannya, cara dia menghargai hidup, menyadarkan Jinyoung, mengajari orang lain untuk bersyukur, berdo'a dan berusaha, semuanya. Jinyoung bahkan pernah berkata padanya

kalau yang namanya Tuhan itu memang ada, mungkin kau lah orangnya'

kemudian dia tertawa dan memarahi Jinyoung. Menyuruhnya untuk berdo'a di Gereja dan merenungkan perkataannya sendiri. Setidaknya aku bisa melihat mata Jinyoung menjadi lebih hidup. Jinyoung sudah mau pergi keluar rumah, sudah mau berinteraksi dengan orang lain, sudah bisa berteman dengan anak anak panti-

-aku... aku sangat bersyukur"

Daniel berkisah panjang lebar. Setelahnya mereka berjalan dalam keheningan yang tidak sepenuhnya menyenangkan. Guanlin yang sejak tadi menyimak cerita Daniel menatap pemuda tampan yang melangkah berdampingan dengan dirinya. Tatapan Daniel seperti biasa lurus kedepan, menatap punggung mungil Jinyoung.

Kedua alis Guanlin terangkat naik, tidak begitu tertarik dengan objek pembicaraan mereka yang terkesan misterius. Bagi Guanlin, Daniel terdengar terlalu melebih lebihkan orang tersebut. Realitanya, nyaris tidak pernah ada manusia yang rela merepotkan dirinya sendiri untuk kepentingan orang lain yang tak ada hubungannya dengan dirinya. Guanlin pribadi, jika itu tak memberinya keuntungan, dia enggan untuk ikut campur. Cerita Daniel tak lebih dari omong kosong.

"hm, aku baru tahu orang suci yang lebih sakti dari Paus" gumam Guanlin setengah mencibir.

Bibir Daniel baru saja akan terbuka untuk menimpali omongan Guanlin yang tak mengenakkan, tapi suara pelan nan lembut milik Jinyoung menginterupsi;

"sudah sampai"

Sontak, Guanlin dan Daniel yang tidak sadar Jinyoung sudah berhenti melangkah mengangkat kepala dan menemukan Jinyoung tengah menanti keduanya yang sibuk membicarakan sesuatu yang tidak membuatnya serta merta penasaran kemudian bergabung, wajah tanpa ekspresinya menatap lurus kemata dua orang pemuda yang lebih tua.

Guanlin mencuri pandang kebelakang Jinyoung, mereka bertiga berada di sebuah tempat yang dibangun sebagai monumen memorial untuk mengenang korban pengeboman Hiroshima bertahun tahun silam. Sepi. Hari itu tidak ada orang yang berkunjung selain mereka bertiga. Angin musim gugur dan dedaunan yang terbawa menambah kesan vintage yang seolah olah membawa Guanlin ke masa berkabung pasca pengeboman.

"kau bisa mengambil dokumentasi untuk penelitianmu disini" Jinyoug kembali bersuara pelan, sembari meletakkan bucket bunga yang tadi dibelinya diatas tugu tersebut "diseberang sana ada bangunan asli, puing puing bekas pengeboman yang sudah berusia 70 tahun" tangan kurus nya menunjuk ke sebuah bangunan mirip kubah yang tak sempurna, yang dinding nya hangus dan mengelupas.

Guanlin hanya menatap Daniel dan Jinyoung dari belakang, memperhatikan keduanya yang menangkupkan kedua tangan didepan dada, mulai berdoa.

Disamping usahanya untuk meresapi perasaan yang menguar dari keduanya, sebagai upaya untuk memberikan penilalian subjektif mengenai apa yang orang orang Hiroshima lakukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yang menjadi pukulan keras bagi semua warga jepang untuk menerima kekalahan atas perjuangan mereka yang sama sekali tidak sebanding dengan banyaknya darah yang sudah berkorban.

Sakit. Rindu. Perih. Sesal. Marah. Dendam. Penuh rasa syukur.

Semuanya campur aduk menjadi satu ketika manik hitam Guanlin bersibobok dengan punggung Daniel dan Jinyoung yang nampak sangat khusyuk berdo'a. Tetap diam ditempatnya sambil sesekali mencatat sesuatu di buku notes kecil yang sejak tadi ia bawa. Guanlin memilih untuk mengambil gambar bangunan tua nan besar yang tak jauh dari tempat mereka, gambar Daniel dan Jinyoung selaki victim, dan gambar tugu peringatan hari bersejarah tersebut.


"kau tidak berdo'a?" tanya Daniel sembari menunggu Jinyoung yang mengatakan kalau dirinya ingin berada disana lebih lama, sekalipun hanya menatap tugu dihadapannya, pemuda manis itu menggumamkan panjatan do'a untuk mereka yang menjadi korban pengeboman namun namanya tak diketahui dan terlupakan.

Guanlin menggeleng "aku bukan orang yang sereligius itu"

Daniel menganggukkan kepala dalam diam, sementara Jinyoung tidak ikut menanggapi, hanya menoleh sekilas ketika mendengar perkataan Guanlin. Atensinya kembali terfokus pada tugu, tidak berniat memberikan tanggapan.

Hening menyeruak diantara ketiga remaja yang menikmati suasana khidmat bak pemakaman di tugu bersejarah yang memang dibangun cukup jauh dari jalan kecil tempat orang orang dapat berlalu lalang, berbicara, atau melontarkan candaan. Masyarakat umum Jepang sepakat untuk menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat untuk mereka yang namanya dilupakan untuk menyaksikan mereka dalam ketenangan. Tanpa harus terganggu dengan suara hiruk pikuk kehidupan yang bising, penuh dengan umpatan dan kata kata kasar. Biarlah, indra pendengaran mereka dipenuhi oleh suara do'a sanak saudara yang datang berkunjung.

"Ah! Itu Kak Beruang!"

Seketika ketiganya menoleh ke arah sumber suara yang berteriak keras.

Ketiga remaja itu menampilkan ekspresi yang berbeda beda.

Daniel yang mengulas senyum jenaka, Jinyoung yang binar matanya terlihat lebih cerah, dan Guanlin-

-yang membeku di tempat.

Nyaris lupa cara bernafas ketika sosok yang berdiri dibelakang kedua bocah yang berlarian menghampiri Jinyoung dan Daniel membalas tatapannya dengan kaku.

Nafas Guanlin semakin tak beraturan ketika pemuda manis dengan muffler rajut merah itu beralih menatap Jinyoung yang berjalan menghampirinya kemudian membungkuk singkat sebagai bentuk sapaan. Kentara sekali kalau Jinyoung terlihat begitu menghormati sosok dihadapannya yang hanya mengulas senyum tipis, dengan sorot mata sendu dan mengantuk.

Muffler merah itu. Guanlin sangat mengenalnya. Ibu Guanlin lah yang merajutkannya sebagai hadiah natal pemuda manis itu bertahun tahun silam. Guanlin tahu betul pemuda manis itu sangat menyukai muffler tersebut hingga beberapa kali mengatakan, muffler itu adalah item keberuntungannya yang sudah berkali kali berhasil membuatnya tertolong.

Guanlin berharap ini semua adalah mimpi. Karena jika bukan, Guanlin tidak sanggup menghadapi kenyataan yang rasanya, ingin membuatnya binasa perlahan lahan.

Guanlin masih tak bergeming di tempatnya hingga Daniel menepuk bahunya, menyadarkan si pemuda taaiwan untuk kembali berhadapan dengan alam sadar.

"kau baik baik saja?" Daniel bersuara, nada nya terdengar sarat dengan kekhawatiran meski gengsi seorang Kang Daniel berusaha membungkus itu semua. Pasalnya Guanlin nampak kesulitan mengatur nafas, sorot matanya pun tak lepas dari sosok seseorang yang tengah berbincang dengan Jinyoung yang mengulas senyum tipis. Daniel tentu saja menyadarinya.

ada apa?"

Guanlin diam. mulutnya membisu. Suara Daniel tak dapat menembus indra pendengarannya yang seolah tuli. Seluruh panca indra Guanlin terpaku pada sosok yang tak lagi membalas tatapannya, namun Guanlin cukup sadar jika sosok itu beberapa kali melirik Guanlin diam diam.

"siapa...- dia?"

Sebelah alis Daniel terangkat.

"dia? oh, dia Jihoon. Mau kukenalkan?"

Nafas Guanlin tercekat, air liur nya tersendat di tenggorokan, dan rasanya untuk menghela nafas pun begitu sulit.

siapa?...

...Jihoon?


Pojokan nyampah Rac-chan:

I'm done with so many typo's and every single thing that makes u doesn't understand this fict :c

Lemme' know about your responce :o

Gimme a vote, and comment pwease :3

I personality love comments than vote, cause atleast my readers can show me where do i get wrong, and where do i make my readers blowing with tears :3

Love u my dearest readers

"THIS IS REPOST FROM MY WATTPAD ACCOUNT"

Sincerely

'shouharaku'