Sejumput rasa penasaran menelusup dada. Suara parau itu mengalun konstan di telinga–rupanya dari pinggir sungai yang dirimbuni rumput ilalang.
Dua bongkah paper bag yang dijinjing susah payah terpaksa kutinggal sejenak. Kaki ini terpaksa melangkah menuruti tuntutan hati kecil yang mengiba ke arah gema sarat derita. Menyibak beberapa helai dedaunan yang mengganggu akses mata–syaraf-syaraf tak peduli pada kehadiran segores luka yang entah sejak kapan eksis di punggung tangan. Yang terpenting sekarang; suara itu sangat mengusikku.
Bola mata tak henti bergulir ganas menyapu padang hijau terpercik embun di depan mata. Senja sudah mulai turun dari langit–Kyoto akan bersegera masuk periode malam. Seorang titisan iblis di apartemennya sudah siap siaga bersedekap di depan pintu untuk menyambut kepulanganku, tentu aku sudah mengerti benar. Sialnya, hati kecil tak bisa begitu saja mengabaikan lirih sakit dari setitik suara yang menggigil disini.
"Meow."
Eksistensi seonggok tubuh sarat penderitaan menghentikan pergerakan tangan. Aku terpekur sejenak. Prihatin akan sosok menggemaskan (namun penuh lebam), bulu-bulu emas yang terhalang bercak-bercak tanah memandang langit sayu. Menganggap seluruh dunia telah membuangnya, seutas ekor yang seharusnya menari-nari ceria kini terkulai seolah mati.
Erangan parau itu kembali terdengar–kali ini tampak tertuju padaku. Kerlip sepasang hazel green itu meluruh, sebelum kembali terkatup perlahan lantas digantikan dengan dengkuran kecil. Jatuh tertidur (atau mati perlahan, barangkali) tanpa menghiraukan hawa dingin yang mulai menyerang tubuh ringkihnya.
Aku mengernyit–kucing ini tak mengharapkan belas kasih, kurasa. Tapi, entahlah. Tindakanku terjadi begitu saja.
.
.
.
– a link to you –
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
[Akashi x OC/Reader x Cat!Hayama]
Fantasy/Drama/Romance – beware of typo(s) and OOCness!
.
Enjoy reading!
.
"Apa ini?"
Sesuai prediksi, ada seseorang yang telah bertransformasi menjadi iblis merah membara ketika aku mencapai apartemen tempatku sementara bernaung di Kyoto. Binar matanya nyalang menghujam kardus lusuh seadanya yang kudekap sayang. Dan aku sedang tidak ada mood untuk meladeni amarah sang tuan rumah.
"Kucing, Sei."
Melengang masuk, semerbak parfum pemuda merah barusan sekejap menyeruak membelai indera penciumanku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Sudah kuduga, wewangian khas Seijuurou–Akashi Seijuurou, sepupu jauh sekaligus bodyguard selama liburanku di Kyoto–memang yang terbaik.
Namun, belum ada tiga langkah, tangan Seijuurou sudah hinggap di pundakku untuk mencegahku melangkah lebih jauh. "Jangan dibawa masuk. Kau tahu, aku tidak suka kucing."
"Sei, kukira kau memang tidak suka segala macam hewan."
"Disini juga tidak boleh pelihara hewan."
"Kita tidak akan memeliharanya, hanya memberinya tempat tinggal dan makan yang cukup saja."
"Itu sama saja–"
"Akan kupastikan ini tidak akan mengganggu pekerjaanmu. Cukup berlagak tidak tahu pada penjaga apartemen, maka semua urusan beres 'kan?"
Aku tahu, Akashi Seijuurou adalah yang mulia absolut tak terbantahkan. Namun, jangan lupakan kehebatanku selaku putri dari salah satu direktur perusahaan komunikasi terbesar di Jepang yang punya seribu satu cara cerdik, bahkan untuk memengaruhi seorang pewaris muda Akashi corp semacam Seijuurou. Cukup pasang puppy eyes dengan kedua telapak tangan yang terkatup, maka yang mulia Akashi Seijuurou niscaya menunjukkan kelemahan tembok pertahanannya.
Dan benar, Seijuurou benar-benar membeku dengan sedikit rona samar pada kedua belah pipinya. Ia bergantian menatapku dengan seekor makhluk berbulu di dalam kardus dengan lagak menimbang-nimbang. Ia tampak belum mengganti kostum kerjanya semenjak pulang– kemeja marun dan dasi berwarna hitam yang dilonggarkan sekenanya, berbalut setelan jas berwarna senada–dan wibawanya sebagai orang penting dalam perusahaan besar benar-benar kental tatkala menunjukkan pose berpikir seperti itu.
"Jika liburanmu sudah usai, jangan harap aku sudi mengurusnya."
"Tenang saja, Sei…" ujarku mantap, masih memasang senyum bisnis. "Kau tidak perlu ikut bertanggungjawab, aku saja sudah cukup."
Seijuurou memijat pelipisnya seraya menghela napas–ia sudah tahu benar dengan sifat ngototku. Namun, ia juga nampaknya belum menyerah. "Aku tidak mau dapat masalah lagi darimu. Kesempatan terakhir, buang makhluk itu jauh-jauh dari sini."
Aku memutar bola mata, jenuh bertikai namun masih ngotot mempertahankan permohonan. "Masalah tidak akan menjadi masalah jika tidak ada yang mempermasalahkannya, Sei. Dalam kasus ini, hanya kau yang memikirkannya terlalu runyam. Sungguh, Sei, aku heran padamu. Menurutku, terlalu banyak berkutat pada kasus rumit di perusahaan sepertinya telah membuatmu lemah terhadap persoalan kacangan seperti ini."
Seijuurou hanya diam mendengarkan. Cahaya lampu ruang tengah sejenak meredup lantas kembali terang seiring dengan langkah Seijuurou ke hadapanku–melempar tatapan tidak suka yang kentara pada kucing tak bersalah. Kemudian, padaku–yang hanya kubalas dengan senyum manis. Aku tahu, meskipun Seijuurou begitu, ia sesungguhnya tidak bisa marah.
"Terserah sajalah."
Pada akhirnya, kalimat itu terlontar juga. Aku tersenyum puas, merajuk pada Seijuurou bukan perkara sulit. Aku memang sepupu kesayangannya, dan aku pun menyayanginya balik 'setulus hati'.
"Ngomong-ngomong," Seijuurou yang telah melengang menuju kamarnya tiba-tiba berbalik kembali, "aku ini sudah cukup sabar menunggumu pulang lho, mana makan malam yang kaujanjikan, sayang?"
Krik.
Aku tak kuasa menepuk jidat keras-keras. Aku melupakan sesuatu yang sangat penting–persetan dengan panggilan absurdnya barusan padaku. Dua buah paper bag berisi bahan makanan yang kubeli di jalan pulang tadi tidak bisa kutemukan dimanapun.
"Belanjaanku tertinggal. Tehee."
Selanjutnya, time skip. Aku tidak yakin mampu memaparkan dengan detil seluruh adegan keluh murka yang mulia Akashi Seijuurou yang kelaparan kepada pembaca sekalian.
"Sedang apa kau disitu, Sei?"
Mata terpicing, siap bersiaga di tempat. Seijuurou menatap nanar (akibat perut belum terisi) ke arahku, tampak lelah setelah sekian lama menggerutu perihal kecerobohanku. Ia hanya terdiam di daun pintu kamarku yang remang–sengaja tak kunyalakan lampu karena silau. Kondisinya berantakan–ia bahkan terlihat lebih terbuang dari kucing yang terbuang. Sungguh mengherankan, direktur Akashi corp yang satu ini.
"Aku lapar."
"Lalu?"
"Biarkan aku memakanmu."
Aku refleks melempar bantal tepat ke dahi lebarnya yang terbuka. "Mesum!"
Seijuurou lagi-lagi menggerutu–maaf ya, statusmu di urusan pekerjaan tidak berpengaruh untukku, Seijuurou di rumah hanyalah seorang bebal bersifat sok mutlak yang mengusahakan sepiring makan malam sendiri saja tidak sanggup. Dia 'kan bisa pergi ke luar untuk mencari resto mewah yang bertebaran bak sampah di kota Kyoto yang megah ini. Dasar aneh.
"Aku 'kan hanya bercanda... Perempuan sungguh sangat membosankan," ujarnya cuek dan menyebalkan.
Rupanya dia tidak mengerti kalau sebenarnya dialah yang tidak punya selera humor.
"Oh, begitukah? Kalau urusanmu sudah selesai, lekas enyahlah dari sini. Aku mau tidur."
Seijuurou mengernyit protes. "Ini apartemenku, seharusnya itu kata-kataku."
"Ya, ya, goshujin-sama…" tukasku tak kalah cuek seraya membetulkan posisi duduk dan mengorek-ngorek kuping menggunakan kelingking. "Masih ingin protes tentang makan malam? Besok kuganti, deh. Hari ini aku benar-benar tidak sengaja, maaf ya."
Sepasang iris delima mengernyit pahit. Lambung yang meronta-ronta minta diisi nampaknya berandil paling besar menarik urat kesal Seijuurou untuk melempar tatapan membunuh pada satu titik di pinggir ranjang king size kuasaku; susu murni segar beriak tenang di dalam tiga per empat mangkuk minum, beserta sang penikmat tunggal berbulu emas. Ups, aku lupa menyisakan separuh susunya untuk jatah Seijuurou.
"Kau tidak bilang kita masih punya persediaan susu." –Seijuurou berdeham sebal.
"Sebenarnya kita juga punya selembar daging sisa pesta barbeque kemarin, seharusnya kau lebih rajin memeriksa kulkasmu," koreksiku seraya mengeluarkan potongan daging sapi dari balik mangkuk susu bertuliskan 'Kotarou'.
Tidak butuh waktu lama bagi Seijuurou untuk melesat ke arahku dengan seringai buas. "Berikan itu padaku."
"Tidak, ini untuk Kotarou," elakku cepat.
"Kotarou?"
"Dia punya nama sekarang." Aku melirik lewat ekor mata pada Kotarou yang khidmat menikmati makan malamnya.
"Terserah." Satu langkah mendekat, kuda-kudaku terpasang bersiap melindungi satu-satunya daging malam ini. "Yang penting, aku ingin daging itu. Kau lebih memilih kucing daripada sepupu paket lengkap di hadapanmu ini?"
…Narsis. Akashi Seijuurou narsis, dan aku ingin muntah. Tapi tidak bisa, karena apa yang dikatakannya memanglah benar. Sudah kaya, pintar, tampan pula. Satu-satunya kekurangannya hanyalah badannya yang pen–kurang tinggi. Tapi, di Jepang pada zaman serba kerdil ini, angka 178 tidak bisa dikatakan mungil lagi, ya?
"Tentu saja, Kotarou lebih baik daripada Seijuurou!" Aku berdiri membusungkan dada seraya berkacak pinggang, menatap galak tepat pada delima yang kini membelalak tidak terima.
Seijuurou membalas tatapanku dengan tatapan yang sama galaknya. "Coba bilang sekali lagi?"
"Kotarou lebih baik daripada Seijuurou!" Aku mengulangi lebih keras dari sebelumnya. "Bahkan jika aku harus jatuh cinta, Akashi Seijuurou tidak akan masuk hitunganku!"
Bruk!
Gerakan Seijuurou yang tiba-tiba membuatku seketika bungkam. Kebanggaan yang barusan berkobar-kobar luruh tanpa ampun–diserap tatapan buas Seijuurou yang tidak biasa. Gemintang beserta kerlip lampu di luar kamar meredup, seolah turut ciut akan kemunculan sisi lain seorang Akashi Seijuurou yang mulai naik ke permukaan. Atmosfer di sini mendadak mengeras, dan aku tidak bisa berhenti terkaget-kaget.
Potongan daging yang barusan kupegang kini terbanting jatuh di lantai–Kotarou sampai terlonjak kaget karenanya. Sikap Seijuurou yang tidak biasa menimbulkan lontaran pertanyaan yang menggantung di langit-langit, "Sei…?"
Pemuda merah berlaku dingin, memuntir pergelangan tanganku yang diperangkapnya. "Baru pertama kali aku mendapat hinaan dari makhluk rendahan sepertimu."
Aku terpaksa menelan saliva yang menggenang di kerongkongan. Ngeri menjalari hingga tak satu pun kosakata sudi mengudara. Ini juga baru pertama kali aku melihat pribadi lain di dalam diri seorang Akashi Seijuurou–nampaknya desas-desus seputar masa kelam sekolah menengah sepupu merahku ini benar adanya.
"Tidak akan masuk hitungan, katamu? Kau ini bodoh atau apa? Semua orang tentu sangat menginginkanku dalam segala hal."
Dinding di sebelah digebrak–Kotarou sekali lagi melompat kaget.
"Perlu kupaksa kau meralat kata-katamu barusan? Kau harus tahu, aku tidak akan bersikap lembek sekalipun pada sepupuku sendiri."
"K-kau mau apa, Sei? Menjauh dariku!" Aku mulai merinding disko. Akashi Seijuurou yang sekarang sedang ada di hadapanku bukanlah Akashi Seijuurou yang dulu kukenal.
Tidak ada jawaban yang terdengar dari mulutnya. Hanya deru napasnya saja yang tertangkap telinga–beserta geraman bingung Kotarou di kakiku.
Hawa dingin dunia luar menusuk entah dari mana. Seijuurou jelas agak menggigil (sedari tadi ia tidak berpakaian dengan benar, ia hanya menanggalkan jas dan dasinya, serta membuka dua kancing teratas kemeja marunnya), napasnya hangat dan sejenak agak tersengal membelai kulit wajahku. Seringai ganjil masih terukir di bibirnya, namun ia tidak melakukan apa-apa lagi.
"Sei?" Sekali lagi aku bertanya.
Yang ditanya masih tak bergeming. Sorot mata yang tadinya seolah mampu melahapku habis tak bersisa, kini berubah teduh nyaris tertutup–setengah terbuka. Cengkeraman tangannya agak melonggar–kalau aku mau, aku bisa menepis tangannya dengan mudah, tapi entah kenapa instingku melarang keras untuk melakukannya. Ada yang salah dengan Seijuurou, ini sudah bisa dipastikan. Seijuurou berubah terlalu drastis semenjak beberapa menit yang lalu.
"Sei? Kau kenapa?"
Bukannya menjawab, pemuda dua puluh tahun ini berlagak tidak mendengar apapun, membuat dahiku sedikit berkedut kesal. "Sei! Jangan bercanda!"
Pluk–
Dahi bertemu dahi. Seijuurou mengerang pelan dalam desah napasnya–aku tersadar akan sesuatu. Cengkeraman tangan terlepas, dan tubuh yang lebih besar dariku itu menimpaku begitu saja, membuatku tak kuasa menahan keseimbangan dan terjatuh di atas ranjang bersamanya.
"Sei! Seijuurou! Lepaskan aku!" rintihku, menggelepar berusaha melepaskan diri. Aku tidak peduli lagi jika sprei yang kurapikan susah payah kembali terberai keruan, ada yang lebih genting.
"Jangan kemana-mana, dasar rendahan…" Seijuurou menggeram, tangannya kembali menggapai tanganku.
PLAK!
Tamparanku akhirnya melayang. Rona merah di wajah Seijuurou yang sudah mendominasi sedari tadi, kini bertambah merah–aku terlalu keras mengerahkan tenaga, pipinya kini terlihat seperti sebutir tomat masak.
Seijuurou tak menggubris, ia kembali melayangkan pandangan lapar. "Kurang ajar–"
"Ya, ya, Sei, maafkan aku. Kita bahas ini nanti, ne? Sekarang berbaringlah, kau sedang demam."
Hening yang menyelimuti setelahnya. Seijuurou tak lagi memberontak dan mendadak berubah jinak. Segera setelah aku menyuruhnya berbaring, ia jatuh tidak sadarkan diri. Instingku benar, nyatanya.
Untungnya, apartemen Seijuurou sangat lengkap. Aku tidak perlu bersusah-susah membuat daftar peralatan medis yang harus dibeli di apotek terdekat. Semuanya yang kubutuhkan sudah ada disini–kecuali bahan memasak yang sama sekali melompong, haha, tiba-tiba jadi teringat kecerobohan yang menyebalkan.
Sekarang, semua persiapan sudah beres. Sepupu sok kuatku itu sudah kuberi berbagai pertolongan pertama, dan kini tinggal bersiap untuk berbelanja bahan makanan. Sekarang aku agak menyesal telah membiarkannya menelan janji kosong dan kelaparan dalam kondisi lemah seperti itu, kupikir aku harus membuatkannya sesuatu untuk dimakan malam ini juga.
Aku mengeratkan syal yang melilit leherku sekali lagi. Mengerling sejenak pada tuan muda merah yang tengah terdiam dalam pembaringannya, kemudian menggeser sedikit arah pandang menuju bawah ranjang. Ada Kotarou yang terlihat tidak rela akan kepergianku.
Aku tersenyum, kemudian berjongkok. "Kotarou, aku tahu dia ini iblis paling jahat di muka bumi, tapi kumohon jaga dia selama aku pergi, ya?" Lalu mengelus-elus puncak kepala kucing manis itu.
Seijuurou terbatuk (sengaja), tapi aku tidak peduli.
Kotarou mengeong pelan sembari menggoyang-goyangkan ekornya–aku tahu, aku tidak perlu khawatir untuk menyerahkan urusan ini pada Kotarou meskipun ia belum pulih benar dari luka-lukanya.
Bersegera bangkit, aku buru-buru merapatkan jaket dan membuka pintu keluar. "Sei, jangan macam-macam pada Kotarou selama aku tidak ada!"
–Kemudian pintu tertutup. Berjalan menuju lift untuk segera menuntaskan hutang pada Seijuurou.
Sip. Harus cepat-cepat kembali .
.
.
.
TBC~ (or discontinue?)
.
.
.
[A/N]
Iya, saya tahu ini pendek dan geje, tapi biarkanlah jari-jari saya memenuhi hasrat nyampah disini :') Betewe, kelanjutannya gimana ya, readers-tachi? /kokmalahnanya
Ohiya, terimakasih banyak udah mampir dan membaca! Kritik dan saran ditunggu ya! xD
