Summary: Jaejoong dan Yunho sebelumnya tidak saling mengenal. Permasalahan diantara orang tua mereka membuat Yunho harus membenci Jaejoong. Tapi sikap Jaejoong membuat Yunho mulai ragu. Haruskah ia membenci Jaejoong dan menutup hatinya agar tidak tertaeik pada anak dari appa tirinya?
The Untitled Story
©Kitahara Saki, 7ec4df8e
Remake from Abby Glines Story
Jung Yunho, Kim Jaejoong © their self
Marga disesuaikan untuk kepentingan cerita
Truk bercampur lumpur pada ban yang kupakai telah kuparkir di samping rumah yang sedang berpesta itu. Tidak ada mobil buatan luar negeri mahal disini. Tempat ini paling tidak memuat setidaknya dua puluh mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk. Aku memarkir truk Ford tua berusia lima belas tahun milik Eommaku di lapangan berumput, jadi aku tidak akan menghalangi siapa pun. Appa tidak bilang padaku bahwa malam ini dia akan mengadakan pesta. Dia tidak bicara banyak padaku.
Dia juga tidak hadir pada pemakaman Eomma. Jika aku tidak butuh tempat tinggal, aku tak akan mau berada disini. Aku sudah menjual rumah mungil yang ditinggalkan halmonie untuk membayar tagihan akhir dari biaya pengobatan eomma. Yang tersisa hanyalah bajuku dan truk. Aku menelpon Appaku, setelah dia tidak pernah datang walau hanya sekali selama tiga tahun Eomma berjuang melawan penyakit kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah satu-satunya keluarga yang aku miliki.
Aku menatap pada rumah besar tiga lantai yang mengarah langsung pada pasir putih di pantai Rosemary, Gyongju. Ini adalah rumah baru Appa. Keluarga barunya. Aku tidak cocok hidup disini.
Pintu trukku tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, aku meraih ke bawah kursi dan mengambil pistol sembilan millimeterku. Aku mengayunkannya dan mengarahkannya pada penyusup itu, memegang senjata itu dengan kedua tanganku siap untuk menarik pelatuknya.
"Whoa…Aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan padaku asalkan kau jauhkan senjata itu," namja jangkung dengan mata bamby berdiri di sisi depan senjataku dengan kedua tangan terangkat dan matanya yang melebar.
Aku menatapnya bingung dan tetap mengacungkan senjataku. Aku masih tidak tahu siapa namja ini. Membuka pintu truk orang lain bukanlah hal biasa bagi orang asing. "Ani, kupikir aku tidak tersesat. Apakah ini rumah Kim Siwon?"
Namja itu menelan ludahnya dengan gugup, "Uh, aku tidak bisa berpikir jika senjata itu diarahkan ke wajahku. Kau membuatku sangat gugup, manis. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum terjadi kecelakaan?"
Kecelakaan? Benarkah? Namja ini mulai membuatku marah. "Aku tidak mengenalmu. Diluar gelap dan aku di tempat asing, sendirian. Jadi, maafkan aku jika kau merasa tidak nyaman saat ini. Kau bisa mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi kecelakaan. Aku bisa memakai senjata. Dengan sangat baik."
Namja itu kelihatannya tidak percaya padaku dan sekarang setelah aku melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun, aku belum siap untuk menurunkan senjataku.
"Kim Siwon?" dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan kepalanya kemudian berhenti, "Chankamman, disini tidak ada Kim Siwon, Ah aku ingat, Appa tiri baru Yunho bernama Siwon. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Heechul pergi ke Jepang."
Jepang? Yunho? Apa? Aku menunggu penjelasan lebih tetapi namja itu terus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. Mengunci tatapanku padanya, aku menurunkan senjataku dan memastikan untuk mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum aku menyimpan senjataku di bawah kursiku. Mungkin dengan senjata itu dijauhkan namja ini bisa fokus dan menjelaskan.
"Kau punya surat ijin untuk memiliki senjata?" tanyanya ragu.
Aku sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjataku. Aku butuh jawaban.
"Siwon di Jepang?" tanyaku meminta konfirmasi. Dia tahu aku akan datang hari ini. Kami sudah membicarakannya beberapa minggu yang lalu setelah aku menjual rumah.
Namja itu mengangguk pelan dan bersikap santai. "Kau mengenalnya?"
Tidak juga. Aku menemuinya dua kali sejak dia meninggalkan eommaku dan aku lima tahun yang lalu. Aku ingat Appa datang ke pertandingan sepak bolaku. Appa yang aku miliki hingga hari dimana saudara kembarku Jaekyung tewas dalam kecelakaan. Appaku yang mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Namja yang tidak menelponku dan memastikan aku baik-baik saja sementara menjaga eommaku yang sakit, aku tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.
"Aku putrinya, Jaejoong. Kim Jaejoong"
Mata namja itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke belakang dan tertawa. Apakah itu lucu? Aku menunggunya untuk menjelaskan ketika dia mengulurkan tangannya. "Ayo Jae, aku ingin kau bertemu dengan seseorang. Dia akan menyukainya."
Aku menatap tangannya dan meraih tasku.
"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu? Haruskah aku memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada menggoda di suaranya menjauhkanku dari berkata kasar.
"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk. Aku ketakutan."
"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengacungkan senjata pada seseorang? yeoja sial, dari mana asalmu? Kebanyakan yeoja yang aku kenal akan menjerit atau semacamnya."
Kebanyakan yeoja yang dia kenal tidak terpaksa untuk melindungi dirinya hampir selama tiga tahun. Eommaku sakit untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun yang menjagaku. "Gongju," jawabku sambil mengacuhkan uluran tangannya dan melangkah keluar dari truk.
Angin sepoi pantai membelai wajahku dan bau asin dari laut terasa begitu nyata. Aku belum pernah melihat laut sebelumnya. Paling tidak belum secara langsung. Aku melihatnya di lukisan dan film. Tapi baunya, benar-benar seperti apa yang aku harapkan.
Aku meraih ke belakang truk mengambil koperku.
"Sini, biar aku saja," ia berjalan mengitariku kemudian meraih koper besar Eommaku di bagasi truk yang tersimpan di lemarinya untuk 'perjalanan jauh' yang tidak pernah kami lakukan. Dia selalu berbicara tentang bagaimana kami akan mengunjungi gyongju suatu hari nanti. Tapi, meski hanya berjarak sejauh 200 kilometer dari rumah, kami sama sekali tak pernah bisa melakukannya. Karena kemudian eomma jatuh sakit.
Menghilangkan ingatan itu, aku fokus pada masa sekarang. "Gomawo, emm…aku belum tahu namamu."
Namja itu menarik koper keluar kemudian berpaling padaku.
"Mwo? Kau lupa untuk bertanya ketika kau punya senjata sembilan millimeter yang diarahkan padaku?" jawabnya.
Aku mendesah. Oke, mungkin aku menjadi sedikit berlebihan dengan senjata tetapi namja ini membuatku takut.
"Aku Changmin, a, uh, teman Yunho."
"Yunho? Nugunde?" Nama itu lagi. Siapa itu Yunho?
Changmin menyeringai lebar lagi. "Kau tidak tahu siapa itu Yunho?" dia benar-benar gembira. "Aku sangat senang kau datang malam ini."
Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah, "Ayo. Aku akan memperkenalkanmu."
Aku berjalan disampingnya saat dia membawaku menuju rumah. Musik di dalam rumah begitu keras saat kami mendekat. Jika Appaku tidak ada disini, lalu siapa disana? Aku tahu Heechul istri barunya tetapi hanya itu saja yang aku tahu. Apakah ini pesta anaknya? Berapa usia mereka? Dia punya anak, bukan? Aku tidak ingat. Appa tidak memberitahuku dengan jelas. Dia bilang aku akan menyukai keluarga baruku tetapi dia tidak bilang siapa keluarga baru itu.
"Jadi, Yunho tinggal disini?" tanyaku.
"Ya, dia tinggal disini, paling tidak saat musim panas. Dia pindah ke rumahnya yang lain sesuai musim."
"Rumahnya yang lain?"
Changmin tertawa, "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga yang dinikahi appamu, Jae?"
Dia tidak tahu. Aku menggelengkan kepala.
"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan," jawabnya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menatapku. "Jung Yunho adalah kakak tirimu. Dia anak tunggal dari drummer terkenal Larc en ciel, Yukihiro. Orang tuanya tidak pernah menikah. Eomma nya, Heechul, adalah salah satu penggemarnya saat itu. Ini rumahnya. Eommanya bisa tinggal disini karena Yunho mengijinkannya." Changmin berhenti dan melihat ke belakang pintu, dan membukanya. "Semua yang ada disini temannya."
Seorang yeoja mungil, dengan rambut panjang, langsing memakai gaun mahal pendek berwarna biru dan sepasang heels yang jika aku mencoba untuk memakainya akan mematahkan leherku mereka berdiri disana menatapku. Aku tidak melewatkan kernyitan di wajahnya. Aku tidak mengenal orang seperti ini tapi aku tahu dia tidak akan mendatangi tempat yang aku datangi.
"Well, anyong Boa," jawab Changmin dengan nada mengganggu.
"Nugu?" yeoja itu bertanya, mengalihkan tatapannya pada Changmin.
"Chingu. Hapus ancaman dari wajahmu Boa, itu terlihat tidak cocok untukmu," jawabnya, meraih tanganku dan mendorongku masuk kedalam rumah dibelakangnya.
Ruangan itu tidak seramai yang aku bayangkan. Saat kami melewati serambi yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung mengarah ke tempat yang aku kira adalah ruang tamu. Meskipun begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirku atau rumah yang pernah menjadi rumahku. Dua pintu kaca berdiri dengan pemandangan laut yang mempesona. Aku ingin melihatnya lebih dekat.
"Sebelah sini," ajak Changmin sambil dia berjalan menuju…bar? Yang benar saja? Ada bar di dalam rumah?
Aku menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti saat itu juga dan menatapku sekilas. Aku merasa tersanjung.
"Hyung, kenalkan Jaejoong, aku yakin dia mungkin milikmu. Aku menemukannya di luar dan terlihat sedikit tersesat," ucap Changmin dan aku mengalihkan tatapanku dari kumpulan orang-orang yang penasaran untuk melihat siapa itu Yunho.
Oh.
Oh. My.
"Oh ya?" jawab Yunho dengan malas dan maju dari posisi santainya di sofa dengan bir ditangannya. "Dia menarik tapi masih muda. Tidak bisa dikatakan dia milikku."
"Oh, dia memang milikmu. Appanya pergi ke Jepang dengan eommamu selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar ditempatku jika kau mau. Hanya saja jika dia berjanji untuk meninggalkan senjata mematikannya di truk."
Yunho mengernyitkan alisnya dan mengamatiku lebih dekat. Matanya menatapku tajam. Mengingatkanku akan mata musang. Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.
"Bukan berarti dia milikku," akhirnya dia menjawab dan bersandar lagi di sofa dimana dia berbaring saat kami muncul.
Changmin membersihkan tenggorokannya. "Jangan bercanda hyung."
Yunho tidak menjawab. Malah dia minum dari botol berleher tinggi di tangannya. Tatapannya bergeser pada Changmin dan aku bisa melihat peringatan disana. Aku akan meminta ijin untuk segera pergi. Ini tidak bagus. Aku hanya punya dua puluh ribu won di dompetku dan aku hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual semua yang aku miliki. Ketika aku menelpon appaku aku bilang kalau aku butuh tempat tinggal hingga aku dapat kerja dan menghasilkan cukup uang untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberiku alamat ini mengatakan padaku dia akan sangat senang jika aku mau tinggal bersamanya.
Perhatian Yunho kembali padaku. Dia menungguku untuk mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk kukatakan? Sebuah seringai terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata padaku.
"Aku punya banyak tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh." Dia mengalihkan tatapannya pada Changmin. "Kupikir lebih baik kita membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa menghubungi Appanya."
Rasa jijik di lidahnya saat dia mengatakan kata "Appa" telah lenyap tanpa diketahui. Dia tidak menyukai appaku. Aku tidak bisa menyalahkannya. Ini bukan salah namja ini. Appaku yang menyuruhku ke gongju. Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk membeli bensin dan makanan di perjalanan menuju kemari. Apa yang mengharuskanku untuk percaya pada seorang namja?
Aku meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Changmin. "Dia benar. Aku seharusnya pergi. Ini adalah hal sangat buruk," aku menjelaskan tanpa melihatnya. Aku menarik keras koper dan dia melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat mataku saat aku sadar aku merindukan rumah mulai menusukku. Aku tidak sanggup melihat mereka.
Berbalik, aku menuju pintu, menahan kesedihanku. Aku mendengar Changmin berdebat dengan Yunho tapi aku mengabaikannya. Aku tidak mau mendengar apa yang dikatakan namja tampan itu tentang aku. Dia tidak menyukaiku. Itu terlihat jelas. Appaku nampaknya bukanlah anggota keluarga yang diharapkan.
"Kau akan segera pergi?" sebuah suara yang mengingatkanku pada sirup lembut bertanya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat senyum gembira pada yeoja yang membuka pintu sebelumnya. Dia juga tidak ingin melihatku disini. Apakah aku menjijikkan bagi semua orang? Aku langsung menjatuhkan tatapanku pada lantai dan membuka pintu. Aku masih punya banyak harga diri untuk tidak membiarkan yeoja jalang itu melihatku menangis.
Saat aku sampai di luar rumah dengan selamat aku menangis terisak dan berjalan menuju trukku. Jika aku tidak membawa koper aku akan lari. Aku harus mencari perlindungan. Aku masuk ke dalam trukku, bukan di dalam rumah lucu itu dengan orang-orang sombong. Aku merindukan rumahku. Aku rindu Eommaku. Isakan lainnya meluncur bebas dan aku menutup pintu truk dan menguncinya dibelakangku.
