WHY?
.
.
.
Cast:
Kim Jaejoong
Jung Yunho
Other casts
Rate : T
Genre : Drama
Author : ayy88fish
Disclaimer : Yunho milik umma kitty. Jaejoong milik appa beruang. Cerita milik saya.
Warning : Sho-ai, gaje, typo(s). No beta. No edit.
.
.
.
.
Aku masih mencintaimu. Padahal waktu terus berputar dan meninggalkan sesuatu yang bernama 'masa lalu'. Harusnya aku melupakanmu dan berjalan bersama waktu. Nyatanya aku terjebak di sini, tepatnya aku membiarkan langkahku terhenti di satu titik. Titik ketika aku begitu mencintaimu. Egois? Memang. Tapi ada yang lebih egois. Kau. Karena sampai sekarang kau masih tak mau jujur untuk memilikiku.
.
.
Bertahun-tahun semua kode yang ku miliki selalu berhubungan denganmu. Akun pribadi, kode masuk apartemen, PIN ATM dan kartu kredit, bahkan inisial 'pen name' ku juga berhubungan denganmu. Tak pernah berubah. Mungkin, aku yang tak ingin mengubahnya.
.
.
.
.
"Kau dimana?" suara bass seseorang yang sangat ku kenal menyapa gendang telingaku.
"Aku masih di kantor. Ada apa?" jawabku. Berusaha terlihat setenang mungkin, meski dalam hati aku berteriak kegirangan.
"Yah.. Padahal aku sudah di depan rumah mu?" sesalnya.
"Mwo?" pekikku kaget.
"Ne. Aku sudah di depan rumahmu."
Aku langsung mengambil jaket dan kunci mobil. Tidak lupa tas selempang yang berisi beberapa kebutuhan harianku selama keluar rumah. Kemudian meninggalkan secarik kertas memo yang kutempelkan di tumpukan kertas paling atas. Kertas-kertas yang seharusnya kuserahkan hari ini kepada editor. Tapi mendengar suaranya, ani, mendengar langsung darinya bahwa dia datang menemuiku membuatku memilih pulang dan meminta asistenku untuk melanjutkan agenda selanjutnya. Kesempatan ini tentu tak akan ku sia-siakan. Bertemu dengannya yang tinggal berbeda kota denganku membuatku sangat senang bukan main.
"Kau masuk saja dulu. Aku sudah di jalan pulang." Aku mempercepat langkah menuju tempat mobilku diparkir. Beberapa orang yang kutemui membungkukkan badannya, ada juga yang menyapa. Aku hanya membalas sekedarnya. Tersenyum dan melambaikan tangan. Pikiranku hanya terfokus pada seseorang yang menelpon ku kini.
"Bagaimana aku bisa masuk, Jae. Ini kan apartemen mu. Aku tidak punya kuncinya."
"Dia tidak perlu kunci Yun. Tekan saja tanggal lahir mu. Empat digit. Tanggal, bulan lalu tahun."
"Ta.. Tanggal lahir ku?" tanya suara bass di seberang line telepon menyadarkanku. Langkah ku terhenti sejenak.
Astaga. Aku menepuk jidatku. Aku lupa. Kenapa aku memberitahukannya. Pasti setelah ini dia akan mengolok-olokku lagi. Aish.. Pabo. Aku merutuki bibirku yang sudah bicara memalukan. Pasti dia merasa aneh karena aku memakai tanggal lahirnya sebagai kunci rumahku.
"I.. Itu.."
"Arraso. Pasti karena kau mencintaiku kan?" betul kan apa yang ku bilang, dia pasti menggoda ku.
"N- Ne.." wajahku terasa panas saat ini.
Untungnya aku sudah berada di dalam mobil. Kalau tidak, aku tidak tahu bagaimana caranya menyembunyikan mimik malu-malu ku saat ini. Ekspresi yang tidak ingin ku tunjukkan pada siapa pun selain dirinya.
"Baiklah, kalau kau mengijinkan. Aku masuk ya."
"Ne. Aku segera pulang."
"Ku tunggu."
KLIK
Aku menepuk-nepuk pipiku yang tertarik sejak tadi. Tak berhasil menahan senyum. Terlalu senang mungkin. Tidak. Sangat senang. Aku sangat senang. Rasanya aku kembali jatuh cinta padanya. Pada Jung Yunho, kekasih hatiku.
.
.
.
.
Dulu, waktu masih SMA kita berada di kelas yang sama selama 2 tahun. Dan selama itu pula kau selalu memilih bangku jauh di belakangku. Harusnya kau leluasa melihat gerak-gerikku. Termasuk saat aku digoda oleh orang-orang yang tertarik padaku. Termasuk ketika aku bersedih ketika bermasalah dengan kekasihku. Harusnya kau melihat itu semua. Tapi ternyata tidak. Karena kau tak pernah mengisi bangku di sebelahku ketika itu semua terjadi.
.
.
.
.
Aku bersekolah di SMA Shinki. Dulunya ini adalah sekolah khusus namja, tapi sejak empat tahun yang lalu siswa perempuan juga diperkenankan mendaftar di sini. Meskipun tidak banyak tapi sekolah mulai terlihat lebih 'berwarna' sejak kedatangan makhluk cantik itu. Salah satu yang tidak berubah di sekolah ini adalah adanya hubungan tabu sesama namja yang walaupun dijalani secara diam-diam tetap akan mendapat dukungan dari penghuninya. Ya, hampir semua siswa di sekolah ini memiliki namjachingu (meskipun tidak 100%), baik di sekolah ini ataupun di luar. Tapi kami tidak pernah mempermasalahkan itu. Karena kami tahu itu adalah privasi seseorang. Dan kami menghormatinya.
Ada banyak klub yang dapat kau masuki, tapi setidaknya kau harus terdaftar salam salah satu klub untuk mengisi kolom 'pelajaran tambahan' di raportmu. Dan hanya satu klub yang membuatku tertarik. Sayangnya bukan klub menulis seperti yang diperkirakan oleh teman-teman SMP ku, tapi memasak. Terdengar aneh? Tidak. Nyatanya 90% anggota klub ini adalah namja. Hey, jangan lupakan fakta bahwa sekolah ini mayoritas adalah namja. Oke?
Ini adalah pertemuan ketiga, dan rencananya kami para siswa baru akan langsung praktik karena minggu sebelumnya sudah diumumkan bahan yang harus disiapkan. Saat ini di kelas memasak sudah ada 16 siswa baru yang siap belajar, ditambah 4 orang senior sebagai pembimbing. Sesuai arahan sunbaenim, hari ini kami membuat blackforest. Terdengar manis? Ya, semanis para uke yang mengalahkan kecantikan yoeja yang berada dalam ruangan ini. Hahaha.. Oke. Mungkin aku berlebihan, tapi jika kau melihat kami para uke di sini, kupastikan matamu tidak akan sanggup berpaling dari kami.
.
.
TREK
"Makanlah."
"Apa ini?" matamu beralih pada cake yang tadi ku buat. Aku meletakkannya di sampingmu yang sedang mengelap wajah kecilmu itu dengan sebuah handuk kecil. Sebotol air berwadah hijau kau habiskan setengahnya.
"Blackforest. Aku membuatnya di kelas memasak."
"Yunho-ya, istirahatlah dulu. Bisa-bisanya tidak makan sebelum latihan. Bagaimana kalau kau pingsan tadi." Seorang namja berkacamata yang ku kenal sebagai manajer klub sepak bola mendekat ke arah kami. Dia masih ceramah panjang lebar, mengkhawatirkan keadaan lambung Yunho yang terlalu sering dibiarkan kosong oleh pemiliknya. Mengabaikanku yang berdiri di belakang Yunho. Setelah puas, dia menepuk-nepuk pundak Yunho dan memberikan sebuah obat masih dalam bungkusan. Orang baik, pikirku.
Tangan Yunho sudah terulur hendak mengambil blackforest yang tadi ku berikan. Tapi dengan cepat tanganku menyambarnya.
"Wae?" ah, kukira dia sudah melupakan keberadaanku.
"Ani. Sebaiknya tidak jadi saja."
"Kenapa?"
"I- ini.. Aku takut terlalu pahit, takut menyakiti lambungmu."
"Kemarikan." Tangannya mencoba meraih kotak plastik dalam genggamanku. Dengan cepat aku melangkahkan kaki ke belakang.
"Kemarikan ku bilang." Pintamu.
"A- Ani. Nanti lambungmu semakin sakit. Aku tidak mau tanggung jawab." Elak ku.
"Aish.. Sebenarnya kau niat tidak sih memberiku? Selama kau tidak menambahkan racun di dalamnya, maka aku akan baik-baik saja. Arasso." Mataku membulat mendengar tuduhannya tadi. Seenaknya saja mengatakan hal itu.
"Mwo? Ya! Apa maksudmu? Hey, aku bukan manusia licik yang mudah sekali meracuni orang. Dasar. Nih, makan. Awas kalau tidak dihabiskan. Dan jangan mengeluh kalau perutmu sakit lagi." Ucapku sambil menyerahkan kotak transparan itu. Dia mengambilnya dan membukanya. Kemudian menghabiskannya dalam sekejap. Aku yang masih menungguinya terkejut dibuatnya. Lapar apa doyan?
Setelah membuang tempat plastik wadah cake itu, dia kembali menduduki tempatnya. Diambilnya obat yang diberikan manajernya tadi dan meminumnya bersama dengan sisa air dibotolnya. Aku masih berdiri di belakangnya, menanti kata-kata yang akan keluar dari bibirnya. Tapi, sudah 5 menit aku berdiri, dia tidak mengatakan apapun. Malah meladeni Ryeowook sunbaenim dan teman-temannya yang hendak pulang dua puluh menit setelahnya. Dongkol. Begitulah perasaanku saat ini.
Mereka yang sudah siap meninggalkan sekolah menggodamu dengan bersiul-siul kecil atapun membisiki mu sesuatu. Kau menanggapinya dengan senyum kaku. Aku tak tahu pasti apa yang tengah kalian bicarakan, tapi kurasa ada hubungannya denganku. Karena beberapa kali tatapan mereka terarah kepadaku yang duduk di bangku penonton. Bahkan beberapa dari mereka menganggukkan kepalanya padaku seolah berpamitan. Aku hanya bisa balas mengangguk.
Tidak lama kemudian namja tinggi berlesung pipit masuk ke lapangan. Semua mata menuju ke arahnya, kecuali dirimu karena kau duduk membelakangi ku. Langkahnya terhenti di depanku. Dia tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku yang mengerti maksud kedatangannya pun beranjak mendekatinya. Teman-temanmu melihat kami dengan tatapan yang tidak ku mengerti. Baru setelah aku dan namja berlesun pipit itu mendekatimu dan memanggil namamu, kau memalingkan wajah. Menatap kearah kami. Aku melihat ada ekspresi keterkejutan diwajahmu, meskipun kau menyimpannya dengan baik tapi aku masih bisa menangkapnya.
"Kau pulang denganku?"
"Aku sudah janji dengan Donghae."
"Mwo? Aku?" Donghae malah menampilkan wajah bingungnya. Membuat wajahnya yang imut terlihat semakin lucu. Kau menyikut lengan namja berjulukan 'ikan' itu, dan seolah mengerti dia pun mengiyakan kata-katamu barusan.
"Oh, arraso. Ku pikir tadi kau akan ikut denganku. Kalau iya, aku akan mengantar Jaejoong dulu baru menjemputmu lagi."
"Tidak usah. Aku menumpang Donghae saja. Nanti aku akan mengambil motorku sekalian. Antarkan saja nona mu itu pulang."
"Ya! Berhenti memanggilku nona. Aku ini namja." Protesku. Tak lupa dengan kebiasannku mengerucutkan bibir ketika kesal. Tapi kau tidak mengindahkan ku. Malah beberapa temanmu yang menertawai ku.
"Arraso, kalau begitu aku pulang dulu. Hati-hati di jalan. Dan jangan singgah-singgah kecuali mengambil motor itu."
"Ne. Ne. Aish, kau memperlakukanku seperti perempuan saja Siwon ah." Tak pelak itu membuat teman-temanmu tertawa.
"Bye semuanya. Kajja Jae." Siwon menarik tanganku. Membawaku berjalan menjauhi kerumunan namja bersepatu bola.
.
.
.
.
Kue pertama yang kubuat di sekolah, ku berikan padamu. Padahal ada namja yang jelas sedang melakukan pendekatan padaku. Kue kedua ku bagi dua, karena satunya ku berikan pada kekasihku. Karyaku yang ketiga berada dalam 2 wadah yang berbeda. Bulat untukmu, hati untuknya. Dia mengeluh karena puding buatanku tidak sesuai dengan seleranya. Tidak manis.
Masakan-masakan ku yang lain juga selalu ku bagi dua. Dan dia selalu mengeluh. Selalu saja ada yang kurang. Kau? Berterima kasih saja tidak. Tapi entah mengapa kau juga tak pernah menolaknya. Tidak juga memakannya di depanku kecuali kue pertama ku. Membuatku sangsi akan perasaanku dan perasaanmu. Apakah aku akan terus bertahan dengan perasaan ini? Bagaimana sebenarnya perasaanmu padaku? Aku tak pernah tahu.
.
.
.
.
"Puding lagi?" kau menunjuk kotak hitam yang ku letakkan ke atas meja mu.
.
.
Ini masih jam tujuh pagi, sekolah masih sepi karena sebagian besar siswa memilih untuk datang mendekati jam masuk, setengah delapan. Aku tahu kau selalu berangkat awal karena setelah melakukan pekerjaanmu, kau langsung ke sekolah. Tidak kembali ke rumah kakak mu yang cukup jauh. Dan aku juga mulai mengikuti kebiasaanmu datang pagi itu. Tapi berbeda denganmu yang tidur di kelas, aku memilih ke perpustakaan. Karena Sooyoung noona selalu datang awal untuk mengemasi perpustakaan sebelum dibuka. Dan setelah meminjam beberapa buku aku akan kembali ke kelas sambil menunggumu bangun dan kelas terisi oleh teman-teman kita.
Sudah seminggu ini aku datang jam tujuh. Membuat kedua orang tua ku heran. Pasalnya aku adalah namja yang tidak akan bangun tidur sebelum jiji menjilati wajahku dan mengeong dengan keras di telinga ku. Tapi seminggu terakhir, aku bahkan telah rapi ketika jam menunjuk angka 6. Hari ini aku memutuskan berangkat lebih awal, dan tidak ke perpustakaan, melainkan ke ruang memasak dengan bahan makanan di tanganku.
Setelah selesai dengan pekerjaanku, aku masuk kelas dan menemukanmu yang tengah menelungkupkan kepala di meja. Pasti tidur, pikirku. Dengan pelan aku meletakkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Isinya adalah hasil kerjaku selama setengah jam di ruang memasak. Kenapa tidak ku kerjakan di rumah? Bisa-bisa terjadi kegemparan dipagi hari karena kedua orang tua ku shock mendapati anak manjanya masak. Ya, aku hanya masak di sekolah. Tidak pernah mencoba di rumah, karena orang tua ku tidak akan pernah mengijinkannya.
TREK
Suara kotak yang beradu dengan meja mungkin mengganggu tidurmu. Kau mengangkat kepala mu sebentar. Memperlihatkan mata kecilmu yang belum terbuka sempurna. Entah mengapa aku tak bisa beranjak dari sana. Malah memperhatikan pergerakan dari tubuhmu yang tengah merenggangkan badan. Tidur dalam posisi duduk itu memang melelahkan.
Ada ekspresi terkejut tersirat dari wajahmu. Tapi kemudian kau malah menampilkan 'dingin' dan tak bersahabat. Kau melirik kotak yang sebelumnya ku letakkan di meja mu.
"Puding lagi?" kau menunjuk kotak hitam yang ku letakkan ke atas meja mu.
Hasil dapur yang ku berikan pada mu terakhir kali memang puding. Sebuah puding coklat dalam wadah bulat. Tidak terlalu manis tapi cukup gurih mengingat aku menggunakan susu segar, bukannya krimer seperti resep aslinya. Hasil coba-coba. Aku tidak tahu kau memakannya atau tidak, karena waktu itu kau langsung meninggalkanku setelah menerimanya.
Sebenarnya aku membuat dua porsi, dan satunya ku berikan pada Siwon yang saat itu beberapa hari sebelumnya menjadi namjachingu ku. Aku mewadahi puding itu dalam tempat berbentuk hati. Berusaha menampilkan perasaanku padanya. Dan itu adalah masakan ku yang pertama untuknya.
'Tawar.' Ucapnya setelah memakan sebagian. Memang jujur, tapi membuatku sedikit kecewa juga.
"Ya. Aku bertanya, apa ini puding?"
"A- Ani. I- Ini.."
Kau mengangkat kotak itu dan mengendus-endusnya sebentar.
"Baunya tidak seperti puding, wangi. Dan.. Hangat. Kotaknya juga terlalu besar."
Mau tidak mau aku tersenyum melihat tingkahnya. Tinggal dibuka saja kan tidak susah, kenapa harus dianalisis panjang lebar dulu sih.
"Untuk ku kan?" tanyamu lagi. Aku mengangguk mengiyakan.
Senyummu mengembang. Membuatku lupa cara bernafas sementara. Ya Tuhan, sungguh indah makhluk yang Kau ciptakan ini. Aku bersyukur Kau membuatnya berada dalam jarak sedekat ini denganku. Ucapku dalam hati
"Waa.. Kau membuatkanku sarapan, Jae?" aku mengangguk. Matamu berbinar-binar ketika membuka kotak di tanganmu. Sepertinya kau benar-benar senang melihat deretan kimbab yang tersusun rapi di dalamnya.
"Kajja, Jae. Kita makan sama-sama. Aku tidak mungkin menghabiskan ini sendirian." Kau menarik tanganku dan mendudukkan ku di sampingmu. Di bangku milik Donghae.
"Mari makaaaaaan." Ucapmu riang.
Mulutmu terbuka lebar. Memasukkan kimbab dalam satu gigitan besar. Mengunyahnya dengan cepat seolah-olah akan ada yang ikut memakannya jika kau tidak segera menghabiskannya. Aku terpana melihat betapa lahapnya kau memakan potong demi potong kimbab buatanku. Aku tahu pasti itu karena kau lapar bukan karena enak atau tidaknya masakanku itu. Tapi berharap kau akan mengatakan 'Enak' tidak masalah kan?
Aku terkejut ketika matamu memandang ke arahku. Mata musang mu telah menghipnotis ku, membekukan waktu dan melemaskan seluruh otot dan tulang yang ku miliki. Rasanya aku meleleh hanya dengan duduk di sampingmu dan ditatap seperti itu olehmu. Apalagi ditambah senyum yang jarang kau bagi pada siapapun, yang kini tengah kau perlihatkan padaku.
"Aaaa.." kau mengangkat sepotong kimbab ke depan wajahku.
"Uh?" ucapku bingung.
"Buka mulutmu. Aku tahu kau belum makan."
"A- Ani. Aku sudah makan di rumah."
"Ya! Kau kira aku tidak tahu kau sudah di sekolah jam setengah tujuh tadi? Ayo. Buka mulutmu. Aku suap."
"A- Ani. Aku masih kenyang." Aku bersikeras menolaknya meskipun dalam hati aku girang bukan main.
"Ayo, buka mulut mu."
"Ani. Aku masih.."
KRUYUK
Aku diam. Dia diam. Uh, aku merutuki perutku yang tidak mau diajak kerjasama. Menyebalkan sekaligus memalukan.
"Ehem. Ku rasa, perutmu kebih jujur Jae." Dia menahan tawa yang sudah berada di ujung bibirnya. Aku merasakan wajahku memanas menahan malu. Dia memalingkan wajahnya menghindariku. Ku pastikan dia tengah mati-matian menahan tawa, karena ku lihat bahunya bergetar membelakangiku.
"Baaiklah. Baiklah. Aku makan. Kemarikan sumpitnya."
"Andwe. Aku yang akan menyuapimu. Kan sumpitnya hanya satu. Lagipula bekal ini milikku. Kau sudah memberikannya padaku."
Aish.. Apa-apaan itu.
"Cepat buka mulutmu dan jangan biarkan tanganku pegal menggantung begini." Tanpa disuruh dua kali, aku langsung membuka mulutku dan dalam sekejap makanan berbahan nasi itu sudah berpindah ke dalam mulutku.
"Enak?"
Aku mengangguk. Tiba-tiba aku sadar akan sesuatu..
"Ya! Harusnya aku yang bertanya begitu, kan aku yang membuatnya. Aish... Jinja."
Kau tergelak mendengar keluhan ku. Tentu saja. Kan harusnya aku yang minta pendapatnya, kenapa malah aku memberi pendapat atas masakanku sendiri. Aku mengerucutkan bibir tanda kesal. Kau malah semakin mengeraskan volume tawamu, memaksa ku ikut tertawa. Melupakan kehadiran seseorang yang mematung di depan pintu kelas.
"Jae, ternyata kau di sini."
Aku berdiri begitu menyadari seseorang yang datang memasuki kelas. Dia memang tersenyum, tapi aku tahu ada luka di dalamnya. Menemukan kekasihmu duduk bersebelahan di kelas yang kosong bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi jika harus melihat adegan mu yang menyuapi ku kimbab tadi.
"Hai Yun." Sapanya pada mu.
"Yo."
"Kau bawa bekal? Tumben noona mu membuatkan bekal. Biasanya kau ke kantin kalau lapar."
"Hm.." gumaman menjadi jawaban. Tidak ingin membahas dari mana asal makanan itu sepertinya.
"Oh ya, Jae, dari tadi aku menghubungimu tapi tidak kau angkat. Dan aku juga ke rumahmu, tapi Oemma mu bilang kau sudah berangkat."
"M- Mianhae. Ponselku silent."
"Gwenchana, aku hanya khawatir terjadi sesuatu padamu. Akhir-akhir ini kau menghindariku." Aku menggeleng, kemudian tersenyum kaku.
"Mianhae kalau kau merasa terabaikan. Aku sedang ingin sendiri."
"Apa ada masalah?"
"Tidak. Hanya sedikit lelah karena banyak tugas akhir-akhir ini." elakku. Aku berbohong setengahnya.
"Arraso."
Kau masih memakan kimbab itu. Mengabaikan kehadiran kami yang mulai terlihat tidak akur setelah tiga bulan menjadi sepasang kekasih.
"Kau tidak menawariku, Yun? Kelihatannya enak sekali."
Kau melihatku sebentar seolah meminta ijin padaku. Aku mengangguk menyetujuinya. Kau pun menyerahkan kotak itu serta sumpitnya padanya. Isinya tinggal 2 potong kimbab. Dia tersenyum dan berterima kasih. Aku merasa tidak nyaman dengan situasi itu memilih keluar. Menghindari pertanyaan lain yang bisa saja terlontar dari bibir Siwon. Setidaknya Siwon tidak mengeluh di depan mu.
.
.
Sampai akhirnya kekasihku tahu bahwa aku membagi masakanku dan juga hatiku menjadi dua. Untuknya juga untukmu. Setelah itu kami bertengkar hebat. Hal yang paling menyakiti kami adalah, kau sesungguhnya berada di antara kami. Dekat. Terlalu dekat. Sampai-sampai aku tak menyadari bahwa kau adalah bayangannya. Bukan. Kalian adalah bayangan satu sama lain. 'Kembar tak identik dari orang tua yang berbeda.' itu yang sering dikatakan oleh teman-teman kita.
.
.
Jam pelajaran terakhir sudah usai sejak satu jam yang lalu. Tapi aku terjebak hujan sejak tadi dan tidak bisa pulang. Siwon yang berniat mengantar pulang juga tidak mau ambil resiko melajukan motornya di tengah hujan deras begini. Meskipun rumah ku dekat dan aku biasa jalan kaki tetap saja kami akan basah kuyup jika memaksa pulang. Beberapa siswa yang mengenakan seragam yang sama dengan kami juga tertahan di sini. Tidak berani menerobos air yang jika menyentuh kulitmu akan membuatnya sakit saking besarnya butiran yang jatuh.
Aku mendudukkan tubuhku di kursi panjang yang terletak di depan kelas, di lorong yang memisahkan kelas 1C dengan 1B. Tanganku membuka lembaran komik yang selalu ada di tasku. Siwon duduk di sebelahku tak tenang. Aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikannya.
"Katakan bagaimana sebenarnya perasaanmu pada ku, Jae?" ucapnya kemudian.
"Apa maksudmu?" mataku masih enggan beralih dari komik Naruto kesukaan ku.
"Apa aku hanya pelarian?"
"Pelarian apa maksudmu? Jangan mengada-ada Choi Siwon."
"Tentu saja, Jung Yunho. Apa kurang jelas? Apa aku salah?" aku tertawa miris. Berbalik menatap namja yang sudah lima bulan ini menjadi kekasihku.
Beruntung hujan turun dengan sangat deras dan tidak ada orang lain yang dududk di dekat kami. Jika tidak, mereka pasti akan mendengar suara Siwon dan nafasnya yang memburu kini. Cemburu. Siwon hanya salah paham menurutku.
"Katakan pada ku Jae. Apa kau mencintainya?" bibirnya ditempelkan ke telinga ku. Aku terdiam sebentar mencerna kata-katanya.
Kenapa namja yang sudah menjadi kekasihku bisa-biasanya menanyakan hal itu?
"Karena semua terlihat jelas Jae. Kau mencintainya, kan?" ucapnya seolah mengerti jalan pikiranku.
"Aku tahu tatapan mu untuknya berbeda, Jae. Matamu selalu tertuju padanya meskipun kau sedang bersamaku. Dan bukan tidak mungkin hatimu juga ikut tercuri olehnnya. Kau rela bangun pagi dan membuatkannya sarapan. Juga semua resep klub memasak yang kau buat, kau berikan tidak hanya untukku tapi untuknya juga. Benar kan, Jae?"
Aku menutup komik ku. Kesal rasanya. Sungguh. Bukan hanya karena Siwon yang mampu mengartikan perhatianku pada mu tapi juga ketidakpekaan mu terhadap perasaanku.
"Jawab Jae." Desaknya.
"Ani. Aku tidak punya perasaan apa pun padanya. Kau hanya terlalu posesif, Wonnie."
"Kau mungkin bisa membohongi orang lain Jae, tapi tidak denganku. Mengaku sajalah. Itu lebih melegakan ketimbang aku selalu di sisimu tapi hati dan pikiranmu tertuju pada sahabatku sendiri."
"Berhenti Choi Siwon. Jangan katakan apa pun."
"Jae, kumohon. Jujurlah."
"Apa mau mu sebenarnya?!" suara ku meninggi.
Sudah cukup. Siwon sudah keterlaluan karena memaksaku mengingat rasa yang tak pernah terbalas ini. Padahal bagiku mencintaimu dalam diam sudah lebih dari cukup. Aku tidak pernah ingin mendapatkan balasan, karena aku tidak mau sakit, tapi sekarang?
Aku jadi tak bisa mempercayai perasaanku lagi. Mungkin saat itu dia memang datang pada saat yang tak tepat. Membuat hatiku sedikit goyah untuk terus menyimpan namamu. Tapi sungguh. Aku tak pernah berniat mempermainkannya. Apalagi melukai hatinya. Semua terjadi begitu saja. Ketika sadar, ternyata kami sudah sama-sama terluka.
"Kau tahu kan, dia sahabat ku Jae." Ucapnya lirih.
.
.
PUTUS. Keputusan terakhir ku ambil sebelum aku menyakitinya lebih dalam. Tapi dia malah menahan ku pergi. Menyatakan bahwa dia sanggup menunggu ku merubah haluan. Membuatku menangis. Berharap kata-kata itu keluar dari bibirmu.
.
.
Menjalani hari yang tak sama. Esoknya aku sudah menjadi 'sahabat' dari sahabatmu. Tak ingin membuatnya berharap pada sesuatu yang aku sendiri tak bisa memastikan. Melepasnya atau pergi darinya itu lebih baik daripada mengikatnya pada sesuatu yang tak jelas. Akan ada banyak kesiaan jika dia terus mengharap padaku. Dan aku tak mau. Cukup aku saja yang merasakan cinta tak berbalas ini.
.
.
Dia menerima keputusanku. Tapi tetap tidak menyerah untuk mendapatkan hatiku kembali. Sama seperti aku yang belum menyerah untuk mendapatkan hatimu.
.
.
Siwon masih memperlakukan ku sama seperti ketika kami masih menjadi sepasang kekasih. Hingga tak ada orang yang tahu tentang berakhirnya hubungan kami. Tidak juga kau.
Setelah kejadian di kelas waktu itu, kau selalu menghindariku. Meskipun tidak pernah juga menolak setiap makanan yang ku berikan padamu. Aku tahu, kau tak enak hati. Karena saat itu, Siwon benar-benar terlihat cemburu.
Seperti hari ini, ketika jam pelajaran berakhir kau menjadi orang pertama yang melangkahkan kaki keluar kelas. Bukan karena yang lainnya masih malas-malasan pulang, tapi karena kau pindah bangku, bertukar dengan Eunhyuk yang duduk di dekat pintu keluar.
Aku masih tetap memberikan hasil praktik memasak untukmu. Tapi kali ini hanya bisa ku letakkan di laci meja mu. Berharap kau masih mau memakannya meskipun tak akan ada kata yang terlontar setelahnya. Setiap kali mengingat segitiga antara kita dan Siwon, membuat hatiku sedih. Aku tidak bisa menolak kebaikan hatinya tapi juga tidak mampu berpaling darimu. Membuat dadaku sesak. Tak jarang aku menangis karenanya. Aku menjadi orang jahat karena tidak mau melepaskan salah satu dari kalian. Ya, aku egois.
.
.
.
.
Kelas 2 kita menjadi dekat dengan sendirinya. Melupakan hal yang pernah terjadi di kelas satu. Tapi selain itu, mungkin karena Siwon juga sudah punya seseorang, hingga dia tidak begitu menempel lagi denganku. Kau yang saat itu kontrak tak jauh dari rumah sering pulang jalan kaki denganku. Kita jadi sering saling menunggu jika bel pulang berbunyi. Teman-teman juga mulai sering menggoda melihat kedekatan kita..
.
.
"Annyeong haseo. Kim Hyun Joong imnida. Semoga kita bisa berteman baik." Seorang namja tinggi menjadi siswa baru di hari keempat semester kedua.
"Nah, duduklah di bangku kosong di sana." Park sonsaenim menunjuk bangku di belakangku. Tempat milik Hangeng yang ditinggal pemiliknya pindah ke China beberapa bulan lalu.
Sifatnya yang ramah membuatnya memiliki banyak teman dalam waktu singkat. Tak terkecuali denganku. Kami sering membahas pelajaran bersama. Juga membicarakan tentang hobby kami yang ternyata sama. Menulis. Tak jarang kami bertukar tulisan dan menjadi editor dadakan satu sama lain, baik melalui softcopy ataupun lembaran yang sudah diprint.
Dia membanggakan ku kepada teman-teman ketika aku berhasil memenangkan lomba masak yang diadakan sekolah dalam rangka ulang tahun yang ke-37. Padahal seluruh siswa tahu, tapi dia terlihat tak pernah bosan memuji cake yang ku buat waktu itu.
"Itu adalah cake terenak yang pernah ku makan." Katanya. Hal yang selalu kuharapkan meluncur dari bibir hatimu.
Dan sejak saat itu, aku tidak lagi memasak 'hanya' untukmu, tapi juga untuk teman-teman kita. Ada yang minta dibuatkan untuk pesta ulang tahunnya atau sekedar membawa pulang untuk camilan. Dan aku senang karena aku bisa membuat lebih banyak orang tersenyum ketika memakan kue buatanku.
"Hai chef, sedang apa? Kelas sudah kosong lho." Ucapmu endudukkan diri di sebelahku lalu melihat sampul buku yang tengah kutulisi.
"Lepaskan tanganmu. Aku jadi tidak bisa menulis."
"Memangnya apa itu? buku resepmu?" tanya mu penasaran.
"Ani. Ini buku Hyun Joong."
"Kim Hyun Joong? Kenapa bisa ada padamu?"
"Kami berbagi tulisan dan menuliskan komentar kami setelahnya. Aku menulis di buku ini dan Hyunnie menulis di buku ku." Aku masih menulisi kata demi kata yang menjadi catatan khusus untuk cerpen yang diberikan Hyun Joong padaku semalam.
"Hyunnie? Kau memanggilnya apa tadi?"
"Wae? Ada yang salah?" aku menghentikan kegiatanku dan melihat ke arah mu. Jelas sekali kau tidak suka mendengar panggilan yang ku berikan pada Hyun Joong.
"A- Ani. Sepertinya dia memang sudah merasuki hatimu. Apa ku bilang, dia tertarik padamu Jae. Harusnya kau mendengarkan ku dari dulu. Namja playboy begitu. Apa bagusnya sih dia itu. Suka sekai mencuri perhatianmu." Kau merepet tanpa henti. Aku terkikik geli mendengarnya.
"Wae? Kau cemburu oeh?"
"Ya! Untuk apa aku mencemburui namja begitu."
"Kau cemburu karena aku jarang pulang denganmu lagi." Memang benar, sejak hubungan ku dan Hyun Joong semakin dekat, aku jadi sering pulang dengannya karena ingin ke perpustakaan bersama.
"Dan kau tidak menjadi satu-satunya orang yang menikmati masakanku. Benar kan?"
"A- Ani. Huh. Percaya diri sekali." Kau tertawa kaku. Wajahmu memerah, aku semakin ingin menggodamu. Dan tanpa berpikir dua kali, aku mengeluarkan kalimat yang tabu untuk ku ungkapkan padamu.
"Atau, kau menyukaiku." tawamu terhenti.
Kau langsung berdiri dan berlalu dari hadapanku begitu saja. Meninggalkanku yang memasukkan buku Hyun Joong tadi ke dalam tas. Mengabaikanku yang memanggil-manggil namamu bermeter-meter di belakangmu karena kau berjalan dengan cepat menggunakan kakimu yang panjang.
.
.
.
.
"Jaejoong ah. Kau di sini rupanya." Oh, Seunghyun hyung masuk ke kelasku diikuti tatapan aneh teman-temanku.
Rasanya sedikit aneh karena sebelumnya dia tidak pernah dekat denganku. Dia mendorong kursi Junsu agar merapat ke kursi ku. Jangan tanya dimana Junsu, kemungkinan besar dia tengah main sepak bola dengan teman-teman se klubnya termasuk Yunho. Kebetulan cuaca sedang berawan, jadi rasanya cukup teduh meskipun berlari-lari di jam 12 ini.
Aku tengah membaca komik naruto jilid terbaru. Dia mengambil komik itu karena aku tak kunjung menanggapi omongannya. Dia membujukku agar mau menjadi panitia lomba menulis untuk kalangan SD dan SMP. Mencari bibit baru yang nantinya akan meneruskan kebiasaan menulis yang semakin lama semakin ditinggalkan karena banyaknya anak usia sekolah memilih menghabiskan waktunya dengan game.
Seunghyun hyung mendengar tentang tulisanku dari Hyun Joong yang berpacaran dengan adik sepupunya. Dan dia terarik merekrutku untuk menjadi anggota klub menulis. Juga menjadi juri untuk lomba yang akan diadakan dua bulan lagi. Aku menolak dengan halus. Beralasan bahwa aku juga punya amanah di klub memasak, dan tidak mau waktuku terbagi karena akan membuatku tidak fokus menjalani keduanya. Dan aku juga menolak menjadi juri karena kurasa aku juga masih harus banyak belajar dalam menulis.
Seunghyun hyung kesal karena aku mengabaikannya. Dia menarik komikku dan melayang-layangkannya ke udara. Tubuhnya memang lebih tinggi dariku, jadi aku sedikit kesulitan untuk meraihnya. Tiba-tiba dari arah pintu aku melihatmu masuk dengan baju sedikit basah di bagian punggung. Oh, dan tetesan keringat dari dahi mu yang membuatmu terlihat semakin seksi. Kau berjalan ke bangku mu lalu mengambil handuk dari dalam tas. Kemudian berjalan ke mejaku dan menariknya membuat jarak yang besar antara meja dengan kursi. Belum tuntas kebingunganku, kau kini mengambil posisi diantara kami. Membuatku mengambil jarak karena kau duduk di pahaku. Tak hanya itu, kau juga mengambil komikku dari tangannya dan membacanya keras-keras ketika aku tengah berbicara dengan Seunghyun hyung.
Aku cukup berterima kasih karena sikapmu. Tak hanya sekali kau berbuat seperti itu, hampir setiap kali Seunghyun hyung datang, kau berulah dan menjadi pemisah diantara kami. Teman-teman semakin sering menggoda kita dan menciptakan couple tak resmi bernama YunJae. Tak ketinggalan Yoona dan Yuri yang sekelas dengan kita yang ternyata adalah fujoshi. Mereka menyebarkan virus YunJae dan membiarkan seluruh sekolah tahu bahwa Kim Jaejoong adalah milik Jung Yunho, dan Jung Yunho hanya milik Kim jaejoong. Tidak ada yang boleh memisahkan. Seunghyun hyung pun akhirnya mundur teratur karena sikap kekanakanmu yang selalu mengusik keberadaannya di sekitarku dan juga dukungan teman-teman yang mempercayai bahwa YunJae is real..
.
.
.
.
#krek krek#
Lemaskan otot sebentar. Haaaaaaaaaaah..
Annyeong chingudeul. Lega deh kalo udah selese gini. Ayy lagi mengingat masa lalu gegara buka diary. Kadang-kadang nangis gaje, kadang juga ketawa nista waktu bacanya. Ternyata banyak waktu yang udah terlewat dan ayy bahagia karena banyak kejadian terjadi dan ayy merhasil mencatatnya dengan rapi diatas lembaran kertas. Yup, hobby ayy sejak smp karena ngotot belajar bahasa inggris. Walopun sekarang hasilnya masih ancur-ancuran. Haha..
Tapi sekarang udah nggak bisa kayak dulu lagi tiap hari nulis. Banyak kerjaan juga tugas yang harus diselesaikan. Nulis setengah halaman itu udah banyak banget lho. Beda banget sama waktu sekolah. Soalnya dulu kan sambil ngayal juga. Haha..
Malah curcol ya. FF ini juga curcol kok. Kisahnya siapa? Hoho.. Jangan tanya ayy, tanya aja sama awan yang bergoyang, eh rumput yang bergoyang. Terima kasih sudah baca ^^
