Title: Forgotten Memories
Author: Allotropy Equilibria ( allotropy117)
Genre: angst, romance, hurt/comfort, a little bit fantasy maybe
Cast: Nam Sunghyun (OC), Nam Woohyun, Kim Sunggyu, other Infinite's members
Pairings: WooGyu
Length: multichapter
Rating: T
Disclaimer: Semua cast yang ada di sini adalah milik Tuhan dan memiliki diri mereka masing-masing. Papih Woohyun dan Mamih Sunggyu saling memiliki~ 3 Saya hanya punya alur cerita aneh ini saja. Ide murni keluar dari sel-sel kelabu dalam otak saya.
Warnings: typos, setting ngaco (AU), shonen ai a.k.a boyxboy. Mpreg! Kalo ga suka, ga usah baca, seriusan.
No Bashing. No Flame ^_^
.
Oke deh enjoy the story guys~
.
.
.
Forgotten Memories
Fragment_01
.
Pagi yang cerah di Infinite High School itu diwarnai oleh kasak-kusuk siswa-siswi di depan gerbang utama. Rutinitas yang biasa ditemui sebelum bel tanda masuk berdentang. Gerombolan seluruh penghuni lembaga pendidikan elit di Kota Seoul ini memadati pelataran berbatu menuju bangunan bertingkat yang megah. Angin musim semi menggelitik paras-paras cerah yang dipenuhi raut tegang dan harap. Berbagai obrolan menemani kicauan burung di dahan.
Decit ban tanda sebuah mobil merah berhenti di depan pintu gerbang, secara otomatis menghentikan segala kasak-kusuk yang ada. Hanya selang beberapa hitungan sebelum satu sosok berseragam keluar dari alat transportasi itu dan pekarangan Infinite High dipenuhi gelombang jeritan dan seruan. Serempak menyerukan satu kalimat;
"SELAMAT PAGI, SUNGHYUN-AH!"
Sosok bersurai kelam, dengan iris segaris dan raut mungil itu mengembangkan senyum lebar. Irisnya yang tipis semakin menghilang di balik kelopak mata seiring sahutan riang keluar dari kerongkongannya. "Annyeong yeoreobeun!" Jemari indahnya terangkat dan melambai ke berbagai arah.
Tarikan kurva cekung itu tak hilang dari parasnya seiring kaki jenjangnya melangkah menjauhi pintu masuk. Ratusan siswa dan siswi mengekor di belakang sosoknya menuju bangunan kelas.
.
.
.
"Sunghyun-ah! Kenapa kau tidak bilang-bilang kalau ikut lomba ini?!"
Jeritan heboh itu adalah kalimat pertama yang mencapai telinga Sunghyun setelah bel tanda istirahat berbunyi. Bahkan meski Oh-songsaengnim belum mencapai pintu kelas sekalipun, yeoja-yeoja itu tidak peduli dan langsung mengerubungi bangku Sunghyun yang berada di dekat jendela.
Sosok bersurai kelam dengan iris tipis yang tampak mengantuk itu memandang rekan sekelasnya dengan raut heran. "Lomba apa?" tanyanya.
"Ini! Ini! Ini kau, kan?"
"Kyaaaaa! Kau manis sekali di sini Sunghyunnie~~"
Manik hitam berukuran kecil itu menatap lembaran majalah yang ditunjuk-tunjuk dengan penuh semangat oleh salah satu dari yeoja yang mengerubunginya. Menampilkan sosoknya yang sedang mengenakan sweater rajutan warna merah dan celana jeans selutut, di bawah judul besar: "THE NEW ULZZANG BOYS".
"Ah, itu hanya iseng," ucapnya dengan seulas senyum yang tak kalah manisnya dengan yang ia tampilkan di majalah itu. Membuat yeoja-yeoja yang mengerubunginya mendadak terpaku karena terpesona.
"Sejak kapan kau ikut lomba itu? Kau tidak mungkin menang, kan?" Perkataan Shin yang sarkastis membuat siswi-siswi yang mengerubungi kursi mereka mendelik kearahnya dengan kesal.
"Sunghyunnie menang, tau!"
"Tentu saja Sunghyun menang!"
Seru mereka tak terima. Sementara objek yang mereka ributkan hanya terkekeh. Sama sekali tidak tersinggung dengan cibiran sobatnya yang bertampang es dan sering ceplas-ceplos itu.
"Karena kau menang, apa berarti kau akan jadi model tetap majalah itu, Sunghyun-ah?" tanya salah satu fans-nya dengan mata berbinar.
Sunghyun mengangguk dengan cengiran lebar. "Mulai minggu depan, pastikan kalian beli majalah itu, ya?" ujarnya diiringi sebuah kedipan mata yang sontak saja membuat para yeoja menjerit histeris.
"Tentu saja! Tentu saja! Kami pasti beli!"
"Aku pasti akan mengoleksi semua edisi majalahnya!"
"Kami juga pasti akan beli, Sunghyun-ah!"
Seruan terakhir itu berasal dari gerombolan para namja yang duduk tak jauh dari kumpulan para yeoja yang mengerubungi bangku Sunghyun. Seruan yang seketika membuat para siswi kelas 1-7 itu mendelik dan ber-"Buuu" ria. Menciptakan pertengkaran kecil yang sebetulnya tak penting antara kubu namja dan kubu yeoja di kelas itu. Menyisakan Shin yang tak peduli dan hanya mendengarkan lagu dari headphone-nya dan Sunghyun yang lagi-lagi hanya terkekeh.
Keributan di kelas itu mendadak terhenti saat speaker yang terhubung dari ruang siaran sekolah berbunyi. Menyuarakan pengumuman atau berita-berita terpanas yang memang biasa disiarkan saat jam istirahat makan siang ini
["Siang, Inspirit~~~ Hari ini ada berita terhangat yang pasti akan membuat bangunan ini sebentar lagi akan rubuh karena teriakan kalian semua, hehehe. Penasaran? Kabar terhangat siang ini adalah...Jeng jeng... Nam Sunghyun dari kelas 1-7 mendapatkan medali emas pada All Women Taekwondo Tournament yang diadakan hari Sabtu lalu untuk seluruh high school di Korea Selatan! Selamat kepada Pangeran kita yang sudah membawa nama baik Infinite High School! Kepada Pangeran Sunghyun, kepala sekolah menunggumu di ruangannya~"]
Sesuai dengan yang dikatakan siswa anggota klub penyiaran itu, seketika bangunan elit Infinite High dipenuhi jeritan dan sorakan mengelukan "pangeran" mereka yang baru saja memenangkan kejuaraan taekwondo kelas flyweight putri itu.
Menanggapi berbagai pujian kekaguman yang dilontarkan padanya, Sunghyun hanya melambaikan tangan dengan cengiran lebar dan berjalan menuju ruang kepala sekolah. Meninggalkan rekan satu sekolahnya yang semakin terpesona pada sosoknya.
Tidak, aku tidak salah ketik. Penyiar itu juga tidak salah ucap. Kejuaraan itu juga tidak salah nama. Nam Sunghyun memang memenangkan medali emas pada kejuaraan Taekwondo putri tingkat SMA se-nasional.
"Aaaahhh! Kenapa Sunghyunnie begitu keren?!"
"Seandainya dia namja, aku mau jadi yeojachingunyaa!"
"Sekarang pun aku mau jadi yeojachingu-nya! Hahahaha!"
"Benar. Benar. Dia bahkan lebih keren dari namja biasa!"
Itu adalah segelintir obrolan para yeoja. Sementara para namja...
"Manis, cerdas, jago taekwondo. Sempurna, eh?"
"Aku tidak keberatan ditaklukkan oleh jurus taekwondonya"
"Dia begitu spesial. Tidak seperti yeoja pada umumnya."
"Seandainya dia mau berpenampilan seperti yeoja, aku pasti akan menjadikannya yeojachingu-ku."
"Ah, sekarang pun, meski terlihat seperti namja, aku tetap ingin menjadikannya yeojachingu-ku"
Segala obrolan itu tak kunjung surut meski sosok ramping Sunghyun sudah menghilang di ujung koridor. Shin, namja beriris besar dengan surai hitam halusnya mungkin hanya satu-satunya yang tak ikut-ikutan 'memuja' idola di Infinite High itu. Sepasang kristal kelamnya hanya melirik ambang pintu sebelum kembali memejamkan mata dan menikmati hentakan musik di telinganya.
Tidak, ia bukannya membenci Sunghyun. Bagaimana mungkin kau bisa membenci orang yang sudah menjadi teman dekatmu bahkan sejak kau masih mengenakan popok, eh? Shin sangat paham betapa Sunghyun begitu dipuja, dan sejak ia sudah berjanji pada kedua orang tua mereka, ia akan melindungi... yeoja kuat yang terlihat seperti namja itu.
Yeah, Nam Sunghyun. Siswi kelas 1-7 yang begitu terkenal karena paras manis dan sikap easy goingnya. Yang mampu membuat siapapun meleleh melihat senyum di bibir penuhnya. Yang disisi lain adalah seorang taekwondoin sabuk hitam yang sering memenangkan berbagai kejuaraan. Tak ada satupun yang memprotes soal penampilannya yang... 'nyeleneh'. Tak ada yang mem-bully atau memusuhi tindakannya yang...mungkin menyalahi aturan. Bahkan pihak sekolah tak pernah mempermasalahkan soal gender dan caranya dalam berseragam. Tentu saja, siapa yang tega memusuhi paras manis bak malaikat itu? Siapa yang tahan memarahi paras polos dan senyum menggemaskan itu? Siapa yang berani mencari masalah dengan peraih sabuk hitam taekwondo itu? Dan yang paling mendasar, siapa yang berani membuat masalah dengan anak pemilik sekolah, eh?
.
.
.
Sosok ramping berseragam SMU melangkahkan tungkainya keluar mobil begitu kendaraan itu tiba tepat di depan pintu masuk utama bangunan rumah yang megah. Saat sosok itu meniti tangga rendah dari marmer berwarna gading, mobil merah menyala itu berputar menuju bagasi yang berada di sisi lain rumah. Bahkan sebelum jemari menyentuh kenop pintu, lapisan kayu jati itu mengayun terbuka dan beberapa orang pelayan menyambut kedatangan sosok beriris segaris.
"Selamat datang, Tuan Sunghyun," ujar mereka berbarengan di kiri kanan pintu. Seperti yang biasa dilihat di drama-drama di rumah kerajaan atau para bangsawan.
Sunghyun mengulas senyum manis pada mereka sambil melangkah masuk. Senandung pelan mengalun dari bibir penuhnya yang menawan. Jemari kanannya masih menggenggam medali emas kejuaraan taekwondo dan juga piagam penghargaan dari sekolah yang baru didapatnya siang tadi. Sementara satu orang pelayan mengekor di belakangnya dengan tumpukan hadiah dari para fansnya di sekolah.
Mungkin, "sempurna" adalah kata yang ingin direkatkan pada sosok manis berpostur proporsional ini, eh?
Dering telepon yang berada di ruang tamu mendadak menghentikan gerakan Sang Tuan Muda – yang sebenarnya adalah seorang yeoja ini. Karena posisinya sangat dekat dengan alat komunikasi itu, dalam hitungan detik, telepon itu sudah ada dalam genggamannya alih-alih para pelayan di sebelah sana.
"Yeoboseo?"
["Wo – woohyun-ssi?"] balas suara wanita di ujung sana dengan suara gemetar dan setengah berbisik.
"Appa masih di kantor. Anda siapa?" tukas Sunghyun.
["A-ah. Bisakah... bisakah kau beritahu aku... nomor pribadi Woohyun-ssi?"]
Entah kenapa jantung yeoja berparas tampan ini berdetak cepat tanpa sebab. Bersamaan dengan dentuman bahaya yang ia sendiri tak tahu karena apa. "Maaf, anda siapa dan ada perlu apa?"
["Jeball, tolong beritahu nomor Woohyun-ssi... Aku... aku harus segera bertemu dengannya..."]
"Ada urusan apa memangnya?" Entah kenapa, kali ini nada suara lembut itu mulai ketus dan kecurigaan tak bisa lagi ia sembunyikan. Mungkin efek dari suara wanita itu yang seperti sedang menelepon dengan sembunyi-sembunyi dan terburu-buru akan sesuatu.
["A-aku... aku harus menyerahkan... anak ini padanya... a-anak kami... jeball... ia harus tahu... ia... ia harus bertanggung jawab atas anak ini..." sahut wanita itu mulai terisak.]
Alis indah di paras manis mengerut dalam mendengar ucapannya. 'Apa-apaan maksud perkataannya itu? Kenapa seolah-olah..!'
"Maaf, kurasa Anda salah orang –"
["Nam Woohyun... Nam Woohyun pemilik Nam corp., bukan?" potong wanita itu dengan terburu-buru. "Jeball... aku hanya tidak ingin.. anak ini terlantar... aku ingin dia tahu..."]
"Maaf ahjumma. Tapi itu tidak mungkin ayah saya. Ayah saya tidak mungkin melakukan hal semacam itu! Anda pasti salah orang!" ucap Sunghyun dingin sebelum menutup telepon itu secara sepihak. Tak mempedulikan lagi apapun yang akan dikatakan wanita itu. Karena, hei, yang benar saja? Mana mungkin appa-nya yang presdir perusahaan furnitur Nam corp itu dituduh menghamili dan tidak bertanggungjawab? Tsk. Modus penipuan saat ini makin menyebalkan saja!
Suara pintu membuka tak jauh dari ruang tamu itu menghentikan gerutuan panjang pendek Sunghyun dan sontak membuatnya menoleh. Membuat iris kelamnya memantulkan sosok seorang namja beriris segaris dan pipi chubby dengan surai coklat madunya yang berantakan melangkah keluar kamar.
"Kau sudah pulang, Hyun-ah?" tanya entitas itu.
Tentu saja Sunghyun tidak akan percaya ucapan wanita aneh yang menelepon tadi. Siapa juga yang akan menanggapi berita pembawa kehancuran keluarga begitu, eh? Karena... kau bisa sebut hidup seorang Nam Sunghyun sempurna. Setidaknya, ia percaya keluarganya sempurna. Meski... mungkin tak semua orang setuju. Meski... mungkin semua orang akan mencibir atau bahkan menghujat keluarganya. Karena...
"Nde, eomma..." sahut Sunghyun dengan seulas senyum cerah.
... karena namja yang baru keluar ruangan itu... adalah eomma-nya. Nam Sunggyu.
Sunghyun melangkah cepat ke arah sosok itu dan melingkarkan lengan di pinggangnya. Menaruh dagu di bahu yang lebih tinggi dengan manja. "Eomma. Aku menang lomba foto di majalah, jadi mulai minggu depan aku akan jadi model majalah itu," ucap suara lembutnya.
"Geurae? Kau memang manis, Hyun-ah," sahutnya sambil mengacak surai hitam anak tercintanya.
"Aku juga menang kejuaraan taekwondo yang kuikuti akhir pekan lalu," tambah Sunghyun sambil menunjukkan medali emas dalam genggaman tangan.
"Aigoo. Appa-mu pasti sangat bangga," ujar Sunggyu dengan senyum lebar. Membuat iris tipisnya menghilang. Sunghyun membalas cengirannya. Sangat paham bahwa ia sendiri juga tak jauh berbeda dengan eomma-nya jika tertawa – iris mereka akan menghilang saking kecilnya.
"Ada proyekan lagi?" tanya Sunghyun kemudian, menyadari lingkar hitam di bawah kelopak mata namja di hadapannya. Ciri-ciri yang selalu muncul jika orang yang melahirkannya ini sedang ada job membuat master plan distribusi air atau desain pengolahan pencemaran udara.
Sunggyu bergumam mengiyakan. "Kau mau makan apa?"
"Hmmm... apapun buatan eomma akan kumakan, kok~ Kan, semuanya dibuat dengan penuh cinta~" sahut Sunghyun dengan senyum lebar. Mengundang kekeh pelan dari pria di hadapannya.
"Kalian ini. Like father like son," gumam Sunggyu.
Entitas yang lebih muda melepaskan lingkaran tangan dan membiarkan Sunggyu berjalan menuju dapur.
Benar. Sosok namja bersurai madu itu adalah eomma-nya. Ia adalah...orang yang melahirkan, membesarkan, sekaligus juga pemilik sekolah tempat Sunghyun menuntut ilmu kini. Ia tidak bodoh dengan tidak memahami bahwa kondisi keluarganya... apalah orang menyebutnya? Tidak normal? Sunghyun paham bagaimana orang-orang menatapnya saat ia pergi bersama kedua orang tuanya ke tempat publik. Ia masih ingat bagaimana teman-teman saat TK dan SD mengejek orang tuanya yang... keduanya adalah namja. Sunghyun ingat semua itu... Tapi, ia tak membenci orang tuanya. Karena biar bagaimanapun, mereka orang tuanya. Sunghyun tidak membenci eommanya. Ia sangat mencintainya. Apalagi namja itu telah melahirkannya.
Meski... tentu saja ia bohong jika berkata tidak penasaran bagaimana bisa ia terlahir dari seorang namja. Atau bahkan...
"Eomma. Bagaimana ceritanya hingga eomma menikah dengan appa?" celetuk yeoja berparas tampan itu, menyuarakan pemikirannya sambil mengikuti sosok pria chubby itu ke dapur.
Sunggyu menoleh dari kegiatannya memakai celemek dan terdiam sejenak. "Itu cerita yang sangat panjang, chagi," sahutnya dengan senyum menerawang.
Gumaman pelan adalah respon Sunghyun. Tubuh ramping itu duduk di salah satu kursi dan menatap sang eomma yang mulai mencari bahan-bahan di kulkas. Beginilah memang. Jika urusan memasak, Sunggyu akan melakukannya sendiri dan para pelayan tak diizinkan membantunya. Itu adalah permintaan Sang Appa...
"Apa hari ini appa akan pulang?" lirih Sunghyun.
"Mungkin." Adalah satu-satunya jawaban sang eomma tanpa memandang anaknya.
Iris kembar Sunghyun menatap kosong kalender yang tertempel di dinding. Ia tahu, appa-nya sibuk. Sangat sibuk sampai jarang pulang... Padahal.. tiga hari lagi... adalah wedding anniversary mereka...
"Tapi, eomma dan appa saling mencintai, kan?" uraian kata itu meluncur begitu saja dari mulut menawan turunan Sang Appa. Sunggyu menatap anaknya dengan pandangan aneh. Sedikit bingung kenapa anaknya yang manis itu tiba-tiba menanyakan hal demikian.
Sejujurnya Sunghyun sendiri tak tahu kenapa menanyakan hal itu. Keluarganya bukan keluarga yang hancur atau semacamnya. Seperti yang ia bilang, Sunghyun percaya keluarganya sempurna, dengan segala kondisinya yang mungkin tak sama dengan kondisi kebanyakan keluarga lain. Namun... entah kenapa...
Mungkin gara-gara telepon gelap itu, ya?
Tapi... hubungan antara namja dan namja pasti berat, bukan?
"Tentu saja. Kalau tidak, kau tidak mungkin lahir, Hyun-ah!" tukas Sunggyu sambil menggelengkan kepalanya pelan menanggapi pertanyaan aneh dari buah hatinya itu.
Senyum lebar terukir indah di paras manis Sunghyun. Iya, tentu saja begitu, ya? Jika tidak saling mencintai, tak mungkin ia terlahir, bukan?
Karena ia... adalah anak mereka, benar?
.
.
.
Sepasang kristal kelam mendadak terbuka dan menatap bingung jam dinding yang baru menunjukkan pukul 2 dini hari. Mengerjapkan mata dan terdiam beberapa detik, Sunghyun baru tersadar bahwa yang membuatnya terbangun adalah suara ribut di lantai bawah. Secepat kilat, sosok bersurai kelam itu menuruni kasur dan bergegas keluar kamar. Semakin mendekati tangga, semakin terdengar jelas bahwa itu adalah suara kedua orang tuanya di ruang keluarga.
"Sudah kubilang aku tidak tahu!"
"Kau tidak perlu membentakku seperti itu. Aku hanya bertanya!"
"Aku lelah, Gyu! Kenapa kau langsung mempertanyakan hal seperti itu di jam segini!? Kau seharusnya menjadi istri yang baik, membuatkanku sesuatu untuk dimakan atau sejenisnya!"
"Jadi menurutmu aku selama ini bukan istri yang baik?! Berhari-hari kau tinggalkan di rumah dan tetap setia menunggumu itu bukan termasuk istri yang baik, eh?! Sementara kau di luar sana entah melakukan apa dengan siapa!"
Sunghyun mengkerut di tembok dekat tangga. Terlalu takut untuk turun lebih jauh dan melihat langsung pertengkaran orang tuanya. Ini pertama kalinya ia melihat eomma dan appanya bertengkar. Hingga saling membentak seperti itu.
"Eomma... appa..." panggilnya perlahan. Sangat ingin menghentikan pertengkaran itu, tapi tak berani menyela di antara dua kobaran api yang begitu pekat.
"Kau menuduhku, Gyu?!"
"Aku tidak menuduhmu, Nam Woohyun. Aku hanya mempertanyakan fakta!"
"Berapa kali harus kukatakan aku tidak tahu apa-apa soal wanita itu!"
"Lalu kenapa ia meminta kau bertanggung jawab atas anaknya? Ini yang kau lakukan selama meninggalkan rumah, eh?!"
"Jaga bicaramu, Sunggyu! Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu! Aku tidak pernah menjual tubuhku sepertimu!"
Bentakan terakhir dari Woohyun itu membuat suasana malam seketika mencekam. Seolah waktu terhenti. Sunghyun menahan napas sementara kristal kecil Sunggyu berkabut. Raut terluka terlihat jelas di paras manis itu.
"Jadi, kau masih memandangku seperti itu?" lirihnya hampir tak terdengar.
Sebenarnya Woohyun sedikit menyesali perkataannya yang terlontar tanpa kontrol dan membuat anaenya terluka seperti itu. Akan tetapi ego yang disertai kelelahan fisik dan emosinya membuat pria ini tak mengizinkan kata maaf terlontar dari mulutnya.
"Itu kenyataannya, bukan? Selama ini dengan kondisimu yang seperti itu aku tak pernah mempertanyakanmu. Kenapa kau langsung menuduhku untuk hal yang bahkan tidak kulakukan? Bukankah seharusnya lebih wajar jika aku yang menuduhmu?! Bahkan mungkin saja Sunghyun bukan anakku!"
"Sunghyun anakmu, Nam Woohyun!" bentak Sunggyu keras.
"Oh, benarkah? Bukankah mungkin saja ia anak pria itu? Atau pria lainnya? Bukankah yang pernah bersamamu lebih dari satu orang dan tak ada yang tahu –"
PLAK!
Racauan pria bersurai hitam agak gondrong dengan jas formal itu terhenti oleh sebuah tamparan yang keras di rahang kuatnya. Emosi yang dipicu oleh faktor kelelahan dan kantuk membuatnya hilang kendali dan luput menyadari air mata yang mulai turun dari paras manis namja di hadapannya.
"...Sunghyun anakmu..." bisik Sunggyu mengulang kata itu dengan suara tercekat. Namun, Woohyun bahkan luput mendengarnya dan hanya mengacak surai hitamnya dengan geraman kesal. Buku-buku jemarinya memutih karena terlalu kuat mengepal untuk menahan diri melakukan kontak fisik. Akan tetapi, amarah dan kekecewaan berbaur begitu kuat di hatinya, membuatnya gelap dan meninggalkan Sunggyu dengan lagkah menghentak.
"Aku pulang bukan untuk dimarahi! Tsk! Bahkan di rumah sendiri aku tak bisa mendapat ketenangan!" gerutunya sambil berjalan menuju pintu dan hilang di baliknya. Tak mempedulikan seruan Sunghyun yang berusaha mencegahnya.
"Appa! Appa mau ke mana? Appa!" seru suara lembut Sunghyun, berusaha mengejar sosok berjas hitam itu keluar ruangan.
Tapi sosok itu sama sekali tak menoleh bahkan mempercepat langkahnya menuruni tangga teras dan menghampiri mobilnya yang masih belum terparkir dan membatu di depan bangunan utama. Dari balik pintu depan yang sedikit terbuka, suara Sunggyu berusaha menghentikan Sunghyun untuk mengejar ayahnya.
Namun, yeoja berpenampilan layaknya namja itu tak menggubris larangan sang eomma dan ikut menuruni tangga. Bahkan berusaha mengejar mobil hitam sang appa yang mulai melaju melewati pekarangan rumah mereka yang luas.
Ia sungguh takut. Takut, entah karena apa...
Apakah pertengkaran ini gara-gara telepon gelap dari wanita itu?
Mengutuk dalam hati, Sunghyun terus memanggil sang appa dan berlari di atas tanah yang ditumbuhi rumput hijau.
Ia tidak suka kondisi ini. Ia tidak suka orang tuanya bertengkar. Ia tidak suka melihat wajah marah di paras tampan sang appa. Ia tidak suka melihat air mata di paras manis sang eomma.
Di tengah langkah kaki lebarnya mengejar kendaraan bermotor yang melaju semakin kencang menghampiri pintu gerbang itu, sebuah guncangan yang cukup keras menggetar tanah tempat mereka berpijak. Gempa bumi yang terjadi tiba-tiba itu cukup besar, membuat tubuh ramping Sunghyun oleng. Di tengah guncangan yang hebat itu, telinganya mendengar seruan cemas Sang Eomma dari arah pintu.
Refleks, iris hitam itu menoleh pada namja yang melahirkannya yang kini tengah menuruni tangga. Mungkin berusaha memeluknya dan memastikan sang buah hati tidak apa-apa. Akan tetapi, pijakan yang jauh dari stabil membuat namja bersurai coklat madu itu justru kehilangan keseimbangan dan tergelincir di tangga teras.
"EOMMA AWAS!" teriak Sunghyun yang menyadari sosok itu akan dengan sangat mudah membentur tanah di bawahnya. Secepat kilat ia berbalik dan berlari. Berharap dapat menahan gaya gravitasi yang mengenai postur Sunggyu dan mencegah tumbukan yang akan terjadi antara paras manis itu dengan tanah berbatu.
Akan tetapi, saat ujung jemarinya menyentuh pergelangan Sunggyu, Sunghyun merasa kakinya sendiri kehilangan pijakan. Ia merasa terjatuh, jatuh semakin dalam entah ke mana sebelum kegelapan menelannya.
Di tengah tirai pekat yang seolah tanpa batas itu, samar-samar Sunghyun mendengar sebuah bisikan lirih. Suara dari namja yang sangat berharga dalam hidupnya, namja yang jika tanpanya ia takkan ada di dunia ini.
"... dia melupakannya... Seandainya ada cara untuk membuatnya kembali teringat akan masa-masa itu... Pada perjuangannya... pada perjuangan kami... pada cinta yang pernah dimilikinya... Seandainya saja ia ingat..."
Setelah mendengar suara itu, Sunghyun mendapati kesadarannya ikut terseret pada kegelapan.
.
.
.
Hal berikutnya yang terdeteksi oleh kesadaran Sunghyun adalah langit-langit kamar yang tampak kusam dan asing dalam ingatannya. Suara-suara ribut di lantai bawah membuat sosok ini merasakan de ja vu dan berprasangka bahwa mungkin ia bermimpi atau memiliki firasat akan pertengkaran orang tuanya. Tak peduli yang mana, sosok ramping itu bergegas bangun dari posisinya di lantai dan menuruni tangga dengan cepat.
Betapa terkejutnya ia saat yang ada di hadapannya adalah seorang pria yang sedang mencambuki sosok lain menggunakan ikat pinggang.
"Dasar tidak tahu diuntung! Kenapa hal seperti itu saja tidak bisa kau lakukan, eh?! Kau mau hutangmu ditambah?! Kau mau adikmu menggantikanmu melayani mereka?!"
"A-andwae... jeball... jangan libatkan Sungjong... a-aku...akan mencoba lagi... izinkan aku mencoba lagi..."
Bahkan di tengah keremangan cahaya malam dengan lampu redup, bahkan di tengah surai berantakan dan paras yang sedikit lebam, bahkan di tengah suara yang serak, entah dari mana Sunghyun sangat yakin bahwa sosok yang mendapat perlakuan tak manusiawi itu adalah...
"EOMMA!" teriaknya panik. Secepat kilat kini sudah berada di hadapan namja bersurai sewarna madu itu. Berusaha menghalangi pria bertato bertampang mengerikan di depannya.
Akan tetapi, tak ada respon apapun dari sosok besar itu. Tidak raut terkejut, tidak ekspresi marah. Bahkan hantaman ujung ikat pinggang itu masih terayun dan mengenai kulit mulus Sunggyu. Seketika menciptakan memar kebiruan di balik baju tipisnya.
"Kau pikir berapa kali kuberikan kau kesempatan lagi, eh?! Padahal dengan cara begini kau bisa lunasi hutangmu, tahu! Kau membuatku malu di hadapan mereka! Lakukan yang benar, dasar sampah!"
Di tengah hinaan dan bentakan yang menyakitkan telinga dan erangan sakit dari sosok namja di belakangnya, Sunghyun hanya bisa termangu. Berkali-kali, iris kelamnya menatap tanpa kedip ujung ikat pinggang itu. Pasalnya, benda solid itu dengan mudah melewati tubuhnya. Seolah ia... tak kasat mata... Seolah ia... tak ada.
Manik kecil itu melebar tak percaya saat kini kaki pria besar itu mulai menendangi tubuh sang eomma – melewati tubuhnya.
"YA! HENTIKAN BRENGSEK!" bentaknya murka sambil berusaha memberikan tendangan balasan. Akan tetapi, tungkai rampingnya mengayun dan lewat begitu saja tanpa menyentuh sedikitpun sosok itu. Masih tak menyerah, kini pukulan pun berusaha dilancarkan. Namun, hasilnya tetap sama. Pria itu tetap tak bergeming dan dengan mantap terus menciptakan luka di tubuh rapuh Sunggyu.
"AAAAARRRGGGGGHH! KENAPA AKU TIDAK BISA MENYENTUHMU!" teriak Sunghyun frustasi sambil berusaha menjambak kerah baju pria di hadapannya. Akan tetapi, lagi-lagi yang diraihnya hanya angin. "HENTIKAN! YA! BERHENTI MELUKAI EOMMA-KU! HENTIKAN KAU BAJINGAN!" Kini sosok manis itu hanya bisa berteriak-teriak murka dengan air mata putus asa dan kemarahan mengaliri paras manisnya.
Namun, sama saja. Teriakan powerful-nya sama sekali tak mencapai indera pendengar pria berpenampilan urakan itu. Seolah tak ada siapapun, seolah tak ada gangguan sedikitpun, pria besar itu meludah di dekat Sunggyu dan melemparkan ikat pinggangnya ke lantai.
"Besok malam kau harus memberikan pelayanan terbaik! Kalau tidak, akan kusuruh adikmu menggantikanmu! Kau paham?!" bentaknya kasar.
Setelah mendengar sahutan berupa "Nde" perlahan dari bibir tipis Sunggyu yang meneteskan darah, sosok itu meninggalkan rumah besar yang terasa hening dan sepi. Meninggalkan Sunggyu yang tergeletak di lantai. Manik sipitnya mulai membentuk jalur sungai yang sejak tadi ditahannya.
Meski begitu, Sunghyun masih belum puas. Sosok ramping itu mengejar sang pria brengsek. Berharap, entah bagaimana, kini ia bisa menghantam sedikit saja pelipis pria itu dengan tendangannya. Akan tetapi, tentu, ia hanya mencapai angin.
"Aaaaarrrgghhh!" Melompat-lompat frustasi, Sunghyun terpaku saat ekor matanya menangkap sesuatu. Ah, bukan, lebih tepatnya, ia terpaku karena irisnya tak menangkap sesuatu yang seharusnya ada.
Itu.
Pada kaca jendela berwarna gelap itu, tidakkah seharusnya terdapat pantulan dirinya?
Tak mempercayai matanya yang mungkin mulai rabun, ia mendekat dan berusah melihat dengan jelas pantulan dirinya di jendela besar itu. Akan tetapi, tak ada apapun yang balas menatapnya. Hanya pepohonan di luar pekarangan yang ada.
Tak ada pantulan dirinya!
Aaarrghh! Apa-apaan ini?! Apakah ia sudah mati? Apakah ia hanya roh sekarang?!
Kepanikan dan pemikiran membingungkan itu terputus saat suara halus Sunggyu memecah fokusnya.
"Nugu?"
Demi mendengar suara yang amat dicintainya itu, Sunghyun berbalik dan menampilkan senyum lebar. "Eomma bisa melihatku?" serunya bahagia sambil berusaha memeluk sosok itu. Akan tetapi, kurva cekung itu sirna saat lagi-lagi ia hanya menembus entitas di hadapannya. Menciptakan raut kaget dan bingung di paras berpipi chubby Sunggyu.
"Tapi, eomma benar bisa melihatku, kan?" tanya yeoja bersurai hitam itu dengan raut sedih.
"Kenapa kau memanggilku eomma?" Adalah sahutan yang diberikan Sunggyu.
Mendengarnya, ekspresi kesal terbentuk di wajah Sunghyun. "Jahatnya. Jadi, sekarang aku tidak diaku – " Rangkaian kata itu terputus saat sepasang kristal kelam memantulkan secara sempurna individu yang ada di hadapannya. Paras manis itu memang benar adalah eommanya. Akan tetapi... paras itu terlihat jauh lebih muda... Bahkan mungkin mereka... seumuran...
Sebuah kecurigaan yang mendadak tercetak di sel kelabu otaknya membuat Sunghyun bergegas bangkit untuk mencari kalender. Menemukan benda itu tergantung miring di dinding di dekat kulkas yang mati, manik kecil itu melebar sempurna. Tak mempercayai bahwa tahun yang terpampang adalah... DUA PULUH LIMA TAHUN YANG LALU.
"IGE MWOYA!?" teriaknya frustasi.
.
.
.
TBC
A/N: halohaaa...
Ff ini niat awalnya adalah untuk MyungYeol tapi feel WooGyu menang, jadinya buat WooGyu. Pernah ku-post di WGff.
Entah dari mana ide ff gila ini :P
Well, ditunggu masukannya~
Regards,
*Allotropy*
