Repost from Vaii acc.

Inspired from Three Nights with Scoundred.


"Dessert"

By: Christal Alice

.

Pair : Kim Namjoon x Kim Seokjin

Warn: BL, AU, Mature Content.

.


Namjoon menatap layar laptop di hadapannya, lalu memasukkan beberapa variasi huruf untuk ke sekian kali selama beberapa menit terakhir. Beruntung laptopnya memiliki program GRIT, sebuah singkatan di dalam singkatan yang artinya Gang-Related Information Tracking;sebuah program yang memiliki arsip data rinci mengenai 55.000 anggota geng yang terdaftar di kota ini―jadi, ia tidak perlu repot-repot pergi ke kantor saat rekan-rekannya di kepolisian membutuhkan suatu informasi mendadak ketika ia sedang tidak berada di meja kerjanya.

Lagi pula, hari ini dan sampai dua minggu ke depan adalah waktu dimana dirinya liburan pasca menikah, sudah seharusnya bebas dari masa tugas dan pekerjaan.

Tapi sialnya, dini hari tadi Jimin sudah membuat keributan―minta dicarikan sebuah arsip seseorang karena program GRIT di kepolisian baru saja diretas dan sedang dalam perbaikan, (dan bagaimana bisa?), sukses membuyarkan semua euphoria malam pertamanya bersama Seokjin.

Dasar bocah tengik!

"Sial kau Jimin, akan kupastikan kau membayar semua ini… berani-beraninya kau mengganggu waktu liburanku untuk berbulan madu," gerutu Namjoon saat memasukkan huruf V-A-I dan menekan tombol. Waktu yang dibutuhkan sekitar tujuh detik. Sebuah kerutan menghiasi wajah tampannya. "Dua ratus tujuh puluh enam nama?"

Namjoon melakukan opsi lain dengan menghilangkan mereka yang berkulit hitam dan keturunan latin. Karena di Korea, orang-orang seperti itu jarang ditemukan. Ia menekan beberapa tombol lagi lalu layar komputer yang berwarna kekuningan mulai menyajikan daftar.

Lebih baik, sebelas nama, Namjoon menyeringai puas.

Tidak ada nama julukan yang hanya terdiri dari tiga huruf saja, Vai. Ada empat Vaicenna, tiga Vairent, dua Vanilla dan masing-masing satu untuk Vaii, dan Vaiz.

Namjoon menarik arsip untuk Vaii.

Seorang anak yang tinggal di Jeongseon. Dia berusia tujuh belas tahun, cukup sering berhubungan dengan polisi; dia sering mendapatkan masa percobaan dan harus membersihkan graffiti setelah tertangkap mencoret salah bangunan milik pemerintah daerah setempat. Menggunakan Vaii sebagai identitas graffiti-nya. Sering melarikan diri dari rumah ibunya. Pelanggaran paling serius yang pernah dilakukan anak ini dan ditangkap karenanya ―adalah pencurian, vandalisme, membuang sampah sembarangan serta melanggar batas kecepatan.

Kemungkinan besar dia berada di dekat sungai di mana pembunuhan yang Jimin ceritakan terjadi.

Namjoon mengusap dagunya, masih menatap layar laptop dengan serius. Informasi ini sudah cukup untuk dikirimkan kepada Jimin. Ia menekan tombol untuk mengirim arsip dan menyematkan beberapa kalimat sebagai informasi tambahan.

Pekerjaan selesai dan akhirnya Namjoon bisa merasakan sedikit kedamaian.

"Namjoon?" suara Seokjin terdengar di ambang pintu. "Apakah kau sudah siap? Agen properti sedang menunggu kita."

Sial. Gara-gara pekerjaan dadakan yang Jimin berikan, ia benar-benar lupa perihal janji mereka untuk melihat rumah baru. Seokjin sangat bersemangat; Namjoon bisa mendengarnya dari suara pemuda manis itu sekarang.

Namjoon mengangkat wajah, dan melihat pasangannya yang tampak luar biasa manis dengan kemeja lengan panjang berwarna putih dan pink soft untuk kerah lehernya. Dua kancing teratas dibiarkan terbuka, menampilkan leher jenjangnya yang seputih susu. Celana jeans hitam ketat membalut kaki Seokjin. Selain manis, pemuda itu terlihat sangat―sangat seksi.

Hampir saja laptop dipangkuannya terjatuh seandainya saja Namjoon tak buru-buru menahannya.

"Kau kenapa?" tanya Seokjin, menertawai kecerobohan Namjoon.

Namjoon tersenyum. "Manis," puji Namjoon dengan bahasa isyarat. Manis, cantik, indah. Bahkan, kata-kata itu tidaklah cukup untuk mendeskripsikan bagaimana sosok Seokjin.

Seokjin menilik jam tangannya dan mengetuk-ngetuk kecil sebagai bahasa isyarat bahwa mereka sudah terlambat.

"Agen properti itu harus menunggu." Namjoon memindahkan laptopnya ke atas meja kerja, "Kemari," pintanya pada Seokjin dan langsung dituruti oleh pemuda itu. Dengan sigap, ia menarik lengan Seokjin saat sudah berada sangat dekat dengannya hingga pemuda itu mendarat di atas pangkuannya. Dengan gerakan jari yang cepat, Namjoon menjabarkan dalam detail eksplisit apa yang akan ia lakukan dengan kemeja putih itu saat mereka kembali ke rumah nanti, dan kemudian apa yang akan ia lakukan dengan tubuh indah yang ada dibaliknya.

Pipi Seokjin sontak merona saat Namjoon terus menjabarkan. Ketika pada akhirnya Namjoon menyimpulkan rencana mesumnya dengan kata-kata, "tiga kali," Seokjin tertawa kecil dan memukul pundak Namjoon sambil berkata, "Dasar playboy!"

Namjoon tersenyum kecil, lantas mencium kening Seokjin sebelum beranjak berdiri. "Ayo kita berangkat."

"Ah! Aku sangat suka yang ini." Senyum Seokjin terlihat lebih cerah saat mereka melangkah melewati ambang pintu rumah kedua sore itu, ia menoleh pada Namjoon sembari meremas tangannya. "Kalau kupilih yang ini, bagaimana?"

"Kau harus melihat-lihat dulu ke dalam, ini baru bagian depannya saja."

Perhatian Seokjin berpindah lagi, "Iya aku tahu. Tapi, bagian depannya saja sudah sangat menarik bagiku."

Memang benar. Rumah itu adalah rumah dua lantai berukuran minimalis dengan dinding kaca yang mendominasi serta taman mini juga kolam ikan yang menghiasi halaman depan, dan ada sebuah garasi yang didesain di bawah tanah.

Sebenarnya, Namjoon sangat ingin membangunkan sebuah mansion besar dan megah untuk Seokjin, tetapi pemuda itu menolaknya dan berkata kalau dia sama sekali tidak tertarik.

"Rumah ini baru saja kosong selama lima hari sejak dijual seminggu yang lalu," jelas agen properti mereka. "Pemilik aslinya pindah ke China karena urusan bisnis, jadi mereka memutuskan untuk menjualnya. Padahal, rumah ini baru ditempati selama satu bulan sejak selesai dibangun."

"Pantas saja masih terlihat baru." Seokjin melihat-lihat ke sekeliling. "Desainnya bagus, dan ada banyak sekali udara serta cahaya yang masuk ke rumah."

Namjoon mengangguk setuju, untuk sebuah rumah di kota besar, rumah ini memang memiliki kesan yang terbuka dan menyenangkan. Ia pikir hal itu ada hubungannya dengan jumlah jendela dan keharmonisan pengaturan letak ruang. Jika Seokjin menyukai rumah yang satu ini, Namjoon pun akan menyukainya juga.

Seokjin bertanya pada bagian properti, "Apakah rumah ini memiliki halaman belakang?"

"Tentu saja." Pria itu menggiring mereka menyusuri koridor di samping rumah yang ternyata terhubung ke bagian halaman belakang.

"Wow, taman lagi…" Seokjin mendongak untuk menatap Namjoon yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, raut wajahnya sangat serius. "Aku sangat suka rumah ini, bagaimana denganmu?"

Tatapan Namjoon tertuju pada satu sudut, tetapi pikirannya sedang berkelana entah kemana; menyiasati dimana sekiranya ia bisa memasang alat pengamanan? Sudah pasti di segala sudut ruangan bahkan titik gelap yang bisa dilewati oleh penyususp. Ia harus memastikan Seokjin dalam keadaan aman saat mereka sedang tidak bersama. Lalu, jenis alat pengamanan apa yang harus ia gunakan―

"Namjoon!"

Namjoon tersentak ketika bahunya diguncang oleh Seokjin dan mendapati wajah pemuda itu tepat berada di depan wajahnya. "Bagaimana?" Seokjin kembali mengulang pertanyaan yang sama, meminta pendapat.

Namjoon menarik napas, mengulurkan tangan untuk menepuk puncak kepala Seokjin. "Kalau kau menyukai rumah ini, aku pun juga akan menyukainya."

Dan, Seokjin tersenyum lagi, merasa sangat senang mendengar pernyataan Namjoon. "Baiklah, terima kasih…" ia melirik sekilas pada agen properti yang berdiri agak jauh dari mereka, sedang sibuk berbicara dengan ponselnya. "Aku mencintaimu…" Bisik Seokjin lirih.

Selanjutnya, agen properti membawa mereka ke lantai dua. Setiap kamar tidur yang mereka masuki, Namjoon merasa dirinya ―benar-benar brengsek―semakin terangsang karena membayangkan ia dan Seokjin bercinta.

"Oh ya, kalian belum melihat dapurnya," ujar agen properti itu saat mereka hampir menuruni tangga, "Dan kita belum sepenuhnya melihat seluruh bagian rumah, tapi…" Pria itu menilik arloji di tangan kanannya. "Sayang sekali, saya ada pertemuan lain di kantor dalam waktu seperempat jam. Saya takut waktunya sudah tidak memungkinkan."

"Anda bisa meninggalkan kami di sini sendiri," saran Namjoon. "Kami bisa melihat-lihat sendiri sisa ruangannya, lalu menguncinya setelah selesai. Aku akan datang ke kantormu nanti untuk melakukan transaksi."

Agen itu dengan senang hati menyetujui usulan Namjoon, tidak diragukan lagi karena merasakan kesepakatan sudah hampir tercapai, lantas ia memberikan kunci ke tangan Namjoon yang sudah menunggu. "Usulan yang sangat bagus sekali, tuan Kim."

Setelah mengantar pria itu keluar, Seokjin berjalan ke arah dinding kaca yang besar dan Namjoon mengikutinya dari belakang.

"Kurasa, rumah ini sangat cocok untuk keluarga kecil kita," ujar Seokjin, terbersit sorot sendu dalam tatapannya yang mengarah ke luar jendela. "Maksudku, kau dan aku… sayang sekali, aku tidak bisa memberimu anak."

Namjoon yang paham ke mana arah pembicaraan ini segera mendekat dan memeluk pemuda itu dari belakang, menyandarkan pipinya pada sisi kepala Seokjin. "Kita sudah pernah membahas hal ini, Seokjin…"

"Yeah, dan karena itu pula kenapa aku tidak tertarik dengan mansion," Seokjin menumpukan kepalanya pada bahu kanan Namjoon. "Karena nantinya akan terasa sangat kosong dan sepi, begini saja sudah cukup."

Benar, begini saja sudah cukup dan mereka akan menjalani hidup dengan tujuan yang bagus meskipun tidak memiliki anak. Mereka bisa melakukan kunjungan sosial ke panti asuhan dan memberikan banyak makanan untuk orang-orang yang kekurangan.

Dan, iya. Rumah ini akan menjadi rumah mereka. Rumah untuk keluarga kecil mereka.

"Apa kau mau mengganti kertas dinding dan mengecat ulang semua ruangan?" tawar Namjoon, semata untuk mengalihkan pikiran Seokjin ke arah lain. Dan terbukti berhasil, karena Seokjin segera berbalik untuk menatapnya sambil mengangguk antusias.

"Ide bagus. Oh ya, tadi aku melihat sekilas ada ruang musik di lantai bawah dan ada piano di dalamnya." Seokjin segera berlari menuju tangga, dan berdecak ketika Namjoon sama sekali tak bergerak dari tempatnya, "Namjoon! Cepat ikut aku!"

"Oke, oke."

Langkah kaki mereka menimbulkan suara berisik di lantai marmernya. Suara itu bergema ke segala penjuru ruangan. Namjoon memperingati Seokjin agar tidak berlari saat menuruni tangga, tetapi tak diindahkan karena pemuda itu sudah lebih dulu melesat dengan cepat.

"Lihat, di sana." Seokjin beranjak ke satu sudut di mana sebuah ruangan tanpa daun pintu berada. Di dalamnya, sebuah grand piano berwarna putih tulang terlihat tertutup oleh kain hitam. "Aku heran kenapa mereka meninggalkannya di sini."

"Repot jika harus membawanya ke China. Taruhan denganku, piano ini bahkan tidak muat dikeluarkan melalui pintu itu." Namjoon menarik kain penutupnya dan membiarkannya jatuh ke lantai. "Piano yang sangat besar." Namjoon menyentuh beberapa tuts dan mengangguk-angguk saat merasa tidak ada yang salah dengan nadanya. "Nadanya bagus…"

"Mainkan sesuatu untukku. Sudah lama sekali aku tidak melihatmu bermain piano," Seokjin menumpukan kedua sikunya di atas piano sambil menangkup kedua pipinya, "Hm, mungkin sejak kau mendapatkan lencana dan pistolmu sendiri."

Namjoon tak bisa menahan kekehannya, bukan kali ini saja Seokjin mengeluh jika dirinya sudah banyak sekali meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang kerap kali ia lakukan sebelum bergabung di akademi kepolisian. Mau bagaimana lagi, tugas negara terlalu menyita perhatian, membuatnya tak lagi sempat melakukan hal-hal kecil seperti ini; memainkan piano untuk Seokjin.

Tiba-tiba, pikiran kotor kembali melintas di dalam otaknya saat tatapannya berpindah-pindah pada Seokjin, lalu pada tuts-tuts piano. Dan saat itu juga, gairah sensual berkumpul di selangkangannya.

"Kau ingin melihatku bermain piano?" tanya Namjoon kepada Seokjin usai memutari grand piano itu untuk berdiri di depannya sambil tersenyum nakal.

Seokjin tentu saja berkata, ya.

"Baiklah, aku akan memainkannya untukmu, asalkan…" perkataannya yang menggantung itu membuat Seokjin kebingungan.

Seokjin menelengkan kepalanya, "Asalkan?"

"Asalkan kau harus merasakannya juga."

Seokjin ingin bertanya lagi karena tak sepenuhnya paham apa yang Namjoon ucapkan sampai pemuda itu melingkari lengan di seputar pinggangnya dan mengangkatnya ke atas, Seokjin memekik kaget saat Namjoon mendudukannya di atas piano. Lebih kaget lagi ketika Namjoon menggenggam kedua sisi bahan celana yang ia kenakan dan menariknya ―dengan gerakan yang teramat cepat―sampai sebatas lutut sehingga hanya tersisa dalaman berbahan kain modal tipis yang ada di antara kejantanan Seokjin dengan permukaan piano.

"A-apa yang kau lakukan?!"

"Tadi kau bilang, kau ingin melihatku bermain piano," Namjoon mengikis jarak wajah di antara mereka hingga Seokjin bisa merasakan hembusan napas pemuda itu yang beraroma mint di area mandibulanya yang Seokjin yakini sudah merona parah. "Aku akan memainkannya untukmu, dan aku juga ingin kau merasakannya." Ujarnya dengan seringaian jahil di sudut bibir.

Namjoon mulai menyentuh tuts-tuts piano itu, menekannya dengan kuat. Getaran itu ternyata cukup membuat Seokjin terangsang, ia tersentak sampai mengangkat lengannya untuk ia kalungkan pada leher Namjoon.

Namjoon dengan segala ide kotornya memang benar-benar brengsek!

Sambil menyeringai, Namjoon memainkan gubahan dengan tempo yang cepat, menyusuri tuts piano itu dari ujung ke ujung dengan entakan yang kuat.

"Na-namjoon…" kata Seokjin dengan suara yang syok, dan kedua pipi yang semakin memerah. "Getarannya terasa… kau… benar-benar sialan."

"Apakah aku harus berhenti?" pertanyaan retorik. "Tentu saja tidak."

Namjoon menggoda Seokjin lebih lama lagi dengan permainan piano yang lebih cepat dan menghentak. Opus Clavicembalisticum. Rasanya pasti mirip seperti ketika ia menjamah paha telanjang Seokjin dengan gerakan naik turun. Seokjin memejamkan mata, dan bibir sedikit terbuka. Erangan para terlontar dari celah bibirnya.

Sudah cukup permainan piano dan pemanasannya.

Ia meletakkan kedua tangan di tuts piano dan memainkan irama yang berbeda. Irama yang lebih pelan dan sendu.

Mon Coeur S'ouvre a ta Voix.

"Namjoon…" Seokjin menggeliat di atas piano, "Apakah itu…"

Tuhan, betapa ia mencintai Seokjin. Namjoon mengangguk untuk memberikan penegasan, lalu menyentuh ujung hidung Seokjin dengan hidungnya sendiri hingga saling bergesekan. "Camille Saint-Saens…" Tapi, Namjoon tak ingin memberi Seokjin waktu untuk menyesuaikan diri, karena itu ia segera memainkan gubahan lain yang lebih cepat dan ceria.

Seokjin mengeluarkan suara yang terdengar seperti setengah memekik dan setengah mengerang, "Aku tidak bisa menerimanya lagi. Kim Namjoon, berhentilah sebelum kutendang!"

Ancaman yang mustahil ia lakukan dalam keadaan seperti ini.

Namjoon berhenti, namun, seringaian yang masih tersemat di bibirnya membawa kewaspadaan lain bagi Seokjin.

Peluh memenuhi dahi Seokjin dan membasahi kemeja yang ia kenakan hingga tampak transparan, "Kau memang nakal…"

"Siapkan dirimu sayang, yang tadi itu bukan apa-apa, hanya bagian dari pemanasan."

Namjoon meraih celana Seokjin yang masih menggantung ragu di antara lutut sampai sepenuhnya melewati kaus kaki dan sepatunya ikut terseret jatuh ke lantai saat ia menariknya paksa (mengingat bahan celana itu yang cukup ketat), tak lupa dengan celana dalamnya. Kemudian, menarik tubuh pemuda itu agar maju sedikit lalu membuka lebar kakinya.

Gairah menyerbu ke sekujur tubuh Namjoon, dan ia berhenti sebentar hanya untuk menyesuaikan bagian depan celananya. Ia sudah sangat keras, hanya dengan menyaksikan pemandangan erotis yang tersaji tepat di hadapannya; Seokjin yang terbentang seperti dessert manis yang siap disantap. Mungkin, ia bisa menekan tuts piano dengan kejantannya yang keras dan tegang setelah membebaskan bagian itu dari dalam celana.

Tapi, terlebih dahulu, apakah ia harus membebaskan Seokjin dari kemeja putih yang sudah sepenuhnya tembus pandang? Dan, Namjoon memutuskan untuk tidak melakukannya hanya untuk memberikan sensasi lain.

Namjoon menarik lepas kaus kaki, melemparnya ke lantai, lantas menyusuri lekukan kaki Seokjin yang menggoda dengan jemarinya―dari bagian tumit naik ke lekukan betis, ke atas lutut dan lebih ke atas lagi.

"Namjoon," ujar Seokjin panik, saat tangan Namjoon mulai meraba ke segala bagian tubuh dibalik kemejanya, dan pemuda itu menciumi lehernya dengan penuh nafsu. "Kita tidak bisa melakukannya. Jangan di sini."

"Kenapa? Ini rumah kita."

Seokjin menggeleng, sedikit kesulitan karena Namjoon yang semakin sibuk dengan lehernya. "Tidak, ini bukan rumah kita."

"Jadi, kau lebih suka rumah yang pertama?" Namjoon melumat bibir tebal Seokjin dengan rakus seolah ingin melahapnya. Namun, Seokjin menahan kepalanya, menjauhkannya sedikit untuk berkata, "Tidak, Namjoon-ah! Kau tahu aku sangat ingin rumah ini, tapi―" Dan, Namjoon melumat bibirnya lagi sampai Seokjin merasa tak berkutik.

Di sela desah napas mereka yang tak beraturan, Namjoon kembali berujar. "Kau menginginkan rumah ini, maka kau harus mendapatkannya. Aku menginginkanmu, maka aku harus mendapatkanmu. Di sini. Sekarang. Tidak boleh ada protes lebih lanjut!"

Ia memutuskan untuk duduk di stool sehingga posisi Seokjin berada lebih tinggi darinya. Meraih kaki Seokjin, menyingkap jari-jemarinya yang bergerak-gerak, ia menciumi kaki Seokjin dari tumit hingga ke atas, menyusuri setiap kontur kulit yang terawat dengan sangat baik dengan bibir dan lidahnya.

Sial, tapi ia sangat menyukai ini. Menggoda, merasakan, menjilat setiap kontur dan belahan tubuh Seokjin yang lembut.

Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menarik Seokjin ke atas pangkuannya, untuk mencumbunya lebih, dengan remasan tangan Seokjin pada rambutnya membuat kejantanannya semakin menegang.

Suara rintihan pelan terlontar dari bibir Seokjin ketika Namjoon mulai memainkan jari-jemarinya di dalam tubuh pemuda itu. Desahan yang sarat dengan rasa sakit, tetapi juga penuh dengan kepuasan sensual sekaligus permohonan untuk meminta lebih.

"Manis…" panggil Namjoon seraya mengulum cuping telinga Seokjin, menggigitnya pelan―sebagai pengalih rasa sakit ketika ia menghujam kejantannnya ke dalam tubuh pemuda manis itu sebelum mereka bergerak seirama dengan kuat dan cepat. "Kau sangat manis…aku mencintaimu."

Dan mereka tidak lagi menahan diri. Namjoon mencapai puncak di dalam tubuh Seokjin, lagi-lagi kehilangan kendali dalam gairah seks dan ciuman yang panas.

Hidup terasa amat sangat indah.

Untuk sementara ini.


End