Pukul empat petang, Indonesia dipanggil oleh presiden, disuruh menghadap, sekarang juga.

Panggilan itu ialah titah, yang merusak kemesraan Indonesia dengan komodo dan cendrawasih kesayangannya; Cakra dan Pertiwi.

Indonesia menggegaskan langkah, beruntungnya dia masih mengenakan kemeja putih, sebagai baju gantinya siang tadi.

Tegap di depan Presiden, Indonesia tahu apa yang terjadi.

Dia ditarik dalam sebuah perundingan rumit!

Presiden mengatupkan kedua tangan, di depan mulut.

"Dengar, Indonesia, Palestina harus secepatnya dibantu, yaitu dengan cara mengalahkan Israel sendiri. Mengertilah, dimana jiwa sosialmu yang tinggi itu? Atau kau malah membalikpihakkan diri dari Palestina ke Israel?" ucap presiden, frustrasi dengan bermacam keluhan dan gembar-gemboran dunia tentang masalah ini.

Israel membombardir Palestina tempo jam!

"Te- Tetapi, Israel 'ka- kan juga negara, toh, Pak?"

"Namun dia kejam," presiden menghela napas. "Tetapi, ya, itu terserah dirimu, Indonesia. Keputusan ada di tanganmu sepenuhnya. Aku tidak bisa memaksamu... ."

...

•••

...

Percakapan kala senja tadilah yang menghantui Indonesia, memuncak-muncaki pikirannya, minta jawaban.

Namun, Indonesia bisa apa?

Jika dijawab dia setuju untuk mengerahkan bala tentara (barangkali demi membantu Palestina untuk menggempur Israel yang digadang-gadang sebagai negara tamak), Indonesia merasa berdosa.

Berdosa karena telah membunuh ratusan (atau malah jutaan?) kaum tidak berdosa di sana.

Namun bila dijawab bahwa Indonesia tidak setuju, beliau takut (malahan terlalu sangat takut) jika tali persaudaraan antara Republik Indonesia dan Palestina merenggang, bahkan putus.

Lagi, mungkin saja Indonesia merasa berdosa. Berdosa karena membiarkan orang-orang Palestina merintih kesakitan, hingga rintihannya tidak lagi terdengar.

Indonesia tahu, Israel tidaklah sekuat (dan semengerikan) yang dunia bayangkan. Israel jugalah sebuah negara, suatu bangsa yang harus memajukan seluruh rakyatnya.

Baik dari segi pendidikan, militer, bakat, dan segalanya.

Terlebih, jika negara itu adalah seorang personifikasi negara di dunia, yang hidup, membaurcampurkan diri dengan orang-orang awam.

'Apa yang harus aku lakukan?'

Indonesia mencengkeram kepalanya.

Israel... Memiliki militer yang kuat, pendidikan yang tinggi, dan sering disebut dengan "negara pilihan Tuhan di masa lalu".

Namun...

Semua negara di dunia selalu memiliki kelemahan, iya, 'kan? Bahkan bangsa sedigdaya Amerika Serikat pula memiliki kelemahan dan kekhawatiran, pada para negeri yang memiliki sumber daya alam, serta sumber daya manusia yang mumpuni, yang unggul.

Termasuk Indonesia sendiri dan Israel.

Israel juga memiliki kelemahan. Yaitu ketakutannya akan kematian, yang kemudian menurun pada rakyat-rakyatnya...

Karena itulah, personifikasi Israel itu rapuh...

Rapuh?

Ya, rapuh. Mudah saja menghancurkan Israel, melenyapkan negara itu dari peta dunia secara permanen- namun pernahkah ada yang berani? Amerika bahkan tidak berkutik atas penjajahan Israel atas tanah kedaulatan Palestina.

Israel yang rapuh kepada kelemahannya sendiri, yaitu takut pada kematian. Nah, satu kata yang cukup untuk memberikan mimpi buruk kepada siapapun (Indonesia juga termasuk, terang saja).

Kerapuhan yang tak bisa Israel obati sendiri...

Kerapuhan yang telah menyakiti hati Israel sendiri...

Baik raga, maupun hatinya...

Kesepiankah? Indonesia belum pernah mendengar ada bangsa yang pernah mengadakan hubungan kerja sama dengan Israel. Barangkali luput dari pemberitaan media di negaranya, ataukah memang tidak ada sama sekali?

Indonesia tahu, perempuan itu -Israel- kini sangat jenuh dan kesepian. Dan mungkin akibat dari ketamakannya akan Palestina, yang kini masih dijajah olehnya...

Harus ada yang bisa membantunya, mengeluarkan Israel dari segala masalah yang bergelayutan dalam segala aspek kehidupan.

Pikiran pendek (maaf saja, namun mungkin inilah kenyataan) yang langsung mencekal bahwa Israel ialah negara kejam tidak selamanya benar.

Dan -mungkin- hanya Indonesia-lah yang mengetahui itu. 'Bisakah aku mengambil keputusan?'

Indonesia mengangkat kepala, mengambil ponsel dari saku celana, lantas mencari kontak yang harus dia hubungi.

"Kepada pak Presiden, saya Indonesia, memutuskan untuk memikirkan lebih dahulu masalah ini. Ini adalah tentang hak azasi kemanusiaan dan kedaulatan, harus saya pikirkan terlebih daulu secara dewasa dan matang-matang," lantang sang personifikasi.

Di seberang, seorang pria paruh baya dengan wajah bersahaja menyimpul senyuman. "Baiklah, negeriku. Aku terima segala keputusanmu.


finished chapter I.


Kalau fanfiksi ini sepi, yaa, lebih baik saya crossover-kan dengan fandom Adit Sopo Jarwo biar tambah sepi. Biar tidak dinotis. 8v~