Hello Everyone,

Actually the idea of making this came a very long time ago, even longer than making Daughter of Spring and Autumn-which, by any chance was put on hold for the time being, but I promise I published it soon-but a lot of things come up until just yesterday, when I decided to make something.

Just something, to write, to publish, while I'm working on DSA continuation. And here it is.

Proudly presents, a story of Kira and Lacus, actually. But I need Fllay to be there, Oh well, read it and you'll see why I need Fllay.

Ooh, I hope you like it, and enjoy it like I do.

Happy Reading~


Disclaimer: Mobile Suit Gundam SEED and all of its characters belongs to Yoshiyuki Tomino, Sunrise, and Bandai respectively

Rate: T, well, just let me know if I should change it, okay?

Genre(s): Drama, Tragedy, Friendship, Family, etc

Warning(s): AU, OOC-ness, Typo(s), ER, FT, etc

Pairing(s): Kira Yamato/Fllay Allster, Athrun Zala/Cagalli Yula Athha (for now, that should do it)


Piece by Piece

Part One - New Year

Kaoru Hiyama

2016


Semua orang mengira penyebabnya adalah kembang api yang meledak saat dinyalakan. Yeah, well, kurasa aku tidak bisa mengatakan mereka salah.

Aku terbangun pagi ini dengan perasaan gembira yang meluap-luap, seperti bak yang dipenuhi gelembung sabun dan kerannya tidak ditutup. Alarmku berbunyi nyaring seperti biasa. Aku juga terbangun pada pukul delapan pagi, seperti biasanya aku bangun di akhir pekan. Tapi yang tidak biasa adalah akhir pekan itu sendiri.

Waktu duduk di tempat tidur aku langsung menoleh ke samping dan mengambil kalenderku yang aku taruh di meja kecil di sampin tempat tidur. Aku meraihnya dan membacanya. Hari ini, malam tahun baru, aku menandainya dengan sesuatu. Dan semangatku semakin terpompa saat membacanya.

Meer! Meer! Aku akan bertemu dengan Meer hari ini!

Meer adalah saudara kembarku. Orangtua kami berpisah sepuluh tahun yang lalu, Meer ikut dengan ibuku. Aku ikut dengan ayah.

Dan bam! Kami berpisah, sesederhana dan semudah itu.

Ibu membawa Meer pindah ke kota lain, sementara aku menetap di Aprilius City bersama ayah, tumbuh besar, dan menjadi seorang penyanyi opera. Dari email yang kuterima, aku mendengar Meer menjadi model atau semacamnya. Well, setidaknya kami berada di dunia yang sama. Meski jadinya kami sama-sama sibuk dan tidak punya kesempatan untuk bertemu.

Sampai bulan lalu.

Ketika sedang berbalas pesan melalui Skype, Meer memberitahuku kalau agensinya akan mengadakan pemotretan di Aprilius, kotaku. Dan aku juga sedang senggang, pada bulan Desember biasanya kami tidak mengadakan banyak pertunjukan karena kebanyakan dari kami—anggota perkumpulan seni yang kuikuti—masih merupakan siswa SMA dan lainnya karena kami biasanya punya agenda sendiri-sendiri. Yah, dan itu termasuk aku. Jadi aku mengajaknya bertemu di suatu tempat.

Dia mengusulkan beberapa tempat yang sering kami kunjungi waktu masih kecil, sekalian nostalagia, katanya. Tapi aku tidak bisa menerimanya karena hampir semua tempat itu sudah tutup atau sudah dijadikan sesuatu yang lain.

Kecuali taman kota.

Dan secara kebetulan, taman kota saat itu sedang mengadakan pesta akhir tahun yang meriah. Dengan kembang api dan semacamnya. Juga ada konser, dan hal-hal keren lainnya.

Meer setuju, kami akan bertemu di taman kota pada jam enam sore untuk mengikuti acara countdown yang diadakan pada tengah malam. Aku yang merencanakan untuk bertemu pada pukul enam sore karena dia sudah menyelesaikan pemotretannya dan tempat itu pasti masih sepi, jadi kami bisa mencari tempat yang bagus untuk menonton pertunjukkan kembang apinya.

Aku bangun, bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian. Sambil mematut diri di cermin, aku mencoba beberapa. Sampai akhirnya aku memilih untuk mengenakan blus off-shoulder berlengan panjang putih, legging hitam, dan sepatu bot abu-abu berpita. Rambutku—ikal, merah muda, panjang—kubiarkan tergerai. Hanya saja aku tak pernah meninggalkan rumah tanpa jepit rambutku, jadi aku mengenakannya. Dan tas selempang mungil berisi macam-macam keperluan dasarku, dompet, tanda pengenal, kunci rumah, make-up standar: bedak, lip-gloss, dan eyeliner, dan tentu saja, ponsel.

Membuka pintu, aku menuruni tangga setengah berlari dan membuat sarapan. Ayah seperti biasa, sudah berangkat kerja pada jam segini. Pekerjaannya sebagai Dewan PLANTs tidak mengenal hari libur. Dan aku sudah terbiasa ditinggal. Lagipula ia juga sudah mengizinkanku pulang malam pada malam tahun baru. Apalagi aku mengatakan padanya kalau tahun ini aku hanya akan merayakannya bersama Meer, tanpa ada yang lainnya.

Jadi aku memakan sarapanku—yang terdiri dari roti lapis isi coklat dan sebotol susu coklat—dan berjalan keluar setelah memastikan rumah kami terkunci dengan baik. Aku dan ayah hanya tinggal berdua, karena itu setiap dari kami memiliki kunci rumah, dan wajib meninggalkan rumah dalam keadaan terkunci jika tak ada orang lagi di rumah.

Seperti sekarang ini.

...


...

"Pesta tahun baru?"

Aku mengangkat alis ketika menanyakan hal itu. Fllay, di sisi lain, kelihatan bersemangat. Amat sangat bersemangat. Aku bisa melihat rona di pipinya, senyum di bibirnya, dan nada riang tertentu yang terdengar darinya saat memperlihatkan sebuah pamflet dengan tulisan 'AMAZING NEW YEAR'S EVE' tampak memenuhi dua pertiga kertas yang berlatarkan gambar kembang api itu padaku. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap aku menyetujui ajakannya untuk menghabiskan malam tahun baru kami di acara itu.

Well, aku tak terlalu setuju.

Aku sudah punya rencana sendiri tentang bagaimana kami seharusnya menghabiskan malam pergantian tahun. Tidak di tengah-tengah hiruk-pikuk remaja yang meneriakkan countdown di taman kota, tentu saja. Bagaimanapun aku tidak pernah suka keramaian. Dan dari semua orang yang kukenal seumur hidup—yang mana tidak begitu banyak—Fllay salah satu yang memahami hal ini, meski tidak begitu sepakat. Dia menyukai berada di tengah-tengah kerumunan, dan dia juga pernah mengatakan bahwa dulu saat masih duduk di bangku SMA dia pernah bercita-cita menjadi artis, selebritis, seperti Lacus Clyne atau model terkenal seperti Meer Campbell.

Dan, meski kedua mimpinya tidak ada yang menjadi kenyataan, Fllay mengambil jurusan komunikasi saat kuliah dan akan lulus tahun depan, sementara aku sendiri mengambil jurusan kedokteran dan sudah lulus tahun lalu. Sekarang ia sedang mengambil magang di Newsline, sebagai produser infotainment. Tentu saja—walaupun tidak terlalu sepakat—aku mendukungnya sepenuh hati.

Lagipula, salah satu alasan mengapa aku tidak ingin kami menghabiskan malam tahun baru di acara taman kota yang sering didatanginya juga adalah karena aku berpikir tempat seperti itu—dengan keramaian dan sebagainya—tidak akan cocok dengan apa yang sedang kurencanakan.

Aku akan melamarnya.

"Maaf, Fllay," kataku, mencoba tersenyum dengan tulus dan simpatik, "Tapi kurasa menghabiskan malam tahun baru dengan cara yang sama setiap tahun tidak terdengar menyenangkan."

"Yah, itu kan katamu," Fllay melipat kedua lengannya di depan dada, kemudian menghela napas panjang, "Lagipula aku mau merayakannya di sana bukan karena itu semacam rutinitas, Kira. Aku ingin mengajakmu, kau tidak pernah ke sana kan?"

Telak. Oh, well. Mungkin seharusnya aku tidak menceritakan padanya kalau ini kali pertama aku tidak merayakan malam tahun baru di kampus, atau di rumah sakit karena ada panggilan darurat dari UGD.

Oh, dan itu juga. Acara besar pada malam tahun baru seringkali diidentikkan dengan kecelakaan. Dan itulah kenapa rumah sakit seringnya penuh pada malam tahun baru. Itu juga kenapa aku menghabiskan malam tahun baruku di rumah sakit tahun lalu.

"Karena aku tidak ingin," kataku, menghela napas seolah-olah itu adalah hal yang berat untuk kukatakan. Nyatanya, itu yang termudah. "Acara seperti itu seringnya tidak berakhir bagus, dan aku tidak ingin menjadi pasien di rumah sakit tempat aku magang."

"Hei, jangan bilang begitu," Fllay berjalan ke arahku, dapur flat-ku tidak besar, dan kami berdiri di balik meja konter di samping kompor listrik. Dia menatap mataku, tangannya menggenggam tanganku. "Kita akan baik-baik saja, oke?"

Aku menghela napas, menyerah.

Di sana mungkin berisik, dipenuhi banyak orang, tapi dia akan menyukainya. Baiklah, aku bisa melamarnya di sana.

Atau begitulah yang kupikirkan.

...


...

Sembilan bulan Kemudian…

Jam malam rumah sakit umum kota Aprilius sudah berlalu satu jam yang lalu, tapi Lacus tidak begitu peduli. Ia masih berada di koridor ruang ICU, jemarinya menempel pada kaca jendela ruangan itu, seperti halnya ujung hidung dan rambut di dahinya, juga jepitnya. Matanya menatap nanar pada sosok di balik kaca itu. meskipun, dengan sedihnya, ia harus mengakui bahwa ia tidak mengenalnya.

Ia menarik napas—dengan berat—dan menundukkan wajah, mengusap airmata dengan satu tangan dan mengalihkan pandangan. Memutar tubuhnya, ia beranjak menjauhi kaca jendela dan menduduki kursi pertama dari deretan kursi di koridor itu. Kedua tangannya terkatup, ia kembali menunduk, dan mulai berdoa.

Semua orang mengira penyebabnya adalah kembang api yang meledak saat dinyalakan. Ia menghela napas, well, sepertinya mereka tidak salah.

Peristiwa mengerikan itu terjadi hampir setahun yang lalu, tapi bagi Lacus rasanya seperti baru kemarin. Bahkan, terkadang rasanya seperti baru saja terjadi.

Ia mengingat semuanya dengan jelas, dan segala yang diingatnya sudah ia beritahukan pada para polisi dan detektif yang menanyainya mengenai hal itu selama berbulan-bulan.

Dan semua dimulai dari kembang api.

Lacus memang bertemu dengan Meer pada hari itu, dan mereka bersenang-senang. Meer bercerita kepadanya tentang pacarnya yang seorang senior dengan gaya khasnya yang mengingatkan Lacus pada masa ketika saudarinya itu menceritakan tentang baju barunya.

Ia membalas cerita Meer dengan menceritakan cowok pemain biola baru di teater yang disukainya. Meer menyuruhnya menyatakan perasaannya sebelum cowok itu diambil orang. Lacus tidak begitu sepakat, dan ia juga sadar diri. Tidak seperti Meer, ia pemalu. Dan itu tidak berubah meskipun sekarang ia seorang penyanyi remaja yang sedang naik daun.

Meer menertawainya, tentu saja. Tapi juga menyatakan kalau ia mengganggap bahwa sifat pemalu saudarinya itu menggemaskan. Mereka lalu keluar dari area perayaan dan menghampiri kios makanan ringan. Meer membeli popcorn dan mengajak penjaga kiosnya—yang katanya cukup tampan—berkenalan. Sementara Lacus membeli sebatang coklat dan berpura-pura tidak mengenal Meer. Tapi kemudian Meer menarik tangannya dan meminta si penjaga kios memotret mereka melalui ponselnya, hingga ia tak bisa mengelak bahwa mereka bersaudara dan—tentu saja—saling mengenal.

Kemudian mereka kembali ke mobil dan tertawa-tawa sambil membicarakan tentang kejadian dengan penjaga kios tampan itu. Lalu terdengar suara kembang api, dan mereka menoleh.

Kembang api pertama diluncurkan pada pukul sembilan malam, Lacus memutar radio dan mendengarkan lagu Moon child dipersembahkan oleh si penyiar untuk para pendengar yang sedang merayakan tahun barunya sendirian.

Setelah itu radio terus memutar lagu demi lagu, sementara di luar kembang api terus meluncur dan mewarnai langit dengan warna-warna cerah dan bunga-bunga yang indah sebelum apinya mati di langit dan menyisakan asap seputih kepulan salju yang menghiasi jalan-jalan di seluruh penjuru kota. Meer mengajaknya keluar untuk berfoto di bawah letupan kembang api, tapi Lacus menolak, ia lebih suka berada di dalam mobil yang berpenghangat kalau mengingat suhu udara nyaris mencapai minus sepuluh di luar.

Meskipun pada akhirnya ia menyerah, dan sambil merapatkan mantel, ia keluar dari mobil untuk bergabung dengan Meer dan sesi fotonya.

Tapi tak lama, karena berkat pilihan bajunya yang salah, ia mulai menggigil dan memilih untuk masuk ke dalam mobil ketika Meer masih ingin berfoto. Pada saat itu, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.

Satu jam kemudian, Meer kembali.

Dan, bertepatan dengan saat saudari kembarnya itu tiba di samping pintu mobil, ia mendengar suara ledakan dari kejauhan. Ledakan yang besar dan mengerikan.

Lalu… api.

Ketika terbangun, ia mendapati dirinya berada di kamar rumah sakit. Ayahnya di sampingnya, dan ruangan itu gelap. Seluruh tubuhnya terasa sakit, tapi akalnya bekerja lebih cepat dari yang bisa diduganya.

Ayahnya menangis dan memeluknya. Ia ikut menangis.

"Dimana Meer?" ia bertanya di antara tangisnya, kelegaan karena bisa bertemu kembali dengan ayahnya berubah menjadi rasa penasaran yang entah bagaimana terasa menyesakkan.

Ayahnya mengendurkan pelukan, menatap matanya, dan berkata dengan suara lirih, "Meer… dia meninggal. Polisi menemukan mayatnya di samping mobilmu. Sepertinya dia berniat akan masuk mobil ketika ledakan terjadi. Dia tewas di tempat."

Lacus melayangkan kedua tangannya untuk menutupi mulutnya yang tidak bisa menutup. Kemudian ia menangis selama bermenit-menit sementara ayahnya kembali memeluknya.

...


...

Minggu pagi, Lacus terbangun di tempat tidurnya dan tidak bisa memikirkan hal lain kecuali kematian. Kematian kematian kematian kematian… ia menggelengkan kepala, menarik napas, dan mencoba mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang berbau kematian atau yang semisalnya. Meski sulit.

Kehilangan saudara kembar dalam satu peristiwa besar yang dijadikan headline di berbagai surat kabar selama berminggu-minggu rupanya telah mengubah seluruh cara berpikirnya. Jika dulu ia gadis periang yang mudah tersenyum, sekarang senyum di bibirnya terasa seperti duri yang menempel, mengganggu, dan—tentu saja—menyakitkan.

Lacus berjalan ke cermin besar di sudut kamarnya dan membuka seluruh kancing piyamanya. Ada bekas jahitan di atas pinggang sebelah kiri dan di perut bagian kanannya. Dan keduanya adalah bagian dari dirinya yang ada setelah ia kehilangan saudarinya. Keduanya juga bukti bahwa malam itu ada. Bahwa ia selamat. Dan… bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh salah satu korban lainnya.

Seorang gadis—atau wanita, ia tidak tahu—bernama Fllay Allster telah menyelamatkan nyawanya pada malam itu. Fllay Allster adalah salah satu korban yang tewas ketika sampai di rumah sakit, ia mengalami mati otak, dan secara kebetulan mempunyai kartu donor.

Sementara Lacus pada saat itu membutuhkan donor. Dia kehilangan banyak darah dan mengalami kegagalan pada beberapa fungsi organ dalamnya. Dokter yang menangani mereka—secara kebetulan yang mengerikan—ternyata satu orang. Dan ia menyadari bahwa jika memungkinkan, Fllay bisa menjadi donor untuk Lacus.

Keduanya lalu dites, dan hasilnya menunjukkan kecocokan, sehingga mereka memulai operasinya. Dalam beberapa jam, salah satu dari kedua gadis itu selamat sementara yang lainnya mati.

Dalam dua hari, Lacus terbangun dan menyadari dua perubahan besar dalam hidupnya. Satu, ia kehilangan saudara kembarnya. Dan yang kedua, ia bisa selamat dengan pengorbanan seorang wanita yang umurnya tak berbeda jauh dengan dirinya.

Dan ini mengubah hidupnya.

Setelah melakukan beberapa riset, ia mengetahui bahwa pada saat kejadian, Fllay datang ke taman kota bersama seseorang bernama Kira Yamato. Kemudian ia mencari tahu tentang Kira Yamato dan mengetahui bahwa pemuda itu masih dalam keadaan koma dan dirawat di rumah sakit Aprilius, seperti halnya ia dan Fllay. Kira Yamato—menurut keterangan para perawat—adalah seorang intern di rumah sakit itu. Ia akan lulus dari sekolah kedokterannya tahun ini, dan ia dijuluki si Jenius Tampan. Lacus tak terlalu mempedulikan masalah tampan atau tidaknya si Kira-Kira itu, tapi setidaknya ia ingin melakukan sesuatu padanya. Untuk Fllay.

Karena itulah ia kemudian mendaftar menjadi sukarelawan di rumah sakit, dan menghabiskan akhir pekannya dengan mengunjungi pasien-pasien di rumah sakit yang sudah lama tidak dikunjungi oleh keluarganya atau yang tidak dikenal. Meskipun Kira Yamato tidak termasuk di antara mereka.

Kira Yamato, menurut pengamatan Lacus, sering didatangi oleh seorang laki-laki berambut biru tua dan seorang perempuan berambut pirang. Ia tidak pernah bisa bertemu langsung dengan keduanya karena perbedaan waktu berkunjung dan sebagainya. Tapi ia melihat di daftar kunjungan pasien ICU, bahwa keduanya terdaftar dengan nama Athrun Zala dan Cagalli.

Beberapa dokter dan perawat juga memperlakukan Kira sedikit berbeda. Tidak jarang Lacus melihat seorang dokter atau perawat mengunjungi tepat ketika ia baru akan keluar dari lift.

Hari ini pengecualian. Setelah mengunjungi beberapa pasien di lantai satu yang merupakan tempat ia bertugas pada hari Minggu di akhir pekan ketiganya di bulan September, ia bergegas naik ke lantai lima tempat Kira dirawat. Dan saat keluar dari lift, ia melihat kedua orang itu—Athrun dan Cagalli—sedang membantu pemindahan Kira ke kamar lain.

Ia juga melihat pemuda itu bangun, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir dan berpikir untuk mengikuti mereka tanpa sepengetahuan ketiganya.

...


...

"Kira, selamat datang kembali, sobat,"

Kata-kata itu menerjang telinga Kira tepat setelah usahanya untuk membuka kedua matanya akhirnya mendapatkan hasil. Penglihatannya masih buram dan kabur, tapi sepertinya pendengarannya masih cukup baik.

Ia mengenal suara itu sebagai suara sahabatnya, Athrun, yang baginya juga merupakan orang terdekat yang ia miliki sebagai keluarga.

Well, setidaknya di sini.

Kedua orangtua kandungnya meninggal sewaktu Kira masih terlalu kecil bahkan untuk mengingat wajah dan/atau suara mereka. Setelah itu, ia dibawa ke panti asuhan dan diangkat sebagai anak oleh keluarga Yamato. Namanya sekarang Kira Yamato.

Sebagai putra tunggal keluarga Yamato, Kira tumbuh besar di ORB bersama kedua orangtuanya. Ayah angkatnya, Haruma—bekerja sebagai pegawai negeri, sementara ibunya, Caridad, menjadi ibu rumah tangga. Meski bukan keluarga kandung, ia selalu bersyukur telah bertemu dengan keduanya dan menjadi anggota keluarga mereka.

Kira bertemu dengan Athrun sepuluh tahun yang lalu, ketika mereka sama-sama berusia dua belas tahun dan berada pada tahun pertama mereka di SMP Copernicus. Saat itu Kira baru tiba di Copernicus dan tak mengenal seorang pun. Ia baru menguasai bahasa Inggris dan masih terasa aneh di lidahnya, seperti rempah baru.

Ia sebelumnya bersekolah di SD lokal ORB yang menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa percakapan umumnya, dan meski lidahnya lebih fasih menggunakan aksen Jepang, ia memilih untuk menggunakan aksen Inggris yang ia kembangkan selama enam bulan ia menjalani sekolah bahasa di PLANTs dengan memperhatikan cara bicara guru les bahasa Inggrisnya, Profesor Kato.

Athrun berkebangsaan PLANTs, berasal dari keturunan panjang militer di December, kota yang oleh para Dewan PLANTs dijadikan sebagai pusat pendidikan dasar di PLANTs. Ayahnya berpangkat sebagai Ketua National Defense dan dikenal sebagai salah satu prajurit terbaik pada masanya, tapi Athrun tidak berminat masuk sekolah militer dan ia sama sekali tidak bisa membayangkan dirinya sebagai seorang prajurit. Kira menatap Athrun dari atas sampai bawah saat mendengar penuturan sahabatnya itu dan tak bisa mengatakan ia tidak setuju. Athrun memang sama sekali tidak cocok menjadi prajurit.

Seperti Kira, Athrun juga tidak mengenal siapa pun di sekolah, dan sebagaimana nasib mengatur, di awal semester pertama mereka dipasangkan untuk membuat proyek awal tahun di kelas micro-engineering. Proyek tersebut menghabiskan banyak malam dalam seminggu untuk membuat skema perancangan robot sambil mengunjungi rumah satu sama lain—kebanyakan rumah Kira karena ibu Athrun adalah wanita karir yang sibuk dan jarang ada di rumah sehingga ia sering menyuruh anaknya menginap setelah melihatnya mempunyai teman dekat, dan begitulah persahabatan mereka berakar.

Pada tahun terakhirnya di SMP, mereka berpisah. Athrun kembali ke PLANTs sedang Kira melanjutkan studinya ke Heliopolis. Kemudian pada tahun akhirnya di SMA, ia mengubah haluan dari politeknik Heliopolis ke studi kedokteran di PLANTs. Dan karena tidak mengenal siapa pun di PLANTs kecuali Athrun, Kira mencoba menghubunginya kembali sambil mempersiapkan studinya.

Kemudian pada hari penerimaannya di Universitas, ia merayakannya bersama sahabatnya dan seorang gadis bernama Cagalli—yang waktu itu berstatus pacar Athrun.

Dan sepertinya hubungan mereka—Athrun dan Cagalli—berjalan lancar, sampai hari ini.

Kira memegangi kepalanya, merasakan nyeri dan denyutan yang mengganggu sementara ia berusaha untuk bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya, "Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?"

Athrun terkesiap, dan mengenalnya, Kira dapat melihat ketegangan di mata dan sikap tubuhnya. Jelas sekali bahwa apapun yang akan ia katakan, pasti bukan hal baik.

"Apa hal terakhir yang kau ingat?" itu suara Cagalli, ia terdengar cemas dan lelah. Kira mengalihkan pandangannya dari Athrun dan mendapati kalau wanita itu tampak pucat dan kelelahan. Matanya berkantung dan sayu, sepertinya ia kurang tidur.

Menundukkan kepala, ia berkata, "Aku…"

Dan ia teringat sesuatu.

"Fllay, dimana Fllay?" tanya Kira kemudian, suaranya sama seperti napasnya yang memburu dan tak beraturan. Kira mencengkram selimutnya, dan menahan geram saat menyaksikan betapa canggung dan tegangnya kedua orang yang dikenalnya saat mendengar pertanyaannya.

"Kira…" Athrun mencoba mengatakan sesuatu tetapi ia menelannya kembali, mata zamrudnya bergerak tak nyaman. Sesekali ia melirik pada Cagalli dan tatapan yang dilemparkan Cagalli seolah menyiratkan keengganannya. Maka kemudian Athrun menghela napas dan melanjutkan, "Fllay sudah meninggal, Kira."

"Kapan?" ia kembali bertanya, merasakan suaranya bergetar dan matanya memburam. Ia sungguh telah bersumpah pada Athrun untuk tidak menangis lagi ketika mereka berpisah bertahun-tahun yang lalu. Tapi kini, di sini, ia berjuang mati-matian untuk mempertahankan sumpahnya.

"Se—sudah lama. Dia meninggal pada awal tahun."

Dahi Kira mengerut, "Dan kapan itu?" ia menarik napas dengan sekuat tenaga sambil mempertahankan airmatanya agar tidak jatuh. Lagipula di sini ada Cagalli, sungguh tidak pantas rasanya menangis di hadapan pacar sahabatnya.

Athrun tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala dan menghela napas panjang. Mengenalnya, Kira tahu hal itu berarti apapun yang akan ia katakan adalah sesuatu yang buruk. Amat sangat buruk. Begitu buruk sampai ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya tanpa membuatnya terdengar sebegitu buruknya.

Tetapi kemudian ia mendengar jawabannya, dan itu bukan dari Athrun.

Yang menjawabnya adalah Cagalli, "Sembilan bulan yang lalu, Kira."

Dan kini Kira-lah yang tak tahu harus mengatakan apa.

...


...

Kira melihat gadis itu keluar. Sudah seminggu ini ia selalu melihat gadis itu—samar-samar—mengganti bunga di dalam vas di samping tempat tidurnya dan bergegas keluar. Dan ia tidak sekalipun mendapatkan kesempatan untuk menanyakan siapa namanya.

Tapi setidaknya hari ini ia mendapatkan ciri-cirinya lebih baik dari kemarin.

Ia tidak mengatakan apapun, meski kelihatannya para perawat di lantai ini sudah mengenalnya karena mereka selalu menyapanya. Kira mengangkat tubuhnya dan duduk di atas tempat tidur. Mempertanyakan siapa gadis itu.

Rambutnya berwarna merah jambu cerah, seperti permen kapas rasa stroberi yang dulu sering dibelikan ayahnya setiap ia pulang kerja. Kulitnya seputih susu, dan senyumnya tampak seperti boneka—kaku dan terpaksa. Meski demikian secara keseluruhan setidaknya ia cantik. Tetapi kecantikan itu menyembunyikan kekosongan tertentu yang tidak diketahuinya.

Dari yang terlihat, tampaknya gadis itu juga pernah merasakan kehilangan seseorang yang berharga seperti dirinya.

Seorang perawat biasanya datang untuk mengecek keadaannya setiap beberapa jam, dan tak lama setelah gadis itu menghilang di balik pintu kamar rumah sakit yang berayun tertutup, si perawat masuk menggantikannya. Kira menarik napas, mempersiapkan diri untuk diperiksa, sekaligus bersiap menanyainya tentang gadis itu.

"Selamat pagi, Kira," sapa si perawat, ia wanita yang—menurut pengamatan Kira—setidaknya pasti berusia tiga puluhan dan memiliki seorang anak. Kira menyandarkan kepalanya ke sandaran di belakangnya saat wanita itu mengambil pena dan menyiapkan catatannya.

"Bagaimana keadaanmu pagi ini?" tanya si perawat dengan nada lembut, seperti rayuan dari seorang ibu.

"Nyerinya sudah tidak terasa, kemarin dokter Waldfeld juga sudah mengecek jahitanku, dan katanya tak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Oh," kata si perawat, "Baguslah kalau begitu." Ia menuliskan beberapa hal di dalam catatannya dan kembali menoleh pada Kira.

"Kau meminum obatmu?"

"Sesuai dosis."

"Tak ada kesulitan menelan? Atau makan?"

"Semua baik."

"Hmph," ia mendengus, kembali menyelipkan penanya di saku dan melipat map yang tadi dipenuhinya dengan catatan, "Sepertinya kau akan diperbolehkan pulang dalam waktu dekat."

Perawat itu memegang map-nya dengan satu tangan dan bersiap untuk pergi, "Ada lagi yang bisa kubantu?"

"Ya," Kira mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya dan memandang serta menunjuk ke arah buket mawar putih yang ada di vas di samping tempat tidurnya, "Siapa gadis yang suka datang kemari dan mengganti bunga itu?"

"Oh," kata si perawat, tampak terkejut, "Kau tidak mengenalnya?"

Kira menggeleng, "Tidak, aku tak mengenalnya."

Ia menghela napas, "Namanya Lacus Clyne. Kau tahu? Diva pop itu?" mengendikan bahu, ia melanjutkan, "Dia sering kemari setelah terapinya selesai setengah tahun yang lalu. Aku juga tidak begitu mengerti, padahal dia sedang sibuk-sibuknya tapi malah mendaftar jadi sukarelawan rumah sakit, dia datang setiap akhir pekan."

Perawat itu tampak seolah mengeluhkan gadis itu. Tapi Kira sebenarnya lebih bingung dari yang seharusnya. Sukarelawan? Apa yang dilakukan seorang sukarelawan di kamarnya?

"Terima kasih," katanya, tersenyum pada si perawat yang kemudian mengundurkan diri dari hadapan Kira. Dan berlalu melalui pintu yang sama dengan pintu tempat gadis itu pergi beberapa menit sebelumnya.

Sementara itu di sinilah Kira, sendiri—Athrun dan Cagalli masih ada urusan dan berjanji akan datang nanti sore—dan bertanya-tanya tentang seorang gadis bernama Lacus Clyne yang kini diketahuinya sebagai diva pop yang dulu disebut-sebut oleh Fllay, dan sekarang bekerja sebagai sukarelawan rumah sakit di akhir pekan.

...


A/N: OH MY GOD!

You don't know how happy I am to finally published it!

Yeaaayy~

Anyway, let me know whether you like it or not by sending me reviews so I can come back to you.

Constructrive criticisms are needed to help me get better~

Thank you for your time to read, and-maybe-review this story.

Good luck and have a nice day~

Cheers,

.

K. Hiyama