Aku pergi.
Aku tak akan memintamu untuk menungguku. Aku tahu kau akan marah padaku. Bahkan kau mungkin akan merobek kertas ini sebelum kau membacanya.
Maaf mungkin takkan cukup untukmu. Beribu kalipun aku mengucapkannya, aku tahu kau takkan bisa memaafkanku.
Sasuke-kun ...
Mungkin ini hanya terdengar seperti sebuah omong kosong bagimu, tapi aku masih sangat mencintaimu.
Karena itu ... aku hanya minta satu hal darimu.
Ketika aku pulang nanti dan saat itu kau sudah tidak mencintaiku lagi, bisakah kau berikan aku kesempatan kedua?
Biarkan aku membuatmu mencintaiku kembali.
.
.
Naruto by Masashi Kishimoto
Story by Dae Uchiha
Standard warning applied
.
.
Second Chance
©2012
.
.
Konoha Senior High School
Daftar Nama Siswa Kelas XII-3
Aburame Shino
Akamichi Chouji
Hanamaru Kina
Haruno Sakura
Hekigenji Maru
Hoshigaki Suigetsu
Hyuuga Hinata
Inuzuka Kiba
Kinohara Sanji
Kazehaya Tenshi
Namikaze Karin
Namikaze Naruto
Namikaze Shion
Nara Shikamaru
Rock Lee
Sabaku Gaara
Toshikawa Kaze
Uchiha Sasuke
Yamanaka Ino
Yashamaru Shina
Papan pengumuman kini didesaki oleh banyak siswa-siswi yang ingin tahu dengan pembagian kelas mereka. KSHS memang selalu mengadakan rolling class setiap tahunnya untuk menghindari kebosanan siswa dengan suasana belajar.
"Sepertinya dua belas-tiga akan jadi kelas yang menarik, ya ... sayang aku tidak ditempatkan di sana."
"Eh, tapi, sepertinya aku tidak tahu siapa itu yang namanya Haruno Sakura. Murid pindahan ya? Enak ya, begitu pindah langsung satu kelas dengan kumpulan anak-anak populer."
"Hah~ entahlah. Keberuntungan, mungkin?"
"Yahh~~ aku tidak satu kelas dengan Uchiha Sasuke!"
"Hikari, kau satu kelas denganku ya! Yey ..."
"Kiba! Ayo tanding bola denganku!"
"Kaze-kun, awas saja kau kepincut Yamanaka itu! Jangan harap satu kelas dengannya membuatmu bisa main mata, ya!"
Suara bising siswa-siswi yang melihat pengumuman dipenuhi dengan berbagai ekspresi. Kecewa, sedih, senang, marah ...
Seorang gadis berambut pink menatap ke arah papan pengumuman dengan senyum tersungging di bibir.
Aku beruntung.
.
.
.
.
.
Ting tong ... ting tong ...
Sakura menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hatinya untuk menghadapi apa yang ada di balik pintu. Berusaha mengabaikan debaran jantungnya yang menggila serta bisikan pikirannya untuk segera pergi.
Tidak, Sakura harus menghadapi ini.
Suara pintu yang terbuka membuat Sakura mendongak, menatap sosok yang menjulang di depannya.
Sakura merasakan kerinduan membuncah di dadanya, menekan dan tak memberinya kesempatan untuk bernapas. Pemuda itu begitu dekat dan terjangkau. "Sasu—"
"Aniki, ada tamu untukmu."
Tercekat dan tak mampu berkata apa-apa adalah reaksi Sakura ketika mendengar lontaran kalimat dengan nada dingin yang diucapkan pemuda berambut raven itu. Hatinya semakin sakit saat Sasuke berbalik begitu saja, mengabaikannya yang masih berdiri di depan pintu yang terbuka.
Meninggalkannya dan menganggapnya sebagai orang asing.
Sakura tertunduk.
Apakah Sasuke belum bisa memaafkannya?
"Lho, Sakura? Ini benar Sakura, kan?"
Suara ramah Uchiha Itachi membuat Sakura menyembunyikan ekspresi terlukanya dan berusaha tersenyum untuk menatap kakak laki-laki Sasuke itu. "Iya, Niichan. Aku baru saja kembali dan ingin mengantarkan kue ini ke sini," Ia menyodorkan bungkusan yang dibawanya.
Itachi kontan memeluk Sakura erat. "Ah~~ aku benar-benar merindukanmu!" Pemuda itu melepas pelukannya dan menarik Sakura masuk. "Ayo masuk, ah, apa kau sudah bertemu Sasuke? Anak itu, kenapa malah meninggalkanmu dan berkata ada tamu untukku?"
Sakura tersenyum getir. Sasuke ... benar-benar sudah melupakannya.
"Niichan akan membuatkanmu minum dulu. Kau ke atas saja, kamar Sasuke masih sama, kok."
"Niichan tidak usah repot-repot ... aku akan pulang saja dulu."
Itachi berdecak. "Tidak boleh. Temui dulu Sasuke, baru kau boleh pulang. Anak itu sok jual mahal sekali, sih."
Sakura menghela napas. "Baiklah."
Gadis itu melangkahkan kakinya menaiki tangga dengan ragu. Sasuke sudah menolaknya seperti ini ... apakah pemuda itu masih membencinya?
Kamar kedua di koridor atas menjadi tujuan Sakura. Tak seperti dulu di saat pintu kamar itu penuh dengan tempelan stiker yang mereka dapatkan dari bungkus makanan ringan, kini pintu itu terlihat bersih.
Sakura berdiri di depan pintu, mengetuknya pelan.
Tak ada jawaban.
Sakura berusaha menarik napas meski rasanya begitu menyesakkan. "Sasuke-kun, ini aku." Ia berucap lirih. "Seperti dugaanku ... kau menolakku. Maafkan aku. Aku tahu ini salahku."
Gadis berambut merah muda itu mengerjapkan matanya, menghalau bulir-bulir bening yang mendesak keluar. "Tapi seperti surat terakhirku ... biarkan aku mencoba membuatmu kembali mencintaiku, Sasuke-kun ..."
Sakura menelan ludah, menahan isakannya. "Berikan aku kesempatan ..."
Gadis itu menunggu selama beberapa saat, namun Sasuke sepertinya tidak berniat membuka pintu yang menjadi pemisah di antara mereka. Sakura menunduk, membiarkan air matanya menetes dan membasahi lantai. "Ah, lancang sekali aku memohon padamu seperti ini." Ia tertawa getir, seolah menertawakan kebodohannya sendiri.
Sakura menarik napas, kemudian mengusap air matanya dengan sedikit kasar. "Tapi Sasuke-kun ... aku tidak akan menyerah." Sakura tersenyum pahit. Tidak, hanya karena penolakan seperti ini ia tidak akan menyerah. Bukankah ia telah berjanji?
Sementara itu, di tangga teratas Uchiha Itachi menahan langkahnya. Batinnya terasa perih ketika mendengar isakan gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu. Tapi ia ... tak bisa menghakimi Sasuke begitu saja.
Itachi hanya tersenyum lemah ketika Sakura membungkuk saat melewatinya.
Seandainya saja Sasuke mau membagi sedikit saja penderitaannya kepada Itachi ...
.
.
.
.
.
"Anak-anak, mulai hari ini Haruno Sakura akan bergabung dengan kelas kita. Mohon berteman baik dengannya."
Sakura membungkuk singkat, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Senyum kecil terbentuk di bibirnya saat melihat beberapa teman lamanya yang akan menjadi teman sekelasnya.
Naruto melambai dengan penuh semangat padanya.
Hinata tersenyum kecil, wajahnya tampak senang.
Kiba yang mengacungkan jempol padanya.
Lee yang juga melambai dengan senyuman.
Lalu Ino yang menunjuk-nunjuk bangku sampingnya yang kosong. Sakura bersyukur Ino masih mau berbagi tempat duduk dengannya. Pasti gadis itu sengaja karena melihat nama Sakura di papan pengumuman.
Senyuman Sakura memudar saat menatap sosok yang duduk di pojok pinggir jendela dan menatap ke luar dengan tatapan datar, menolak menatap ke depan (atau lebih tepatnya menolak menatapnya).
Sakura cepat-cepat mengusir desiran menyakitkan di hatinya ketika guru yang ber-nametag Hatake Kakashi itu menyentuh bahunya.
"Nah, Haruno, kau bisa duduk—"
"Sensei, Sakura duduk denganku!" Ino mengangkat sebelah tangannya, ia mengedipkan mata ketika tatapannya bertubrukan dengan tatapan Sakura.
"Ya, ya ... Haruno, kau duduk di samping Yamanaka."
Sakura mengangguk singkat dan melangkah ke tempat duduk Ino yang terletak di barisan kedua.
.
.
.
.
.
"Saki~~ aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi!"
Begitu bel jam makan siang berbunyi dan kelas sudah kosong, Ino langsung menjerit dan memeluknya erat. Sakura membalas pelukan Ino dan tersenyum.
"Aku juga merindukanmu, Pig."
Ino melepas pelukannya dan meneliti Sakura. "Kau tidak berubah! Hm ... kau memanjangkan rambutmu? Sejak kapan?" Gadis berambut pirang itu menyentuh rambut sepundak Sakura yang tergerai dan memicingkan mata, "Kau tak berniat menyaingiku, kan?"
Sakura tertawa. "Jangan samakan aku dengan Sakura yang dulu."
Ino mengangkat bahu. "Kau sudah menyapa Sasuke-mu?"
Tawa Sakura terhenti seketika. Gadis itu menggeleng pelan. "Tak ada reaksi darinya. Ia masih sangat membenciku."
Ino berdecak. "Dia itu ... apa perlu aku yang melabraknya?"
"Atau aku saja?"
Sakura menoleh ketika sebuah suara menimpali dari belakang. Gadis itu kembali tersenyum dan memeluk seorang gadis berambut cokelat yang sangat dikenalnya. "Tenten~!"
"A-aku mencari Tenten dan membelikan kita berempat ini." Hinata yang berada di belakang Tenten menarik sebuah kursi dan membaliknya hingga menghadap meja Sakura. Gadis itu meletakkan sebuah tas plastik dan mengeluarkan isinya. Empat kotak susu rendah lemak dan sandwich.
Sakura melepas pelukan Tenten dan menatap Hinata sambil tersenyum. "Kalian berempat benar-benar sahabat terbaikku!"
"Jadi," Tenten duduk di samping Sakura dan meraih susunya, "apa kita benar-benar perlu melabraknya?"
Atmosfer terasa memberat ketika Sakura menggeleng lemah. "Ini salahku ... sepenuhnya salahku."
"Tapi Saki, bukan hanya dia saja yang menderita! Harusnya dia mengerti itu!"
"Tapi aku sudah menyakitinya terlalu dalam, Pig!"
Hinata menahan lengan Ino saat gadis itu hendak membantah Sakura, lalu menatap gadis berambut pink yang menunduk lesu. "Jadi apa yang harus kita lakukan, Sakura-chan?"
"Aku ingin membuatnya mencintaiku lagi ... seperti dulu. Mungkin akan sangat sulit ... tapi kuharap kalian bisa mendukungku."
Ino, Hinata dan Tenten saling pandang, lalu tersenyum menguatkan sahabat mereka itu.
"Tentu saja aku akan mendukungmu, Forehead."
"Aku pasti akan membantu apapun yang bisa kulakukan, Sakura-chan."
"Dan aku pasti menghabisinya jika ia menolakmu."
.
.
.
.
.
Sakura cepat-cepat membereskan alat tulis serta buku-bukunya begitu jam pelajaran berakhir. Dengan gerakan buru-buru ia menarik tasnya lalu berjalan keluar kelas, menyusul sosok berambut raven yang sudah duluan meninggalkan kelas itu.
"Sasuke-kun!"
Sakura berlari mendekati Sasuke yang seakan tak memedulikannya. Gadis itu sudah menguatkan hatinya. Ia akan benar-benar berusaha. Dengan napas terengah ia menyejajarkan langkahnya dengan langkah pemuda itu. "Kau mau pulang bersamaku?"
Tak ada jawaban.
Sakura nyaris akan tersenyum, jika saja seorang gadis berambut biru tidak menyerobot dan menggelayuti lengan Sasuke dengan manja.
"Sasuke~~ pulang bersamaku, yuk!"
"Hn."
Langkah gadis berambut merah muda itu terhenti. Perlahan ia menekan dadanya yang terasa sesak ketika dua sosok itu menjauh.
.
.
.
Sakura mengambil bento dari tasnya dengan suara berisik, lalu melangkah mendekati Sasuke yang duduk di pojok kelas dengan headset menutupi telinganya.
Gadis beriris viridian itu duduk di samping Sasuke, tersenyum dan menepuk pundak pemuda itu pelan. "Sasuke-kun, kau mau makan bersamaku?"
Sasuke menatapnya dengan pandangan dingin, lalu dengan kasar mendorong jatuh bento yang dibawa Sakura. Isinya tumpah di lantai dan menimbulkan bisik-bisik untuk anak lain yang ada di kelas.
"Kau mengotori mejaku."
Sakura menundukkan wajah dan meremas kedua tangannya saat Sasuke melewatinya begitu saja. Rasanya sakit ... dan ia nyaris tak bisa bernapas.
"Sakura-chan, kau tak apa-apa?"
Suara khawatir Hinata menyadarkan Sakura. Mata bulan sahabatnya itu menatapnya prihatin. Sakura tersenyum pahit dan menggeleng, gadis itu kemudian berjongkok untuk memunguti bentonya yang berserakan.
"Biar aku ambilkan sapu!" Hinata cepat-cepat berlalu untuk mengambilkan sapu dan membantu Sakura membersihkan bentonya yang sia-sia.
.
.
.
"Sasuke-kun!"
Sakura berusaha menyusul pemuda bermarga Uchiha yang seakan tak menghiraukannya itu, membelah koridor yang penuh dengan siswa-siswi karena ini adalah jam pulang.
"Sasuke-kun!"
Gadis itu nyaris menubruk Sasuke yang mendadak berhenti dan berbalik. Sakura tersenyum. Apa kali ini Sasuke mau mendengarkannya?
Masih dengan senyum yang sama, Sakura merogoh saku blazer-nya dan mengeluarkan dua buah tiket. "Aku ingin mengajakmu nonton. Apa kau mau?" Ia menyodorkan tiket itu dengan ragu.
Semoga Sasuke mau mengambilnya.
Semoga Sasuke mau mengambilnya.
Semoga Sasu—
Sakura mendongak ketika sebuah tangan mengambil tiket itu darinya.
Itu Sasuke.
Sasuke mengambil ...
... dan merobek tiket itu di hadapannya.
Sakura terkesiap, tindakan tiba-tiba itu terasa mengiris sesuatu dalam dadanya. Rasanya sesak ... dan menyakitkan. Ada rasa nyeri yang menghantamnya begitu kuat, dan iris hijaunya spontan berkaca-kaca.
"Aku tidak butuh."
Sakura menundukkan kepala dalam.
Suara Sasuke bergema di pikirannya.
Tidak butuh.
Tidak butuh.
Sasuke ... sudah tidak membutuhkannya.
Rasa sesak yang membuatnya tak bisa bernapas memaksanya menghirup oksigen melalui mulut.
Tidak ... ia tidak boleh menangis di sini.
"Eh, itu murid pindahan di dua belas-tiga, kan?"
"Ih, tak tahu malu sekali, ya, ditolak seperti itu."
"Katanya dia gencar mengejar Uchiha Sasuke, lho."
"Iya, tapi berkali-kali ditolak, kan?"
"Ckckck ... mungkin urat malunya sudah putus, ya?"
Suara-suara yang berkomentar pedas itu seakan sebuah dengungan bagi Sakura.
Sakit ...
Perih ...
Sakura nyaris jatuh jika saja sebuah tangan tidak memeluknya dengan erat. Aroma bunga yang khas menyeruak penciumannya.
Ino ...
BUAGHH!
Tersentak, Sakura mendongak dan mendapati sosok pemuda berambut kuning jabrik meninju kuat pemuda raven yang tadi berdiri di depannya.
"Brengsek kau, bastard!"
Naruto mencengkram kuat kerah kemeja Sasuke yang terjatuh akibat pukulannya dan kembali meninju wajah sahabatnya itu.
BUGH!
BUGH!
Anak-anak yang tadi mencela Sakura kini menatap ngeri kedua pemuda yang berkelahi itu—atau lebih tepatnya Naruto yang terus melayangkan kepalan tangannya ke arah Sasuke yang sama sekali tak melawan—dan perlahan kerumunan itu menjauh.
Sakura memberontak dari pelukan Ino, menghampiri Naruto yang terus menerus memukuli Sasuke tanpa jeda.
"PUAS KAU, HAH!"—BUGH!—"Menyakiti Sakura-chan ..."—BUAGH!—"Tanpa memberinya kesempatan seperti ini!"
Dengan cepat Sakura berusaha menghentikan kepalan tangan Naruto yang nyaris mengenai wajah Sasuke lagi. "Naruto, HENTIKAN!"
Naruto menghentikan serangannya, menatap Sakura sejenak sebelum melepaskan cengkramannya. "Cih, si Teme ini memang perlu diberi pelajaran, Sakura-chan."
"Kalian berdua yang mestinya diberi pelajaran, Namikaze, Uchiha."
Naruto menelan ludah dan menatap takut-takut ke arah sumber suara, dan seketika wajah pemuda itu memucat saat mendapati wajah Anko-sensei menyeringai berbahaya ke arahnya.
.
.
.
.
.
"Sakura, kau tak pulang?" Ino menegur sahabatnya yang dengan gerakan lambat memasukkan semua perlengkapannya ke dalam tas.
Sakura memandang Ino, lalu menggeleng pelan. "Sasuke ada di UKS, aku akan ke sana untuk melihat keadaannya."
Ino mengangkat bahu. "Oke, aku duluan, ya."
Sakura mengangguk. Gadis itu memasukkan sisa barang-barangnya dan menoleh ke pojok, tempat Sasuke duduk. Ia melangkah pelan dan mengambil tas pemuda itu, kemudian berjalan keluar kelas.
Koridor yang sepi memudahkan Sakura untuk berjalan tanpa adanya bisik-bisik siswa lain karena kejadian yang cukup menghebohkan tadi.
Sakura mendorong pelan pintu UKS, dan irisnya bergulir menatap sesosok pemuda yang tertidur di salah satu ranjang. Gadis itu mendekat, lalu meletakkan tas Sasuke di bawah ranjang, memerhatikan pemuda yang selalu mengisi hatinya itu.
Pipi Sasuke lebam dan membiru, sudut bibirnya robek dan pelipisnya berdarah. Sakura mengernyit saat menyadari bahwa luka itu belum diobati. Apa petugas UKS sudah pulang?
Gadis bermarga Haruno itu menghela napas dan memutuskan untuk mengobati sendiri luka Sasuke. Ia mengambil kotak P3K dan mangkuk kecil berisi air.
Dengan kapas ia membersihkan luka di bibir Sasuke dan di pelipisnya, kemudian disambungnya dengan alkohol dan obat luka. Terakhir Sakura menempelkan plester ke pelipis Sasuke.
Tangan Sakura bergetar ketika ia menyentuh pelan pipi pemuda yang dicintainya itu. Sasuke begitu tenang ketika ia tertidur, dan Sakura menyukai itu.
Dulu pipi ini yang selalu ia sentuh.
Dulu bibir ini yang selalu mengecupnya.
Dulu tubuh ini yang selalu memeluknya.
Sakura memejamkan matanya, dan air matanya tak bisa ia bendung lagi. Tetes demi tetes bergulir di pipinya.
Seandainya dulu ia tidak pergi ...
Seandainya ia dulu cukup kuat untuk mempertahankan semuanya ...
"Sasuke-kun ... maaf ... maafkan aku ..."
Sakura membenci dirinya sendiri sejak kejadian itu.
Benci tubuhnya yang begitu lemah.
Benci dirinya yang menyebabkan Sasuke membencinya.
Ia membenci hidupnya sendiri yang begitu menyedihkan.
Tuhan ... berikan ia kesempatan lagi ...
Dering ponsel menyentakkan lamunan Sakura. Dengan panik gadis itu mencari-cari ponselnya. Ia mengeluarkan isi tasnya sebelum akhirnya menemukan ponsel miliknya.
Sakura menjawab panggilan sementara tangannya yang lain kembali memasukkan isi tasnya.
"Ah, iya, aku nyaris lupa. Baik, Sensei, aku akan ke sana sekarang. Iya. Terima kasih, Sensei."
Sakura menatap Sasuke lagi. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia mengusap rambut pemuda itu sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan itu.
Bisikan lirih yang selama ini selalu jadi penyemangatnya ia gemakan dalam pikirannya.
Aku takkan menyerah, Sasuke-kun.
.
.
.
.
.
Sasuke mengerjap dan merasakan kepalanya berdenyut menyakitkan. Sial, Naruto tak main-main saat memukulinya tadi.
Pemuda itu mendudukkan tubuhnya dan menyentuh pelipisnya pelan. Ia sedikit heran saat mendapati sebuah plester menempel di sana. Seingatnya ia sama sekali tidak melakukan apapun pada lukanya.
Lalu siapa yang mengobatinya?
Memutuskan tak peduli, Sasuke meraih tasnya yang berada di bawah meski lagi-lagi mengernyit bingung. Siapa yang membawa tasnya ke UKS?
Ketika hendak pergi, Sasuke menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Pemuda itu memungut sebuah amplop putih berukuran cukup besar yang berada di samping tasnya.
Apa ini?
.
.
.
.
.
"Sasori-niichan, ini aku."
"Ck, kupikir kau terlalu sibuk di sana hingga tak sempat meneleponku."
"Maafkan aku."
" ..."
" ..."
"Bagaimana tadi?"
"Hm? Oh, Sensei bilang tidak ada apa-apa."
"..."
"Niichan ..."
"Ya?"
"Bagaimana rasanya mengetahui bahwa gadis yang kaucintai mengkhianatimu?"
"Dia belum memaafkanmu?"
"Sepertinya dia membenciku."
"Sakura—"
"Niichan, kita sudah berjanji. Aku akan pulang jika aku sudah tak kuat lagi."
"Jangan memaksakan dirimu."
"Jika aku harus mati sekalipun ... aku rela, Niichan. Aku rela asalkan ia memaafkanku."
"Saku ..."
"Aku sudah menjadi pembunuh Niichan ... hiks ... aku membunuh dan menghancurkan hatinya ... bagaimana mungkin ia mau memaafkanku?"
" ..."
"Apa aku ... hiks ... terlalu banyak berharap? Kenapa aku ... hiks ... terlihat bagaikan sampah di matanya?"
"Katakan yang sebenarnya, dia pasti mau memaafkanmu."
"Ya, dia pasti mau memaafkanku karena aku adalah orang sekarat yang nyaris mati. Aku tak mau ... hiks ... melihatnya menatapku seperti itu."
"Pulanglah."
"Aku ingin mendengarnya memaafkanku ... walaupun hanya sekali. Maafkan aku, Niichan. Aku takkan pulang ..."
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
Author's territory:
Haha, cerita apaan nih ... :D
Yap, kebosanan lagi-lagi merayapi dan ide ini muncul begitu saja. Nggak bakal banyak kok, mungkin cuman dua atau tiga chapter. Alurnya pasaran, jadi pasti udah pada tau apa yang bakal terjadi. Lolz.
Aku berharap ini cukup menghibur. Niatnya sih bikin angst, tapi chap ini kayaknya cuman kesampaian hurt failed. Hehehe
Yasudahlah, kritik, saran, review, dan flame selalu saya tampung,
:D
-dae-
