YOURS
By Vylenzh
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
[EDITED]
AominexOC/Reader
Summary: Dia muncul tiba-tiba di kamarku. Aku tidak tahu alasan dia berada disini. Tapi aku terlalu bahagia hingga melupakan fakta kenapa dia ada disini. Kenapa berada di kamarku. Kenapa berada di dunia ini. Hanya saja, aku merasa takut dia menghilang. Perasaan apa yang sebenarnya kumiliki terhadapmu, Aomine Daiki?
.
.
.
.
"Aku tak habis pikir dengan duniamu." Pemuda berkulit tan dengan surai navy-blue itu menguap lebar lalu melanjutkan perkataannya dengan malas, "Benar-benar tidak ada menariknya bahkan permainan basket disini lebih buruk dari permainan basket di duniaku."
Aku meliriknya sebal. "Seharusnya aku yang bicara begitu Daiki-kun! Permainan di duniaku itu 'normal'," ujarku dengan menekankan kata 'normal'. "Permainan di duniamu itu yang aneh! Tidak normal!"
"Cih! Lemah seperti itu kau bilang normal?" tanyanya tak percaya kepadaku.
Uh, menyebalkan! Selalu seperti ini, setiap aku ajak pemuda pemilik surai navy-blue ini keluar entah jalan-jalan atau menonton basket pasti berakhir dengan pertengkaran yang tak kunjung berakhir. Masalahnya ya tidak jauh-jauh dari duniaku dan dunianya.
Oh, kalian bertanya siapa pemuda yang kumaksud? Dia Aomine Daiki! Benar, Aomine yang 'itu'. Mantan ace SMP Teikou dan 'cahaya' lama Kuroko Tetsuya.
"Pertandingannya membosankan," keluh Aomine kembali untuk yang kesekian kali dan aku rasa aku tidak perlu menghitungnya lagi karena aku lelah dengan keluhannya. Aku berdiri dengan tiba-tiba mengagetkannya, kemudian aku mengarahkan telunjukku terhadapnya.
"YA SUDAH KALAU BEGITU!" Aku berteriak cukup keras. "Kau pulang sana ke duniamu! Yang kuat dan 'normal' itu! Pulang sana! Dasar Ahomine!" ucapku mengeluarkan seluruh emosiku yang aku pendam sejak tadi. Setelah itu aku berjalan menjauhi kursi penonton.
"O-oi!" panggil Aomine. Tanpa aku sadari—karena aku sudah terlalu lelah dengan Aomine—aku sudah menarik perhatian penonton selain diriku dan Aomine. Akibatnya, karena aku sudah pergi duluan, Aomine jadi pusat perhatian menggantikanku. "Tch!" decihnya kemudian berdiri mengejarku.
.
.
.
"Hei! Kau berniat meninggalkanku?" tanya Aomine sambil menyejajarkan langkahku yang nyaris berlari ini. "Hei…" panggilnya kembali ketika tidak mendapatkan jawaban dariku.
Aku berhenti berjalan kemudian membalikkan badanku hingga kami saling berhadapan. Tinggiku yang tak lebih dari 165 cm membuatku harus mendongak ke arahnya.
"Dengar ya, Daiki-kun, aku memang sudah bosan dengan perkataanmu tentang perbedaan dunia kita. Oke, memang sangat berbeda," Tentu, kau kan cuma tokoh fiksi dan duniamu. Lanjutku dalam hati. "Tapi aku sudah mengatakannya berulang kali. Aku punya nama! Jangan seenaknya panggil 'hei', 'oi' atau apapun panggilanmu buatku! Intinya aku punya nama! Ingat itu."
Setelah mengatakannya aku berjalan kembali meninggalkannya yang masih berdiri—entah memikirkan apa. Oh, memangnya aku peduli?! Bahkan jika nanti dia tersesat ketika berusaha kembali ke rumahku, aku tidak peduli. Toh, dia bukan tanggung jawabku.
Si Ahomine itu.
Akh, aku jadi mengingat kenapa dia bisa berada disini. Di dunia dimana seharusnya ia tidak ada. Oh, sialnya aku! Bahkan penciptanya tidak pernah tau karakternya ada disini. Lalu kenapa aku yang harus mengurusinya? Sial, sial, sial, si—
Eh? Tapi benarkah aku sial? Ini Aomine lho. Aomine Daiki!
.
.
.
_o_o_
[Flashback]
Pukul delapan malam aku masih menekuni kegiatanku sejak dua jam yang lalu, yaitu membaca manga kesukaanku. Yaitu Kuroko no Basuke karya Fujimaki Tadatoshi. Oh, sungguh! Manga yang sukses bikin aku melting. Apalagi dengan salah satu karakter yang menjadi main-antagonist di anime season satunya. Benar, yang kulit hitam eksotisnya sangat menawan. Aomine Daiki.
"Kyaaa! Kakkoi!" teriakku semangat. Bahkan komik yang kupegang kini nyaris sobek karena aku memegangnya dengan erat—meremasnya. "Seandainya Aomine Daiki itu sungguh nyata bukan hanya fiksi! Huhu, Daiki-kun," ulangku berulang-ulang sembari terus menatap gambar Aomine di halaman komik yang ku baca.
Kruyuk.
Eh? Pandanganku turun dari komik ke perutku. Dan aku baru teringat karena keasyikan dengan kegiatanku membaca manga, aku sampai lupa belum makan! Wajar sih perutku bersuara keras gitu. Biasanya kan ada Mama yang mengingatkanku untuk makan, karena malam ini Mama ada urusan pergi keluar rumah aku jadi lupa makan.
"Lapar…" Aku pun dengan terpaksa meletakkan komik di kasur. Setelah itu aku keluar dari kamarku untuk mengambil makanan yang tadi sempat dibuatkan oleh Mama. Selesai makan, aku menonton TV—sebuah drama yang bercerita tentang alien yang datang ke bumi. Ah, dasar! Ceritanya aneh, mana mungkin di dunia ini akan ada yang seperti itu. Sutradanya terlalu banyak berkhayal. Gerutuku sambil memakan snack yang aku beli tadi sepulang sekolah.
BRAK!
"Eh?" Aku mengangkat wajahku, mengamati kamarku yang ada di lantai dua, aku mendengar suara benda keras terjatuh dari kamarku. Seketika bulu kudukku berdiri. Imajinasiku mulai berpikir yang tidak-tidak. Apa itu? Apa? Aku juga sedang sendirian di rumah, bagaimana kalau itu hantu? Kyaaa! Aku takut!
Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku, aku memberanikan diri ke atas untuk melihat benda atau apapun itu yang terjatuh di kamarku. Uh, bahkan baru setengah jalan aku sudah ketakutan. Sesampainya di depan kamarku yang pintunya tertutup rapat, aku mencoba menormalkan degup jantungku. Ayolah, jangan takut! Mungkin itu hanya salah satu barangku yang jatuh karena angin? Ya mungkin begitu.
Dengan perlahan namun pasti aku memegang kenop pintu kamarku dan memutarnya pelan sekali. Pintu itu sedikit terbuka, aku berharap tidak menimbulkan suara. Entahlah apa yang kutakutkan tapi jaga-jaga kalau ada sesuatu, tidak salah bukan?
Mencoba meyakinkan diriku kembali, aku membuka pintu kamarku lebar-lebar. Dan yang kulihat sekarang adalah—
"AAAAAA! Mama! Ada cowok di kamarku! Maaa…" teriakku cukup keras dengan mulut terbuka dan mata melebar kaget dan takut. Setelah berteriak-teriak tidak jelas dan tanpa hasil—karena aku sendirian di rumah—aku memberanikan diri mendekati sosok pemuda yang terbaring di kasurku membelakangiku. Entah, suaraku sedang tidak sekeras biasanya atau telinga pemuda ini yang terkena gangguan sehingga tidak terusik dengan suaraku ini. Padahal kalau suaraku sekeras biasa aku bisa membangunkan seisi rumah.
Sosok itu laki-laki. Sudah kupastikan sejak awal.
Dia memiliki kulit berwarna coklat. Entah kenapa membuatku teringat tokoh fiksi favoritku.
Dia juga memiliki rambut berwarna biru tua. Tambah satu faktor lagi yang mengingatkanku pada karakter favoritku.
Apa jangan-jangan aku sedang berhalusinasi karena terlalu banyak membayangkan 'suami'-ku itu? Oh, gawat! Kalau begini terus bisa-bisa aku dibawa ke psikiater oleh Mama.
Setelah benar-benar berada di sampingnya, aku tambah yakin pemuda ini 99% mirip dengan karakter itu. Dari bentuk tubuhnya, kulitnya, wajahnya bahkan gerakan halus yang tercipta di badannya. Aku tidak salah lihat! Atau bahkan berhalusinasi.
Pemuda yang entah darimana ini mirip dengan Aomine Daiki!
Yah, tapi itu belum pasti kalau aku belum memastikan wajahnya. Jadi, keberanian yang ada di dalam diriku aku kumpulkan kembali lalu kupegang bahunya dan dengan tenagaku, kubalikkan tubuhnya sehingga menghadap ke atas dan—
"AOMINE DAIKI!" seruku tanpa sadar. Aku menutup mulutku tak percaya, bahkan degup jantungku berdetak sangat cepat. Sekarang, aku tidak perlu keyakinan apapun. Pemuda ini benar-benar mirip 100% dengan Aomine Daiki yang kulihat di anime ataupun kubaca di komik. Oh Tuhan! Kau benar-benar baik, mengirimkan Aomine Daiki kemari.
Aku sangat bahagia hingga melupakan satu hal penting. Yaitu…
Bagaimana bisa ada Aomine Daiki di kamarku—ah bukan, tapi di dunia ini?!
_o_o_
.
.
.
Ah, benar. Sejak kedatangan pertama kalinya Aomine kemari aku belum benar-benar memikirkan kenapa dia bisa ada disini, di dunia ini. Bahkan, ilmuwan paling cerdas pun akan sulit menerima hal ini dan tidak tahu jawabannya. Aomine Daiki. Aomine Daiki. Aomine Daiki. Bagaimana bisa dia berada di dunia ini? Apa alasannya?
Tanpa sadar aku sudah sampai di depan rumahku, entah kenapa tanganku tiba-tiba sulit digerakkan untuk membuka pintu. Malah, mataku menatap jauh ke langit. Hal ini sudah sangat mempengaruhiku. Bagaimana? Kenapa? Aku ingin mencari tahu jawaban tersebut.
Aku mundur satu langkah. Keinginanku untuk pulang menghilang, aku berbalik lalu berlari ke tempat dimana aku meninggalkan Aomine tadi. Bodohnya aku. Bagaimana kalau ada yang mengenalinya? Bagaimana kalau… dia menghilang? Terlalu banyak ketakutan dan kekhawatiran dalam diriku. Dan ketakutan terbesarku adalah dia menghilang tanpa mengucapkan kalimat perpisahan. Apapun alasan dia datang kemari, itulah yang kutakutkan.
Karena semenyebalkan apapun dia, dua hari terakhir ini telah jadi hari paling istimewa dalam hidupku. Yang dapat kupastikan adalah karena kehadirannya.
.
.
.
_o_o_
[Flashback]
"Berisik!" sahut tiba-tiba pemuda yang sedang kuteriakkan kehadirannya ini. Aku langsung terdiam, menunggu apa yang akan dilakukannya dengan rasa was-was. "Uh," keluhnya sambil berusaha bangun.
Aku masih berdiri di samping dirinya dengan mulut terkatup rapat. Meskipun aku penasaran apa yang akan dilakukannya tapi rasa takut masih ada dalam diriku. Seyakin-yakinnya aku dengan sosok yang kuyakini sebagai Aomine Daiki ini, tapi tidak memungkinkan jika dia adalah orang lain yang operasi plastik lalu menyusup ke kamarku berusaha melakukan sesuatu terhadapku namun malah tertidur kemudian… Stop! Kenapa di keadaan genting seperti ini aku malah memainkan imajinasi gilaku?
"Sial!" desahku lirih tanpa sadar dan itu sukses membuat pemuda yang kuyakini Aomine ini menatap ke arahku dengan mata yang disipitkannya. Oh tidak, dia manis sekali! Ah, kalau bukan dalam keadaan yang seperti ini aku pasti akan menelanjanginya, ups.
"Satsuki?" tanyanya lirih.
Oh, dia memanggil teman masa kecilnya, apa jangan-jangan dia menganggapku sebagai Momoi Satsuki? Oh, tidak. Apa yang harus kulakukan? Aku bingung… dan lagi kakiku sulit bergerak!
"A-ano…" panggilku amat pelan. Aku memberanikan diri. "Siapa?" Dan menanyakan siapa dirinya. Bodoh sekali.
"Uh." Aomine—baiklah! Aku sudah yakin dia Aomine Daiki—mengacak rambutnya sehingga makin berantakan lalu menatap lurus ke arahku. Aku rasa dia masih ling-lung, aku pun begitu Daiki-kun. "Kau bukan Satsuki?"
"Aa… Iya, bukan," jawabku tak jelas.
"Hah?"
"M-maksudku aku bukan Satsuki, Da—eh, Aomine-san," kataku gugup.
Ia masih memandangku dengan tatapan tajamnya. Ah, tolong berhentilah menatapku seperti itu, aku jadi makin ingin menelanjangimu, Aomine Daiki!
"Lalu kau siapa? Dan bagaimana kau bisa mengenalku? Dan kenapa aku bisa ada disini?" tanyanya bertubi-tubi dengan tajam. Hidoi, tapi tampan. Aku terkikik geli dalam hatiku. Bisa-bisanya aku masih bercanda dalam keadaan seperti ini.
"E-etto." Aku menggaruk pipiku dengan telunjukku lalu mengalihkan pandanganku dari Aomine ke arah lain. Lalu menatapnya kembali dan mengatakan namaku.
"T-tentu aku mengenalmu," lanjutku lalu melirik poster yang menempel di sekeliling kamarku. Aku ingin meneriakinya untuk melihat poster siapa saja yang ada di dinding kamarku. Yaitu kau, Daiki-kun. Lanjutku dalam hati. "Untuk pertanyaan terakhir, aku juga mempertanyakan hal sama."
Matanya menyipit tajam lalu dia melihat ke sekeliling kamarku, poster Tim Teikou dan tentu anggota Kiseki no Sedai dari Akashi Seijuuro hingga Kuroko Tetsuya meskipun paling banyak poster Aomine Daiki—pemuda yang ada di hadapanku ini.
"Kau… stalker?"
Hah?
Apa dia bilang?
Aku stalker?! Maksud dia penguntit yang suka mengikuti idolanya kemana pun pergi? Jahat sekali. Bagaimana bisa dia menyimpulkan aku sebagai penguntit? Beginikah sifat seorang Aomine Daiki yang sebenarnya? Rasanya mau menangis.
"Mana mungkin!" Aku melipat tanganku di depan dada dan menatapnya. "Tidak mungkin aku penguntit, aku hanya—" Aku berhenti, bingung memikirkan kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku kali ini. "—hanya kagum dengan kalian. Dan aku bukan penguntit! Ingat itu!" ujarku akhirnya.
Aomine menaikkan salah satu alisnya lalu tertawa kecil. "Kau pikir aku percaya? Aku tahu, kau pasti menculikku untuk dijadikan salah satu koleksimu kan?"
Sial! Tuduhannya sangat kejam! Benar-benar pria jahat!
"Dengar ya, Aomine Daiki! Aku tidak peduli apapun tanggapanmu terhadapku tapi ingat! Aku tidak tahu bagaimana kau bisa ada di kamarku, muncul tiba-tiba di hadapanku. Aku tidak tahu bagaimana bisa! Bahkan itu mustahil! Dengar dan ingat! Kamar—tidak, dunia yang sedang kau lihat ini bukanlah duniamu. Kau tidak seharusnya berada disini!" ucapku dengan penuh tekanan di setiap kalimat yang kuucapkan. Aku tidak peduli dia menganggapku gila atau apa, itu yang sebenarnya, cepat atau lambat dia harus tahu bahwa dia hanyalah tokoh fiksi yang diciptakan tangan manusia.
Keadaan di kamarku mendadak menjadi sunyi. Aku masih mengatur irama napasku yang tidak beraturan, sedangkan Aomine kurasa masih memikirkan apa yang kukatakan barusan. Tapi sedetik kemudian dia tertawa, keras sekali lalu menatapku dengan tatapan… merendahkan?
"Kau pikir aku percaya dengan ucapan anehmu itu? Pembohong sepertimu sebaiknya menjadi penulis. Kurasa kau akan mendapatkan upah dari hasil kebohonganmu itu." Dia tersenyum sinis lalu berdiri dan berjalan ke pintu. "Yah, anggap saja aku sedang baik hari ini Nona Penguntit, aku tidak akan menceritakan hal ini kepada siapapun."
Kemudian dia pergi tanpa menoleh kepadaku yang sangat marah! Sesuka-sukanya aku dengan Aomine Daiki tapi jika dihina seperti tadi aku tentu kecewa dan marah. Dengan asal, aku mengambil salah satu komik yang tadi kubaca dan berlari mengejarnya. Dia telah sampai di lantai bawah, aku berlari mendekatinya lalu dengan sekuat tenaga kulempar komik yang kupegang ke kepalanya.
"Hei!" teriaknya marah setelah aku melemparkan komik yang kubawa tadi. "Apa yang kau lakukan, sialan?"
Mama… dia memanggilku sialan? Aku benar-benar ingin menangis. Hiks.
"Baca itu, bodoh!" balasku penuh kekesalan. "Dan kau akan sadar di bumi mana kau berpijak. Oksigen apa yang sedang kau hirup. Dan dunia mana kau kini sedang tinggali!"
Aomine menatapku aneh, tapi dia menurut untuk mengambil komik yang tergeletak di sebelah kakinya. Ia membuka halaman asal tapi saat kulihat cover komik tersebut aku teringat. Itu adalah volume dimana Toou dikalahkan Seirin di Winter Cup. Oh tidak, bagaimana ini? Jika Aomine yang ada di hadapanku adalah Aomine sebelum Piala Musim Dingin maka sama artinya aku memperlihatkan masa depan kepadanya. Ah, cerobohnya aku…
Tapi ya sudahlah, itu juga salahnya dia menghinaku dan tidak mempercayai perkataanku. Meskipun aku berharap-harap cemas, semoga halaman yang dia buka bukan halaman dimana timnya telah dikalahkan oleh—
"Heh," dengusnya. "Apa-apaan ini? Timku kalah? Aku kalah?!"
—Seirin.
Do'a-ku tidak terwujud.
"Be-benar!" Aku ketakutan bagaimana reaksinya selanjutnya. "Itu adalah komik—dunia—dimana kau seharusnya berada." Aku jadi tahu dia adalah Aomine yang masih menjengkelkan dan belum tahu arti kalah. "Itu adalah tempat seharusnya kau tinggal. Bukan dunia ini. Kau hanyalah tokoh fiksi yang diciptakan pengarangmu, Fujimaki Tadatoshi. Kau hanyalah gambar tanpa emosi bahkan tanpa roh yang mengisi dirimu!"
Aomine terdiam, ia menurunkan komikku lalu menatapku tajam.
"Kau. Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi! Aku akan mendengarmu—tentu aku belum mempercayai semua perkataanmu."
Cih. Egonya masih ada dalam dirinya. Aku tahu dia sudah gusar akan perkataanku dan bukti yang kubawa. Tapi aku akan menceritakan sebatas yang kutahu dan berusaha tidak memperlihatkan 'masa depan' lagi kepadanya.
_o_o_
.
.
.
"Aomine…" Aku berhenti sebentar untuk menghirup oksigen dan mengurangi rasa lelahku. Setelah kembali ke tempat tadi aku meninggalkan Aomine, dia sudah menghilang. Dan kini aku sedang mencarinya. Dimana sih dia? Dasar bodoh! Menyulitkanku saja.
Khawatir? Tentu. Takut? Apalagi.
Aku takut tidak menemukannya, aku takut dia menghilang dan kembali ke dunianya tanpa pamit kepadaku. Bodoh! Dia bodoh. Meskipun aku menyebalkan, aku kan sudah 'merawat' dan 'menampungnya' selama 2 hari ini, kalaupun menghilang dia tidak boleh pergi begitu saja. Dia harus mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Harus!
"Kemana kau, Daiki-kun…" Aku lelah. Tapi aku tidak boleh menyerah. "Daiki-kun!" teriakku dengan suara putus-putus. Setitik air mata sudah berada di sudut mataku. Jangan menghilang tolong… "Daiki-kun.." Jangan pergi…
"Hei!" Aku mengerjap pelan. Kurasa aku mendengar suara yang amat kukenal. Lalu pemilik suara itu memanggil namaku.
"Daiki-kun!" Aku tersenyum lebar lalu membalikkan badanku. Ketika kulihat rupanya, aku lega. Sangat lega. "Kau disini. Masih disini."
"Tentu, bodoh!" Dia tampak cuek. Kemudian dia mendekatiku lalu menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Dan kau untuk pertama kalinya memanggil namaku!" seruku bahagia.
"Berisik. Bisa diam tidak sih?" DIa tampak marah karena suaraku mengundang perhatian tapi aku tidak peduli. Aku bahagia dia tidak menghilang. Aku bahagia dia masih disini.
Tanpa sadar aku mendekatinya lalu melingkarkan tanganku ke tubuhnya, memeluknya. Kepalaku kusandarkan ke dada bidangnya. Nyaman…
"Hei, apa yang kau lakukan?" Ia berusaha melepaskanku. Tapi aku semakin mengeratkan pelukanku. "Memalukan sekali…"
"Daiki-kun," panggilku menghentikan usahanya yang berusaha melepaskanku. "Aku tadi berpikir apa alasan kau datang ke dunia ini, aku berusaha memikirkannya dan menduga-duga berbagai alasan, namun aku tidak berhasil menemukannya. Daiki-kun, mungkin perkataanku ini terdengar konyol tapi sekarang aku tidak peduli alasan apapun kau didatangkan ke dunia ini, hanya saja," Aku semakin menenggelamkan wajahku pada dada bidangnya. "Hanya saja aku sangat bahagia kau masih disini. Kau tidak menghilang. Aku sangat bahagia. Terimakasih Daiki-kun." –untuk segalanya. Untuk hari-hariku yang semakin berwarna dengan kedatanganmu. Untuk kehadiranmu. Aku sangat berterimakasih.
Aomine Daiki.
.
.
.
-tbc-
Telah Di-EDIT (26/05/15)
