Negara baru.
Sekolah baru.
Seragam baru.
Populasi baru.
Sasuke membenci semua yang serba baru. Oh, ralat, Sasuke kurang bisa menyukai semua yang serba baru. Karena itu membuatnya harus beradaptasi lagi dan lagi. Mengingat Sasuke adalah manusia yang susah beradaptasi.
"Apa kau mengingat apa yang mommy katakan kemarin?"
Sasuke juga tidak bisa terbiasa dengan yang satu ini, kebiasaan ibunya yang selalu berbicara berlebihan dan terlalu banyak kata 'jangan'.
"Yes, mom. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sudah besar."
Dan Sasuke tidak pernah menyukai senyum miring ibunya yang lebih menyebalkan dari milik ayahnya. Bayangkan, ekspresi lembut semacam ibu baik hati dipadukan dengan senyum miring KW ibunya hasil imitasi dari ayahnya.
"Oh, Dear. You still second grade high scholler. Jangan membuat mommy tertawa. Kau. Masih. Kecil."
"Berhenti mengolokku atau aku tidak akan pernah turun dari taksi ini."
"Dan bayar sendiri deretan angka di argometer itu."
"Mom."
"Yes, son."
Banyak sekali daftar keinginan Sasuke yang harus direalisasikan. Tapi satu diatas semuanya, ia ingin ibunya ini lupa cara meniru seringai ayahnya. Itu menggelikan ketika melihat ibumu jauh lebih keren daripada ayahmu. Dan itu horror.
"Berhentilah menduplikat daddy, mom. Aku tidak mau menambah daftar manusia yang ingin aku pangkas rambutnya sampai botak."
"You! Son of a bitch!"
"Wow. Mom. Itu deklarasi termanis yang pernah kudengar. You're really a bitch."
.
.
.
KEMBALI (c) Er Bi (Re: Publish)
Cast! Naruto (c) Masashi Kishimoto
Rated! T
Warn! Typo(s). Boys Love.
.
Ada satu aturan yang harus ditaati.
Ketika selesai membaca, silahkan mampir ke kotak review, tulislah kritik dan saran dan pendapatmu. Hanya untuk sopan santun saja juga tidak apa-apa.
Apa aku berlebihan?
.
.
Selamat Membaca
.
.
.
Pandangan asing itu.
Sasuke menemukan dirinya tengah menjadi pusat perhatian sosok perempuan paruh baya bersurai kuning kusam yang sedang mengamatinya dengan binar iyuh sekali. Mengingatkan Sasuke pada bibi pecinta uang, tetangganya di amerika.
Yang membuat moodnya semakin jongkok adalah nomor kamarnya dan nama roommatenya di sebuah buku panduan. Yang baru saja diberikan padanya.
Wanita sialan yang sialnya malah menjadi ibunya itu benar-benar mengungsikannya di sekolah asrama yang dalam mimpi pun tidak pernah Sasuke bayangkan. Manusia lebih dari pas-pasan sepertinya tidak pernah menginjak yang namanya asrama sekolah sekalipun. Walaupun itu peraturan sekolah, Sasuke lebih suka diantar-jemput atau naik taksi dan tidur dengan damai di kamarnya sendiri yang luas. Perkara ketika memasuki sekolah berasrama adalah kau harus siap berbagi dengan makhluk yang menjadi roommate mu, mau tidak mau. Titik.
Entah karena dirinya pindahan dari amerika atau ini sudah menjadi rutinitas seorang kepala sekolah untuk menemukan kelas barunya? Sasuke lebih memilih mengabaikannya. Melihat sekeliling.
Koridor sepi. Jelas saja. Sekarang sudah memasuki jam ke dua. Dan untung saja Sasuke termasuk keluarga diatas pas-pasan. Tidak masuk dihari pertama pun tidak jadi perkara. Tapi, sekali lagi, ibunya adalah monster untuk segala kemalasan yang ingin Sasuke lakukan. Dan membuatnya harus mengekori kepala sekolah barunya ini.
"Permisi. Guru Umino."
Suara lembut terdengar mempersilahkan kepala sekolah dan Sasuke memasuki ruangan. Kelas baru Sasuke lebih tepatnya.
"Selamat pagi anak-anak. Aku ingin menambah penghuni baru kelas ini untuk meramaikan suasana. Kalian senang?"
"YEAHH!"
.
.
Tas jinjing yang baru dibelikan ibunya kemarin ia lempar ke sudut yang bawah, berhubung asrama di sekolah barunya ini menggunakan ranjang tingkat.
Sasuke merebahkan tubuhnya kasar. Menghela napas lelah lalu mencoba tidur siang. Sasuke anak baik. Dia tidak akan telat untuk tidur siang. Karena tidur siang itu menyenangkan.
Klek
Tapi suara pintu terbuka membuat matanya yang sempat terpejam kembali menampakan iris gelapnya.
Manusia lain selain dirinya masuk.
Keduanya saling tatap dalam beberapa detik. Dan terjebak keheningan dalam beberapa detik juga. Sampai si pendatang berucap dengan alis menekuk tajam, "Itu ranjangku."
Sasuke mengangkat sebelah alisnya. "Aku tidak suka di atas."
Pemilik rambut nanas itu mengangkat sebelah alisnya. Mendengar kalimat ambigu yang baru saja dikatakan Sasuke. "Oh. Jadi kau submisif? Uke?"
Twitch
Kedutan di dahi Sasuke muncul. Uke? "Jenis makanan dari negara mana itu? China?"
"Lupakan." Penghuni lawas kamar menaruh tasnya di samping meja belajar. Menyeret kursi kayu miliknya mendekati Sasuke. "Aku Nara Shikamaru. Kepala sekolah sudah memberiku surat pemberitahuan kalau Uchiha Sasuke akan menjadi teman sekamarku. Dan itu pasti kau. Lalu apa yang kau bawa dari Amerika?"
Sekali lagi. Sasuke itu anak baik. Mengesampingkan kantuknya, Sasuke ikut mendudukan diri, bersandar pada dinding kamar. Menatap Shikamaru yang sedang menatapnya sedikit antusias dengan memeluk sandaran kursi dan menempelkan dagunya di sana.
"Well, umum. Pakaian, buku, cam-"
"Bukan itu. Maksudku, begini, apa smp di amerika tidak ada ekstrakurikuler atau sejenisnya? Atau kau tidak memiliki keahlian apapun?"
"Untuk apa aku memberitahumu?"
"Uchiha. Sasuke. Kita masih tingkat dua. Di sekolah ini, kau tidak akan bebas dari kegiatan sore sampai kelas tiga akhir semester pertama."
Sasuke melotot. Sialan. Ibunya memang sialan. Kenapa dia tidak diberitahu sejak awal!?
"Hal ini tidak diberitahukan sejak awal karena kepala sekolah sudah memikirkan kemungkinan pengunduran diri untuk beberapa murid yang tidak suka dengan kegiatan ekstra." Kalimat itu meluncur dengan lancar seolah Shikamaru bisa membaca ekspresi wajah seseorang.
Hell! Ini bukan sekolah! Ini neraka!
.
.
.
Pukul empat sore.
Seharusnya Sasuke masih bisa mengistirahatkan tubuhnya di ranjang kalau saja Shikamaru tidak memaksa Sasuke ikut. Dengan alasan bahwa Shikamaru ingin menunjukan beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang ada.
"Begini, kepala nanas, ka-"
"Shikamaru." Shikamaru meralat kalimat Sasuke. Agak kurang enak didengar juga julukan kepala nanas itu.
"Oke. Terserah. Kau hanya perlu mengatakan ekstrakurikuler apa saja yang ada. Tidak perlu membawaku ke tempat penuh keringat itu."
Shikamaru melirik Sasuke. "Sepertinya murid smp di amerika itu pemalas."
"Ralat. Bukan malas. Aku hanya tidak ingin membuang quality time ku dengan keringat berlebih."
"Tipikal uke yang mengkhawatirkan penampilan."
"Jangan membicarakan jenis hewan yang tidak populer."
"Tadi kau mengatainya makanan."
Sasuke sudah akan membalas lagi. Tapi urung ketika teriakan menggema dari gymnasium 2. Kebetulan mereka baru sampai di gymnasium terdekat dengan asrama putra.
"Naruto! Berikan padaku!"
"Diamlah Kiba! Aku tahu!"
"Yeaah!"
Sasuke tidak tahu. Kalau kegiatan sore masih bisa membuat seseorang berteriak sekeras dan sesenang teriakan yang baru saja Sasuke dengar. Sasuke juga tidak tahu, kalau Shikamaru baru saja menarik tangannya masuk gymnasium.
.
.
.
"SEMUANYA! ISTIRAHAT! LATIHAN BERSAMA SELESAI!"
"YA!"
Setelah mendapat tontonan cuma-cuma, dua set voli game 3 on 3. Sasuke bisa mengambil beberapa kesimpulan. Dia sedang duduk di pinggir gymnasium, bersandar di tembok, di antara tumpukan tas dan air mineral yang tidak tertata rapi. Berantakan.
Pertama. Shikamaru itu adalah kapten klub voli.
Kedua. Anggota klub voli ini terlalu bersemangat untuk sesi latihan biasa. Mereka meneriakan nama teman satu tim mereka ketika mengcover bola atau meminta toss, dengan urat menonjol di leher.
Ketiga. Sepertinya Shikamaru sengaja membawanya kemari untuk ikut klubnya.
"Kapten membawa anggota baru!"
Benar kan?
Sasuke mendapati sosok pemuda pendek berkulit tan dengan surai coklat acak-acakan berlari menghampirinya. Sepertinya tidak ada kata lelah dikamus bocah paling muda anggota klub voli kalau disurvei menurut umur itu.
Disusul yang lain, mereka semua mengambil air minum masing-masing sambil mengamati Kiba yang sedang mencoba mengajak teammate barunya mengobrol.
Iris gelap Sasuke memperhatikan seseorang yang sedang berbicara dengan Shikamaru di tengah lapangan, sosok yang juga berkulit tan. Bersurai kuning terang agak panjang.
Naruto. Posisinya sebagai tosser.
Sasuke memperhatikan yang lainnya bergantian. Shino, Wing Blocker (WB). Sasori, WB. Kiba, Wing Spiker (WS). Lee, WS. Neji, Middle Blocker. Dan satu paling kecil, Sasuke berani taruhan kalau dia adalah libero.
"Jadi, di amerika kau diposisi apa?"
"Aku tidak bermain voli." Sasuke menjawab ketus.
"Jangan bohong!"
"Apa itu menguntungkan aku?"
Kiba melirik Shikamaru dan Naruto yang berjalan mendekat. Ikut berkumpul. "Lalu kenapa kapten memasukanmu ke tim?"
Sasuke mengangkat bahunya cuek sebagai jawaban. Melirik sinis Shikamaru, tersangka utama untuk kasusnya kali ini.
"Jangan berbohong, Sasuke. kau pernah mengikuti pertandingan voli antar smp di amerika. Dan termasuk pemain reguler."
"Aku tidak per-"
"Kepala sekolah melampirkan biodata lengkap tentangmu pada surat pemberitahuan kemarin."
Sialan.
Sekolah barunya benar-benar seperti dan akan menjadi neraka dunia untuk Sasuke beberapa bulan ke depan.
"Tosser." Sasuke akhirnya menyerah. Percuma berbohong kalau kepala sekolah ada dibalik semua ini.
"Woaaa!" Mereka bersorak. Kecuali Shikamaru. Dan Naruto yang melirik Sasuke tajam.
"Posisimu sama deng-"
"Spiker." Shikamaru menyeletuk.
"-ngan, ap- oh, bukankah sebagian tosser ju-"
Dan untuk sekali lagi, kalimat Kiba terpotong.
"Libero."
Garra tersedak.
"Sembilan puluh persen untuk akurasi servisnya."
Lee melotot.
"Uh, aku benci mengatakan ini. Dia bisa dipakai di semua posisi, kecuali blocker." Shikamaru melihat Shino, Suigetsu dan Neji tersenyum entah untuk apa. "Tapi itu ditutupi dengan defend nya yang, keren."
"YAH! Bagaimana bisa satu orang menguasai banyak posisi seperti itu?!"
Kiba melempar handuknya ke lantai. Tidak lagi beramah tamah dengan Sasuke. Dan tidak peduli kalau Sasuke adalah kakak kelasnya.
"Dia bermain di dua tim. Khusus untuk tim sekolah, dia mengambil posisi libero."
Sasuke jadi berpikir. Sebenarnya, yang tidak dicantumkan kepala sekolah dalam surat pemberitahuan murid baru itu, apa? Dan, kenapa Shikamaru harus bertanya lebih dulu pada Sasuke kalau dia sudah tahu semuanya?
.
.
.
Sasuke melihat sekeliling.
Kumpulan manusia yang sedang menyantap makan malam masing-masing.
Ia menyuap nasi terakhirnya. Memimum susunya lalu pergi ke kamar. Tidak perlu repot berpamitan dengan penghuni meja lainnya, dia hanya sendiri by the way. Karena roommatenya, Shikamaru, masih ada urusan dengan guru pembimbing.
Niatnya untuk kembali ke kamar dan tidur terhambat. Saat bayangan seseorang berlari ke arahnya cepat.
Bruk
Menyudutkan Sasuke ke tembok dengan keras. Mungkin cukup keras untuk membuat Sasuke menyipitkan mata menahan nyeri di punggungnya.
"Jangan bermain-main denganku, Sasuke." Seseorang itu menyurukan wajahnya di leher Sasuke. Berucap lirih berbahaya.
Bukannya takut, seringai Sasuke justru melebar saat ia mengenali suara itu.
"Naruto."
"Tiba-tiba pergi. Tiba-tiba kembali. Sebenarnya apa yang kau ingin aku rasakan?"
Tangan kirinya terangkat. Menarik kerah baju belakang Naruto untuk memberi jarak, lebih bermaksud agar Sasuke bisa menelusuri wajah Naruto dengan matanya.
Sasuke membingkai wajah Naruto pas. Ibu jarinya mengusap pipi bergaris itu lembut tatkala mereka saling bertatapan.
"Tinggi."
Gumaman tidak sadar Naruto membuat alis Sasuke terangkat sebelah. Tidak tangkap. "Dulu kau tidak setinggi ini." Naruto mengukur tinggi Sasuke dengan membandingkan tinggi kepala mereka. "Lima tahun lalu tinggi kita sama."
"Rambutmu. Bahumu. Dadamu. Kenapa semuanya beru-"
"Aku merindukanmu." Sasuke memotong kalimat Naruto. Masih menatap Naruto lekat.
"Sudah seharusnya kan? kau pergi sudah lima tahun. Kelas tiga sekolah dasar, Sasuke. Apa kau tidak tahu? Dulu aku menangis terus menerus saat kaa-san bilang padaku kalau kau tidak bisa bermain lagi denganku karena kau harus pergi jauh."
"Aku tahu. Aku tahu. Aku minta maaf."
Naruto tidak mengangguk. Tidak juga menggeleng. Dia hanya menatap Sasuke lama. Lima tahun. Apakah itu waktu yang cukup lama untuk membuat Sasukenya, sahabat baiknya ini berubah begitu jauh? Perubahannya, terlalu banyak. Suara Sasuke juga berkali-kali lebih berat darinya.
Kiss
"Jangan melamun."
Bahkan bibir Sasuke juga berubah. Sedikit lebih tebal dan lembab. Dulu bibir itu tipis dan lembut sekali.
Kiss
Naruto membalas kecupan Sasuke dengan lumatan. Melahap kedua belahan bibir Sasuke sekaligus. Mengemutnya seperti permen yang selalu ia beli di kafetaria sekolah.
Mencoba mendominasi, memasukan lidahnya ke dalam mulut Sasuke. Menjelajah untuk mengabsen gigi putih Sasuke yang rapi. Dan berduel dengan lidah Sasuke sebelum Sasuke mengambil alih posisi. Dan membuat benang saliva tipis ketika ciuman itu berakhir.
"Aku tidak pernah tahu."
"Apa yang tidak pernah kau tahu?" Sasuke menempelkan tubuh mereka berdua rapat. Memisahkan wajah beberapa senti agar nyaman untuk berbicara.
"Ternyata sahabatku tipe uke yang ganas."
Twicth
Kedutan kekesalan kembali muncul. Dan kekesalannya seolah berlipat ganda karena Naruto yang mengatakannya. "Coba katakan itu pada seseorang yang anusnya pernah kumasuki dua jari." Sasuke memyeringai. Membalas ejekan Naruto.
Blush
Naruto salah tingkah. "I-itu karena dulu celanaku kemasukan pasir!" Wajahnya memerah saat bayangan masa kecil mereka ketika Sasuke membersihkan lubang anusnya dari pasir-pasir yang membuatnya tidak nyaman.
"Oh." Seringai Sasuke semakin lebar mendapati reaksi Naruto sesuai harapan. "Jadi, kalau aku memasukan pasir di celanamu, aku bisa membersihkan anusmu dengan jariku lagi? Dengan bantuan penisku, mungkin?"
Mata Naruto melebar mendengar kalimat vulgar Sasuke. Dan semakin melebar ketika dua jari Sasuke; telunjuk dan tengah, sengaja ia gesekan di belahan pantat Naruto.
Bahaya.
"Sasu-Sasuke, apa kau tahu kalau yang sedang kau lakukan ini termasuk pelecehan seksual?"
"Tentu saja tidak. Aku sedang melakukan foreplay pada sahabat baikku."
"..."
"Mau ke kam-"
Tap
Tap
"Mikoto dan Fugaku memasukanmu ke sekolah ini bukan untuk melakukan seks, Sasuke. Jadi hentikan sampai di situ."
Sasuke menoleh. Mendapati Tsunade, kepala sekolahnya bersedekap menatapnya tajam.
"Dan kau, Naruto, kembali ke kamarmu."
.
.
.
"Hampir saja."
Sasuke menyandarkan punggungnya di tembok setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya.
"Hampir saja?" Suara asing menyahuti monolog Sasuke.
Benar. Itu bukan Shikamaru. Tapi Kiba. "Kenapa kau bisa masuk ke kamarku?"
Sasuke melihat Kiba mengangkat bahunya cuek. Melanjutkan melahap makanan ringan yang terhenti karena kedatangan Sasuke. Dan itu snack milik Sasuke. "Aku punya duplikat kunci dari Shikamaru."
"Duplikat kunci?"
Kiba mengangguk. Memutar kursi menghadap Sasuke yang sudah tiduran di atas karpet beludru pemberian Makoto.
"Apa Shikamaru belum memberitahumu?"
"Memberitahu apa?"
"Shikamaru selalu memintaku untuk memasuki lubangnya."
Sasuke melotot.
Dan semakin melotot saat melihat Kiba terkikik kemudian tertawa keras. "Aku hanya bercanda. Itu tidak mungkin terjadi."
"Benar. Itu tidak mungkin terjadi." Sasuke dan Kiba menoleh ketika Shikamaru menyahut sambil menutup pintu. "Dia yang harusnya membuka kakinya untukku."
"Aku sependapat."
Bluk
Bluk
"Sialan kalian berdua." Kiba melempar dua snack curiannya ke arah Sasuke dan Shikamaru kasar. Telinganya memerah.
Shikamaru mendudukan dirinya di samping Sasuke. Mengeluarkan onigiri kesukaannya yang baru saja diambilnya dari ruang makan bersama. Memberikan satu pada Sasuke dan melempar satu pada Kiba. "Aku sudah memberitahu Coach dan Guru pembimbing kalau kau akan menjadi anggota baru."
"Aku tidak bilang kal-"
"Manager sudah memesankan jersey untukmu."
Kiba menambahi. "Kalau kau sampai menyia-nyiakan apa yang sudah dilakukan Deidara, kau akan mati Sasuke."
Hembusan napas kasar terdengar jelas. Memang benar, Sasuke tidak menyukai keputusan sepihak roomate barunya itu. Tapi sekali lagi, Sasuke itu anak baik. Tidak mungkin kan, belum genap seminggu Sasuke masuk sekolah sudah harus mati?
"Omong-omong, aku tadi melihatmu hampir memperkosa Naruto. Kalian saling kenal?"
Uhuk
"Bisakah tidak membicarakan itu?"
"Oh? Jadi kau homo, Sasuke? Naruto juga?" Kiba bertanya dengan tidak tahu dirinya, sok polos.
Sasuke menatap Shikamaru dan Kiba bergantian.
Sialan.
Ingatkan Sasuke untuk mengutuk ibu dan ayahnya yang sudah merencanakan semua ini. Dengan sedikit terima kasih tentu saja. Karena sudah memasukannya di sekolah neraka yang membuatnya bertemu dengan Naruto lagi.
.
.
.
Tamat
.
