Forest's Curse

Disclaimer:

Fiksi ini dibuat untuk tujuan kompetisi PSI Got Talent dan tidak ada tujuan komersial apapun.


Apakah kalian tahu bagaimana cara pohon berkomunikasi satu sama lain? Mengeluarkan suara ultrasonik? Tidak, itu adalah cara lumba-lumba. Oh, tidak tidak. Jangan menjawab 'desisan', karena itu adalah milik para ular. Pohon memiliki cara sendiri untuk berbicara dan jangan harap kau bisa mendengarnya karena itu adalah salah satu Rahasia Alam.

Kalau kau secara kebetulan mendengar suara dari pohon, segeralah menjauh dari pepohonan dan segera ganti identitasmu. Manusia yang mendengar suara para pohon tidak pernah mendapatkan nasib baik.


"Anthony, kapan kita akan sampai?" Ia membuka topi safari yang ia kenakan dan menggunakan topi itu sebagai kipas. Makian keluar dari mulut pemuda berusia awal dua puluhan ini ketika ia tersandung akar sebatang pohon besar. Kemudian ia menatap sosok lelaki yang berjalan di depannya dengan tatapan tidak setuju. Lelaki itu adalah sang kakak.

Pria yang disebut sebagai Anthony ini adalah seorang lelaki bertubuh besar yang ahli dalam beladiri. Kacamata hitam berbentuk persegi miliknya juga menunjukkan kecemerlangan dan ketajaman pikiran. Tangan kirinya sesekali mengayunkan pedang ketika ada sulur pepohonan yang merintangi jalannya.

"Sebentar lagi,"

Frank, pemuda yang ternyata adalah adik Anthony, menggerutu dalam hati. Ia membenarkan letak ranselnya yang terasa semakin berat setiap kakinya menjejak. Sudah ketujuh kalinya sang kakak memberikan jawaban yang sama. Ketujuh kalinya pula Frank tidak melihat tanda-tanda tenda yang disediakan bagi mereka. Mereka malah semakin jauh ke dalam hutan. Pohon, pohon, pohon. Hanya ada pepohonan berukuran raksasa yang menghimpit mereka di sepanjang perjalanan. Frank memang tak tahu persis jam berapa sekarang, namun dengan melihat pergerakan matahari ia yakin sekarang sudah lewat tengah hari.

Nyamuk berukuran besar, suara-suara berisik dari para hewan, lumpur yang dalam, dan terutama pohon sejauh mata memandang. Frank jelas takkan memasukkan nama Hutan Recus ke daftar tempat favorit Frank.

"Kapan kita akan sam-"

Anthony mengangkat tangan kanannya dan memotong kalimat adiknya. Isyarat jelas untuk diam. Anthony menoleh ke belakang dan memberikan tatapan seriusnya. Ada sesuatu tidak jauh di depan mereka. Tangan Frank secepat kilat menyentuh kantong celananya. Ia bisa merasakan sebilah belati kecil yang ada di sana.

Pyroar? Ursaring? Kedua kakak beradik itu benci Pokemon. Semua Pokemon.

Sang kakak mengendap perlahan ke depan, disusul oleh Frank yang sudah siaga dengan belati d tangan. Kini Frank juga bisa mendengarnya, suara samar-samar tak jauh di depan mereka. Tangan kanan Anthony membuat hitung mundur dan Frank tahu apa artinya.

Tiga... Dua.. Satu.

Bersamaan, keduanya melompat ke depan. Anthony berdiri di kiri dan Frank berdiri di kanan. Seperti biasa. Keduanya menyiagakan senjata masing-masing, siap menusuk Pokemon menyeramkan apa pun yang membuat suara gemerisik di depan.

Zap! Seberkas cahaya berwarna kuning yang sangat terang menyinari mereka berdua. Frank memekik dan menjatuhkan belatinya karena kaget sedangkan sang kakak melindungi matanya dengan tangan. Kemudian sebuah suara yang serak bergema di dalam hutan itu dan membuat sekelompok Taillow terbang menjauh, kaget. "Ah, selamat datang, kalian berdua!"


"Jadi tugas kami hanya menebang beberapa pohon di sini?" Anthony menaruh kembali cangkir teh yang telah berkurang setengahnya. Suaranya datar dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya menunjukkan mimik serius. Anthony saat sedang berurusan dengan bisnis.

"Bukan menebang. Hanya mengambil beberapa pohon," Benedict Vole menyerahkan beberapa lembar kertas sambil tersenyum. Tuan Vole adalah seorang lelaki kecil yang tingginya tidak lebih dari bahu Frank. Pakaiannya sangat rapi dan bersih, tidak sesuai dengan pekerjaannya yang mengharuskan ia tinggal di hutan. Dan matanya, sejak pertama kali melihatnya, Frank melihat sesuatu di balik kedua manik Tuan Vole.

"Apa ada Pokemon-Pokemon ganas yang hidup di hutan ini?" Frank kini mengangkat suara. "Seperti Mightyena atau Pangoro?"

"Tidak, tentu saja tidak ada. Hanya ada beberapa sarang Taillow, juga kawanan Treecko yang hidup di batang pohon, serta beberapa Pokemon serangga lainnya. Tidak ada hal yang perlu dibesar-besarkan di sini."

"Aku tahu kalian bisa mengatasi mereka. Ah, dan saya akan kembali ke kota sekarang."

"Ke kota? Jadi kau tidak menginap di sini?"

Tuan Vole menyunggingkan senyumnya ke arah Frank. Kilatan maniknya membuat Frank sedikit resah.

"Tentu saja tidak, Tuan Frank. Selamat malam!" Ia kemudian melompat dari kursi lipat yang ia duduki dan melangkah cepat keluar. Pria kecil yang gesit, itulah kesan pertama yang ditangkap Frank ketika Tuan Vole keluar dari tenda mereka.

Tenda. Sebelumnya Frank akan membayangkan tenda yang mereka tempati adalah tenda kecil yang didirikan anak-anak Pramuka dengan menggunakan patok. Tenda ini berukuran lima kali lipat, dengan kulkas dan televisi di dalamnya. Seluruh fasilitas ini dapat dimanfaatkan oleh mereka berdua, begitu kata Tuan Vole pada pembicaraan tadi.

Bahaya! Bahaya!

Sesuatu dalam benak Frank meneriakkan kata bahaya sejak Frank menginjakkan kakinya di depan Hutan Recus ini. Benaknya semakin terpacu ketika pertama kalinya mereka bertemu dengan Tuan Vole. Frank tidak pernah salah tentang perasaan aneh dan tiba-tiba yang menyergap perasaannya seperti ini. Ia tahu ada yang salah dan tidak beres sedang terjadi di antara mereka, namun ia sendiri tidak mengerti apa atau siapa.

"Anthony, aku tidak suka dengan tempat ini,"

Anthony menelengkan kepalanya. Kacamata yang ia kenakan memantulkan sinar dari lampu baca. Kemudian ia mendesah keras. Frank tahu desahan yang dibuat Anthony adalah ejekan yang disengaja.

"Kau sudah mengatakan hal itu berulang kali. Memang apa yang tidak kau sukai dengan hutan ini?" Manik matanya menatap lurus ke mata Frank dan menyorotkan tantangan, hal yang sama sekali tidak disukai Frank karena ia tak pernah menang dalam adu menatap seperti itu. "Tak lama lagi hutan ini akan menghilang dari peta. Jangan takut, adik kecil."

Pada hari-hari biasa, Frank akan marah dan melayangkan pukulan ke wajah Anthony. Umurnya sudah dua puluh satu tahun dan Anthony masih memanggilnya adik kecil. Namun, berada di dalam hutan ini bersama seorang lelaki yang baru beberapa jam dikenalnya bukanlah waktu yang tepat.

"Baiklah, aku akan tidur sekarang." Frank mengambil sebuah sleeping bag dan menggelarnya.

Bahaya! Keluar!

Sekali lagi, intuisinya meneriakkan kata itu. Tapi Frank sudah sangat lelah, dan kemudian ia tertidur.


Kilat di langit menyambar ke tanah, membakar sebatang pohon tinggi.

Udara dingin berhembus dan meresap ke dalam kulit.

Aku di sini, di tengah belantara tidak bertuan, sendirian.

Sesuatu dalam benakku menyuruhku untuk berteriak meminta tolong, tapi untuk apa?

Apa yang kutakutkan, aku pun tidak tahu.

Kembali, sesuatu dalam benakku menyuruhku untuk berteriak meminta tolong, tapi pada siapa?

Siapa yang mau membantuku di sini, di hutan senyap ini.

Kini sesuatu dalam benakku berteriak lantang, meneriakkan satu kata.

Lari!

Dan aku pun menurutinya, untuk berlari dari sesuatu.

Atau seseorang.

Tiba-tiba hujan lebat turun membasahi bumi. Butiran-butirannya membasahi pakaianku, memperlambat lajuku. Tanah yang semula padat menjadi berlumpur, membuatnya licin dan susah untuk dipijak. Kilat yang menyambar menciptakan bayangan-bayangan mengerikan.

Kakiku tersandung akar pohon. Kini aku basah dan berlumpur.

Ingin aku memaki pada seseorang, melemparinya dengan deretan sumpah serapah yang kupelajari semasa remaja. Tapi tak ada siapapun, bahkan seekor semut pun tak ada. Hanya ada aku di antara hutan belantara ini.

Larilah sekarang, selagi sempat.

Atau kau takkan selamat.

Suara lain, suara seorang perempuan yang bernyanyi sayup-sayup terdengar. Sekuat mungkin, aku berteriak meminta tolong padanya. Namun perempuan itu justru menjawab seruanku dengan lagu yang sama seperti sebelumnya.

Larilah sekarang, selagi sempat.

Atau kau takkan pernah selamat.

Seberkas kilat kembali terdengar, kini terasa sangat dekat. Hingga aku menyadari bahwa kilat itu menyambar sebatang pohon dekat dengan tempatku berdiri. Pohon yang terbakar itu jatuh ke arahku. Aku ingin berteriak meminta tolong, namun pohon yang membara itu telah menekanku jauh ke dalam tanah.

Dan aku terbangun dari mimpi buruk ini dengan keadaan basah kuyup oleh keringat.


Pagi itu, Anthony dan Frank melahap sandwich yang telah disiapkan di dalam kulkas mini. Frank memulai percakapan dengan memuji indahnya hutan Recus di pagi hari, kemudian mereka membicarakan politik di Unova yang sedang berkembang pesat, kemudian pembicaraan bergulir seputar gadis-gadis pujaan hati mereka. Seiring dengan percakapan itu, kepulan asap rokok berlomba-lomba untuk membumbung paling tinggi. Tipikal percakapan antar lelaki di pagi hari.

"Ayo berangkat, Frank," Anthony menyalakan sebatang rokok kemudian menimbang gergaji listrik portabel pemberian Tuan Vole dengan kedua tangan. Tampaknya ia sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan pekerjaan ini. Apalagi kalau bukan karena bayaran besar yang ditawarkan oleh perusahaan Tuan Vole.

"Anthony..." Frank ragu-ragu sejenak, ia tahu bahwa matahari sudah hampir berada di puncaknya. Namun ada hal penting yang ingin ia katakan kepada kakaknya sejak tadi pagi. Kemudian ia mengangkat gergaji listrik miliknya dan memanggulnya di pundak. "Apa kau-"

"Jangan mengalihkan perhatianku, bocah kecil!" Raut wajah Anthony berubah seketika. Kini rahangnya mengeras dan ia menggelengkan kepalanya. "Kita tidak ingin bermalam di luar sana, kan?Meskipun tak ada Pokemon buas..." Anthony mengernyitkan keningnya untuk mencari kata-kata yang tepat.

"Pokoknya, ayo kita selesaikan!"

Keduanya berlalu dari tenda nyaman itu. Mungkin mereka tak akan kembali lagi ke tenda itu, sehingga Frank melihat sekali lagi tenda berwarna hijau lumut yang menjadi tempat bernaung mereka sejak kemarin. Anthony berteriak memanggilnya dan Frank setengah berlari mengejar kakaknya.

Mereka berdua tidak menyadari adanya mata yang mengamati kepergian mereka. Sayup-sayup, terdengar sebuah nyanyian yang lirih. Datang seketika, kemudian lenyap dihembus angin.

Ya... Ya... Ya...

Kita selesaikan...

Hari ini kan kita selesaikan...


Ibu, sudah kuperingatkan mereka

Namun tak mendengarkan, mereka

Bersama dengan rimbunan dedaunan yang bergetar karena angin, terdengar suara nyanyian seorang perempuan muda di antara pepohonan. Suaranya begitu lemah. Sekalipun kalian memasang

telinga lebar-lebar, kalian tetap akan kesulitan mendengarnya.

Sayangku, oh sayangku

Mereka bukan urusanmu, sayangku

Biarkan ia melakukannya, sayangku

Suara lain, suara perempuan yang lebih dewasa, bernyanyi seperti seruling bambu. Nadanya memantul di antara pepohonan. Ketika kata ia bergema di hutan, angin seolah berhenti berhembus. Serangga-serangga berhenti bernyanyi seketika.

Tapi, ibunda...

Mereka 'kan tiada

Malam ini, ya ibunda

Malam ini, ya ibunda


"Berapa batang lagi yang harus kita tebang?" Anthony menyeka keringat di keningnya. Ia menengadahkan kepalanya untuk mengira-ngira jam. Matahari sudah semakin condong ke arah barat. Maksimal satu jam lagi gelap akan turun.

"Tiga," Frank menjawab singkat. Ia duduk di salah satu batang pohon yang baru saja ia tebang.

"Bagaimana jika kita menyelesaikan semuanya sekarang? Kemudian kita akan pulang malam ini." Terdengar suara mendesak dari mulut Anthony. Frank bisa merasakan itu. Ia semakin yakin pada satu hal, ada hal aneh yang terjadi pada kakaknya.

"Tapi-"

"Ayo kembali bekerja." Anthony menyalakan kembali gergaji mesinnya. Suaranya yang memekakkan telinga sudah semakin terbiasa di telinga Frank.

"Aku akan menebang pohon yang itu," Anthony berteriak di antara dengungan gergaji mesin. Tangan kiri Anthony teracung pada sebatang pohon yang tampak berbonggol. "Kau yang di sana." Dengan dagunya Anthony menunjuk sebatang pohon lain lima meter dari mereka.

Kau berani memotongku

Kau berani menggangguku

Kau menghancurkan semua milikku

Nyanyian itu bergelegar di seluruh penjuru hutan. Seolah-olah hutan itu sendiri yang bernyanyi. Nadanya geram dan tak bersahabat. Suaranya mengalahkan raungan kedua mesin yang ada di genggaman Anthony dan Frank. Seketika, keduanya menoleh ke arah sumber suara.

Tak ada siapapun, hanya sebatang pohon tua yang akan roboh jika disenggol dengan pelan. Sejak tadi tak ada satupun di antara mereka berdua yang menyadari kehadiran pohon itu. Tiba-tiba saja pohon itu berdiri di situ, seperti tumbuh dari bayangan malam.

"Siapa di sana?" Anthony berteriak nyaring. Gergaji mesin yang ia pegang tiba-tiba mati.

Aku...

Aku...

Akulah jiwa hutan ini

Kau akan terperangkap di sini

Selamanya...

Seberkas cahaya merah terang memancar dari pohon tua itu. Perlahan-lahan pohon itu bergerak, akar-akarnya tercabut dari tanah, dari dahan-dahannya dedaunan bergemerisik ribut. Beberapa helai daunnya jatuh ke tanah, kemudian menjadi layu dengan cepat. Pemandangan mengerikan itu diiringi oleh suara gemeretak yang menyerupai batang pohon yang dipatahkan. Suaranya begitu nyaring yang memekakkan telinga dan membuat bulu kuduk Frank berdiri.

"Apakah kau ini? Pokemon atau roh penasaran atau badut yang mencoba menakuti kami?"

Frank tak yakin harus berbuat apa. Ia sebenarnya mengakui keberanian kakaknya, namun di sisi lain ia ingin meneriakkan kata-kata sampah tepat di depan telinga Anthony. Jelas makhluk ini bukanlah seorang badut. Aura yang dipancarkan oleh makhluk pohon ini sangat gelap dan mengancam. Frank bisa merasakan makhluk itu merupakan magnet bagi seluruh kegelapan yang ada di belantara ini. Seluruh bayangan dan kegelapan tertarik ke arah makhluk ini.

Tanyakan pada adikmu

Wahai tangan lumpur

Yang melukai para rumput

Frank berjengit ketika makhluk itu menyorotkan sinar merah ke arahnya. Matanya membalas sinar merah itu seraya memperhatikan makhluk itu dari atas hingga ke bawah. Otaknya berputar cepat mengumpulkan informasi-informasi yang mungkin ia ingat.

"Apa makhluk itu, Frank?" Anthony berbisik tanpa menggerakkan bibirnya.

Batang yang berbonggol-bonggol. Dahan-dahan patah. Akar-akar yang menyerupai kaki. Serta sinar merah yang memancar dari bagian atas pohon itu. Kepingan puzzle yang ada di otak Frank perlahan menyatu. Hingga akhirnya terbentuk sebuah gambaran utuh yang menjelaskan semuanya.

"Ada sebuah cerita tentang Pokemon yang menjaga hutan,"

Kau memang bocah pintar

Lanjutkan, lanjutkan!

Itulah aku, itulah kami!

"Dia adalah Trevenant, arwah pohon-pohon yang telah mati. Dia adalah penjaga hutan ini. Tamatlah kita, Anthony." Frank terjatuh dan meraung. "Ini semua gara-gara kau, kakakku!"

"Tidak, kita tidak akan mati oleh Pokemon sialan!" Anthony berlari ke arah makhluk itu, Pokemon yang bernama Trevenant. Tangannya mengepal dan ia mengarahkan tinjunya ke lubang yang memancarkan sinar merah terang.

"Berhasil! Hahaha..." raung Anthony.

Benarkah begitu, wahai anak muda

Bodoh, kau bodoh

Kami takkan mati

Karena kamilah

Hutan Recus itu sendiri

Bersamaan dengan berakhirnya lagu dari Trevenant, timbul getaran yang kuat dari bawah akar-akar Trevenat. Getaran itu menyebar dan mengarah langsung ke arah mereka berdua. Kemudian sulur-sulur panjang dan akar-akar kuat tumbuh dari tanah di bawah Anthony dan Frank berada. Sulur-sulur itu mengikat pergelangan kaki dan tangan mereka berdua. Sementara akar-akar yang kuat menjerat leher keduanya.

Anthony masih berusaha melepaskan diri dari jeratan sulur-sulur itu, berteriak dan memberontak selayaknya orang gila. Sedangkan di sisinya, Frank terus menangis dan meneriakkan cacian kepada kakaknya, betapa bodoh dan butanya Anthony.

"Diam, kau mulut sampah!"

"Siapa kau, hingga berani mengaturku sekarang? Kau dan aku sama-sama terikat. Kita akan

MATI sebentar lagi!" Frank berteriak histeris di antara tawa dan tangisannya. "YA! KITA AKAN MATI, SEKARANG!"

Sekarang, oh sekarang

Kau kan rasakan jeritan para pohon

Kalian berdua, nikmatilah hingga selamanya

Sinar merah yang memancar dari kepala Trevenant bersinar. Mulanya redup, hingga semakin terang, dan akhirnya begitu membutakan, menyebar hingga ke seluruh hutan Recus. Selama itu pula seluruh hutan bernyanyi dalam satu suara yang padu. Mereka bernyanyi bahagia di antara jeritan Anthony dan Frank yang terasa tak berkesudahan.

Dan sinar merah itu mati dalam sekejap mata. Sejak saat itu tak terdengar teriakan kedua kakak beradik itu, untuk selamanya.

* EPILOG *

Anthony's Point of View

Mereka sudah bangun, oh ibu

Mereka kembali bernafas, oh ibu

Aku membuka kedua kelopak mataku perlahan ketika mendengar suara gadis muda yang begitu merdu. Sinar matahari menembus dari balik pepohonan. Apakah aku masih hidup, atau inikah surga yang sebenarnya?

Di mana aku, oh di mana adikku

Siapa kau, wahai gadis muda

Dimana kau, wahai gadis muda

Suaraku? Apa yang terjadi pada suaraku? Aku yakin aku tidak menggerakkan mulutku sedikitpun. Kalimat-kalimat itu terdengar sesaat setelah aku memikirkannya. Seolah pikirankulah yang mengatakan kalimat-kalimat itu untukku. Aku berusaha menggerakkan tubuhku, namun sesuatu yang sangat berat seolah membebani kakiku dan tidak membiarkanku untuk bergerak. Aku tidak bisa bergerak, bahkan untuk menoleh sekalipun!

Selamat datang di Recus, Anthony

Selamat datang di Curse, Gardenia kecil

Inilah aku, Petunia kecil

Gadis yang bernyanyi dalam mimpimu


*Author's Note *

Akhirnya selesai juga! Terima kasih kepada Chillarmy a.k.a. Trias Wahid Mauludy yang sudah menyelenggarakan acara PSI Got Talent 2014-2015, juga kepada Global Moderator, selaku para juri, yang berkenan membaca dan mengomentari karya saya.

Oh iya, beberapa cerita sengaja tidak saya tampilkan. Misalnya seperti Tuan Vole yang misterius, siapakah bunga Petunia kecil dan sang ibu itu, serta apa yang terjadi pada Frank di akhir cerita. Mungkin kisah-kisah itu lebih baik tetap menjadi rahasia, seperti halnya rahasia mengenai lokasi pasti dari Hutan Recus—atau lebih baik saya sebut sebagai Hutan Kutukan, Hutan Curse.

Semoga penggalan cerita dari Anthony dan Frank menjadi pengingat bagi manusia, untuk selalu menjaga dan memelihara alam kita.

Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih.