Terlihat dua orang bocah tengah asyik bermain di sebuah ruangan. Yang bocak laki-laki dengan semangat menggerakkan stik playstationnya sedangkan temannya, bocah berambut pink itu tampak kesulitan dengan dahinya yang berkerut kuat.

"YES, menang!" teriak bocah laki-laki sambil tersenyum puas. Bocah perempuan yang melihat itu pun merengut, kesal karena teman laki-lakinya itu menang. Tentu saja temannya itu menang, game adalah permainannya sehari-hari. Dan bocah perempuan itu baru mencoba memainkannya hari ini.

"Jangan merengut seperti itu, Sakura. Kita main yang lain, oke?" tawar pemuda itu sambil mematikan playstationnya. "Di komputer ada permainan merawat kucing. Kau suka kucing, bukan?"

Mendengar itu, sebuah senyum polos terukir di wajah Sakura kecil. Dengan antusias, dia mengikuti temannya itu menuju tempat komputer berada. Bocah laki-laki itu ikut tersenyum. Dia pun menghidupkan komputernya. Teman perempuannya ini memanglah sedikit manja dan sangat kekanak-kanakkan. Tapi, dari situlah dirinya merasa nyaman dengannya.

Komputer menyala. Tanpa basa-basi lagi, bocah laki-laki itu membuka game yang tadi ia maksud. Dengan penuh keantusiasan, Sakura memainkan game itu. Tepat di sampingnya, bocah laki-laki itu berkomentar ataupun memberinya petunjuk.

"Sakura, ayo kita pulang." panggil ibunya di ambang pintu. Sakura sedikit merengut. Ini terlalu cepat. Baru saja ia menikmati bermain di sini, ibunya justru mengajaknya pulang. Temannya tersenyum maklum. Ia pun mengikuti langkah Sakura berjalan keluar.

"Hei, Saki," panggil bocah laki-laki itu. Sakura menoleh. Tepat beberapa langkah di depannya kedua ibu mereka tengah membicarakan beberapa hal. Dengan senyum lebar, bocah laki-laki itu berkata, "Besok main lagi, ya. Aku menunggumu."

Dan setelah itu Sakura merasakan rasa hangat itu menjalar di dalam tubuhnya.

Don't ignore me, please!
.

.

.
Pairing :

Haruno Sakura, Uchiha Sasuke, Gaara
.

.

.
Genre:

Romance, Friendship, dan lain-lain
.

.

.
WARNING:

Out Of Character, Typo dan lain hal sebagainya (-n-")
.

.

.
Tokoh-tokohnya sudah pasti punya Masashi Kishimoto
.

.

.

Chapter 01 : Pengawalan

Perempuan beriris emerald itu menatap orang-orang yang berlalu lalang di balik dinding kaca café. Kedua temannya yang sedari tadi bercakap ria tidak ia hiraukan. Termenung, memikirkan nasib sekolahnya yang baru saja dimulai. Untuk kedua kalinya, perempuan beriris emerald itu menghela napasnya.

"Ra, ada masalah?"

Iris emerald itu bergerak ke arah kanan, melirik teman berambut blondenya yang tengah menatapnya. Temannya berambut indigo yang duduk di hadapannya pun ikut menatapnya. Perempuan beriris emerald itu menatap kedua temannya bergantian. Sepertinya helaan napasnya tadi menarik perhatian kedua temannya.

Ia menggelengkan kepalanya pelan disertai senyuman tipis, "Tidak, hanya memikirkan beberapa hal." Perempuan beriris emerald itu meminum minumannya dan menatap kedua temannya kembali, "Kalian membicarakan apa tadi?"

"Hei, sepertinya kau benar-benar memiliki masalah sehingga tidak mendengarkanku tadi?" ucap temannya berambut blonde. Sedetik kemudian, matanya berbinar, "Aku dan Hinata tengah menceritakan kesan pertama sekolah kita yang baru ini. Banyak anak cowo yang ganteng loh, Ra."

'Mulai lagi, deh.' batin perempuan beriris emerald itu sambil memutar kedua bola matanya, bosan dengan pembicaraan ini. Kebiasaan temannya yang bergosip itu terkadang membuatnya sedikit kesal. Sedikit-sedikit membicarakan ini, nanti beberapa detik kemudian ada hal lain yang dibicarakannya. Memang, saat ini mereka baru saja menginjak Sekolah Menengah Keatas, tapi, bukannya semakin serius, taman berambut blondenya ini malah semakin menjadi-jadi.

"Ino -chan, Sakura-chan , hari Minggu nanti mau berjalan-jalan?" tawar perempuan berambut indigo–Hinata–ketika menyadari ekspresi bosan perempuan beriris emerald itu, Sakura. Sakura berpikir sejenak, mengingat-ingat ada acara apa di hari itu. Sedangkan temannya yang berambut blonde langsung mengangguk antusias.

"Entahlah. Aku tidak bisa janji, Hinata." ujar Sakura. "Terkadang ada acara mendadak. Jika aku bisa, aku akan menghubungimu, oke?"

Hinata tersenyum manis. Sakura akui, temannya itu memang manis. Sifatnya yang lembut dan ramah cukup menarik perhatian murid lainnya. Baru tiga hari bersekolah saja, sudah banyak yang menyapanya di pagi hari. Tidak jauh beda dengan Hinata, Ino tak kalah populer di hari pertamanya sekolah. Sifatnya yang cerewet dan mudah berteman dengan siapa saja itu membuatnya terlihat menarik.

Jujur, Sakura sedikit minder akan hal itu. Tidak seperti kedua temannya. Ia hanya berteman dengan kedua temannya yang sedari Sekolah Menengah Pertama itu. Ia tidaklah populer. Bahkan, ia ragu ada anak kelasnya yang mengenalnya. Kepribadiannya yang sedikit menyendiri dan cukup kaku itu yang menjadi 'pembatasnya'.

"Sakura, tahun ajaran baru ini seharusnya kau mencari kekasih, gih." saran Ino yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Sakura. Ia menggelengkan kepalanya kuat, wajahnya yang agak suram semain suram dan memandang malas Ino.

Hinata yang melihat Sakura semakin badmood pun mulai memikirkan topik lain yang dapat mengubah suasana. Mengalihkan pembicaraan. Itu satu-satunya cara yang biasa ia lakukan saat ini. Ini bukanlah pertama kalinya Ino membahas ini. Sudah berkali-kali hingga Sakura jenuh akan hal itu.

"Ino-chan ba–"

"Ra, masa dari dulu sama aja. Gerakan anti berpacaranmu itu wajib dihapuskan. Hinata aja yang polos udah punya, masa kamu nggak."

"Itu kan kalian. Aku masih nggak mau yang begituan." balas Sakura sambil menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku ya, aku. Kalian ya, kalian. Gitu aja kok repot."

Ino menghela napasnya sedikit jengkel. Niatnya sih supaya teman beriris emerald itu lebih terbuka dengan lainnya. Bergaul dengan yang lain, bukan hanya mereka saja. Kalau kaya gini sih, bagaimana dia mau punya teman. Untung-untung ada dirinya dan Hinata yang satu sekolah dengannya–sehingga Sakura memiliki teman bicara. Coba kalau tidak, Ino tidak bisa membayangkan bagaimana nasib perempuan itu semasa sekolahnya.

"Terserah deh." gumam perempuan berambut blonde itu kemudian. "Setidaknya kau harus merasakan masa-masa jatuh cinta semasa sekolahmu ini. Aku ragu kau sudah merasakannya."

Sakura tidak merespon. Matanya lagi-lagi terfokus ke arah luar café. Ino yang melihat temannya mengabaikannya pun kembali mengajak Hinata mengobrol. Sakura menghembuskan napasnya sangat pelan. Pikirannya mulai melayang ke masa lalunya. 'Kau salah, Ino. Aku sudah merasakannya.' ucapnya dalam hati. Dan tanpa disadari oleh kedua temannya, rahang perempuan beriris emerald itu sedikit mengeras.

Jatuh cinta, ya? Sakura sudah merasakan itu. Sudah sangat lama dan begitu menyesakkan. Empat tahun lamanya dia memendam perasaan ini kepada pemuda itu. Empat tahun ini dia tidak bertemu dengannya. Dan empat tahun ini dia berharap kepada pemuda itu untuk menemuinya. Pemuda beriris onyx itu menghantuinya setelah kelulusan Sekolah Dasar, membuatnya mengenal perasaan ini lebih dahulu di bandingkan temannya yang lain. Perasaan yang hangat dan begitu menyesakkan.

Hanya diam dan menunggu. Ia terlalu takut bertemu dengan pemuda itu. Meskipun kedua orang tua mereka berteman, itu bukanlah alasan untuk menemuinya. Rumahnya cukup jauh. Butuh menaiki dua bus ke sana. Lagipula, kedua orang tuanya tidak begitu menanyakan bagaimana hubungan Sakura dengannya setelah lulus Sekolah Dasar. Masih berteman, kah, atau justru saling melupakan. Teman, eh?

Matanya memandang sendu permandangan di balik dinding kaca café itu. Empat tahun dia tidak mengetahui kabar pemuda itu. Apakah dia baik-baik saja? Pemuda itu pintar, jadi Sakura tidak terlalu mengkhawatirkan kehidupan sekolahnya. Bagaimana bentuk wajahnya yang sekarang? Apakah sifatnya sama seperti dulu? Dan, apakah dia sudah memiliki… kekasih?

Pertanyaan terakhir itu cukup mengganggunya.

.

Sakura menuruni tangga dan mendapati ibunya yang tengah menyiapkan sarapan di dapur. Pukul delapan pagi. Tiga puluh menit lagi sekolah akan membunyikan bel masuk. Jarak dari rumah ke sekolahnya kurang lebih menghabiskan lima belas menit–itu jika dia menggunakan sepeda. Tanpa memikirkan waktu yang tersisa, Sakura mengambil sehelai roti dan mengolesi salah satu sisinya dengan selai coklat lalu mengambil sehelai lagi dan mengolesi salah satu bagiannya dengan selai kacang sebelum menyatukan kedua belah sisi yang sudah terolesi itu. Ini favoritnya. Percampuran selai coklat dan kacang pada roti merupakan sarapan yang sangat ia sukai.

"Bekalnya jangan lupa. Nanti malah beli macam-macam di kantin." ucap Mebuki, ibu Sakura, mengingatkan putrinya itu. Sakura menganggukkan kepalanya sebelum kembali menggigit rotinya. Sifatnya yang pelupa cukup membuat Mebuki sedikit menggelengkan kepalanya. Entah harus berapa kali ia mengingatkan putrinya agar untuk ini dan itu. Tidak seperti kakakknya, Sakura masih harus di bimbing.

Sakura menghabiskan roti pertamanya. Ia pun kembali mengambil dua helai roti dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Sudah pukul delapan lewat lima. Sakura pun mengambil bekal yang sudah disiapkan ibunya dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan roti yang berada di tangan kanannya, ia berjalan cepat ke pintu rumahnya. Memakai sepatu, mengeluarkan sepedanya dari gudang lalu pamit dengan ibunya.

Rotinya ia gigit. Mengendarai sepeda sambil memakan roti keduanya bukanlah hal yang jarang terjadi baginya. Ini sudah menjadi kebiasaannya. Perempuan beriris emerald itu menggayuh sepedanya sedikit cepat, berharap ia memiliki waktu sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi.

"Sakura-nee!"

Mendengar panggilan itu, perempuan beriris emerald itu menghentikan laju sepedanya. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang bocah dengan seragamnya yang berwarna biru dan topi kuning di kepalanya. Sarutobi Mirai, anak tetangganya yang sangat akrab dengannya. Ah, ia rasa bocah itu juga baru ingin berangkat ke sekolahnya.

Sambil tersenyum tipis, Sakura turun dari sepedanya dan mendekati bocah itu. Tangannya terulur mengacak-acak rambut anak itu sebelum akhirnya ia menghabiskan gigitan rotinya yang terakhir. "Selamat pagi, Mirai-chan. Baru ingin berangkat ke sekolah juga?"

Bocah berumur lima tahun itu menganggukkan kepalanya. Senyumannya yang polos pun semakin melebar. "Ibu memiliki tambahan anak di rumah." ujar anak itu sambil menunjuk ibunya yang baru keluar dari rumah.

Sakura tertawa kecil. 'Tambahan anak' yang bocah itu maksud pasti ada yang nge-kost di sana. Memang, ajaran baru selalu ada pelajar yang memisahkan diri dari kedua orang tuanya–dengan alasan agar lebih dekat dengan sekolah dan mandiri. Rumah dari bocah itu memang bukanlah apartemen bertingkat. Tapi, di rumah itu memiliki banyak kamar dan setidaknya bisa menampung sepuluh pelajar di sana. Kurenai, ibu dari bocah itu tidak ingin menyia-nyiakan itu dan memanfaatkannya.

"Baru saja tiga hari yang lalu ada tiga anak yang lulus dan kembali ke rumahnya. Eh, malah nambah seorang lagi setelahnya." Kurenai tertawa. "Bagaimana dengan sekolahmu, Sakura?"

Yang ditanya hanya mengedikkan bahunya. Ia tidak ingin berkomentar banyak pada kehidupan sekolahnya. Asalkan kehidupan sekolahnya tidak seperti masa kelamnya Sekolah Menengah Pertama dulu, dia akan baik-baik saja. Menurutnya bersosialisasi tidak begitu menarik perhatiannya. Untuk apa memiliki banyak teman, tapi akhirnya dilupakan?

Kurenai tersenyum lembut, "Kau belum merubah pandanganmu, Sakura." Tangan wanita itu meraih tangan anaknya dan menggenggamnya sedikit erat. "Sudah jam segini loh. Kuharap kau tidak ingin terkunci dari luar gerbang."

Sakura melirik jam di tangannya. Pukul 08.13. Tujuh belas menit lagi bel akan berbunyi. Perempuan beriris emerald itu menepuk dahinya agak kuat. "Terima kasih, bibi sudah mengingatkanku. Aku pergi."

Untuk kedua kalinya, Kurenai tertawa melihat tingkah Sakura. "Ah, Sakura." panggil Kurenai sebelum perempuan itu menggayuh sepedanya. "Anak kost bibi yang baru sangat tampan, loh."

Sakura memutar bola matanya, "Kurasa itu bukan hal yang harus dibahas, bi." Cukup ia mendengar ini dari Ino dan jangan sampai tetangganya itu ikut-ikutan suka bergosip. Perempuan beriris emerald itu melambaikan tangannya. Mirai yang melihat itu pun membalas lambaian tangannya dengan semangat.

"Bye-bye, Sakura-nee!"

Sakura mengabaikan itu dan menggayuh sepedanya dengan sangat cepat. Niatnya sepuluh menit sebelum bel berbunyi sampai di sekolah kandas seketika. Ia melewati beberapa anak yang satu sekolah dengannya, tak peduli jika ia mengenalnya atau tidak. Sekolah sudah sangat ramai. Dengan sedikit tergesa-gesa, ia menggayuh sepedanya ke parkiran. Memakirkan sepedanya–untungnya masih ada tersisa tempat–lalu berjalan menuju gedung sekolah.

"Selamat pagi, Sakura-chan." sapa Hinata ketika perempuan itu tengah mengganti sepatunya dengan uwabaki. Sakura yang mendengar itu hanya membalasnya dengan senyuman tipis. "Tumben baru datang, biasanya lebih cepat dari ini."

"Ada yang mengajakku berbicara di jalan tadi."

"Pasti bibi Kurenai." tebak Hinata. Sakura menganggukkan kepalanya. "Ngomong-ngomong, Sakur–"

Ucapan Hinata terputus. Bel masuk berbunyi dan anak-anak mulai memasuki kelas mereka. Sakura mendecih sedikit kesal. Ia meratapi nasibnya mengingat kelasnya berada di lantai dua, tepat kelas yang paling ujung. Kelas 1-8. Berbeda dengannya, kalas Hinata tepat berada di samping tangga, kelas 1-2.

"Kuharap Iruka -sensei tidak memasuki kelas tepat pada waktunya." ucap Sakura sambil berlari. Tepat sebelum menghilang di belokan, ia berkata, "Hinata, nanti kau lanjutkan apa yang ingin kau katakan. Sekarang kau cepatlah masuk ke kelasmu." Hinata yang melihat itu pun menganggukkan kepalanya pelan sebelum akhirnya ia menggelengkan kepalanya karena melihat tingkah temannya itu.

Perempuan beriris emerald itu memperlambat langkahnya. Ia tidak ingin ditegur oleh guru karena berlarian di koridor. Rambut sebahunya bergerak tak menentu, begitu pula dengan kakinya yang mulai sedikit pegal. 'Jika tahu seperti ini, aku pergi lebih cepat tadi.' gerutunya dalam hati. Koridor mulai sepi, hanya beberapa yang berlalu lalang.

Langkahnya terhenti. Kepalanya sedikit terangkat lalu menoleh ke arah belakang. Matanya menyipit dan sedikit mengernyitkan dahinya. Pemuda itu. Dengan tangan yang ia kantongi, pemuda itu berjalan dengan begitu santai. Punggung yang ia rindukan. Begitu pula dengan auranya. Sejenak, napasnya terhenti. Waktu entah mengapa terlihat begitu lambat. Punggung pemuda itu semakin menjauh lalu berbelok memasuki salah satu ruang kelas.

Kelas 1-4.

Sakura menggelengkan kepalanya. 'Ini tidak mungkin.' ucapnya dalam hati. 'Dia tidak mungkin bersekolah di sini.' Sakura membalikkan badannya, mengalihkan pikirannya dari pemuda itu. Sekarang, ia tidak tahu harus bagaimana. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia mulai menggerakkan kakinya. Entah mengapa ia sangat gelisah sekarang.

.

.