If You Could See Me Now

AUTHOR : HUANG AND WU

GENRE : FAMILY, SLICE-OF-LIFE, FRIENDSHIP

LENGTH : CHAPTER

CHARACTER : KIM JONGIN, DO KYUNGSOO, and another SURPRISING CASTS

POINT OF VIEW : AUTHOR

RATE : T

SUMMARY :

Hanya sebuah kisah tentang seorang lelaki yang kesepian dan hidup dalam garis yang keras. Ia hanya ingin merasakan cinta dan kasih sayang, walau itu memerlukan usaha dan perjuangan yang berdarah dan berliku-liku. Lelaki ini hanya membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang dari orangtua, dan dari sahabat yang mau berjuang demi dirinya. Terinspirasi dari lagu The Script berjudul sama, inilah If You Could See Me Now.

Salam Ramadhan, guys!

Well, karena saat ini sedang Bulan Puasa alias Ramadhan, Huang and Wu Team berusaha menyajikan FF yang aman untuk dibaca seluruh pembaca (terutama para Muslim readers yang sedang beribadah) jadi tidak mengganggu puasa kalian hehehe

Anggap saja sebagai ganti dari Seven Deadly Sins yang hiatus gara2 ketidakcocokan genre cerita dengan suasana yang suci ini hehe.

Marhaban Ya Ramadhan guys!

Enjoy!

Ps : Bakal kerasa banget feelnya kalo sambil dengerin If You Could See Me Now by The Script!

.

-If You Could See Me Now-

.

.

Prologue

"Kemari kau, dasar bodoh!"

BUGH!

"Arrghhh!"

Seorang anak kecil tampak tersiksa oleh seorang namja yang mendorong tubuhnya hingga terjerembab ke tanah. Ia berusaha menahan rasa sakit akibat kulitnya yang sedikit lecet karena terjatuh. Dia menatap sosok yang tadi mendorongnya.

"Lanjutkan pekerjaanmu saja, bodoh! Kalau tidak, kau akan bernasib sama seperti saudara-saudaramu yang lain!"

Namja berjanggut bertubuh agak tambun itu kemudian melempar sebuah batangan besi ke sembarang arah. Anak kecil yang tadi diserang pun hanya meringis sakit, menatap sosok di hadapannya dengan tatapan penuh ketakutan. Namja itu mendengus, kemudian berjalan menjauh.

BLAM!

KLAK!

Terdengar suara pintu yang dibanting, kemudian terdengar suara pintu yang dikunci. Anak kecil itu menangis dalam diam, kemudian berusaha bangkit. Ia memegangi sisi dari sebuah meja, kemudian bangun dengan menumpukan dirinya pada meja itu. Kakinya agak gemetar, tetapi dia tidak putus asa.

Wajahnya berkeringat dingin, menatap ke arah pintu yang terkunci itu. Ia menangis–lagi–kemudian berjalan menuju sebuah tungku dan meniupkan perapian di sana. Tungku itu berisi seekor kambing yang tengah direbus–agar bulunya rontok.

"Uhuk! Uhuk!"

Asap mengepul dan memenuhi ruangan itu, membuatnya terbatuk-batuk. Ia meraih sebuah batangan besi yang panjang dan berat, lalu mengaduk kambing dalam tungku itu. Panas sekali rasanya, tapi dia tidak berhenti bekerja.

Setelah mengaduknya, kemudian ia turun perlahan dari kursi kayu yang membantunya, berjalan menuju sebuah meja dengan beberapa lembar kulit kambing yang dilebarkan di sana. Ia mengusap kulit kambing itu, kemudian kembali menangis.

"Brother, kau kan suka kulit kambing. Hangat."gumamnya, lirih.

Matanya kembali berkaca-kaca, dan ia menatap ke arah pintu yang tadi dikunci. Ia mengipas asap yang mulai memenuhi udaranya, berusaha untuk menghindarinya. Tidak ada jendela, dan dia agak kesulitan bernafas.

BRAK!

"Bu-buka! Buka!"

Anak kecil itu memukul pintu kayu yang menguncinya, berteriak agar seseorang mendengarnya. Asap memenuhi sekelilingnya, dan tungku di belakangnya mulai bergejolak akibat air yang mendidih.

"Uhuk! Uhuk!"

BRAK! BRAK!

Batuknya semakin terasa, dan dia semakin memberontak untuk membuka pintu itu. Asap membuatnya kesulitan bernafas, dan tenggorokkannya serasa tercekat.

KLAK!

CKLEK

Seseorang membuka pintu itu, membuat cahaya menyeruak masuk. Anak itu terjerembab ke tanah, kemudian berusaha bangkit.

DUAGH!

Sebelum dia bisa bangun, seseorang menendangnya, membuat tubuhnya terdorong dan kembali menghantam tanah. Anak itu merasakan sakit pada tulang rusuknya, kemudian ia menegakkan kepalanya.

"Kau menyerah hanya karena asap ini? Setelah aku memberimu makan, minum, dan pakaian?"

Ternyata itu namja tambun yang tadi.

.

.

"A-aku.. aku hanya kesulitan bernafas, ayah."ucap anak itu, lirih.

DUAGH!

"Jangan kau berani-beraninya memanggilku ayah!"pekik namja tambun itu, memperingatkannya.

Anak itu mulai menangis lagi. Namja tambun itu berjongkok, kemudian mengapit kedua pipi anak itu dengan satu tangannya, menghadapkan wajahnya padanya. Anak itu sudah mengalirkan airmata, membuat namja itu menggeleng dengan wajah–sok–prihatin.

"Lihatlah bagaimana kau memohon padaku, bocah ingusan. Aku bahkan tidak sudi menyebutmu sebagai anakku!"ucap namja itu.

"A-aku tidak akan melakukannya lagi.. tuan."ucap anak itu, dengan nada tuan yang agak mengecil.

"Kau tidak akan melakukannya lagi."

BUGH!

"Le-lepaskan akuu!"

Namja tambun itu memaksa anak itu untuk berdiri, kemudian menarik cuping telinganya dan menarik tubuhnya keluar ruangan itu. Telinga anak itu mulai memerah, disertai rasa sakit.

"A-ayah!"pekik anak itu, kelepasan.

"JANGAN SEBUT AKU BEGITU! AKU TIDAK SUDI MENJADI AYAH DARI ANAK PAYAH SEPERTIMU!"

BRAK!

Namja tambun itu mendorong anak itu dengan kasar, hingga ia terantuk ke sebuah dinding batu. Namja itu berjongkok di hadapan anak itu, kemudian meraih dua buah borgol.

KLAK! KLAK!

Dan ia merantai tangan anak itu.

"Tuan, lepaskan aku!"pekik anak itu, dengan tangis yang tak berhenti.

"Akan kubiarkan kau menikmati udara segar di luar sini, bocah ingusan! Dan jangan panggil aku ayah!"pekik namja tambun itu, kemudian berdiri dan meninggalkan anak itu.

"TUAANN! TUAAANN!"

Dan namja tambun itu menghilang di balik tumpukan jerami di sana.

Ya, dia mengurung anak itu bersama dengan kandang kuda yang jelas-jelas kotor dan sangat tidak bersahabat.

"Hiks, hiks.."

Anak itu terisak, merasakan bahwa dirinya sangat hina. Ia menatap sekeliling, hanya untuk mendapati beberapa tumpukan kotoran kuda, dengan lalat-lalat yang mengerubunginya.

"Hiks, ayah, aku tidak suka di sini."gumamnya, lirih.

Anak itu hanya menangis, meratapi kedua tangannya yang dirantai. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menangis dalam kesenyapan.

Yang ia lakukan hanyalah menangis.

-XOXO-

WOSH!

Tiba-tiba, terdengar suara sesuatu yang membara. Anak itu membuka matanya setelah tertidur karena kelelahan, dan kemudian ia terkaget setengah mati.

Muncul api-api dari luar kandang kuda itu.

Ringkikan kuda terdengar membahana, kuda-kuda itu berusaha untuk melepaskan diri dari rantai yang mengikat mereka pada kandang itu.

"AYAHHH! AYAHH, APII!"pekik anak itu, berusaha meminta tolong.

BRAK!

Dan kuda-kuda itu berhasil memutuskan rantai yang mengikat mereka. Mereka berlari keluar dari kandang itu.

CLANG!

Anak itu berdiri, lalu berlari dan merasakan rantai yang menahannya. Ia berusaha melepaskan rantai itu dari kedua tangannya, namun yang bisa ia rasakan hanyalah rasa sakit dan darah yang mulai mengalir dari pergelangan tangannya.

"Siapapun! Tolong!"pekik anak itu, berusaha terdengar.

WOSH!

Api mulai merambati kandang kuda itu. Anak itu berusaha melepaskan diri, menyelamatkan dirinya dari kobaran api.

BRAK!

Terdengar suara pintu yang dibanting. Anak itu menoleh ke arah sumber suara, kemudian wajah kagetnya terlihat.

Seorang anak yang tampak lebih tua beberapa tahun darinya, berdiri di ambang pintu, dengan sebuah kapak di tangannya. Wajahnya menghitam akibat efek arang.

"JONGIN!"

Anak itu berlari, berusaha membawa kapak di tangannya dengan cara diseret–saking beratnya. Ia berdiri di depan anak kecil yang dirantai tadi, kemudian mengangkat kapaknya.

"Rentangkan rantaimu, biar aku putuskan!"ucap anak itu.

Anak yang dirantai–Jongin–menurut, kemudian berdiri dan menarik tubuhnya sekuat-kuatnya agar rantai itu terentang lurus. Anak yang tadi mendatanginya pun mengangkat kapak itu, mempersiapkannya di udara.

CLANG!

Dan kemudian, ia melayangkan kapak itu pada rantai yang menahan Jongin.

BRUGH!

Tubuh Jongin terjerembab. Anak yang tadi membantu Jongin pun menghampirinya, kemudian membantunya berdiri. Jongin menatap anak itu, lantas airmatanya tak dapat ditahan lagi.

"Kak Jongdae!"

Jongin mendekap sosok bernama Jongdae itu, erat sekali. Jongdae membalas dekapan itu, mengusap punggung Jongin perlahan, membiarkan Jongin melampiaskan emosinya.

"Untunglah kau tidak apa-apa, brother!"pekik Jongdae.

Jongin melepas dekapannya, kemudian mengangguk. Ia menarik tangan Jongdae, kemudian membawanya untuk keluar dari kandang kuda itu.

WOSH!

BRUGH!

Atap di atas mereka mulai gemetar, dengan api yang melahapnya cepat. Jongdae dan Jongin menatap atap di atas mereka dengan ketakutan, kemudian mempercepat langkah mereka. Tangan mereka berusaha melindungi kepala mereka.

.

.

GROAH!

Dan atap di atas Jongin perlahan ambruk.

"JONGIN!"

BRUK!

DUAGH!

Jongdae mendorong Jongin, menyingkirkannya dari hantaman atap kayu itu. Jongin merasakan kepalanya terbentur ke arah bebatuan, kemudian menatap ke arah kandang kuda di hadapannya yang mulai dilahap api.

"Kak.. Kak Jongdae.."gumamnya, lirih.

"JONGINNNN!"

Suara seorang yeoja yang berteriak dari kejauhan terdengar. Pandangan Jongin terhadap kandang kuda di hadapannya mulai buram. Api melahap kandang itu dengan cepat, tak menyisakan apapun di sana.

Tangan Jongin terentang perlahan, gemetar. Airmatanya mengalir deras, terkumpul di tanah. Darah mulai mengaliri kepalanya, dan ia merasakan bahwa tubuhnya melemas. Tangannya berusaha menggapai sosok yang terjebak dalam kandang kuda itu.

"Kak.. Kak Jongdae.."

"JONGINNNN!"

.

.

Dan mata itu pun terpejam, tak sadarkan diri.

TO BE CONTINUE

Note :

Salam hangat, guys!

Well, di saat author-author lain memilih untuk membuat FF bertema Frankenstein gara2 kepengaruh mega-comeback EXO untuk 3rd Album : EX'ACT mereka, HAW berusaha membuat suasana berbeda, disesuaikan dengan Bulan Suci Ramadhan ini hehe

So, how is it guys? Prologue ini menceritakan masa kecil dari Jongin, our main lead!

So, let me know if you appreciate this FF by REVIEW and FAVOURITE, please!

HUANG AND WU