Perempuan berkepala dua yang memiliki darah Asia itu melangkah lunglai sembari meraba dinding bangunan apartemen yang bercat putih. Cuaca dingin khas malam di musim gugur tak terelakkan walau tubuhnya menghangat akibat efek minuman alkohol yang ditelannya tanpa pikir panjang beberapa waktu yang lalu. Mencoba untuk menghilangkan hal yang membuat sengsara pikirannya, namun justru membuat sengsara tubuh rentannya. Tangan kanan bertumpu pada dinding dan tangan kirinya memegangi kepalanya yang terasa berputar. Pekerja kantoran berparas cantik itu menyusuri koridor lantai ketiga dari bangunan itu, mencari letak apartemennya dengan kesadaran luar biasa minim.

'Bodoh sekali aku ini...' pikirnya disela kegiatannya itu.

Tak berselang lama, dilihatnya papan nama apartemen yang menunjukkan tulisan 'Ackerman' yang dicetak tebal. Kemudian, ia memasukkan kuncinya. Namun, ia tidak dapat membukanya.

"Bangs*t," umpatnya sebelum mengambil kembali kunci itu dan menyimpannya dalam kantong blazer hitam yang dikenakannya. Kemudian, ia mencoba untuk langsung menggerakkan engsel pintunya. Alhasil, terbuka dengan mudahnya. "Ah, lupa kukunci kah?"

Lalu, ia berjalan masuk dan melepas sepatunya. Baginya, perempuan bernama Mikasa Ackerman itu, sebuah kalimat basi seperti 'okaeri' atau apalah itu tidak penting ketika dirinya hidup sendirian seperti ini. Dengan kesadarannya yang kian melemah, Mikasa menyadari kehadiran sepasang sepatu lelaki yang dirasanya asing terletak di samping sepatunya.

"Masih ada sepasang?" gumamnya. "Besok akan kubuang."

Dan tepat setelah itu, tubuhnya tak lagi mampu untuk sadarkan diri.

oOo

Shingeki no Kyojin milik Hajime Isayama

A story written by RisaKuma

Sorry for everything that I did in this fanfiction

oOo

Pagi itu, Mikasa terbangun. Ya, terbangun dengan perasaan yang bercampur setelah menyadari dirinya telah berada di atas kasur dengan sprei serba putih beserta menyadari bahwa environment ruangan yang kini ditempatinya tidak sama-- katakanlah jauh berbeda dengan kamarnya, sesuai ingatannya yang ada dan tersisa.

Ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa berdenyut, "Dimana... aku?"

"Syukurlah kau sudah terbangun setelah semalaman merebut tempat tidurku." Suara bariton milik lelaki yang tidak dikenalinya itu terdengar dingin dan arogan, namun tetap membuatnya terkejut tanpa terlepas dari rasa kalut yang dirasakannya. Wujudnya muncul dari balik tembok, pria berwajah garang nan tampan, bersurai hitam berkilau yang mirip dengan milik Mikasa, beserta tatapan tajam dari manik kelamnya. Sudah pasti, Mikasa tidak mengenalnya. Pria itu menyilangkan lengannya di depan dada dan menyandarkan dirinya pada pintu yang terbuka setelahnya, tentu dengan tatapan yang membuat Mikasa menjadi tidak nyaman itu.

"S-siapa kau?" tanya Mikasa yang refleks menarik selimut ke arah tubuhnya, memberanikan dirinya yang tidak mungkin takut untuk 'kenalan' saja walau dengan sedikit was-was.

Pria itu menghela nafas, "Harusnya aku yang berkata seperti itu."

Mikasa terdiam, masih menatap pria itu dari kejauhan dengan lekat. Ia tidak akan membuka mulutnya sebelum pria itu mengeluarkan kata-kata yang membuatnya cukup tenang akan situasi.

"Siapa kau? Aku tidak akan melaporkan polisi atas tuduhan karena masuk ke dalam apartemen orang lain dalam keadaan mabuk dan membuat tuan rumah tidak nyaman."

Nah, itu. "Apa katamu? Masuk ke dalam apartemen orang lain?"

Mikasa mencoba stay cool dalam mengutarakan pertanyaannya. Ia tahu, memang ketidakberesan dari hal ini tampak nyata sejak semalam. Sejak ia menyadari kehadiran sepatu asing yang dikiranya milik mantan tunangannya dan untungnya tidak ia buang malam itu juga-- ah, sudahlah.

"Tapi, semalam aku melihat papan nama di depan itu bertuliskan 'Ackerman'. Aku yakin aku tidak salah," lanjutnya tegas, walau sudah sadar bahwa ia memang salah masuk. Yah, demi mempertahankan harga diri dari rasa malu-- katanya.

"Oh, ya? Jangan mencoba untuk mengganti topik pembicaraan seenaknya. Waktuku tidak banyak," tegur pria itu mulai bermuka masam. "Siapa namamu dan dimana kau tinggal?"

"Mikasa," jawab Mikasa singkat. Wajah pria itu masih datar sebelum mendengar ucapan Mikasa yang selanjutnya. "Mikasa Ackerman, tinggal di apartemen lantai tiga nomor empat belas. Jelas?"

Sepersekian detik Mikasa mampu melihat ekspresi lain dari pria itu selain berwajah masam atau datar, yaitu terkejut. Setelah itu, ya begitu saja. Pria itu sudah dapat membaca situasi dan bagaimana alur dari semua itu berjalan. Kemudian, pria itu bergumam pelan. Namun, suaranya masih dapat terdengar oleh Mikasa. "It makes a sense..."

Setelah itu, pria itu berdiri tegak dan berjalan meninggalkan ruangan sambil berkata, "Ini apartemen nomor dua belas, dua nomor dari apartemenmu. Pulanglah sebelum aku mengunci apartemenku dan kembali lagi di malam hari. Aku menaruh tasmu di lemari samping kasur. Jangan tinggalkan apapun disini agar aku tidak perlu repot-repot mengembalikannya padamu."

Mikasa beranjak dari kasur empuk itu dan menaruh selimut yang tadi ia tarik dengan asal. Ia harusnya sangat bersyukur, tertidur di apartemen milik seorang pria dan terbangun dengan mengetahui bahwa dirinya masih suci. Diambilnya tas kulit berwarna hitam yang diletakkan pria itu di lemari. Kemudian, ia berjalan keluar dari kamar pria itu, sepertinya. Mikasa menatap puluhan baju dan digantung dengan rapi beserta lemari-lemari yang bersih di dalam ruangan kecil yang ia masuki. Lalu, tanpa sengaja maniknya menangkap suatu pemandangan langka-- katakanlah seperti itu. A topless handsome guy yang berdiri tak jauh darinya itu menyadari kehadiran Mikasa dalam ruangan itu.

"H-Heck?!" Pria itu tampak terkejut dengan 'tampan' dan terhenti dalam aktivitasnya-- mencari pakaian yang layak dan bersih untuk dipakai bekerja hari ini.

Mikasa dapat merasakan rasa malu yang cukup berat pagi ini. Kemudian, ia segera berbalik dengan wajah menahan malu yang sebenarnya cukup datar. Dengan suara yang tidak disangka-sangka berubah menjadi sangat lembut dan pelan, Mikasa berucap, "Ma-maafkan atas kelancanganku..."

Mikasa dapat mendengar helaan nafas berat pria itu. "Levi."

Mikasa mengernyit dengan durasi kurang dari lima detik, "Hah?"

"Namaku," jawab pria yang bernama Levi itu singkat. Sebelum Mikasa kembali bertanya, ia melanjutkan perkataannya, "Kurasa itu akan diperlukan suatu saat nanti karena aku adalah tetanggamu."

Mikasa terdiam saja setelahnya, menunggu Levi selesai berpakaian mungkin.

"Apa yang kau lakukan dengan berdiri di sana?" tanya Levi dingin. "Sudahkah kau bereskan kasurku yang kau tiduri itu?"

'Haruskah aku?' pikir Mikasa. Kemudian, ia membereskan kasur itu dengan berat hati. Kalau saja ia tidak tidur disana semalam, ia tidak akan melakukan hal itu.

"Kau tidak buru-buru untuk bekerja?" tanya Levi lagi.

"Aku tidak bekerja di hari Sabtu," jawab Mikasa singkat.

"Apa?"

"Aku tidak bekerja di hari Sabtu," ulang Mikasa dengan volume suara yang lebih keras. "Apa pekerjaan anda sampai-sampai harus bekerja di hari Sabtu?"

Levi yang baru kembali masuk ke dalam kamarnya pun mengernyit. Alasan pertama, karena Mikasa yang mendadak formal di perkataan terakhirnya. Alasan kedua, karena mencari alasan agar dirinya tidak malu-- seperti itulah kiranya. Ia merapikan lengan jasnya yang berwarna cokelat muda itu sebelum menjawab dengan wajah dingin, "Seorang pria harus tampil rapi setiap hari."

"Ah..." balas Mikasa yang fokus dengan kegiatannya, membereskan kasur berukuran lebih dari dua kali lipat single bed yang hampir selalu ditidurinya setiap malam.

Dari balik 'topeng beku' Levi itu, terdapat hati yang lega karena Mikasa tidak sedang menatapnya ketika ia beralasan. Kemudian, Levi melirik Mikasa yang tampak kesulitan walau tidak mengeluarkan suara.

Levi membantu menarikkan sprei dari sisi yang lainnya dalam diam pada awalnya. "Kau tidak pernah melakukan hal seperti ini? Kau terlihat begitu kesulitan."

"Ti-tidak juga," balas Mikasa cepat. "Sepertinya."

Levi diam saja setelahnya. Setelah sprei sudah rapi, Mikasa menyusun dua bantal dengan katakanlah-- tidak rapi dan hal itu berhasil membuat Levi menjadi kesal.

"Tak bisakah kau meletakkannya dengan lebih rapi?"

"Apakah anda begitu perfeksionis?"

Levi kembali terdiam dengan benak yang dipenuhi kekesalan dan Mikasa memperbaiki letak kedua bantal bersarung putih itu sebelum ia kembali merusak mood dari pria yang mungkin menurutnya moody itu.

Canggung. Rasanya Mikasa ingin cepat-cepat pulang. "Bisakah aku pulang sekarang?"

"Tidak, sebelum kau membereskan selimut yang satu ini." Levi berhenti membantu Mikasa dan berjalan keluar dari ruangan, menuju tempat yang berbeda dari ruangan tadi. "Setelah itu pulanglah."

oOo

Mikasa merasa konyol setelah berhasil kembali dengan selamat, terlepas dari rasa canggung yang memudarkan rasa malu. Ia telah benar-benar melihat papan nama yang bertuliskan nama 'Ackerman' itu untuk kedua kalinya. Mana mungkin ada dua Ackerman tinggal di lantai yang sama. Mikasa ingin memastikannya lagi pada pihak apartemen. Mungkin, mereka salah pasang. Diletakkannya sepatu miliknya itu dengan sembarang. Kemudian, ia berjalan masuk dan menatap seisi apartemennya yang dapat dikatakan cukup 'messy' dengan perabotannya yang minim. Terakhir kali ia beres-beres adalah minggu lalu, sekalian ronde terakhir dari membuang seluruh barang milik mantan tunangannya yang masih ada di sekitar lingkungan apartemennya. Menurutnya, mungkin itu cara tercepat untuk move on.

Alih-alih dari hal itu, Mikasa segera melepas pakaian kerjanya yang kusut karena dibawa tidur semalaman, membawanya dan berjalan menuju kamar mandi hanya dengan memakai pakaian dalam. Who cares? Ini apartemen miliknya sendiri. She can rule anything-- itulah faktanya. Lalu, ia menaruh pakaiannya di sebuah kantong. Ia selalu memakai jasa laundry sejak ia tinggal sendirian di Kota Rose. Bukan semacam efisiensi waktu, hanya saja dirinya memang malas melakukan hal itu. Setelah itu, ia menyalakan shower dan berdiri diam di bawahnya. Tubuhnya terasa gerah dan berkeringat semalam.

Keluar dari kamar mandi, Mikasa hanya membalut tubuhnya dengan dua buah handuk, satu membungkus rambutnya yang basah dan satunya lagi untuk mengeringkan badannya. Ia memasuki kamar tidurnya dan membongkar kantong laundry yang sudah bersih dengan wajah datarnya. Kemudian, ia menarik kaos hitam berukuran besar dari kantong tersebut dan memakainya. Setidaknya, dengan satu baju dapat menutupi tubuhnya hingga sepertiga bagian pahanya. Mikasa kembali berjalan menuju ruang tengah, mengambil ponsel pintarnya dan kemudian mengisi baterainya. Teknologi jaman sekarang sangat membantu kemalasan dan ketidaksabaran Mikasa, kini ponsel saja dapat di-charge lebih cepat dari biasanya.

Diliriknya jam dinding digital yang menunjukkan pukul 09.03 AM. Selanjutnya, ia melangkah menuju dapur dan memasak air untuk menyeduh mie instan. Ia membuka pintu lemari stok yang tak berisi apapun. Well, it means... Dia hanya akan memesan jasa pesan antar makanan dari restoran cepat saji yang menyediakan menu sarapan. Wajah datar Mikasa berubah menjadi kusut. Ia kembali ke ruang tengah, mengecek ponselnya yang kini baterainya terisi sebelas persen. Cepat sekali.

Jarinya bergerak lincah dalam melakukan pencarian aplikasi alarm berbasis ChatBot Artificial Intelligence yang memakai karakter anime sebagai surface-nya. Sungguh, Mikasa bukan otaku. Hanya saja, aplikasi itu sangat membantu Mikasa dalam memberikan informasi horoskop hariannya dan perkiraan cuaca di Kota Rose.

'Sekarang pukul sembilan lewat enam pagi,' ucap ChatBot bernama Asuka itu, disertai senyumnya yang mampu membuat ribuan otaku di dunia merasa senang.

Mikasa menekan tombol yang bertuliskan 'Talk' sembari melihat daftar menu restoran cepat saji yang ditempel di dinding, "Bagaimana ramalan bintangku hari ini, Asuka?"

'Ramalan bintang anda hari ini jatuh pada urutan keduabelas. Warna keberuntungan anda adalah hitam. Benda keberuntungan anda adalah nasi hangat.'

"Heck," umpat Mikasa. "Apa maksudnya dari nasi hangat yang membawa keberuntungan?"

Kemudian, ia menelpon restoran cepat saji dan memesan seember ayam goreng beserta nasinya, agar tidak susah-susah memesan lagi untuk makan siang, makan malam dan makan untuk besoknya lagi. Sungguh, hidup yang tidak sehat. Banyak teman dekatnya yang heran, dengan gaya hidup Mikasa yang 'messy' seperti saat ini, Mikasa tetap memiliki tubuh yang baik-baik saja. Berat badannya konstan, kulit dan rambutnya masih tampak terurus. Mungkin dewi kecantikan menyayangi Mikasa sejak lahir. Siapa dewi kecantikan itu? Entahlah.

Mikasa terduduk di atas sofa yang empuk, satu-satunya perabot yang tampak paling bersih diantara yang lain. Dinyalakannya televisi yang layarnya cukup lebar itu dan kemudian menelusuri setiap saluran agar dapat menemukan sesuatu yang layak ditonton. Setidaknya ia harus bisa beristirahat dengan cukup hari ini, karena besok adalah jadwal mingguannya untuk membereskan apartemennya. Mikasa bosan. Sudah berapa minggu ia sudah tinggal sendirian-- tak lagi dengan tunangannya? Enam minggu? Delapan minggu? Mungkin sembilan minggu lebih? Entahlah.

Mikasa menekan otot perutnya yang kini tidak terlalu terbentuk lagi karena sudah jarang dilatih. Ia terus mengganti saluran, hingga kembali ke saluran paling awal. Namun, ia tetap mengganti saluran hingga beberapa kali mengulang. Sesekali helaan nafasnya terdengar. Kemudian, telinganya menangkap bunyi getaran notifikasi dari ponselnya. Mikasa berdiri dengan malas dan melihat notifikasi tersebut.

Hanya sebuah e-mail dari temannya, Armin Arlert. 'Apakah kau sibuk hari ini, Annie?'

"Kurasa kau salah kirim, Armin," gumamnya pelan. Mikasa hanya menghela nafas setelahnya dan menunggu sahabatnya itu menyadari kesalahannya-- ia malas mengetik sekarang.

Pesan selanjutnya pun diterima tak lama kemudian. 'Maaf, Mikasa. Aku salah kirim.'

Mengingat bahwa Armin bekerja di agensi apartemen yang ditinggalinya di bagian administrasi, Mikasa pun membalas pesan Armin, 'Tidak apa. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Kau sedang di kantor?'

'Ya, ada apa?'

'Terdapat kesalahan pencetakan nama di kamar nomor 312 dan itu membuatku bingung. Tidak mungkin ada dua Ackerman disini.'

'Aku cek sebentar...' Terdapat jeda sebelum Armin mengirimkan pesan selanjutnya. 'Mikasa, mengenai penghuni apartemen 312 itu, kami rasa tidak ada kesalahan atas pencetakan papan namanya. Nama pemiliknya adalah Levi Ackerman. Bukankah ia keluargamu?'

Mikasa terdiam. Katakanlah dirinya-- terkejut dengan apa yang baru saja ia baca. "Oi, oi... Apa Armin mengajakku bercanda?"

Tepat sebelum Mikasa menulis balasan dari pesan Armin, bel berbunyi. Pesanannya telah tiba. Mikasa melangkah sembari berkata, "Tunggu sebentar."

Ia membuka pintu apartemennya dan menundukkan kepalanya sedikit agar dapat melihat wajah 'Sang Pengantar Pesanan' yang memasang wajah garangnya. Mikasa terkejut dan untungnya tidak mengeluarkan suara aneh. Ditatapnya Levi yang memakai kaos putih oblong dengan celana jeans dengan membawakan sekantong plastik besar pesanannya. Mikasa langsung mengambilnya. Namun, cukup tidak disangka oleh Mikasa bahwa Levi ternyata lebih pendek sekitar sepuluh senti darinya.

"Pesananmu ini nyasar ke tempatku."

Mikasa melunak, "Oh, benarkah? Kalau begitu, maaf. Bagaimana bayarannya?"

"Sudah kubayar," jawab Levi singkat. Kemudian, ia bergegas kembali ke apartemennya. "Tidak usah kau ganti."

Dengan secuil dari kebaikannya, Mikasa menarik ujung kaos Levi. "Kau tidak ingin makan bersama?"

"Aku tidak makan junk food," ujar Levi datar. "Dan juga, aku sudah sarapan sebelum kau bangun tadi."

"Oh," gumam Mikasa. "Benarkah?"

Levi menatapnya heran. "Kau tidak ingin melepaskan baju--"

"A-Ah, maafkan aku." Mikasa langsung melepaskan genggamannya dan refleks menundukkan kepalanya. Di mata Levi saat ini, Mikasa tampak seperti seekor kucing yang katakanlah-- kesepian?

Levi menghela nafas. Diliriknya papan nama dengan tulisan 'Ackerman' di depan apartemen Mikasa. "Kau..."

"Ya?"

Melihat ekspresi Mikasa yang semi terkejut itu, Levi sempat kehilangan kata-katanya. Ia segera mengalihkan pandangannya menuju letak apartemennya sendiri. "Karena kau mungkin memiliki ikatan keluarga denganku, kau bisa menghubungiku ketika aku tidak sibuk."

Setelah itu, Levi berlalu meninggalkan Mikasa yang masih mencerna ucapannya barusan. "H-hah?"

oOo

To be continued

oOo