"Ara ... kalian sudah datang rupanya. Mari, Silahkan masuk." Ucap Seorang coret pria coret wanita, berdiri menyambut ketiga tamunya.
Ketiga manusia itu mengangguk seraya tersenyum.
"Ah, terima kasih, tante Orochimaru." Balas salah seorang pria berwajah baby face mewakili kedua adiknya.
Ketiga orang tersebut beranjak masuk mengikuti sang tuan rumah ketika, langkah sang bungsu terhenti mengamati bangunan tersebut.
"Semoga ini akan menjadi awal yang baru." Gumamnya. Walaupun, harus dia akui kalau dia sedikit takut dengan bangunan beraura Spooky tersebut.
.
.
KOST-AN
.
Naruto disclaimer by Masashi Kishimoto
Warnings:
AU, OOC, dan mungkin Typo sedikit bertebaran.
.
Fanfik pertama di Fandom NARUTO.
~Mohon bimbingannya, Minna-san~
Enjoy it~
.
.
Haruno Sakura, gadis imut yang baru saja memasuki jenjang kuliahnya, menatap horror bangunan tua di depannya.
'KOST PUTRA DAN PUTRI TANTE ORO'
Yak, begitulah tulisan yang sedari tadi di pelototin oleh Haruno bungsu ini. Kedati tulisannya 'tante', yang menyambut mereka adalah seorang om-om cantik yang sakura yakini lebih tua dari kedua orang tuanya.
"Ada apa, Saki?" 'Si tengah Haruno' memandang sang adik dengan tatapan heran.
"Nii-chan, Ano ... etto ...," gugupnya.
Sakura masih mengamati tempat itu dengan ragu-ragu.
"Tenanglah, tempat ini tak seburuk kulit luarnya." Kini Sang sulung yang menimpali seraya menggenggam tangan Si bungsu. "Ayo, masuk." Lanjutnya seraya menuntun Sakura.
Mereka bertiga mengikuti sang tuan rumah hingga ke ruang tengah.
"Nah, Silahkan duduk dulu."
Ketiga Haruno itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Jadi, ini Si putri Haruno?" Orochimaru mencoba berbasa – basi dengan calon anak kostnya.
"ah ... Iya pa-Gyuut-eh, etto ... tante." Balas Sakura sedikit kikuk. Emerald-nya mendelik tajam ke arah si kakak tertua yang telah mencubit lengan kirinya.
Orochimaru tersenyum, "Tak kusangka, kakaknya Sasori lebih imut darinya." Ucapnya tanpa pikir panjang.
Sasori Haruno mendelik tajam sedangkan, kedua adiknya menahan tawa.
"Ano naa, tante, dia ini adikku!" terang Sasori dengan wajah tak rela.
Bukan kali ini saja orang-orang mengira kalau Sakura itu kakaknya.
"Eh! Kalau begitu maafkan aku. Kupikir dia kakakmu, Sasori. Habisnya, kau terlihat lebih pendek darinya."
Sasori makin melotot mendengarnya sedangkan, Sakura sudah tak dapat menahan gelak tawanya.
"Hahaha ... Ya ampun, tante Oro. Ternyata tante juga sepemikiran dengan yang lainnya." Gelak Sakura seraya memegang perutnya.
Wajah Sasori kini semakin manyun beberapa senti dengan pelototan tajam ke arah Gaara, meminta pembelaan. Yang sialnya, diacuhkan oleh pemuda panda di sampingnya.
"Hahaha, maafkan aku, Sasori. Nah, Sakura-san, Aku telah mendengar dari kedua kakakmu kalau kau akan melanjutkan studi di sini. Orang tua kalian juga sudah mengabariku tadi."
"Hem." Sakura menganggukan kepalanya antusias. "Tahun ini saya baru masuk ke Universitas Suna, Tante." Terang gadis itu dengan manik berbinar.
Dari dulu, bersekolah di Suna merupakan impian Sakura-biar dia bisa dekat dengan kedua kakaknya.
"Begitukah? Jurusan apa?"
"Kedokteran." Jawabnya.
"Naruhodo, kau dan Sasori benar-benar serupa. Jadi, hanya Gaara yang mengambil jurusan berbeda?" Orochimaru mengangguk paham.
"Aku tak tertarik dengan dunia kesehatan, Tante." Timpal si tengah Haruno yang sedari tadi diam. Dibandingkan kakak dan adiknya, Gaara Haruno adalah yang paling diam dan tenang. Bahkan, dialah yang sering dikira Si Sulung Haruno.
Tersenyum tipis, Orochimaru berdiri dari duduknya, "Saa, mari ku antarkan ke kamarmu, Sakura-san." Ucapnya.
Mereka bertiga turut berdiri dengan Gaara dan sasori yang membawa barang-barang adiknya.
.
.
.
Sakura mengamati setiap sudut rumah ini. Rumah yang akan menjadi rumah keduanya selama dia hidup di Suna. Setelah mengamati beberapa sudut, manik hijau gadis itu nampak berbinar kagum.
Benar kata Sasori, rumah ini tak seburuk kulit luarnya. Kalau dilihat dari luar, rumah ini seakan rumah tua tak terawat dengan kesan Spooky yang begitu kental. Tapi, begitu melihat ke bagian dalam, rumah ini malah jauh dari kesan 'Spooky' itu sendiri.
Rumah Kost ini memiliki struktur bangunan dengan gaya Jepang tradisional. Di tengah-tengah bangunan ini terdapat halaman luas dengan sebuah kolam ikan dan sebuah pohon sakura di samping kolam tersebut.
"Nah, tempat itu adalah halaman jika kau ingin menjemur pakaian." Terang Orochimaru ketika menyadari Sakura memperhatikan halaman tersebut. "Di sana juga merupakan tempat untuk berkumpul kalau kita ada acara khusus," tambahnya.
Sakura menganggukan kepalanya seraya tersenyum. Gadis itu tak tahu harus merespon seperti apa. Mengingat, kedua kakaknya selalu memperingatinya untuk tidak memanggil Orochimaru dengan sebutan Paman, Om, maupun Mas. Lebih baik dia menjawab dengan kata 'ya', atau senyuman seraya menganggukan kepalanya.
Awalnya, Sakura mengira kalau Orochimaru itu pria tetapi, setelah melihat langsung dengan kedua iris emerald-nya, gadis itu mengerti maksud kakaknya.
Orochimaru adalah seorang wanita berdada lebih rata darinya walaupun wajahnya memang cantik.
Itulah kesimpulan yang diambil oleh Sakura dan dari hatinya yang paling dalam, Haruno bungsu tersebut tengah sujud syukur.
.
Setelah melewati beberapa lorong dan menjelaskan fungsi serta aturan yang berlaku di rumah tersebut, ketiga Haruno beserta Tante Oro berhenti di depan sebuah pintu berwarna merah muda dan papan nomor bertuliskan angka 'lima'.
"Nah, Sakura-san, ini kamarmu. Kemarin kedua kakakmu sudah merapikannya untukmu. Aku juga sudah mengubah warna pintu kamar ini sesuai dengan pesanan mereka. Jika ada yang ingin kau tanyakan, kau bisa menemuiku di ruang utama. Selamat beristirahat." Orochimaru tersenyum seraya pergi meninggalkan ketiga saudara tersebut.
.
.
"Nee ... Nee ... Nii-chan, kalian tak bilang kalau Kostan ini termaksud Kostan elit." Cecar Sakura seraya memindahkan baju-bajunya ke dalam lemari.
"Aku sudah bilang, Saki-chan. Tapi kau yang tak mendengarkanku!" jawab sulung Haruno itu seraya merebahkan diri di kasur sang adik diikuti oleh Gaara.
"Hah? Saori-Nii tak pernah mengatakannya padaku! Nee, Gaa-Nii?" Kini emerald itu menatap Gaara.
"Saso-Nii, Saki!" tegur Sasori. Terima kasih wahai kau, adik durjana. Berkat Sakura, Sasori memiliki banyak nama panggilan.
"Tidak. Kami sudah sering mengatakannya padamu. Lagipula, Papa dan Mama tak akan mengizinkanmu tinggal di Kostan yang tidak jelas, Saki." Gaara menjawab dengan mata yang terpejam. "Aku lelah." Lenguhnya sambil menarik boneka beruang besar milik Sang adik-yang sudah dia siapkan karena Sakura tak bisa tidur tanpa boneka.
"Gaa-Nii, nyebelin!" Sakura mencibir seraya berusaha menarik boneka itu menjauh dari Gaara.
Selagi Sakura dan Gaara saling berebut boneka, Sasori berdiri dari tidurnya guna mencari selimut dan Barbie yang Sakura bawa.
"Saos-Nii, sepertinya aku mengerti kenapa kalian melarangku memanggil tante Oro dengan sebutan paman."
Sasori mendelik ke arah Sakura, begitupun Gaara yang langsung membuka kedua jade miliknya.
"Benarkah?" tanya Gaara.
"Hem." Gadis itu mengangguk mantap dengan aura penuh keyakinan.
"Kenapa?" kini Sasori yang bertanya dengan raut wajah penasaran. Sasuga, adik bungsunya memang hebat dalam menganalisa. Dia dan Gaara saja baru mengerti setelah tiga bulan tinggal di sini tetapi adiknya, dalam waktu kurang dari sehari sudah bisa mengerti.
"Karena, Tante Oro adalah Wanita." Jawab gadis itu mantap, tanpa ragu.
Sasori melotot sedangkan, Gaara mendelik tak percaya. Sulung Haruno itu mengusap wajahnya frustasi dan langsung menarik pemikirannya tadi. Adiknya itu sama payahnya dengan dirinya dan Gaara.
"Ya walaupun, tante Oro memiliki aura maskulin di tubuhnya, serta dada yang lebih rata daripada milikku, tante Oro tetaplah seorang wanita. Aku sedikit mengerti perasaanya ketika dia dipanggil dengan sebutan Om, maupun Mas, apalagi Paman." terang gadis itu dengan senyum lebarnya.
"Haaah." Sasori menghela napas panjang dan Gaara kembali menutup wajahnya dengan boneka beberapa detik.
"Kenapa, Sabu-Nii?" emerald Sakura mengerjap heran.
"Saso-Nii, Saki-chan!"
Sakura menghiraukan teguran Sasori.
"Saki," Gaara menepuk pelan pundak sang adik, membuat emerald itu beralih menatapnya dengan tatapan heran. "Tante Oro itu lelaki tulen." Terang Gaara datar, singkat, dan mudah dimengerti.
"Eh?"
Jdeer ...
Bagaikan badai di siang bolong tanpa hujan, jiwa Sakura seakan keluar dari raganya.
"Ja ... ja ... jadi ... pe-pemilik k-kost ini ba-ba-banci?" gagapnya tak percaya dengan Manik yang berkaca-kaca, serta menggenggam erat tangan sang Kakak bungsu.
Gaara yang mendapati raut sang adik yang hendak menangis memberikan sinyal mata kepada sang kakak.
Jujur atau bohong?
Itulah kode yang dikirimkan oleh Gaara dan hebatnya langsung dimengerti oleh Sasori.
Menghela napas sejenak, Sasori mendekati si Gulali dan mengacak surai permen kapas itu.
"Tenanglah, Saki-chan. Tante Oro bukan banci." Sasori mencoba menenangkan Sang adik.
"Jadi?"
"Ehm ...," Sasori nampak memikirkan kata yang pas. "Feminims ...," lanjutnya ragu.
Gaara menghela napas-lagi-sedangkan, Sakura baru saja akan merasa lega kalau saja, Sasori tidak menambahkan sebuah kata baru ...
"Mungkin." Cengirnya tanpa dosa, diiringi teriakan Sakura yang meminta untuk pulang ke rumah dan Gaara yang menutup kedua telinganya.
.
.
.
"Saki-chan, sampai kapan kau akan bergelanyut di lengan kakak gantengmu ini?" Sasori menatap lelah sang adik yang sedari tadi enggan melepaskan tangannya.
"Aku mau pulang, Nii-chan." Isaknya.
Bukannya melepaskan, Sakura semakin mempererat pelukannya dan membenamkan wajahnya di lengan sang kakak.
"Saki, Saso-Nii tadi hanya bercanda. Tante Oro itu lelaki dan bukan banci. Hanya gayanya saja yang sedikit cantik." Gaara turut turun tangan menenangkan adik gulalinya itu.
Semenjak percakapan absurd mereka tadi, sakura enggan melepaskan kedua lengan kakaknya-secara bergantian-dan menangis minta pulang.
Gaara dan Sasori mencoba mengerti. Kedati adiknya itu tak ada kesan feminim dan terkenal brutal sejak SD, Sakura tetaplah seorang gadis yang memiliki rasa takut terhadap hal-hal tertentu. Kecoa, banci, dan tempat gelap merupakan salah satu contohnya.
Tentunya, hanya keluarga mereka sendiri dan beberapa sahabat sakura yang tahu titik kelemahan gadis itu.
"Benarkah?" gadis itu menatap Gaara dengan wajah sembabnya.
Gaara dan Sasori mengangguk bersamaan.
"Jika kau takut, sebaiknya kau tetap menganggap Tante Oro itu perempuan, atau kau tak usah berkomunikasi maupun melihat wajahnya. Toh, dia jarang ada di rumah." Usul Sasori.
Sakura mengangguk seraya melepaskan lengan pemuda merah itu.
"Good girl!" Sasori menepuk pelan pucuk kepala Sakura diiringi senyuman tipis dari Gaara.
Ketika tiba di tikungan ke arah kamar Sasori dan Gaara, langkah ketiga Haruno itu terhenti.
"Sasuke, buka pintunya!"
Dor ... Dor ... Dor ...
"Oy, Sasu! Aku tahu kau mendengarku! Cepat buka pintunya, adik durjana!" teriak seorang pemuda yang terlihat seusia Sasori, tengah menggedor sebuah pintu tak bersalah secara brutal.
"Sasu-
"Itachi?/Itachi-Nii?" sapa ketiga makhluk itu dengan raut heran.
"Eh, Haruno triple? Apa yang kalian lakukan di sini? Apa kakak perempuanmu datang berkunjung, Sasori?" Aksi gedor menggedor pintu itu terhenti ketika, sang pelaku mendapati triple Haruno's berdiri tak jauh dari posisinya.
"Hah! Apa maksudmu, Itaik!? Ini adik gue, bego'! Sakura, Haruno Sakura. Lu tau gue anak sulung, nyet!" sembur Sasori.
Sahabat sejak zaman oroknya ini memang kurang ajar dan suka berbicara asal ceplos. hanya Sasori-beserta adiknya, Para Akatsukiers, dan keluarga Itachi-lah yang tahu, kalau otak pemuda tampan beraura dewasa ini otaknya sengklek seperempat bagian.
"Gomen ... Gomen ... Saori, Aku hanya bercanda. Lagipula, salahmu juga yang terlalu pendek."
Tuh kan, Sasori bilang apa, Itachi itu kalau ngomong ceplas-ceplos.
Mendelik tajam dengan aura tak terima, Sasori melipat kedua tangannya di depan dada. "dengar ya, Itaik. tinggi gue itu 164,1 senti. nah, adik gue yang ini-Sasori mencubit pipi bakpaonya Sakura-tingginya 164 senti. Gue masih tinggi dari dia." Terang Sasori penuh kebanggaan.
"Dan, tinggiku 168 senti." Sambung Gaara dari belakang.
"Gaara, Teme!"
"Apa, Nii-san? Aku hanya memberitahu Itachi-Nii tinggiku supaya dia tak bertanya nanti." Ujarnya datar tanpa dosa.
Tawa Itachi dan Sakura meledak.
"Sas, Sas, Tinggi lu sama adik cewek lu cman beda nol koma aja bangga. Hahaha ..."
"Kamvret lu, chi!"
Sasori membuang muka dengan tatapan kesal. Tangannya tak henti mencubit kedua pipi Sakura hingga sang empu merintih kesakitan.
"Berantem sama Sasuke lagi, Kak?" tanya Gaara yang sedari tadi jengah dan ingin segera tidur di kamarnya. Selagi ada Sakura, dia akan meminta adiknya untuk merapikan pakaiannya.
"Haah, begitulah. Sasuke lagi-lagi kabur dari acara keluarga." Terang Itachi seraya menghembuskan napas lelah.
"Sasuke?" cicit Sakura seraya mengelus kedua pipinya yang memerah.
"Ya, Sakura. Kau tentu tak lupa dengan Sasuke, kan?" tanya Itachi sambil tersenyum.
"Eh?" manik emerald itu melebar.
"Uso ... Sasuke tinggal di sini juga?" ucapnya tak percaya.
Itachi menganggukan kepalanya.
"Ah ya, Saki-chan, Nii-chan lupa bilang kalau Sasuke juga tinggal satu Kost dengan Kami." Jelas Sasori.
"Eh ... Uso." gumam gadis itu dengan emerald yang semakin melebar.
Bagaimana ini?
Sial! Tahu begini, lebih baik Sakura akan tetap tinggal di Konoha daripada bersusah payah untuk pergi jauh ke Suna. Harapannya untuk hidup tenang bersama kedua kakaknya pupus sudah.
t.b.c
