Maze Runner Trilogy belongs to James Dashner.
This is a work of fiction and is the product of the author's imagination.


a) an aladdin's cave

"Halo!"

Semprotan air yang barusan dipakai untuk memberi minum kaktus-kaktus mini, Minho taruh di sebelah deretan pot. Dia melihat ke bawah dari balkon, ke arah sosok asing berambut pirang yang sedang melambaikan tangan padanya, mata menyipit sebagai sebuah usaha untuk beradaptasi dengan sinar mentari, bibir mengulas senyum yang kemudian menular padanya pada detik kelima.

"Oh, hai!" Minho balas menyapa.

"Aku Newt, tetangga barumu."

"Aku Minho," timpalnya. Senyum semakin lebar, mata ikut melengkung. "Senang bertemu denganmu."


b) bring home the bacon

Thomas datang ke rumahnya bersama tas besar berisi gitar di pundak. Mereka duduk di halaman depan dan mulai mempelajari kor lagu untuk pentas seni terakhir di sekolah. Minho memetik gitar sembari bercerita perihal tetangga baru di rumah sebelah dan itu berhasil membuat mata Thomas menatap penuh rasa ingin tahu.

"Kita harus kenalan, lalu ajak dia berkeliling." saran Thomas, yang mana langsung Minho tertawakan dalam hati.

"Namanya Newt." jawabnya enteng, tiba-tiba ingin menyombongkan diri.

"Kau tahu?"

"Tentu," jawabnya, semakin gencar mengejek keterkejutan di wajah Thomas, bibirnya kembali mengulas senyum remeh. "Kami sudah berkenalan tadi pagi, tinggal keliling kompleks."


c) call the shots

"Newton. Newt, pendeknya." Newt tersenyum seraya menjabat tangan Thomas setelah Minho mengenalkan anak itu padanya.

Ada gurat kagum terlukis di wajah Thomas yang hanya disadari oleh Minho seorang dan itu membuatnya sedikit waspada tanpa alasan jelas. Secara refleks dia menyentuh pundak Newt, mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. Tidak tahu apa pasal. Hanya merasa harus.

"Ayo, aku akan mengajakmu berkeliling."


d) doom and gloom

Kali pertama Minho merasa sangat jengkel setelah sekian lama adalah ketika dia berpapasan dengan Thomas dan Newt di pertigaan, mereka berjalan berdampingan, senyum dan tawa ada di bibir mereka. Itu bukanlah hal yang ingin dia lihat setelah hari melelahkan di sekolah.

"Minho, semester terakhir Newt akan dihabiskan di sekolah yang sama denganku." kata Thomas seraya melebarkan senyum. Netra cokelatnya adalah cerminan riang.

"Itu bagus." jawabnya datar, berlalu begitu saja, meninggalkan Newt yang bertanya pada Thomas apakah Minho memang sedang dalam mode judes atau ada yang salah pada dirinya.


e) eat someone's dust

"Kemarin itu seru." ujar Thomas, membicarakan tur studi di sekolahnya.

Sekolahnya dan sekolah Newt, tepatnya.

Alih-alih menjadi sinis dengan berujar, "Karena bareng Newt, bukan?" dia hanya mengangkat alis, berekspresi seolah-olah tertarik. Dia tidak iri, tentu saja tidak, iri sangat bukan dirinya. "Oh, ya?"

"Ya," jawab Thomas, semantap sorot di mata cerdasnya. Ada kesunyian menyapa. Detik berikutnya, Thomas kembali membuka suara. Wajah sudah semerah ros. "Aku suka Newt."

Minho refleks menatapnya, memperhatikan keseriusan di wajah Thomas, lalu dia mengangguk, tetap berakting keren sebagai usaha menyembunyikan ketidaksukaannya atas satu kalimat berkata tiga itu.

"Oh, begitu."

Minho tidak iri. Dia cemburu.


f) fortune favours the brave

Ketika Newt menemuinya pagi itu, Minho sedang menyiram tanaman. Tangan kiri bertengger di pinggang, tangan kanan memegang selang, indera pendengar tersumpal fon telinga yang melantangkan lagu-lagu populer The Stone Roses hingga mulut ikut bersiul.

"Halo,"

Masih bersiul, sapaan teredam suara Ian Brown.

"Halo, Minho."

Minho menoleh, volume musik diturunkan hingga tingkat satu, sayup-sayup, tapi masih terdengar. "Hai."

Newt menatapnya serius, tangan terlipat di atas tembok rendah pembatas rumahnya dan rumah Minho. "Sampai hari ini, kita masih berteman?"

"Tentu." katanya setelah sempat dibuat bingung oleh pertanyaan itu.

"Bagus," Newt tersenyum, merogoh saku celananya, lalu menyodorkan selembar tiket bioskop. "Besok jam tiga sore, kutunggu kau di lapang."

Minho masih termangu, menatap kertas kecil dengan informasi judul film, jam tayang, dan lokasi tempat duduk yang ada di tangannya, terlalu senang hingga tak sadar bahwa Newt sudah berbalik hendak masuk kembali ke rumahnya.

Dia mengantongi tiketnya, tersenyum lebar seperti baru memenangkan lotre. Seraya menatap punggung Newt, dia bernyanyi setengah menggumam, "Sent to me from heaven. Sally Cinnamon, you're my world."


g) game on

Jam tiga sore ketika Minho tiba, Newt sudah menunggunya di pinggir lapang seraya menyaksikan teman-temannya bermain bola. Jujur, itu membuat Minho merasa agak canggung, mengingat keberangkatan mereka pasti akan dilihat banyak orang.

"Ayo, Minho."

Newt berusaha merangkul pundak Minho, tapi ditampik segera karena di saat bersamaan, Thomas melayangkan satu tatap singkat ke arah mereka, lalu pura-pura melihat ke arah lain dan berteriak memanggil Chuck Si Anak Bawang untuk melempar bola. Terlalu jelas untuk disembunyikan.

"Ada apa?" tanya Newt.

"Tidak ada," katanya. Dia mulai berjalan mendahului, melewati jalan setapak dengan Acalypha siamensis rimbun yang mulai ditumbuhi tali putri di kanan dan kiri jalan. Ketika mereka melewati sebuah pohon palem kipas, dia berucap. "Thomas."

"Apa?" Newt bukannya tidak mendengar, hanya memastikan bahwa Minho tak salah memanggil namanya.

"Apa yang apa?"

"Barusan kau memanggilku Thomas."

"Bukan," kata Minho. "Maksudku, Thomas menyukaimu."

"Dia tidak pernah bilang sampai saat ini."

"Aku tahu, tapi aku juga serius." ungkapnya. "Dia mengatakannya padaku."

"Lantas kau tak menyukaiku?" tanya Newt, bersedekap dengan mata menatap mata.

Minho terdiam. Pertanyaan Newt terdengar serius, sangat serius hingga dia berdecak kesal karena tak kunjung mendapatkan jawaban tepat. "Apakah aku harus menciummu saat ini juga untuk membuat semuanya menjadi lebih mudah?"

Newt tertawa. "Sialan."

"Ya, sialan."


h) hitch horses together

"Mana yang lebih kau suka?" tanya Newt ketika dia berbaring di atas perutnya sementara Minho membaca buku, sama-sama berada di pekarangan rumah Newt yang berumput, satu hari setelah mengikuti ujian masuk universitas. Dia menunjukkan tiga karyanya, meminta pendapat supaya yang terbaik bisa dipajang di ruang tamu.

Minho berhenti membaca untuk menilai satu per satu. "Semuanya," jawabnya kemudian. "Favoritku lukisan pointilisme Isaac Newton, tapi aku suka semuanya."

"Aku sudah bilang padamu, kau tak perlu mengatakan suka pada setiap gambar atau lukisanku jika kau tak benar-benar menyukainya."

Namun Minho itu brengsek.

Dia tetap santai membaca bukunya, padahal pipi lawan bicara mulai merona ketika dia mengucapkan, "Maaf, tapi aku suka semuanya tentangmu."


i) improve the shining hour

"Hujannya semakin deras. Kapan kita bisa pergi?" ujar Newt sembari menatap hujan dari balik jendela, khawatir kencan pertama mereka batal. Kemudian dia menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, mulai bosan melihat titik-titik air yang berjatuhan dari langit karena proses evaporasi.

"Sudah berdoa minta hujannya segera reda?" tanya Minho.

"Sudah," jawab Newt. "Tapi kelihatannya doaku tidak dikabulkan."

"Mungkin kau kurang kreatif," kata Minho seraya menyeringai. "Jika kau berdoa meminta hujan segera berhenti, tapi tidak terkabul, berdoa minta didatangkan angin saja supaya awan hujannya tertiup, lalu pergi."

Newt mengerutkan alis, menatapnya penuh ejekan, lalu mulai mencibir. "Aku baru dengar ada kreativitas dalam berdoa."

Minho tertawa. Diam-diam bersyukur hujan turun begitu deras, ganas, tumpah ruah, sedangkan mereka tertahan di dalam rumah. "Aku juga sudah coba," katanya. Dia menggeser tubuhnya mendekat, lengan bersinggung lengan, menghantarkan hangat yang menyenangkan. "Dulu sewaktu aku menyukaimu, tapi kau belum menyukaiku, aku pernah berdoa supaya Tuhan menghapuskan rasa yang kupunya. Ternyata doaku tidak terkabul. Ya sudah, kuganti saja. Aku minta supaya kau juga dianugerahi perasaan yang sama."

"Minho."

"Ya?"

"Jadi sejak kapan kau mulai membaca novel roman?"


j) joker in the pack

Pada kencan kedua, mereka bertemu salah satu dari sekian banyak kawan lama Newt. Mereka sempat saling merangkul, menyampaikan kerinduan setelah lama tak berjumpa, bertukar kabar satu sama lain.

Kemudian, Newt menepuk pundak Minho. Dia menatap temannya, lalu berkata, "Kenalkan, ini Minho."

"Pacar Newt." katanya, menyeringai seraya menjabat tangan lawan bicara.


k) keen as mustard

Minho terbangun di pagi buta karena seseorang melempari jendela kamarnya menggunakan kerikil. Kala membuka pintu kamar, dia tak terkejut melihat Newt sudah berdiri di sana, tersenyum lebar seraya melambaikan tangan. Pakaiannya sudah berganti, bau tubuhnya pasti sesegar wajahnya, rambutnya agak basah baru disisir.

"Ayo, Minho."

"Sekarang?" tanyanya. "Ini masih subuh. Aku bahkan masih tidur sebelum kerikil-kerikilmu menyerang jendelaku."

"Sekarang kau sudah bangun. Tinggal mandi, lalu berangkat." Newt berujar super santai. "Aku tunggu di sini."

Minho berdecak, merasa Newt telah melakukan beberapa hal tak terduga bahkan sebelum fajar menyingsing. Dia bergegas mandi, berganti baju, lalu turun dan menghampiri Newt yang benar-benar menunggu dengan sabar.

"Kita mau ke mana? Kenapa harus subuh?" tanyanya.

"London."

"London?" Lagi, tak terduga, pikirnya. "Kita harus memesan tiketnya jauh-jauh hari."

"Oh, ya? Tapi aku sudah mendapatkannya," Newt tersenyum, dua tiket kereta api sudah terjepit jemari. "Aku ingin berkunjung ke kota kelahiranku dan kota di mana kau akan merantau."

Minho menyadari satu hal di awal hari; dia menyukai Newt yang tenang, sekaligus konyol.


l) london particular

Mereka tiba di sebuah pemukiman penduduk sepi, hampir seluruhnya tersembunyi di belakang pepohonan rimbun. Newt menunjuk salah satu rumah yang nampak dibangun pada tahun 1950an. Asri, putih, tinggi, dengan pohon palem di belakang gerbang besi bercat hitam. Beberapa kaca jendela pecah berkeping-keping, berserakan tepat di lantai teras, berbaur dengan potongan genting. Di cuaca mendung seperti ini, ditambah kecepatan angin yang lumayan tinggi, rasanya seperti sedang berada di dalam film misteri. Padahal masih belum tengah hari.

Ada pos sekuriti di dekat gerbang, tapi tak ada siapa pun yang menyambut kehadiran mereka, tak ada tanda kehidupan sama sekali. Mungkin Newt adalah anak terakhir yang bertumbuh kembang di sini.

Dia mulai menuntun Minho melewati gerbang dan Minho bertanya. "Kau merindukan rumah ini?"

"Tidak, tapi terkadang terlintas begitu saja di kepalaku."

"Sejak kapan kau pindah dari rumah ini?" tanya Minho.

"Sejak kerusuhan," jawab Newt, dan Minho agak terkejut ketika dia menyebutkan peristiwa itu. "Aku masih empat tahun ketika hari itu terjadi. Lizzy masih bayi, kerjanya hanya tidur dan tidur," Dia tertawa sebelum melanjutkan. "Saat kami pergi, aku sangat ingin mengucapkan sampai jumpa pada rumahku dan ketika mobil mulai menjauh, aku melihat orang-orang membakar rumahku dan rumah yang lain. Jika kami diam lebih lama, mungkin mereka juga akan membakar kami."

Minho tak bisa banyak merespons, hanya membuntutinya yang sibuk berkeliling, seolah-olah sedang mengingat setiap detail dari rumah lamanya. Newt membuatnya mengingat betapa rajinnya Sang Ayah mendengarkan berita yang dulu ramai diputar di radio. Pikirannya melayang ke masa lampau, hingga tak sadar tahu-tahu mereka sudah duduk di atas ayunan yang mulai berkarat.

Dia memandang rumah gelap itu. Meskipun kota ini telah banyak berkembang, sejarah tentang kebrutalan manusia masih membekas.

"Waktu itu kau takut?"

Newt menggeleng.


m) middle of nowhere

Mereka berpandangan satu sama lain. Keheningan muncul, desau angin menyapu pendengaran, binatang malam mulai menyalak mengucap salam perpisahan pada Sang Surya.

"Dengar," bisik Minho, mengacungkan telunjuk kanan ke udara. "Kau dengar?"

Newt mengerutkan alis, merasa tak mendengar suara janggal lain. "Dengar apa?"

"Malaikat baru saja melintas." jawab Minho.

Newt tertawa lepas dan begitu jujur. "Apa maksudnya?"

"Keheningan yang tiba-tiba adalah tanda bahwa malaikat sedang melintas. Kakekku sering mengatakan itu ketika kami berdoa. Kupikir dia berkata begitu supaya aku diam sebentar."

Newt menatapnya dengan ekspresi seakan dia baru mengingat sesuatu. "Kau pernah lihat malaikat?"

Giliran Minho yang menggeleng. "Kau?"

"Tentu saja belum," Newt kembali tertawa. Setelah itu, mereka kehabisan kata-kata selama lebih dari satu menit sebelum akhirnya Newt membuka suara. "Dengar," bisiknya, mengacungkan telunjuk kanan ke udara. "Malaikat baru saja melintas."


n) nuff said

Newt tertawa, cara berjalannya seperti orang mabuk, roman mukanya cerah, bahagia seperti mentari. Dia membiarkan pundaknya menempel di tubuh Minho kala mereka melewati jalan setapak dengan Acalypha siamensis rimbun yang mulai ditumbuhi tali putri di kanan dan kiri jalan. Sudah malam, jalan sempit itu semakin sepi, gelap, dan dia merasa harus berlindung pada Minho.

Dia masih tertawa ketika mereka melewati pohon palem kipas. Berhenti kemudian kala Minho meraih lengannya, menarik tubuhnya semakin mendekat hingga bersentuhan satu sama lain. Minho menempelkan bibirnya di bibir Newt. Hanya satu kecupan kecil yang membuat Newt semakin senang bukan main.

Dia tersenyum setelah ciumannya berakhir, dibiarkannya jemarinya bertaut dengan jemari Minho.

"Besok kau berangkat." katanya, mengingatkan.


o) open sesame

Mereka berdiri serempak ketika panggilan rute Cambridge – London diumumkan akan segera berangkat. Minho menyampirkan ransel ke punggung. Sang Ayah menepuk pundaknya, lalu ibunya mengusap wajahnya seraya berkata, "Jaga dirimu baik-baik."

Minho tak menjawab, hanya mengangguk mantap meyakinkan kedua orang tuanya. Dia menghampiri Newt yang diam di sudut menyaksikan satu keluarga kecil yang hendak melepas pergi salah satu bagian dari mereka.

Dia menatapnya, senyum bermain di bibir. "Mau taruhan?"

Newt mengerutkan alis. "Taruhan untuk apa?"

"Kau akan segera merindukanku." katanya penuh percaya diri.

"Kalau tidak?"

"Aku akan menciummu."

"Lalu jika aku merindukanmu?"

"Kau harus menciumku."


p) play a binder

"Selamat malam," Suara beraksen British kental itu langsung menyapa indera pendengarnya pada dering kedua.

"Seharusnya aku yang lebih dulu menyapa." katanya, berusaha membuat suaranya terdengar seperti sedang merajuk.

"Ulangi lagi."

Minho tertawa, sempat mencibir sebelum mengucapkannya. "Selamat malam."

"Malam, Minho."

Itu pembukaan dari keseluruhan obrolan malam tak berarti; mereka membicarakan banyak hal tidak penting hingga ponselnya mulai memanas, tentang hari-hari mereka sebagai mahasiswa baru, menertawakan anak aneh yang ditemui Newt di kampusnya, membahas Frypan yang selalu mengatakan "Minho, Newt tampan hari ini, tapi kasihan dia kesepian", membujuk Newt yang mulai jengkel, hingga akhirnya mereka kehabisan topik.

Newt terdiam, begitu pula dengan Minho.

"Kau harus menciumku." ujar Minho kemudian.

"Mengapa harus?" tanya Newt di seberang sambungan.

"Kau merindukanku."

"Tahu dari mana?"

"Kita mengobrol selama hampir dua jam."


q) quick on the draw

"Besok kau ada di rumah?"

"Ya, aku di rumah, tidak pergi ke mana-mana."

"Baiklah," jawab Minho di ruang tunggu stasiun, tiket menuju Cambridge tepat di genggaman tangan kirinya.


r) right as rain

"Kau kalah taruhan." Minho berkata, wajahnya terlihat lelah setelah perjalanan panjang, tapi juga ada senang muncul di sana.

Newt tersenyum lebar, tangan-tangan terlipat di dada."Artinya?"

"Kau merindukanku."

"Lalu?"

"Mana ciuman untukku?"


s) small is beautiful

Bagi Minho, Newt memiliki banyak cara lain untuk mengatakan "Aku mencintaimu", seperti tersenyum padanya di ruang tunggu stasiun, lalu segera menggenggam tangannya kala dia mulai mendekat, bibir bersentuhan tanpa berpikir.

Saat itu pula, dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, "Sebenarnya apa lagi yang kucari?"


t) the final straw

Menjalin hubungan dengan jarak membentang sebagai rintangan membuat Minho harus pintar berkompromi dengan jadwal kesibukannya. Rindu yang dirasakan, mungkin saja bisa menambah kadar keromantisan, membuatnya menghargai betul setiap pertemuan.

Newt telah membuatnya merasa spesial, nyaman, dan dibutuhkan. Namun, segalanya juga mampu berjalan di luar rencana.

Dulu, Newt selalu ingin tahu bagaimana kabarnya, menghibur dan bertukar pesan tiap waktu, menceritakan berbagai pengalaman, menganggapnya berharga. Sekarang, semua dari Newt hilang sedikit demi sedikit. "Aku rindu" berubah menjadi "Aku sedang sibuk, hubungi aku nanti". Mereka hanya berbicara beberapa kali dan hal yang selalu membuat Minho mengerutkan alis adalah karena nama Thomas selalu ada di dalam percakapan mereka.

Mungkin, selain dirinya, Thomas adalah satu-satunya teman terdekat Newt. Mungkin, mereka semakin dekat dan semakin dekat karena Thomas telah menjaga Newt. Mungkin juga, Thomas akan menggantikan posisinya.

Dia menggeleng karena pemikirannya sendiri, melupakan pemikirannya sendiri. Sedikit takut, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkannya.


u) up against it

"Halo?" Minho menyapa.

"Hai."

"Kau sedang di rumah?" tanyanya.

"Ya. Sudah pulang dari kampus?"

"Sudah, tapi aku masih harus membahas beberapa tugas bersama temanku." Dia menatap miris setumpuk buku kimia yang kini terlihat amat membosankan, berisi rumus struktur, perhitungan, atau persamaan reaksi. Dia ingin segera pulang, rindu melihat gambaran atau lukisan Newt. "Minggu depan aku pulang. Kita jadi jalan-jalan?"

"Maaf." Newt berucap. Di saat yang sama, Minho memprediksi sebentar lagi kekecewaan akan datang berlarian padanya. "Teman-temanku mengajakku hang out sambil mengerjakan beberapa tugas. Kita tunda sampai kepulanganmu yang berikutnya, boleh?"

"Baiklah." Tanpa sadar Minho sudah menghela napas. "Bulan depan, kalau begitu."

Sambungan telepon Minho matikan setelah dia mendengar Newt menyetujui. Ketika dia melesakkan ponselnya ke dalam saku jaket, salah satu dari dua kawan sudah melayangkan tatap heran.

"Menghubungi pacarmu?"

"Ya."

"Batal kencan?"

"Ya."

"Karena dia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan teman?"

"Kau menguping, Alby?" Dia tertawa sinis. "Ya, kami batal kencan dan dia ada acara bersama teman-temannya."

Satu sosok lain ikut menatapnya dan Minho mulai tak nyaman, memiliki firasat jika Teresa akan menanyakan pertanyaan andalan.

"Mengapa bisa pacarmu membatalkan kencan dan memilih bersama teman, tetapi kau tetap tenang? Bukankah seharusnya pacar lebih utama daripada teman?"

Lihat? Apa dia bilang. Tebakannya benar. Teresa pasti bertanya demikian. Dasar perempuan, batinnya. Minho hanya tersenyum, menghirup napas dalam-dalam, bersiap menjelaskan.

"Prioritas," jawabnya singkat, menggoda sebelum melanjutkan. "Pacarku itu menawan. Dia memiliki banyak peran. Selain menjadi pacarku, dia juga menjadi anak dari dari seorang ibu, menjadi teman kesayangan teman-temannya, menjadi kebanggaan ayahnya, menjadi teladan bagi adik perempuannya, menjadi cucu kesayangan kakek dan neneknya. Dia memutuskan memiliki komitmen untuk mengenalku lebih jauh, tidak lantas aku harus menjadi nomor satu. Dia sedang menata masa depannya, sama seperti aku. Aku mencintainya dan aku memilih untuk memberikan ruang baginya sebagai upaya mendukung."

Teresa masih tak mau kalah, belum puas mengurusi hubungan yang bahkan tak dilakoninya. Sekali lagi dia bertanya, "Bagaimana jika dia selingkuh?"

"Sayangnya, aku sudah bosan curiga. Kini aku lebih memilih untuk percaya."


v) vent your spleen

"Aku mau putus."

Hari itu, ketakutannya datang tepat ketika Newt menghubunginya sepulang kuliah.

"Maaf?"

"Kau dengar aku." Dia mendengar Newt berdecak kesal. "Aku mau putus."

"Alasannya?"

"Hubungan jarak jauh tak akan berhasil untukku."

"Hanya sampai aku lulus, Newt." katanya, meyakinkan lawan bicara yang terdengar sedang krisis kepercayaan. "Aku pasti pulang."

"Tapi pekerjaanku bukanlah menunggu."

Seperti yang dikatakannya, dia lebih memilih untuk percaya.


w) watch the time

"Membosankan." keluh Minho ketika mata melihat sudah seberapa banyak tanggal yang dia coret menggunakan bolpoin merah di atas kalender. Menghitung hari menjadi kebiasaannya sejak dia berakhir dengan Newt.

Dia meraih ponselnya, memutar Ten Storey Love Song, lalu menjadikannya lagu favorit.


x) xeunt omnes

"Belum move on?"

Minho yang sedang menuntaskan laporan praktikum sembari ditemani lagu favoritnya, tersentak kala Ben tiba-tiba masuk kamar sewanya tanpa permisi atau sekedar mengetuk pintu. Dia menggerutu, mengumpat, bersumpah serapah, seolah-olah sedang melampiaskan kekesalan pada kawannya tanpa alasan.

Dia menaikkan volume ponsel, tawa Ben semakin menggelegar.

"Move on tidak semudah mencari orang baru, lalu menjalin hubungan dengannya. Kita harus kenal betul sebelum main hati." jelasnya.


y) yesterday's news

Minho memilih berjalan-jalan sendirian untuk menghabiskan hari sebelum kembali ke London. Dia melewati sebuah kafe, tiba-tiba ingin melirik ke dalam lewat jendela kaca berukuran besar, dan penyesalan datang kala matanya tanpa sengaja menjumpai Newt duduk di salah satu kursi, bersama Thomas di sampingnya, tertawa lepas ketika Thomas menyentuh tangannya di bawah meja.

Terlalu lama memperhatikan dari jauh, akhirnya mata saling bertemu pandang. Dia melempar senyum pada keduanya yang terlihat terkejut, kemudian membungkuk sebelum berlalu.

"Aku sudah harus mengaku kalah," katanya. "Aku yakin anak itu bisa menjaga Newt lebih baik daripada aku."


z) zut alors

"Minho, kau marah padaku?" tanya Newt, segera setelah sambungan telepon terangkat.

"Aku tidak pernah marah padamu. Tidak masalah jika kau mencintainya," gumamnya pelan, seolah-olah memang sedang berbicara pada diri sendiri. "Tapi kau tak perlu berbohong. Jangan beralasan tak bisa berhubungan jarak jauh, padahal saat itu kau memang sedang mendamba orang lain."


an: Terima kasih sudah membaca fic pertama saya utk pairing ini :)