Sakura POV
Aku tersenyum sembari memandangi lapangan. Lebih tepatnya memandangi seseorang dengan rambut pirang jabrik dan kumis kucing di pipi yang sedang bermain sepak bola disana.
Wajahnya sangat cerah tertimpa cahaya matahari dan dihiasi senyum lebar yang terlihat sangat lepas. Ah ... Kurasa aku menyukai senyum lebarnya itu. Itu terlihat begitu ringan dan lepas. Dan mataku tak pernah lepas darinya.
Seseorang berseru memanggilnya, membuatnya harus pergi meninggalkan lapangan dan kembali ke ruangannya. Ruangan?
Oh ya. Dia seorang guru disini. Guru BK atau yang biasa disebut bimbingan konseling. Guru yang biasanya menangani murid-murid yang bermasalah. Padahal kuharap dia menjadi guru lain selain guru BK. Supaya bisa mengajar di kelasku dan lebih sering bertemu denganku secara dekat daripada memperhatikannya dari jauh terus seperti ini. Tapi yang, sayangnya dia tidak ...
Dulu dia pernah mengajarku saat aku masih kelas satu. Mata pelajaran sejarah. Tapi entah kenapa dia berhenti. Dan sekarang dia juga merangkap sebagai guru tata boga. Awalnya aku tidak percaya ini, tapi keahlian memasak harus kuakui sangat sangat hebat. Kurasa setara dengan koki bintang lima? Entahlah, aku tak pernah memakan masakan mereka. Tapi kuakui dia benar-benar sangat hebat dalam hal masak memasak. Dia pasti akan menjadi suami yang baik suatu hari nanti.
Aku menggelengkan kepala. Hus, apa yang kau pikirkan sih Sakura! Berhenti berpikiran bodoh!
"Sakura-chan!"
Aku langsung menoleh. "Ah, ya? Kenapa Hinata?"
"Maaf aku membentakmu. Habisnya kau tidak dengar kupanggil daritadi," ucapnya.
"Tau. Kau ini kenapa sih, forehead? Kerjaanmu itu melamun terus." Kali ini Ino yang berbicara.
"Berisik. Aku 'kan sudah minta maaf. Apa maumu?" ucapku kesal. Mengganggu saja.
"Sudah sudah. Begini, Sakura-chan, mau ikut ke kantin tidak? Kami mau ke kantin atau kau mau nitip sesuatu mungkin?" kata Hinata, berusaha menengahi.
Aku melirik jam. Benar juga, sudah jam istirahat. Pantas lapangan ramai. Dan kenapa aku baru menyadari kalau perutku lapar daritadi? "Aku ikut," jawabku lalu pergi bersama mereka berdua ke kantin.
"Menurutmu aku harus menjawab apa jika dia benar bilang begitu?" tanya Ino. Ia baru saja menceritakan pada kami tentang pendekatan hubungannya dan Sai. Dan dari acara pendekatannya ini, ia mengira kalau Sai sudah mulai tertarik padanya melihat dari sikap pria itu. Lalu berandai-andai bagaimana bila Sai menyatakan cinta padanya. Daritadi aku hanya mendengarkan dan sesekali berkomentar. Hinata yang lebih banyak merespon ucapan Ino.
"Apalagi? Tinggal bilang, "ya, aku mau menjadi pacarmu Sai-kun" apa susahnya?" jawabku seraya menyuapkan ramen ke mulutku.
"Uh, tapi aku sangat gugup! Bagaimana kalau dia menciumku setelahnya?"
Aku hampir tersedak ramen yang sedang kumakan. Bagaimana mungkin Ino bisa berpikir sejauh itu? Aku langsung mengambil air dan meminum setengahnya. "Berhenti berpikir yang aneh-aneh, Ino. Kurasa otakmu itu harus dicuci."
Ino memberenggut kesal. "Tak ada salahnya 'kan? Kemungkinan itu bisa saja terjadi," ucapnya lagi. Kulihat Hinata tak berani berkomentar.
Aku kembali melanjutkan acara makanku yang tertunda dan langsung menghabiskan sisanya. Sebelum kembali menyahuti ucapan Ino. "Lebih baik sekarang kau pastikan saja dulu dia menyatakan cintanya padamu, baru memikirkan hal itu." Hinata mengangguk setuju dan perdebatan pun berakhir dengan damai.
.
.:0o0:.
.
"Aku duluan ya, Saku. Sai-kun sudah menunggu. Dah!" Dan Ino pun pergi setelahnya.
Sekarang disini tinggal aku sendiri. Ino dijemput Sai sedangkan Hinata sudah pulang duluan dijemput kakaknya. Mereka berdua ada yang menjemput, aku siapa yang menjemput? Rasanya, nasibku miris sekali, hiks.
Menjadi jomblo itu tidak mudah.
Sudahlah, daripada meratapi nasib disini, aku membereskan barang-barangku dan beranjak pulang. Kelas sudah kosong sejak lima menit setelah pelajaran usai. Hanya aku yang betah diam di kelas sampai sore dan baru pulang.
Lihat. Bahkan koridor sudah mulai sepi. Hanya beberapa siswa yang lalu lalang disana. "Sakura!" Aku terlonjak kaget ketika seseorang berseru memanggilku. Siapa yang memanggilku dengan suara sekencang itu? Untung saja sekolah tak seramai tadi.
Aku menoleh dan melihat lelaki yang selama ini kukagumi ada disana dengan wajah yang belepotan dan sepiring kue di tangannya. Dia menghampiriku dengan wajah sumringahnya. "Kebetulan sekali kau lewat. Aku bingung harus pada siapa aku minta tolong. Untung ada kau," ucapnya. Dan aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Sedang bicara apa dia?
"Um, ada apa Sensei memanggilku?" tanyaku akhirnya.
Dia menjulurkan kue yang dipegangnya padaku. "Cobalah," titahnya. Tapi aku diam. Masih belum mengerti atas situasi yang sedang terjadi saat ini. "Cobalah. Aku ingin kau mencoba kue buatanku." Dia menggaruk belakang kepalanya. "Sebenarnya, hari ini aku mencoba membuat kue setelah sekian lama. Dan aku ingin seseorang mencicipinya untukku, tapi sekolah sudah usai, jadi aku bingung. Dan kebetulan kau lewat, jadi sekalian saja aku minta tolong padamu hehe. Kau tidak keberatan 'kan? Sakura?"
Aku tersadar dari lamunanku. "Ah, iya. Tidak kok Sensei. Ini ... aku yang pertama kali mencicipinya?" Dan jawabannya benar-benar membuatku senang. Dia memperbolehkanku mencicipi masakannya untuk pertama kalinya dan hanya untukku. Aku yang pertama. Ya Tuhan!
"Um ... baiklah. Akan kucoba." Aku memotong kuenya dan mencicipinya. Perasaanku benar-benar gugup. Jantungku bahkan berdegup sangat kencang. "Enak ... ini enak sekali Sensei!" seruku antusias.
"Benarkah?" Ia juga ikut antusias.
"Ya! Ini sangat enak! Apa ini boleh untukku?" Oh tidak. Aku keceplosan karena terlalu senang. "Ah, maaf Sensei, aku kelepasan ..."
"Hahaha tidak apa-apa kok. Kau boleh mengambil itu. Lagipula aku bisa membuatnya lagi. Mau sekalian ku bungkus?"
Jawabannya membuatku berbinar senang. Aku mengangguk dengan semangat. "Ya!"
.
.:0o0:.
.
AN:
Hai! Ketemu lg sama aku hehe. Aku bikin cerita baru nih. Semoga kalian suka ya!
Sebenernya agak bingung sih dapet ide ini darimana, tapi akhirnya jadi juga hehe.
Pokoknya jangan lupa review ya!
Happy reading!
Nx
