Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Fujimaki Tadatoshi. I do not take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.

Warning: Alternate Universe, genderbend!FurihataKouki, OOC, OC, simple-fluff, super cliché, lots of description, fast pace, typo(s), absurd, super-duper crack slight pairing, etc.

.

Tidak suka? Tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. :)

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Ruang itu sejak awal memang tak lengang. Tak seperti dirinya yang berharap tiba-tiba dianugerahi sayap untuk terbang. Pergi dari semua ini dan melayang ke awang-awang.

"Aku tidak mengerti apa maunya anak ini, huh."

"Sudahlah. Kita tidak bisa memaksanya."

"Aku tidak memaksa! Dia yang tidak sadar diri usianya sudah berapa. Aku sangat mengkhawatirkannya!"

"Iya, iya, aku mengerti. Tapi, coba kautempatkan dirimu dalam posisinya. Pasti dia punya alasan sendiri—"

"—dia tidak pernah berkata apa pun! Bagaimana kita bisa tahu apa yang dipikirkannya? Aku tidak ingin dia tertekan karena digosipkan tetangga dan yang lainnya. Lagipula, usianya sudah lebih dari cukup. Jika tidak, bisa-bisa dia menjadi perawan tua selamanya—"

"—dia lebih tertekan, astaga. Coba kaupikir, sesungguhnya, siapa yang mau menikah tanpa cinta—"

"—kau ini selalu saja membelanya! Pembelaanmu tidak akan melindunginya dari serangan hinaan orang lain, dan yang aku lakukan—"

"—yang kaulakukan hanyalah memaksa anak kita sendiri untuk menikah agar kau tidak merasa malu karena semua tetangga dekat kita telah menimang cucu! Kaupikir aku tidak tahu?"

"—tidak begitu ... sungguh, aku hanya ingin anak kita dijaga oleh seseorang. Dan dia menolak semua orang. Kau tidak pernah ada di rumah tiap pagi, karena itu kau tidak dihadapkan oleh omongan mereka yang berkata anak kita lesbi! KAU TAHU BAGAIMANA RASANYA?! Aku tidak percaya anakku seperti itu! Sama sekali tidak! Makanya, aku berusaha mencarikan lelaki yang terbaik untuknya. Tapi, dia selalu menolak—"

Bergetar, dia mencengkeram lututnya. Pertengkaran kedua orangtuanya karena dirinya, masih tersentris seputar jodoh untuknya—padahal mereka bukan Tuhan dan perkara ini tak seharusnya dimainkan dalam genggaman mereka, adalah yang paling membuatnya muak. Hatinya konstan terkoyak. Dan ia sadar dirinya takkan pernah siap jika suatu hari nanti, bahkan dari rumahnya sendiri ia akan didepak.

Namun tangis pilu ibunya yang selama ini ia pikir keterlaluan karena selalu memaksanya rela dipinang lelaki lain, ayahnya yang selalu membelanya, melantak muak yang menderak benaknya.

"Maaf."

Kedua orangtuanya yang duduk di hadapannya menoleh padanya. Suaranya serak menggulir kerikil penyesalan terberat, menyadari ternyata selama ini adalah salahnya yang begitu keras kepala menanti seseorang yang takkan pernah datang untuknya—dan betapa dia muak pada orang itu yang memonopoli hati tanpa pernah membagi hati dengannya, dirinya begitu bebal untuk memahami ekspetasi seseorang akan meminangnya adalah mimpi mati.

"—aku ... aku membuat kalian sedih."

Ia terpekur. Lekas menyeka sebilur pilu yang gugur dari matanya, basah menjejak di pipinya. Betapa bodoh dirinya tak menyadari, semenyebalkan apa pun caranya, sememuakkan apa pun omel panas dan cara mereka memedulikannya, orangtuanya tetap memedulikannya.

Semua karena orang itu.

Akhirnya, dia menyadari telah mencapai titik kulminasi, yang terdefinisi sebagai titik jemu dan muak memuncak karena hidupnya, hatinya, dirinya, tak pernah bebas. Terkekang hanya oleh orang itu. Seseorang yang ia yakin dirinya bahkan tak terkenang meski hanya sekali dalam benaknya.

Dia jengah, dan ketika bergetar menghirup napas dalam berikutnya, ia sadar dirinya didera desperasi mendamba untuk berubah.

(Membuka hati yang selama ini secara persisten dan idiot, selalu ia kunci.)

"Maafkan aku." Dia berusaha mengangkat kepala, menatap lurus pada kedua orangtua. Mengulas senyum (kendati tulang pipi begitu kaku) semampu yang ia bisa.

"Lain kali, bila ada lagi yang mungkin mau menikahi perempuan sepertiku yang biasa-biasa saja ini, aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Aku akan menyerahkan segala keputusan pada kalian."

—karena rasanya mungkin identik dengan sensasi hampir mati dan terlalu bodoh untuk memilih seseorang selain yang menahtahi hati.

Duduk dalam posisi formal membuat kakinya kebas. Namun hatinya sedikit tak lagi terasa sempit lebih seperti betotan beban berat kini terlepas—dan pemahaman akan kesadaran ia membiarkan asa yang dikristal dalam relung hati kandas. Mungkin dirinyalah yang harus mengikhlaskan hatinya untuk bebas. Atas realisasi ini, repetitif ia menyeka jendela hatinya yang memanas.

"Kouki ..."

Tiada silabel maaf terucap, tapi sorot pandang wanita itu menyiratkan ketidaktegaan seraya menyambut tangan ibunya yang terjulur padanya untuk memeluknya erat. Mengisakkan penyesalan di bahunya.

"Kau akan dapat yang terbaik, Kouki," tandas ayahnya tegas kendati dengan mata memedas. "Percayalah."

Wanita itu tak memercayai suaranya untuk mengucap jawab, maka ia hanya mengangguk singkat.

Belaian hangat ayahnya di kepalanya kemudian, membuatnya merasa seperti putri kecil yang dibela oleh ayah karena dimarahi ibunya lantaran ketahuan melakukan suatu kesalahan.

Menyebabkan wanita tersebut perih tak terperi merindu figur kakak lelakinya yang tak lagi menghuni rumah sama dengannya, kakak yang pasti akan melontarkan lelucon untuk meluluh suspense yang membelenggu ruang menyesakkan ini.

Kenangan haru ini –dan realisasi muak yang tertuju bahkan pada dirinya sendiri, mungkin baru mulai esok akan dirobek dari tapak jejak yang tertulis di buku kehidupannya. Biarlah mozaik memori yang dulu diwarna dengan pena biru bertinta pilu, karena tatkala matahari yang menggeliat dengan semburat meliuk di ufuk Timur esok pagi, ia akan meniti dan membiarkan warna-warni tumpah mewarna larikan lembar hari-hari masa depan.

"Kaa-san tidak perlu khawatir suatu hari nanti kau akan pulang bawa perempuan, 'kan?"

Desau gurau ibunya yang parau, sama sekali tidak lucu—mungkin dengan intensi seperti kakaknya tapi itu sungguh menyinggungnya, seketika dirinya diterjang galau. Melepaskan pelukan dan menyorotkan horror pada ibunya yang lalu tertawa bersama ayahnya.

"Tidak! Tentu saja tidak. Jangan bilang Okaa-san percaya pada—"

"—ya, kalau kau pulang bawa lelaki, aku baru akan merasa benar-benar lega."

"Eeeeh? Okaa-san tidak menganggap Fukuda dan Kawahara?!"

"Aah ... kasihan mereka. Kau gantung begitu."

"Aku tidak menggantung mereka! Astaga, mereka hanya sahabatku."

"Kau tidak sadar selama ini kau adalah heartbreaker, 'kan?"

"He-heartbreaker? Ya Tuhan, aku bahkan kenal pacar mereka yang juga temanku."

"Dulunya, mereka suka padamu. Kalau tidak, kenapa selalu bersamamu?"

"I-itu karena aku berteman dengan mereka sejak—"

"Dipikir-pikir, keduanya tampan juga. Baik pula. Kawahara-kun adalah pemuda yang baik, dan Fukuda-kun sangat suportif padamu—dia bahkan selalu menyemangatimu dan tidak pesimis sepertimu, Kouki."

"Otou-san, jangan ikut-ikut Kaa—"

"Ya, 'kan, Anata? Kouki kita sebenarnya tidak sebiasa saja yang putri kita sendiri pikirkan. Oh, ya, apa kabar mereka berdua? Kenapa tidak pernah main ke sini lagi? Bagaimana kalau kau memilih di antara mereka, Kouki?"

"Aduh, jangan cubit-cubit pipiku. Sudah kubilang, mereka sudah punya pacar! Bahkan Fukuda sudah merencanakan untuk bertunangan dengan pacarnya."

"Ya sudah, berarti mereka memang bukan jodohmu, Kouki."

"Bagaimana kalau teman kerjamu itu yang suka mengagetkan orang? Dia sangat sopan dan tatakramanya benar-benar mengagumkan."

"E-eh, Okaa-san tahu Kuroko dari mana?"

"Oooh, namanya Kuroko-kun. Dia saja! Bagaimana, Otou-san?"

"Yang tempo hari lalu memberikan Kouki tumpangan pulang ke rumah? Ah, ya. Dia tampaknya sangat baik walau ... eh, agak menyeramkan karena tidak terasa hawa keberadaannya."

"Pemuda itu santun sekali. Oke, Kouki, berjuanglah! Kami akan memberimu restu—"

Wanita yang usianya nyaris mendekati kepala tiga itu menghela napas panjang. Terlampau panjang. Membayang pemuda bayang-bayang itu bersanding dengannya padahal jelas-jelas mustahil ketertarikan termagnet padanya dari rekan kerjanya tersebut, Kouki mengabaikan celoteh semangat ibunya dan tanggapan tenang ayahnya.

"Err—bisa kita bicara hal lain? Ada yang mau aku buatkan teh?"

"Jangan mengalihkan, Kouki. Ini demi kebaikanmu sendiri. Okaa-san akan berdoa supaya ada pria milyarder tampan baik hati yang akan melamarmu—"

"—Okaa-san, tolong berpikir realistis—

Ting. Tong.

"Kouki, tolong bukakan pintu dan lihat siapa yang datang." Ayahnya menyela perkataan ibunya. Senyumnya meretas wajah pesimis anak perempuan tunggalnya hingga terjelmakan senyum lega—bel penyelamat berdering untuknya.

"Mungkin yang datang itu milyarder tampan baik—"

"—uh, aku akan bukakan pintu dulu."

Wanita tersebut bergegas bangkit kendati kaki-kaki tak ubahnya digerogot semut-semut. Tertatih menuju ke pintu, mengabaikan ibunya yang ikut berdiri dan mengintilinya seraya membisikkan mungkin itu adalah pria yang hidup hanya di mimpi-mimpi dan mustahil ada di muka bumi, matanya terpicing mendengar semua itu selagi ia merapikan baju lalu lekas membuka pintu.

Seorang wanita berdiri anggun tertimpa remang lampu pekarangan. Wanita itu dan ibunya melongo, antara terpesona dan tak percaya, karena wanita dengan gaun malam musim panas dan mantel warna krim polos yang sederhana tapi melekat membuat sosoknya sempurna, memulas senyum menawan tatkala bersipandang dengan si wanita biasa-biasa saja.

"Selamat malam."

Tidak terjadi ironi seperti yang Furihata kehendaki—komikal semacam wanita berpostur dengan segala hal dari dirinya berestetika perfeksi tapi cacat dengan suara tenor mengerikan, suara lembutnya menyentak kedua wanita berbeda usia yang menyandang marga Furihata.

"Ma-malam." Putri tunggal keluarga Furihata bergegas membungkuk, membalas lengkung menawan tamu di hadapannya dengan senyum (agak terlampau) kikuk.

"Apakah Anda Furihata Kouki?" tanya wanita itu yang tidak diringkus keterkejutan akan pandangan curiga dari wanita lain yang lebih tua dibandingkan

Kouki mengangguk kaku. "A-ada apa?"

Wanita tersebut makin kikuk ketika wanita yang kira-kira sebaya ibunya tapi tampak jauh lebih muda itu menatapnya dari ujung rambut ke ujung alas kaki yang ia kenakan. Bibirnya mengedut, berupaya untuk tetap ramah.

"U-uhm, di luar dingin sekali, bagaimana kalau kita masuk dan bicara di dalam saja?"

Tamunya itu dilanda keterkejutan, sebelum ekspresinya melembut. Dia mengangguk, mengucap terima kasih yang begitu santun sehingga sepasang anak-ibu itu menepi mempersilakannya untuk masuk. Namun wanita itu hanya bergeming, menarik napas dalam, berkata-kata dengan suara halusnya.

"Tujuan saya datang kemari—"

Kata-katanya itu membuat kedua perempuan bermarga Furihata itu terperangah.

"—untuk melamar Furihata Kouki."

Angin musim dingin menyingkir dedaunan hingga terguling-guling di lengan jalanan dan di antara lorong-lorong selokan dedaunan itu terpuruk. Anjing melolong pilu di kejauhan meremangkan bulu kuduk. Wajah kedua Furihata yang mendengar perkataan itu dan proses mereka memahami ternyata menimbulkan dampak buruk.

Tiga detik berikutnya, Nyonya Furihata meratap.

.

.

"Anakku le- ... les- ..."

.

.

Detik selanjutnya, terkulai pingsan.

.

#~**~#

.

A Kuroko no Basket Fanfiction,

.

To be love

.

By: Light of Leviathan

.

#~**~#

.

"Maafkan keambiguan yang Haha-ue-ku sampaikan."

"Ti-tidak apa-apa. Maaf juga ka-karena Okaa-san-ku terlalu cepat salah pa-paham."

Percakapan itulah saja yang bisa disadap oleh kepala keluarga Furihata di beranda keluarga rumahnya dari sepasang muda-mudi di pekarangan. Mata menyipit tajam, mendadak berkhayal memiliki kekuatan supernatural untuk membakar punggung tegap pemuda bermantel coklat mahal yang tidak serasi dengan segala kesederhanaan taman kecil rumahnya—dan sama sekali tidak serasi bersanding dengan putri kesayangannya.

Beberapa saat yang lalu, bel rumah mereka berbunyi dan ada tamu yang datang. Tamu tersebut menyampaikan hendak melamar putri keluarga Furihata. Namun karena keluarga Furihata baru saja berdiskusi serius perihal pinangan dan status dan rumor mengkhawatirkan tersentral pada anak gadis keluarga tersebut, maka sang ibunda pingsan lantaran salah paham.

Dikiranya ada perempuan dengan penampilan bangsawan melamar putrinya untuk dinikahi. Jika benar demikian, berarti rumor yang digunjingkan tetangga sama sekali tak keliru.

Tepat ketika para perempuan itu menjerit, muncul sesosok yang Furihata kenali dan membuatnya tiba-tiba merasa semua ini mimpi tatkala melihat presiden dari jajaran direksi di perusahaan tempatnya bekerja, atasannya, yang biasa ia temui selama waktu kerja, terkadang mengantarnya ke rumah jika terlalu larut malam—dengan alasan logis tidak baik perempuan pulang sendiri malam-malam tapi jika di luar sana tidak hujan badai maka Furihata seringkali menolaknya, masuk ke rumahnya lalu melesat kilat menyangga ibunya yang terkulai pingsan.

Ayahnya berseru kaget ketika putrinya menuntun seorang pemuda menggendong istrinya yang pingsan.

Dia sempat mendamprat, marah-marah karena merasa ini pelecehan terhadap istrinya, sementara dalam detik-detik mengerikan itu Furihata berusaha menenangkan ayahnya sembari menahan ketakutan di hati takut dirinya dipecat dari pekerjaannya—itu yang dimarahi ayahnya adalah atasannya.

Wanita yang membuat Furihata terpana ternyata adalah ibunda atasannya itu, membungkuk mohon maaf karena tidak menyangka perkataannya membuat nyonya Furihata diterpa syok.

Tatkala ayahnya yang tengah memangku dan mengipasi ibunya agar cepat siuman, tajam bertanya siapa yang ada di hadapannya, intensi apa datang kemari, Furihata yang cemas dengan kondisi ibunya dan menggenggam erat tangan perempuan yang melahirkannya itu bahkan terdistraksi tatkala ibunda atasannya menatapnya lekat.

Tatapan yang investigatif, Furihata gelisah karenanya—luput menyadari itu lebih atentif. Wanita itu tidak lekas menjawab, matanya berkelip serapuh kepak sayap kupu-kupu mengerling pemuda yang duduk di sisinya, lalu berbisik pelan pada putranya, kemudian —

"Tujuan saya datang kemari adalah melamar Furihata Kouki untuk putra saya, Akashi Seijuurou. Apa Anda keberatan dengan lamaran dari putra saya pada putri Anda, Furihata-san?"

—seumur hidup, mungkin ini kali pertama ada pinangan dilayangkan begitu frontal tanpa ada basa-basi sama sekali.

Lebih mengejutkan lagi ketika nyonya Furihata siuman pasca mendengar hal itu dan seketika terduduk.

Raut ketiga anggota keluarga Furihata itu tampak begitu komikal dalam keterkejutan yang dibalur keheningan menyesakkan. Pandangan mereka terbagi antara wanita yang tersenyum anggun dan pemuda yang kentara terlihat mendapat warisan genetik dari ibunya.

"Kouki, a-apa ini?! Ke-kenapa kau tidak pernah bilang—"

"—aduh, jangan peluk aku seerat ini, Okaa-san! Bu-bukankah kau pingsan barusan?! Me-memalukan—a-aku juga ti-tidak ta-tahu—"

Furihata meronta sepelan yang ia bisa dari ibunya yang memeluknya erat-erat. Ia ingin memberitahu ayahnya untuk tidak memelototi setiap pemuda yang datang untuk meminangnya, terlebih intensitas aura mengancam ayahnya itu keterlaluan.

"Maaf, bisa saya bicara dulu dengan Furihata Kouki-san?"

Furihata mendesis pada ibunya yang terkikik licik, gemas sekali mencubit pinggangnya. Ia tidak ingin mendengar bisikan kegelapan ibunya, "Apa Okaa-san bilang. Akan ada milyarder tampan baik hati—" dan seterusnya, sementara matanya berbinar-binar bahagia melihat pemuda di hadapannya membungkuk hormat pada kedua orangtua Furihata.

"Aku tidak pernah dengar kau menyebut seseorang bernama Akashi Seijuurou."

Cetusan (nyaris kejam) ayahnya itu tidak menggoyahkan pemuda yang disebut namanya membungkuk sopan, memohon izin diberikan sesingkat waktu untuk bicara dengan wanita yang dilamar olehnya.

"A-Akashi-san ... u-uhm, dia—be-beliau maksudku, ah ... err," Furihata terbata-bata menjelaskan, makin kikuk ketika ibunda dari pemuda yang dimaksud terkikik geli sembari tak henti memerhatikannya, "se-sederhananya, dia a-atasanku di tempat a-aku bekerja."

"Oh." Wajah netral ayahnya eksplisit menyiratkan: aku-tidak-tahu-siapa-dia.

"Aduh, Otou-san, makanya sering-sering nonton berita! Jangan nonton acara Pacuan Kuda terus! Masa kau tidak pernah lihat Akashi Seijuurou di televisi?! " Ibunya menjeda rentetan omelan dengan mendorongnya bangun, "Lebih baik kalian bicara berdua, sana! Oh, Tuhan, Engkau Maha Pendengar doa orang yang teraniaya! Putriku bukan seseorang dengan orientasi seksual menyimpang!"

"Okaa-san!" Furihata meringis miris tatkala ibunya mendorong keras punggungnya, menepuknya dengan menyalurkan semangat. "Aduh."

Wanita yang memperkenalkan diri sebagai Akashi Shiori itu menepuk bahu bidang putranya. "Bicaralah dengannya, Seijuurou-kun," pintanya lembut.

Akashi menegakkan tubuhnya lalu mengangguk. Matanya mencari, tertumbuk pada sepasang mata berkaca-kaca yang selalu diamatinya dari balik kaca penyekat ruang kerja mereka. Melihat Furihata yang tampak begitu malu dan bingung—gagal memaksa ibunya berhenti menggoda, dengan penampilan sederhana yang tidak pernah dilihatnya—tidak seperti sasakan rambut dan parfum dan setelan formal di kantor, bibirnya mengembangkan senyum.

"Ki-kita—" Mendadak kerongkongannya kering. Ada hening yang menyelinap di antara mereka, Furihata tahu Akashi pun tahu, namun bagaimanapun semua itu tidak terhindarkan tatkala Furihata menyadari senyum Akashi berbeda dari kamuflase dunia yang berkejaran dengan profit, waktu, serta dokumen menggunung tempat mereka biasa berada. "—bi-bicara di luar saja, Akashi-san."

Situasi itulah yang kini menggiring keduanya berdiri di pekarangan kecil rumah keluarga Furihata. Siapa sangka dalam situasi seperti ini, jika bukan rumput yang telah mengering dan mereka injak ini menarik, maka bonsai-bonsai kecil dalam pot yang terawat rapi tampak menyeramkan dipercik cahaya lampu taman justru menjadi objek yang lebih menarik untuk dipandang.

"Kau tidak seterkejut yang aku duga."

Furihata tersentak mendengar suara atasannya, refleks ia menoleh, menemukan sudut-sudut mata semerah rubi yang terbias cahaya lembut mematutnya. Dia refleks kembali meneliti struktur tubuh bonsai dengan kepala pohon berbentuk bulat.

"A-aku ... bingung." Suaranya tidak lebih kencang dari derik jangkrik yang menggemerisik semak-semak. "Kurasa a-aku masih tidak percaya ... A-Akashi-san ada di sini, uh, me-melamarku."

melamarku, yang hanya mengenakan piyama gaun tidur berbahan hangat dengan motif pita di pinggang, pergelangan tangan, dan kurva diikat pita di bagian leher, rambut berantakan, wajah sembab habis menangis, dan kekanakan—tidak ada deskrip selain kehancuran penampilan.

Furihata bukan seorang pengagung fesyen, tapi biasanya ia tampil memenuhi klasifikasi karyawati di korporasi Akashi. Tidak juga ia membawa fesyen sampai ke tempat tidur—toh apalagi yang dibutuhkan untuk tidur selain kenyamanan. Mana terpikirkan atasannya akan datang di jam-jam santai seperti ini untuk ...

astaga, untuk melamarnya!

Namun dengan pemimpin tertinggi ada di sisi, penampilan setampan yang biasa dengan tuksedo krem dilapis mantel stylish berkerah tinggi sepanjang betis warna krem, melamarnya ... tidakkah ia miris bersimpati mengapa pria sesempurna ini malah melamarnya?

"Se-seperti semua i-ini mimpi." Furihata bergumam canggung sembari menyusutkan diri dengan bersidekap dan menundukkan kepala.

"Apa aku tidak senyata itu bagimu?" tanya Akashi, murni penasaran tanpa niat menghakimi.

Furihata kontan menggeleng repetitif. Ia memainkan simpul pita yang di perutnya, sembari jemari mengggenggam satu sama lain karena mendingin. "Kalau ... ka-kalau ... se-seperti di banyak cerita klise dengan protagonis lelaki sepertimu, kau datang untuk melamarku dengan maksud a-agar mendapatkan pe-pewaris keluarga—"

Tawa melodis di sisinya membelai ruang pendengaran wanita di akhir usia dua puluhnya itu.

"—kalau benar, bagaimana?"

Furihata mendengar pertanyaan. Menantang tapi sama sekali tidak garang. Lebih terdengar seperti canda, tapi juga bukan canda. Hanya penasaran. Perlahan-lahan ia menelusuri material pakaian yang Akashi kenakan lalu bermuara di rongga monokrom magenta yang lurus menatapnya.

Seakan mata itu mampu menembus dasar jiwanya yang terlalu lama terbenam dan tak tahu lagi bagaimana caranya lagi menyeruak ke permukaan.

"A-Akashi-san ... bu-bukan tipe lelaki yang a-akan bermain melamar seseorang hanya ka-karena tuntutan kewajiban a-ataupun demi ke-keuntungan orang lain."

Furihata menggigit bibir menyadari ia tak mampu mengalihkan pandangan dari atasannya itu yang tersenyum dengan pandangan selembut kecupan angin di tubuh mereka malam ini.

"Benar."

Sedepa jeda.

"Aku ... bukan tipe perempuan yang Akashi-san a-kan su-suka." Furihata kembali berujar, kali ini menyadari Akashi juga turut memandang bonsai malang yang kembali jadi objek pandang mereka.

"Benar."

"Ka-kalau begitu—" Furihata mengerling takut-takut pada pemuda yang ternyata lagi-lagi tengah mematutnya melalui sudut-sudut mata merah itu, "—kenapa?"

Akashi kali ini menoleh sepenuhnya pada wanita yang menggigil—dan ia sadari antara ketakutan, sebatas karena norma kehormatan, dan mungkin kedinginan.

"Preferensi seseorang terhadap objek afeksi mereka, tidak lantas menjadikan orang tersebut sebagai orang yang akan ia cintai."

Furihata menggigit bibir sekali lagi, gemetar tatkala melihat Akashi dengan kasual melepas mantel. Ia tahu atasannya seorang gentleman, tapi mengapa ia merasakan yang Akashi lakukan berbeda dari yang Fukuda, Kawahara, atau semua teman-teman lelaki lainnya akan lakukan untuknya padahal tindakannya sama.

"Setidaknya, itu terjadi padaku."

Furihata baru pertama kali mendengar tawa presdir Akashi itu mungkin seringan arakan awan-awan yang menggeliat malas di bentangan langit musim panas. Seperti satir terhadap diri sendiri, atau menertawakan ironi yang terjadi padanya.

(Serupa dengan yang Furihata sendiri alami.)

"Te-terima ... kasih."

Atas gestur gentleman baik hati itu, Furihata menghargainya dengan memegang pinggiran mantel—merasakan fabrik wol lembut menggesek tubuhnya. Menyembunyikan wajah yang menghangat di kerah tinggi mantel tatkala sisa kehangatan di mantel itu menetralisir dingin yang merayapi tubuhnya, terlebih dengan wangi maskulin atasannya itu yang terhirup dalam olehnya.

Seharusnya, sama sekali tidak sulit untuk jatuh cinta pada pria ini.

Furihata tersentak, panik menoleh ketika pria di sisinya tertawa dengan volume suara naik setingkat. Ia ditertawakan. Ia mungkin bukan wanita yang akan membuat seluruh lelaki di dunia takluk sembah sujud menciumi kakinya, tapi tidak berarti harga dirinya tidak tersayat tatkala ditertawakan.

"Kau ... ah, bagaimana aku mengatakannya, ya?" Furihata menemukan mata yang biasanya nyaris sebulat matahari dan benderang akan kepercayaan diri, kini menyipit oleh geli implisit. "Kau terlihat ..."

apa? Hanya bibir wanita itu yang terbuka-terkatup, tapi dua suku kata itu bahkan tak terhembus karena napas tersangkut di tenggorokan.

Akashi terdiam memikirkan monosilabel yang seketika terlintas di benaknya tatkala melihat sekretarisnya itu, tubuhnya tenggelam dibalut mantel, wajahnya tersembunyi di balik kerah, dan pipinya tertekan ke atas ketika sehingga menyipitkan matanya yang besar tapi pupilnya begitu mungil—

imut? Ah, apa wanita itu akan percaya jika Akashi jujur padanya? Meng—

"—gemaskan."

Furihata mengejapkan mata. Akashi membuang pandang ke samping dan dalam helaan napas menggumam sesuatu dengan suara rendah hingga tak terdengar olehnya.

Dikerahkannya sekeping keberanian dan harga diri yang tersisa untuk bertanya,"A-apa ada sesuatu yang lucu?"

'Ya—'

Akashi menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri dari debaran jantung yang berakselarasi. Ini pertama kalinya terjadi, dan ia bukan lelaki dilimpah anugerah perfeksi untuk menyangkal denyar anomali di hati.

'—kau, Furihata Kouki.'

"Lucu karena seingatku aku tidak pernah segugup ini, tidak bahkan ketika aku meminta izin untuk melamarmu pada Chichi-ue-ku."

Sejenak keduanya bungkam dengan pernyataan yang disuarakan perlahan penuh kejujuran oleh Akashi. Keduanya terdiam ketika mata mereka yang melayang nyalang akhirnya bersitatap tanpa sengaja. Menelusuri wajah masing-masing, menemukan roman keruh satu sama lain dan komplikasi konflik batin dalam diri, ada pemahaman yang mereka temukan dalam kesunyian.

"A-Akashi-san ... kenapa a-aku?"

Akashi menatapi Furihata yang meremas mantelnya. Seperti lakrimal gadis itu selunak butir embun di bibir daun, disentuh sedikit akan tergelincir dan pecah merintiki tanah. Dahinya berkerut dalam mengerti dan ketidakmengertian, inferioritas seorang wanita dihadapkan dengan lamaran pria superior—ini terlalu klise, tapi yang tidak ia mengerti adalah gurat sendu di sana seakan Furihata tidak menemukan kebaikan dalam dirinya.

"A-aku tidak punya apa pun untuk kuberikan padamu jika aku menjadi istrimu."

ah, itu kalimat klise yang sering Akashi dengar di telenovela ibunya. Dan jika tidak karena pengakuan memilukan Furihata, terngiang suara ibunya yang mungkin akan merasa bangga dengan prediksi perkataan wanita di hadapannya ini.

"... ba-bahkan ... se-sekalipun itu—" Sebulir airmata bergulir di pipi itu, suaranya memarau, "—perasaanku untukmu."

Apakah ini klise atau tidak, Akashi tidak memedulikannya. Terlepas dari klise tidaknya konfesi didera lara ini, tidak mengesampingkan kenyataan bahwa ia tidak merasakan apa pun saat mendengarnya.

Akashi tahu itu. Tapi, tahu tidak berarti bahwa begitu diberitahu lantas segalanya jadi tidak terlalu menyakitkan.

"Ketika semua perempuan terpesona padaku, kau satu-satunya perempuan yang takut padaku."

Melihat bagaimana Furihata berjengit—kaget bukan kepalang mendengar pernyataan itu, kemudian menatapnya kalut, Akashi menghela napas panjang. Pandangannya melunak.

Furihata merasakan sesak melesak hatinya melihat senyum pria seperti Akashi ternoda kekecewaan karenanya.

"Kau tidak bisa lupa ketika kau dulu masih bekerja di divisi Kuroko, dan melihatku berkonfrontasi dengan Kagami." Akashi menerawang bonsai berbentuk seperti cemara sembari mengenang.

Peristiwa itu mengingatkan Furihata pada konfrontasi jajaran pimpinan perusahaan yang merupakan raksasa produktor pangan di Jepang itu.

Sejenak keduanya dibekap senyapnya nostalgia.

.

#~**~#

.

Ketika ia masih bekerja di Seirin yang saat itu adalah kuda hitam dalam ranah hitam bisnis dan Akashi di Rakuzan sebagai kompetitor emperor penguasa absolut sektor krusial dalam memenuhi kebutuhan premier hingga tersier publik.

Namun setelah terjadi peristiwa tsunami dan tornado lagi di Jepang beberapa waktu silam, enam perusahaan itu memutuskan untuk gencatan senjata, bersatu karena nurani diketuk akan kesadaran ibu pertiwi yang terluka oleh peristiwa dan kebengisan alam.

Bersama-sama merekonstruksi Vorpal Sword, korporasi bersama yang mempersatukan berbagai macam produk terbaik mereka dengan pemerataan kepemilikikan saham, berjuang untuk memajukan peradaban Jepang melalui teknologi pangan, budidaya dan swasembada pelbagai produk pangan dan minuman terjamin higienis serta kelezatannya.

Setelah pertemuan pertama itu, mereka bertemu sekali lagi di rapat paripurna Stock Exchange—bursa efek—Jepang untuk pembahasan proyek kerjasama tersebut serta memosisikan jabatan dalam badan perusahaan.

Ketika semua perempuan di sana tampak awas dengan eksistensi yang didaulat sebagai pemimpin tertinggi itu, Furihata Kouki adalah satu-satunya yang enggan berdekatan dengannya—tapi kursi mereka bahkan bersebelahan dan wanita tersebut tidak mencoba berkenalan.

Tidak seperti biasanya, selama acara berlangsung, siapa pun seseorang yang duduk di sebelah Akashi, pasti akan mengajaknya bicara. Terlebih jika perempuan, akan ada modus di balik polesan make-up mengilap dan parfum menyengat mereka. Namun wanita itu malah nyaris pingsan berdekatan dengannya.

Akashi diminta oleh para pebinis muda tersukses di Jepang itu (atau lebih dikenal sebagai Kiseki no Sedai) untuk menjadi presiden direktur Vorpal Sword. Ketika setiap orang terbungkuk-bungkuk mengumbar puja-puji dan respek padanya, wanita ini saja yang kikuk terbata mengucapkan terima kasih sederhana dan tersandung sampai duduk kembali di sofa empuk yang kentara terlihat tak nyaman didudukinya.

Selanjutnya ia berbicara di podium, dikejar oleh maniak warta-berita dan huru-hara flash kamera, hamburan selamat dari tamu-tamu yang datang, serta perempuan-perempuan yang mendekat dengan rok span ketat mereka dan bibir bergincu dan senyum mengundang—juga jabatan yang terlalu lama dari kuku-kuku bercat warna-warni. Semua itu membuatnya lelah dan muak.

Alih-alih turut bersimpati dengan gegap-gempita yang mesti ia lalui, tampaknya keenam direktur lain Vorpal Sword malah tergelak geli melihat penderitaannya. Padahal Akashi melakukan semua ini karena mereka yang menyelenggarakan pemungutan suara dan sepakat menjadikannya presdir.

Mungkin mereka memang sengaja menyiksa Akashi—dalam candaan yang sama sekali tidak bersifat hiburan.

Ketika Akashi menghempaskan diri ke sofa tempatnya duduk, dilihatnya ada tangan menggeser sebotol air mineral kemudian bergetar menawarkan tisu. Begitu menoleh, ditemukannya Furihata Kouki tampak simpatik padanya.

"A-Anda ... uh." Wanita dengan make-up khas pekerja kantoran itu terlihat konyol karena ekpsresinya mirip seperti ikan terdampar di daratan, mulut terbuka-terkatup, gestur yang tidak mencerminkan martabat seorang wanita karir.

"... perlu ..."

Wanita itu mendekat—dan Akashi dalam hati telah mendengus karena berasumsi akhirnya datang juga modus khas perempuan ini, lalu berbisik non-seduktif tapi teramat naif, "... mengelap keringat."

Oh.

Akashi terdiam—harga diri terlalu tinggi untuk mengakui merasa bersalah karena keliru dengan apriori, tapi tulang pipi terangkat tinggi sebagaimana otot-otot pipi tertarik senyuman. Karena itulah ia menerima uluran tisu tersebut dan menyeka keringat yang tidak disadarinya bercucuran karena aktifitasnya sebelumnya.

Tisu tangan miliknya wangi. Bukan bau elegan parfum dengan nominal digit yang berlimpah. Wanginya bahkan tidak lebih baik daripada pengharum ruangan tempat Akashi bekerja. Setidaknya, saat itu wangi tersebut lebih baik daripada aroma karpet, piranti teknologi, dan leburan bau-bau parfum mahal di ruang megah tersebut.

Ketika Akashi tengah menyeka butir-butir yang menyembul dari pori-pori kulitnya, terpentah di wajahnya, matanya tajam mengawasi wanita di sebelahnya membukakan botol air mineral dan memasukkan sedotan ke sana—ia nyaris menduga sedotan itu bahkan akan dihisap dulu oleh Furihata sehingga pola bibirnya menyisa noda lipstick tapi ini sama sekali tidak terjadi, lalu menggeser sepiring kudapan yang disajikan dekat botol tersebut.

"Si-silakan menikmati konsumsi—ah." Furihata terbeliak. Dia gemetar meraih tangan Akashi.

Jadi wanita ini beraksi agresif melebihi asumsinya, bahkan Akashi menggaung tawa sinis dalam ruang di benaknya sendiri.

"A-Anda terluka."

Ah.

Akashi mengangkat sebelah alis. Tidak merasa dirinya terluka. Ketika Furihata menatapnya cemas, menyentuh punggung tangannya, ia hanya mengejap memandangi goresan di punggung tangannya. Ada rembas tipis darah di sana.

Belum sempat Akashi menjelaskan bahwa itu hanya luka kecil yang didapatnya karena bentrokan antara sekuriti dengan jurnalis-jurnalis haus berita sementara ia hanya berusaha memproteksi diri, wanita yang tertimpa sial duduk di sisinya itu meraih tas selempang kecilnya, panik mengaduk-aduk isinya.

Siapa yang terluka sebenarnya? Kenapa wanita ini yang lebih panik daripada Akashi sendiri?

Akashi menatap wanita itu, berpikir mungkin baru kali Furihata Kouki akan melancarkan aksi modus seduksi, toh, tidak berarti ia tidak akan mengapresiasi kebaikan wanita tersebut padanya.

Namun ketika wanita itu membasahi tisu dengan air milik sendiri, berhati-hati membersihkan noda darah di punggung tangannya, mengeluarkan plester betadine untuk menutup lukanya, kemudian mendongak dengan senyum lega seraya bertanya:

"A-apa terasa sakit? Se-semoga tidak infeksi, ya."

Akashi dibuat tercengang bukan kepalang olehnya.

Wanita ini memerhatikan apa yang terlewatkan oleh setiap orang.

Dan ini pertama kalinya, Akashi Seijuurou yang biasanya tidak menyukai segala atensi tertumpah padanya—berhasrat akan atensi murni tanpa menyembunyikan samarnya seduksi atau intensi manipulasi, mungkin sejak saat itu ia merasa penasaran oleh wanita dengan mata terlalu besar tapi pijar hangat di sana sedemikian mungil yang membuatnya repetitif berspekulasi.

Apriori. Asumsi. Spekulasi. Semuanya tertarik gravitasi satu eksistensi. Dan tidak satu pun mengitari kebeneran hakiki.

Beralasan Momoi Satsuki lebih layak menjadi bendahara dengan ketelitian dan perspektif yang disokong intuisi tajam sebagai seorang wanita, Aida Riko lebih cakap di HRD, Akashi Seijuurou membuat keputusan kilat menempatkan Furihata Kouki sebagai sekretarisnya—yang sukses menyebabkan Furihata Kouki jadi topik perbincangan murahan dengan tuduhan telah menyeduksinya.

Lucu. Akashi Seijuurou yang menginginkannya—mulanya hanya karena ingin mengobservasi Furihata Kouki, tapi mengapa malah Furihata yang dipergunjingkan buruk?

Itulah komunitas sosial. Yang berstatus lebih rendah akan tetap dipandang rendah. Mereka membentuk opini berdasarkan pada apa yang kasat mata, bukan pada fakta yang sesungguhnya berada di balik yang terlihat sebatas mata saja.

Kendati Furihata Kouki tertekan dengan keputusan tersebut—pula dengan kewajiban dan tanggung-jawab yang dibebankan padanya, selama Akashi Seijuurou ada di sana, ia tidak akan membiarkan seseorang yang ditunjuknya untuk mendampinginya itu dilecehkan oleh siapa pun.

Selama dua tahun bekerja sama dengannya, Akashi menemukan wanita ini ternyata pegawai kantoran biasa. Selesai bekerja, langsung pulang. Terkadang pergi makan malam bersama beberapa teman—seringnya dari divisi Seirin.

Wanita itu sebagaimana sekretaris di seluruh dunia, akan mengerjakan tugas apa pun yang atasannya berikan. Hanya ketika ia balik melaporkan atau memberikan sesuatu pada Akashi, ia tidak menyertakan selembar kartu nama atau kertas bertuliskan nomor ponsel. Tidak juga isyarat ajakan malam. Tidak pula gestur dengan memandangnya atau curi-curi pandang atau tawaran ingin minum apa di jam-jam tertentu.

Akashi sering mendengar Furihata mengeluh di meja kerjanya pada Aida Riko, tentang tubuh yang pegal-pegal, jam tidur yang amat kurang, pekerjaan tiada akhir.

Namun tetap ceria ketika mengisahkan ia mencuci seragam kerja yang ketumpahan kopi atau minuman tertentu, menyikat dengan detergen yang membuat ta ngan kasar, lalu cucian piring menggunung karena orangtua yang telah menua, maupun waktunya merapikan bonsai di musim-musim tertentu.

Ketika wanita-wanita berdiskusi tentang lelaki dan mode serta make-up, ia hanya duduk mendengarkan dan penuh semangat menimpali. Sekali waktu Akashi mendengarnya diakali Momoi bercerita tentang objek afeksinya, Furihata tertawa setengah hati menjawab perasaanya selama ini bertepuk sebelah tangan dengan seseorang yang bertahun-tahun dicintainya.

Kemudian selepas mereka semua pergi karena ditegur untuk tidak bergosip di jam kerja, Furihata berbagi cerita lagi dengan Aida. Janjian pulang cepat, malam ini ada diskon telur dan beras di swayalan tertentu. Tertawa lembut, kontras dengan nada antusias tentang menu makan malam omelette rice.

Pekerja keras.

Namun yang paling signifikan, perhatian wanita itu terhadapnya.

Bagaimana ia memerhatikan tanpa suara apa yang Akashi butuhkan. Sesepele menyajikan minum agar tidak dehidrasi, pulpen ketika ia kehabisan tinta, satu rim kertas A4, tinta printer yang perlu diganti, mengatur suhu ruangan, mengganti bunga di vas ruang kerjanya tiap hari, menyibak gorden dan menalikannya dengan simpul yang rapi, mengingatkan ketika tiba waktunya makan siang, dan insting yang masih belum benar-benar terasah tapi lebih tajam dari semua orang di sana akan mara bahaya pebisnis tipu-sana-tipu-sini dalam pertemuan-pertemuan penting perusahaan.

Akashi terbiasa dilimpah perhatian. Sudah lelah dan muak dengan hal itu. Tapi di sinilah dirinya—

Suatu kali ketika Furihata tersenyum padanya lalu tawa geli yang anehnya tidak terdengar kekanakan untuk wanita seusianya—mengucap terima kasih paling tulus karena telah diberi bonus gaji dan mengungkapkan ia sedang butuh uang karena ibunya sebentar lagi ulang tahun.

—tertegun menyadari ia menginginkan perhatian wanita biasa-biasa saja itu absolut hanya miliknya.

.

#~**~#

.

"Kau tidak sadar?"

Furihata tahu Akashi tengah tersenyum menilik rona di wajahnya. Siapa tidak memanas wajahnya tatkala seseorang dengan gamblang menceritakan prosesnya jatuh cinta padamu dan kau mengingat semua itu?

Ia hanya merasa itu kewajiban sebagai pegawai, tidak terpikir sang atasan merasa perhatian itu dalam artian lain.

Furihata yang kesulitan menjawab pertanyaan retoris itu menghibur Akashi. Pemuda itu menatap Furihata lebih lekat, selangkah mendekat, menyadari wanita itu tergemap dan berusaha keras untuk tidak mundur.

"Aku tahu perasaanmu untukku." Ketegaran tersirat dalam setiap kata yang Akashi ucapkan. "Bukan seperti perasaanku untukmu."

Akashi menggeleng kecil tatkala Furihata hampir melirihkan maaf lagi. Perasaannya yang membuatnya merasa lebih muda—tapi tidak sepicisan yang mungkin anak-anak muda semasanya dulu rasakan—itu tidak menggerakkannya untuk membenarkan anakan rambut yang menirai pipi wanita di hadapannya. (—kendati ia benar-benar ingin, tapi tidak dengan sepasang mata tajam di balkon menilai tindak-tanduknya.)

"Aku tidak minta pewaris darimu. Tidak memintamu jadi wanita Akashi yang seharusnya sangat bermartabat. Tidak juga memintamu agar membalas perasaanku."

Senyum dirinya sendiri miring—Furihata menyadari dari pegal yang dirasakan di tulang pipinya. "Tapi kau ingin a-a-aku ... menikah ... de-denganmu."

Akashi mengangguk tegas. "Aku akan berusaha membuatmu tidak takut padaku lagi."

"Akashi-san, bu-bukan itu maksudku." Wanita yang tenggelam dalam wangi maskulin dan mantel coklat itu mendesah lelah.

Akashi meraih mantel yang tergantung di bahu Furihata, merapatkannya di tubuh wanita yang menggigil itu. Menyiratkan betapa ia menginginkan wanita ini dalam sisa hidupnya sembari tertawa kecil dengan realisasi, "Aku egois, hm?"

Furihata tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Termenung menatapi senyum lembut lelaki yang sedemikian tampan, sayangnya tidak menawan hatinya.

"Pernahkah kau berpikir bahwa jika kau tidak seperti ini mungkin aku tidak akan menginginkanmu hidup denganku?"

Kali ini Furihata menggeleng. Tentu ia tidak percaya pada dirinya sendiri, karena itulah pria di hadapannya—

"Menikah denganku, Furihata Kouki."

–pinta Akashi dengan keseriusan yang berpendar dari sepasang mata merah dan ketulusan dalam suaranya.

Senyum lembutnya kemudian membuat Furihata berkaca-kaca dengan kesadaran seberapa solid perasaan Akashi padanya.

"Aku hanya ingin menjagamu, kau sebagai dirimu sendiri—dan bukan siapa-siapa yang berekspetasi padamu untuk menjadi seseorang ideal dalam pandangan publik."

Bagaimana dengan masalah rumah tangga yang tidak berlandaskan cinta?

Bukankah banyak pula kisah pernikahan yang mulanya penuh semi sampai mati, cinta lalu asat dan berakhir di meja hijau dan serpihan cincin dari hantaman palu di tangan mereka masing-masing?

"Aku memang tidak bisa menjamin, jika kita menikah nanti, tidak akan ada yang tidak tersakiti dengan ulah atau tingkah atau masalah kita satu sama lain selama bersama. Mungkin juga akan ada saat di mana kita berpikir rumah tangga ini keliru, kita tidak seharusnya menikah.

"Mungkin kita akan menyesal karena pernah bertemu. Atau memang kau hanya menganggapku tetap bukan siapa-siapa bagimu."

Furihata mungkin tidak menyadari siapa saja yang kini telah berada—dan tergabung—di balkon mengawasinya dan Akashi. Ia tergugu disorot senter biner magenta itu yang melesakkan keseriusan padanya.

"... tapi, walaupun mungkin hanya sebentar, aku ingin kau merasakan disayangi olehku."

Akashi kira Furihata akan terdiam karena perkataannya, tak disangkanya Furihata menatapnya—dengan pandangann yang membuatnya sesak. Tergemap menahan hasrat untuk tidak merengkuhnya sekarang juga dan menyeka airmatanya, menjaganya, melindunginya, dan—

"Ka-kalau kau i-ingin membuatku merasa di-disayang olehmu—" Pipinya bersemu, terbalik dengan wajah yang teramat sendu, "—kenapa harus menikah denganku? Ke-kenapa tidak kau lakukan—ah."

"Kau terdengar kejam. Kau sadar itu, Furihata-san?" Akashi tertawa pelan karena Furihata menggumam maaf kemudian—baru sadar sebenarnya Akashi telah banyak melakukan berbagai hal untuk mendekatinya dan memerhatikan wanita itu dengan afeksi non-verbal.

Furihata terpana dengan senyuman Akashi—yang hampir terlihat kekanakan untuk pria di akhir usia dua puluhannya itu. Kerling brillian di mata magentanya.

"Sederhana saja: karena aku tidak ingin berbagi kau dengan orang lain."

Berasumsi Furihata belum mengerti—dan Akashi agaknya melupakan pelajaran dari pengalaman untuk berhenti menduga-duga tapi yang ia pedulikan adalah ekspresi Furihata yang begitu berarti baginya, pria itu lantas mengimbuh dengan senyum penuh arti yang saat itu Furihata tidak mengerti.

"Jika kita menikah, tidak akan ada lelaki lain yang bisa mencintaimu seperti aku. Mereka tidak berhak atas perasaan itu padamu."

Furihata termangu, pada mata magenta yang hipnotik, ketulusan yang dibahasakan dengan pandangannya, sentuhannya, dan keseriusannya.

Akashi menantinya.

Selama derik jangkrik menggemerisik bonsai-bonsai yang biasa ia rawat, deru napas eratik, dan Furihata tenggelam dalam memori tentang bangku sekolah, vandalisme coretan di bangku, tabrakan dan ada yang menyelamatkan meski malah orang itu sendiri yang jatuh. Kepala membentur lantai, mengomel, lalu tertawa karena keduanya terlihat begitu bodoh.

Sepuluh tahun berselang.

Sepuluh tahun hatinya terkekang.

Sepuluh tahun kemudian, pintu yang rapat terbuka—perasaannya terenggang.

Sepuluh tahun dan berakhir dengan solidasi perasaannya oleh waktu dilekang.

Furihata mengenal personanya. Pengecut. Namun ia terlanjur muak dengan dirinya sendiri. Kemana saja selama ratusan hari berharap akan adanya keajaiban dan perasaannya akan terbalaskan. Ia tidak tahu lagi apakah ini pelampiasan atau tidak, ia hanya ingin ada yang memberitahunya bahwa dirinya memang layak disayangi dan menyayangi seseorang.

Sepuluh tahun, dan jawaban atas resolusinya agar hatinya bebas, adalah Akashi Seijuurou.

Furihata maju selangkah—perubahan yang ia inginkan dan kala itu ia tidak ingin memikirkan bagaimana konsekuensi atas keputusannya hari ini, menyandarkan dahinya ke bahu tegap pemuda yang matanya merekah cerah karena tindakannya.

"... ya, Akashi-san."

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Karena saya sibuk melulu sama kegiatan kampus, gak punya modem dan hape rusak jadinya gak bisa OL, saya banyak bertapa. Tte, ini fic ... semi-adult romance feels straight yang kayaknya pertama kali saya tulis. Klise banget, ya, ide bos jatuh cinta sama sekretaris. *menatap langit*

Ini fic baper. *wry laugh* NO, tepatnya: ini fic isinya cuma fangirling saya yang wasting time tiap mantengin anime/manga Kurobas, harusnya riset, ini malah lovestruck parah tiap lihat Akashi melirik dengan oh-so-gentle yang bikin ini hati meleleh seleleh-lelehnya. Asdfghjkl kapan bisa move on dari ngebias Akashi kalau terus-terus ditawan sama emperor ini.

Mampir juga ke fic saya yang lain, ya, LeChi-tachi!

.

See you very sweet latte, my dear RnR~

.

Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan a.k.a LoL